Edisi (Gagal) Menggapai Puncak Gunung Kelir




Awal pendakian, segar bugar penuh harapan.




“Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”
Peribahasa ini sangat cocok dengan keadaan yang kualami di hari Sabtu, 01 April 2017 kemarin.
Fenomena photo-photo selfie di gardu pandang Lereng Kelir  akhir-akhir ini banyak menghias sosial media. Hal ini membuat ku terobsesi ingin mengunjungi tempat wisata yang terletak di Dusun Gertas Desa Brongkol tersebut. Dan hasrat itu pun akhirnya terwujud ketika hari Sabtu kemarin suami bersedia mendampingi ku ke Lereng Kelir.
Aku dan suami berangkat dari rumah sekitar pukul 09.00 pagi. Tujuan pertama adalah rumah seorang teman suami di daerah Ngampin. Kunjungan kami ke sana dalam rangka membezuk istrinya yang sedang  mendapat musibah sakit. 
Dari Ngampin perjalanan langsung menuju ke Jambu melintasi jalan raya Semarang-Yogya. Patokan untuk menuju ke Lereng Kelir tidak terlalu sulit. Setelah melewati stasiun Jambu, maju sekitar 3,2km, sampai melewati Estu Sehat Apotik yang berada di kanan jalan. Maju sedikit lagi, dan di kiri jalan ada spanduk besar yang bertulis kan wisata Lereng Kelir. Spanduk ini tepat berada di depan Gapura Desa Tapak. Nah...Gapura Desa Tapak ini merupakan pintu gerbang menuju Lereng Kelir. Setelah memasuki gapura, terus naik sampai melewati rel kereta api, dan  mencapai lokasi parkir dan pos penjualan tiket masuk.
Perjalanan menuju lokasi pos penjualan tiket cukup menantang, mendaki dan berkelak-kelok.  Aku dan suami menempuh perjalanan ini dengan mengendarai sepeda motor tua F1ZR. Beberapa kali aku terpaksa turun dari boncengan karena sepeda motor tak mampu menanggung beban tubuhku plus suami (yang mungkin total nya lebih dari 6 karung beras) di jalan yang menanjak tersebut. Benar-benar prolog yang mengasyikkan.
Tiba di loket penjualan karcis sekitar pukul 10.50. Setelah membeli tiket seharga Rp 5000/orang dan membayar retribusi parkir Rp 3000, petualangan pun dimulai.
Hatiku penuh harap, gardu pandang nan eksotis terbayang di depan mata. Apalagi desa yang kami lintasi keadaannya cukup kondusif. Rumah-rumah penduduk yang berada di kanan kiri jalan tertata dengan rapi, halamannya bersih-bersih, menyenangkan dipandang mata. Selain itu, Dusun Gertas sepertinya memang benar-benar menyiapkan diri dengan konsep yang matang setelah memproklamikan diri sebagai Desa Wisata. Hal ini terbukti dengan peran serta masyarakatnya dalam menyediakan fasilitas umum seperti toilet, warung-warung sederhana, tempat-tempat sampah yang terletak di sepanjang jalur pendakian, papan petunjuk arah yang tersedia di setiap persimpangan, dan kebersihan lingkungannya yang sangat terpelihara dengan baik. 👍👍👍👍👍
Tempat sampah di tengah kebun kopi.
Dalam bayangan ku, lokasi gardu pandang Lereng Kelir itu hanya berjarak tempuh beberapa meter dari tempat parkir. Namun kenyataannya, setelah berjalan beberapa meter dari tempat parkir, suami singgah ke toilet umum di salah satu rumah penduduk. Sambil menunggu suami yang sedang melaksanakan hajat hidup, aku berbincang dengan si pemilik toilet,
“Masih jauh lagi ya bu puncaknya?”
“Masih mbak, sekitar 1 kilo lagi. Masih 1 jam perjalanan lagi.” 
Nyaliku langsung ciut mendengar jawaban ibu pemilik toilet tersebut. Harapan nan membuncah untuk bisa mencapai gardu pandang di ketinggian 715 Mdpl sedikit memudar....hehehe
“Waduh jauh banget bu.” 
“Iya mbak, jalannya pelan-pelan aja, yang penting bisa sampe ke puncak.” Ujarnya lagi.
Tak terbayangkan kalau akhirnya dengan memakai sandal emak-emak (sandal cantik kata mbak Dini Rahmawati, temenku di komunitas PENARAWA), pakai kalung mentel (untungnya  gak sambil mencangklong tas Kremes KW 10) aku harus mendaki jalan terjal berbatu sejauh 1 km (ternyata jarak yang benar itu 1,3km). Alamaakkk...
Dan setelah suami selesai berhajat, hasrat untuk menggapai gardu pandang Lereng Kelir pun tetap berlanjut. Jalan mulai menanjak terjal, rumah-rumah  di kiri kanan jalan sudah berganti dengan kebun-kebun kopi penduduk. Di awal perjalanan aku dan suami cukup menikmati pemandangan yang tersaji di depan mata. Indah nian memang pemandangan di sepanjang jalur pendakian ini. Sesekali suami menghentikan langkah untuk membidikkan kamera ke satu objek yang menarik. Udara segar dan sejuk begitu terasa. Namun begitu jalur pendakian semakin terjal,  keindahan yang terpampang pun harus berbayar mahal. Aku dan suami yang sudah menjadi jelita (jelang lima puluh tahun), terengah-engah dan benar-benar bermandikan peluh. Baju basah oleh keringat, napas tersengal-sengal, kaki pegal gak karuan. Capek banget. Beberapa kali aku terpaksa berhenti sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Suami pun demikian.
My hubby...pose-nya aneh...
Akhirnya setelah 30 menit perjalanan kami tiba di POS 1 pendakian. Dan pada papan petunjuk arah jelas terpampang tulisan “Puncak 1,1km lagi”. Walahdalah......baru tau, ternyata info yang disampaikan ibu pemilik toilet tadi salah. Jadi jarak sebenarnya dari tempat parkir ke gardu pandang itu 1,3km bukan 1km. Dan itu berarti, perjalanan yang kami lalui selama 30 menit itu baru menempuh jarak 200m. #Tepokjidat#  Lha terus...butuh berapa puluh puluh puluh menit lagi untuk menyelesaikan 1,1km itu? Sementara tenaga sudah terkuras habis. 
Akhir pendakian...he..he..he.
                                      
Sampai di sini obsesiku pupus. Hasrat mencapai puncak sirna. Suami juga sudah menyerah. Menyadari umur yang sudah menjelang setengah abad, dengan postur tubuh gendut, gak pernah olahraga lagi, beliau gak berani memaksakan diri. Ya sudahlah...let’s go down, daripada nanti ditengah jalan kenapa-kenapa malah ngerepoti orang lain.
“Hasrat hati hendak menaklukkan Puncak Kelir, apa daya kakiku capek.”

Posting Komentar

0 Komentar