A Tribute to My Mom


Photo ini diambil tahun 1957 ketika ibu masih berumur 19tahun. Ibu (tengah) dengan kedua adiknya.





(Ibu bagiku adalah do’a, berkah, ensiklopedia, dan sumber inspirasi yang tiada habis –Rohani Panjaitan-)

Setahun sudah ibu berpulang ke haribaan sang Khalik.

Ibuku wanita sederhana produk zaman dahulu  yang hanya lulus SR. Tapi jangan salah, walau berpendidikan rendah, pola pikir ibu sangat modern dan demokratis.

Ibu menikah dengan ayah ketika usianya masih 19 tahun. Sementara ayah ku ketika itu berstatus duda cerai mati dengan 4 orang anak. Di usia yang masih sangat belia, ibu menikmati masa-masa bulan madunya dengan mengurus 4 orang anak, yang terkecil (abang ku) berusia 6 tahun.

Pernikahan ibu dan ayah menghasilkan 6 orang anak perempuan, jadi total kami bersaudara 10 orang, 9 perempuan dan 1 lelaki. Aku berada di urutan ke 9. Ibu mengasuh kami semua sama rata sama rasa, tidak ada perbedaan. Itulah sebabnya walau berbeda ibu, hubungan kami 10 bersaudara sangat erat dan akrab.

Dari ibu aku belajar banyak hal. Namun yang selalu menjadi inspirasiku adalah penghargaan dan pengharapan beliau yang begitu tinggi terhadap pendidikan, walaupun beliau sendiri berpendidikan rendah. Keluargaku bukanlah keluarga berada. Kami hidup dalam kesederhanaan . Namun, tidak pernah seorang pun dari kami  terlambat membayar uang SPP (kalau zaman sekarang disebut Uang Komite). Ibu selalu membayar uang sekolah kami sebelum tanggal 5 setiap bulannya. Apa pun yang kami minta, kalau itu berhubungan dengan kebutuhan sekolah ibu pasti akan mendahulukannya, walaupun kompensasinya kami harus makan dengan lauk apa adanya. Bagi ibu sekolah nomer satu, makan bisa seadanya. Dengan keserhanaannya ibu mampu memotivasi anak-anaknya untuk menyelesaikan pendidikan minimal Strata 1.

Bukan hanya pendidikan umum saja yang diutamakan oleh ibu. Beliau juga sangat tegas dalam hal pendidikan agama. Aku masih ingat, ketika kami sudah duduk di kelas 2 SD, itu berarti saatnya kami harus mengikuti pendidikan mengaji di madrasah. Alasan ibu memasukkan kami ke madrasah setelah naik kelas 2 SD karena ketika masih di kelas 1 SD saatnya kami mengenal huruf Latin. Begitu pengenalan terhadap huruf Latin sudah mantap dan sudah bisa membaca dengan lancar, pada saat naik kelas 2 SD kami pun dimasukkan ke madrasah untuk mulai mengenal huruf Hijaiyah. Intinya agar ada tahapan pembelajaran. Luar biasa memang ibuku, walau hanya tamat SR tapi pemikirannya logis sekali.

Selain mengaji di madrasah pada siang hari, sehabis maghrib kami juga wajib mengaji Al-Qur’an bersama-sama.

Dalam hal mengatur keuangan rumah tangga, ibu selalu membiasakan kami hidup sederhana. Makan seadanya, berpenampilan sederhana, yang penting bersih dan rapi, demikian pesan ibu dulu kepada kami. Itulah sebabnya walau ibu punya 9 anak perempuan tapi beliau tidak pernah belanja perhiasan untuk anak-anak gadisnya. Bagi ibu ilmu jauh lebih penting daripada perhiasan. 

Untuk memenuhi kebutuhan sandang, beliau menjahit sendiri semua pakaian kami. Seragam sekolah, seragam mengaji, baju lebaran, bahkan kebutuhan sandang rumah seperti sprei, taplak meja, gordin, semua hasil karya ibu. Hal ini semata-mata beliau lakukan untuk berhemat agar kami anak-anaknya bisa bersekolah setinggi mungkin.

Ibu juga merupakan sosok yang sangat demokratis. Beliau membebaskan kami menentukan jalan hidup, baik dalam karier maupun jodoh.

Ketika aku menjatuhkan pilihan hidup pada seorang sahabat pena, ayah, abang, dan kakak-kakakku menolak keras. Dengan alasan, aku dan sahabat penaku belum pernah bertemu muka sama sekali karena selama ini hubungan hanya terjalin melalui surat. Jadi apa yang kulakukan bagi mereka ibarat membeli kucing dalam karung, mau menikah tapi belum pernah bertatap pandang, belum pernah bertemu keluarga, mustahil kata mereka. Tapi tidak dengan ibu, beliau justru  memberiku restu. Alasannya sederhana, karena ibu percaya aku. Dan berbekal restu serta rasa percaya dari ibu, tahun depan  perkawinanku dengan sang sahabat pena memasuki usia ke 20.

Ibu juga tidak pernah menentang pilihan anak-anaknya hanya karena masalah suku, jenjang pendidikan, ataupun status sosial. Bagi ibu, syarat untuk menjadi menantunya hanya dua, seiman dan bertanggung jawab.

Selain demokratis ibu juga sosok yang sangat pemurah. Memiliki 10 orang anak, ternyata tidak membuat rumah kami sempit. Ibu selalu membuka tangan ketika ada saudara-saudara dari kampung yang ingin menitipkan anak-anaknya untuk bersekolah di kota. Sepupu-sepupu dari pihak ayah atau ibu bergantian tinggal di rumah kami, dan ibu tidak pernah merasa keberatan.

Buah manis dari sikap ibu yang bijaksana dan pemurah tergambar ketika Sang Khalik memanggil beliau di usia ke 78 tanggal 23 November 2016 yang lalu. Kami anak-anak beliau, walaupun saat ini tinggal berjauhan di berbagai kota di Indonesia, berkesempatan berada di sisi beliau untuk mendampingi, menuntun, dan menghantar beliau hingga tarikan napas terakhir. Ibu berpulang dalam senyum. 

Dan kami -anak-anak perempuan ibu- juga mendapat kesempatan memangku ibu dalam proses pemandian jenazah. Sementara para sepupu, kerabat, sanak famili, handai taulan, sahabat, teman, tetangga, memenuhi mesjid hingga ke teras untuk pelaksanaan sholat jenazah. Cuaca cerah mengiringi perjalanan ibu menuju peristirahatan terakhir. Semoga ibu Khusnul Khotimah.


Sweet Memory of CEGAD 7 MEDAN




Posting Komentar

2 Komentar

  1. masyaallah mbak, ibu memang seorang guru sejati. al fatihahbuat ibunda mbak Hany

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.....makasih al-Fatihanya mbak, makasih juga udah mampir ke lapakku.

      Hapus