Sketsa itu Kini T’lah Usai






Gelap menyelimuti malam. Waktu masih menunjukkan pukul 20.00, namun suasana senyap menyesap ke relung-relung kehidupan. Bertempat tinggal di pinggiran kota membuat Ina harus rela meniti hari dalam keheningan. Apalagi saat ini suaminya sedang dinas piket, sementara anak pertamanya telah mengepakkan sayap ke pulau seberang, demi meraih asa dan cita. Tinggallah ia menikmati malam bersama si tengah dan si bungsu. Sementara pada jam-jam begini kedua anaknya yang tersisa itu biasanya asyik dengan dunia mereka masing-masing. Dengan kondisi seperti ini akhirnya Ina juga memilih untuk melanglang buana ke dunia maya. Menikmati chit chat ringan dengan teman-teman di beberapa grup whatsapp. Berselancar di media sosial atau....tetiba Hpnya bergetar, tanpa nada dering. Ina meraihnya, terpampang jelas di layar,

 “Kris calling.”

Diacuhkannya panggilan masuk tersebut. Biasanya di saat ia merasa kesepian, telphone dari Kris lah yang selalu ditunggu-tunggu. “Sephia” berwujud lelaki tersebut selalu mampu mengubah kesepiannya menjadi lautan keceriaan, walau hanya melalui percakapan ringan nan hangat.

Tapi tidak kali ini. Ina tidak ingin menerima telphone dari lelaki yang telah mengawal hari-harinya selama hampir 30 tahun minus 10 tahun itu. Ina berusaha untuk istiqomah, menjauh dari Kris. Sementara, nun jauh di sana Kris juga berusaha untuk istiqomah mendekati Ina. Dan panggilanpun berulang...

”Kris calling.”

Ina bergeming, walau detak jantung berdentum tak menentu. Jari jemari tangan dan kaki mendadak dingin sedingin es ganefo. Namun Ina bergeming...bergeming.

Sementara si lelaki yang merindu di seberang lautan tak ingin sang belahan jiwa mengabaikan dirinya begitu saja. Ia mencoba cara lain untuk sekedar mentransfer kerinduan pada wanitanya.

“Na...” Chat singkat ia kirimkan.

Dan Ina masih bergeming.

“Na...” Usaha kedua ia jalankan.

Rasa penasaran melanda hati. Apakah gerangan yang terjadi pada sang kekasih hati. Kenapa tak tersambut kerinduan yang membuncah ini. Kerinduan yang ingin ia tumpahkan hanya dalam seutas kalimat – Aku kangen kamu-. Kenapa kekasih hati menarik diri.

Dan sang wanita idaman lain ternyata tak mampu menyempurnakan niatnya untuk istiqomah,

“Ya Kris ?”

“Kenapa gak mau angkat telphoneku?”

“Gak pa-pa.”

“Kamu kenapa ? Sakitkah?”

“Gak. Aku baik-baik aja.”

“Aku telphone ya ?”

“Jangan Kris.”

“Kenapa ? Is your hubby there?”

“Gak. Aku lagi sendirian. Anak-anak di kamar masing-masing.”

“So......why?”

Chat terputus. Kata “Why” tak menemukan jawab yang pasti, karena Ina mematikan koneksi internetnya. 

Sesungguhnya Ina menyadari, menghindar bukanlah cara yang elok. Justru komunikasi akan membuat segalanya menjadi lebih indah. Namun Ina tidak ingin menggoyahkan niatnya untuk menjauh. Kristal-kristal cinta masih membongkah dalam kerapuhan hatinya. Keteguhannya untuk menghindar serta perlahan-lahan meninggalkan Kris masih sangat inkonsisten. Di satu waktu ia bisa teguh tidak membalas chat dari Kris, tapi di lain waktu hatinya akan meleleh -bagai es krim terkena sinar mentari- begitu ia mendengar suara Kris.

 Memang benar kata pepatah,”Butuh waktu 1 detik untuk menyukai seseorang. Butuh waktu 1 menit untuk menyayangi seseorang. Butuh waktu 1 jam untuk mencintai seseorang. Tapi butuh waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang.”

 *******


Setelah pertemuan di cafe dua bulan yang lalu, jalinan asmara dunia maya Ina dan Kris kembali lancar bagai arus sungai Deli yang tak henti mengalir menuju Selat Malaka. Kehangatan dan sapa mesra Romeo dan Julliet berwujud pakdhe dan budhe ini terus membahana. Walau gaungnya tak menggelegar bagai halilintar, namun effeknya lebih dahsyat dari ledakan bom Hiroshima dan Nagasaki. Bagaimana tidak dahsyat, kalo seorang pria beristri dan wanita bersuami bisa konsisten menjaga hubungan manis mereka lebih dari dua dasawarsa.

Namun, seperti yang terukir dalam suatu jalinan kata bijak bahwa, “ Setiap HELLO akan selalu berakhir dengan sebuah GOOD BYE.” Dan ungkapan bijak itupun sepertinya mulai menghampiri pikiran logis Ina.

Tetiba saja dalam beberapa hari belakangan  Ina merasa dirinya selalu tidak tenang. Lautan resah dan gelombang gelisah sering menghampiri hari-harinya. Bahkan yang lebih membuatnya sangat tidak nyaman, rutinitas ibadahnya mulai terganggu. Sholat-sholat sunnah yang biasa rajin ia lakoni, kini zonk. Bahkan sholat wajibpun tertatih-tatih didirikannya, memaksakan diri, hingga mencapai akhir waktu.

Semula Ina tidak menyadari kekacauan ibadahnya karena ia begitu terlena dengan euforia pertemuannya dan Kris. Kalau dulu pertama sekali mereka bertemu di usia 18 tahun, jiwa abg mereka memang masih menggelora. Namun ketika dua bulan yang lalu mereka kembali bersua di usia menjelang 50 tahun, eh...ternyata mereka malah menjadi semakin abg dari abg....hhmmm.....mumet.

Layaknya lagu “Duo Ratu” yang berjudul Ingat Kamu, begitulah kondisi Ina saat itu. Mau makan, ingat Kris, sehingga nasi yang ada di piring seolah-olah lukisan wajah Kris. Mau minum, ingat Kris, jadilah  gelas dan mug di rumah Ina semua bergambar wajah Kris. Hingga virus cinta tingkat akut itu akhirnya berdampak pada kekacauan ibadahnya. Dan kondisi ini diperparah karena ternyata sang pangeran pujaan hati di pulau seberang juga terjangkit  virus yang sama. Seperti orang minum obat, sehari 3 kali sang pangeran menelphone Ina. Dan seperti pecandu narkoba yang tak bisa berhenti menghisap sabu dan sepupu-sepupunya, begitu juga Kris yang tak mampu menghentikan jari-jemari mengetik segala jenis chat untuk Ina. Bahkan legenda Romeo dan Julliet pun kalah oleh gelegar kasmaran Ina dan Kris.

Dan...ternyata perasaan kasmaran nan menggelegar tersebut menggelepar juga ketika dihantam badai kegelisahan.

Tidur tak nyenyak, makan tak lalu, bukan lagi karena memikirkan si kekasih gelap, tak lain karena jiwa mulai tersadar betapa kehinaan seolah berteman dengan diri sepanjang waktu. Dalam resah gelisahnya, Ina ingin berbagi walau tak tau kepada siapa harus berbagi. Pernah dicoba, alih-alih curhat, dia bertanya pada seorang teman, pendapatnya mengenai cerpen yang ia tulis. Sebenarnya pertanyaan itu hanya prolog untuk memulai curhatnya, tapi sang teman tak merespon.

Di lain waktu, selepas sholat Ashar, ketika rona gelisah dan kalut tak jua beranjak menjauh, Ina menghubungi seorang teman yang lain. Tanpa salam, tanpa basa-basi,

“Bro...tolong ajari aku tata cara ruqyah mandiri.”

“Kau kemasukan jin ya sist? Jin apa yang menempel di badanmu?” Jawabnya spontan tanpa tedeng aling-aling.

Ah.......tak ada teman yang mengerti Ina. Tak ada teman yang memahami kegelisahannya. Sementara, dari tanah seberang godaan selalu mengintai karena Kris tak pernah rela melepaskannya. Kris tak akan pernah ikhlas mengakhiri kisahnya dengan Ina. Bagi Kris, Ina adalah takdir abadinya. Ina adalah cerita yang tak akan pernah berakhir.

Namun ternyata Allah sangat menyayangi Ina. Dalam kekalutan dan kerapuhan jiwanya, Allah membisikkan sebait kalimat lirih di telinga kanannya, “Kembalilah padaKu. Bertaubatlah dan istiqomah di jalanKu. Dan kau tak perlu menjawab pertanyaan – So.....Why – itu.”


The End

Posting Komentar

0 Komentar