Stetoskop Cinta Sang Dokter (Part 1)





Ternyata dugaanku benar adanya. Selama ini aku berpikir, akulah yang Ge-eR. Gede Rasa istilah orang zaman dulu, atau baper istilah anak-anak zaman now.

@@@@

Berawal dari 10 bulan yang lalu ketika anak bungsuku tiba-tiba mengalami pendarahan hebat dari gusinya. Keadaan ini membuat nya drop. Bahkan Rumah Sakit Umum Daerah pun tak mampu menangani kondisi anakku hingga akhirnya mereka merujuk kami ke Rumah Sakit Umum Pusat.
Kebutuhan anakku sebagai pasien dengan penyakit serius dan kewajiban beliau sebagai dokter spesialis membuat intensitas pertemuan kami cukup sering.
Kuakui sebagai seorang dokter, beliau cukup ramah dan simpatik. Keramahan beliau tertuju kepada semua pasien, tidak hanya pada anakku semata.
Namun hari demi hari selama 10 bulan dari pertemuan intens kami sebagai pasien dan dokter, aku mulai melihat bahasa tubuh, tatapan mata, dan gejala-gejala yang berbeda. Bukan.....bukan pada penyakit anakku, tapi pada perilaku pak dokter.
Tadinya aku berpikir.....ah...itu cuma perasaanku saja. Manalah mungkin beliau yang seorang dokter terhormat mencoba meraih simpati emak-emak militan seperti diriku.

Namun ternyata fakta berbicara lain.

Dua minggu yang lalu ketika menemani anakku kontrol, sehabis konseling, beliau yang terhormat memberiku selembar kartu nama.

“Kalau ada apa-apa hubungi saya.” Demikian pesannya saat menyerahkan kartu nama tersebut.

Ada sedikit rasa janggal menyelinap di bathinku. Kondisi anakku – Maghrib namanya – belakangan ini cukup stabil, jadi tidak ada yang perlu diwaspadai. Dan selama ini untuk bertemu beliau aku selalu  melalui prosedur rumah sakit.
Tapi.......ah....kutepis perasaan janggal tersebut. Ingat.......aku ini cuma emak-emak militan, beda level dan kasta dengan beliau.

@@@@

Waktu berlalu.....saatnya kembali kontrol.

“Kog gak nelphone saya ?” Tanya beliau datar setelah sesi konseling anakku selesai.
“Gak ada yang perlu ditanyakan dok. Kondisi Maghrib stabil.” Jawabku lugas.
“Ini kartu nama saya.” Kembali beliau memberi selembar kartu nama padaku.
“Kan kemarin sudah dikasih dok.” Balasku spontan.
“Yang kemarin untuk panjenengan, kalau yang ini untuk saya.”
“Kalau untuk dokter kenapa diserahkan ke saya?”
“Kartu ini saya serahkan ke panjenengan, kemudian njenengan tulis no.hp, lantas serahkan kembali ke saya.”
“Ha.....ha.....ha......” Aku tertawa kecil. Walau sebenarnya dalam hati asli aku ngakak habis.

Ternyata dokter yang satu ini gak cuma pinter ngoperasi pasien, tapi juga pinter modusin emaknya pasien. Dan  ketika adegan ini berlangsung, di ruang peraktek sang dokter juga ada seorang residen wanita dan seorang mbak perawat. Tak pelak mereka berdua turut tertawa melihat kekonyolan beliau.

“Untuk apa dok no.hp saya?” Tanyaku pura-pura bego.
“Untuk komunikasi yang lebih intens.”
@@@@
Dua puluh empat jam setelah kontrol terakhir, persis di saat aku sedang asyik berbalas chat dengan teman-teman di beberapa grup, masuk satu chat dari nomer yang belum tersimpan di phone book.

[Lagi ngapain?] Sapaannya sok akrab banget.
[Maaf ni siapa ya?] Balasku.
[Rumah Sakit Pusat Dokter Polan.] Balasan chat masuk.

Bola pijar di otakku langsung menyala. Kuambil kartu nama sang dokter dari selipan dompet. Kucocokkan nomer yang tertera di kartu dengan nomer chat yang masuk. Persis!!!

[Lagi balesin chat njenengan, Dok.]
[Emotikon ketawa ngakak.] Balasan beliau.
[Saya mengganggu nggak ?] Sambungnya lagi.
[Kalau saya gak terganggu, Dok. Tapi pasien njenengan nanti terlantar kalau ditinggal wa-nan dengan saya.] Balasku berdiplomasi.
[Saya lagi ambil cuti.]
[O.]
[Cuma “O” doang ?]
[Lantas saya harus balas apa, Dok ?]
[Gimana kondisi Maghrib ?] Beliau menanyakan kondisi anakku.
(Pak Dokter basa basinya terlalu garing........wkwkwkwkwkwk)
[Alhamdulillah stabil, Dok.]
[Gimana kondisi emaknya ?]
(Hahahahaha.....umpannya mulai dipasang)
[Emaknya justru sangat stabil, Dok.]

Chat terhenti beberapa jenak. Mungkin pak dokter sedang berusaha menemukan modus yang lebih elegan.

Sesaat kemudian,

[Panjenengan gak merasa aneh saya japri seperti ini ?] Chatnya kembali masuk.
[Jujur saya merasa sangat aneh, Dok.] Balasku.
[Saya lelaki dewasa yang bebas. Saya single untuk kedua kalinya setelah istri saya meninggal 6 tahun yang lalu.]

Oopppssss......drama pak dokter dimulai nih.

[Dan saya wanita dewasa yang terikat dok. Saya bersuami dan memiliki 2 putra serta seorang putri. Suami saya walau hanya pegawai rendahan tapi sangat bertanggung jawab pada kami, keluarganya.]
[Njenengan wanita tangguh dan smart. Saya selalu siap menunggu sampai waktunya tiba.]

BOOMMM......tanpa tedeng aling-aling, pak dokter main tembak langsung.

“Asem tenan ki pak dokter. Berarti dia do’ain bojoku cepat mati.” Bathinku dalam hati.
[Dok, kalau suatu saat bojo saya sakit, saya gak akan bawa beliau berobat ke jenengan. Nanti bojoku jenengan suntik mati pula dok.] Kubalas chatnya yang terakhir.

Dan sang dokter membalas chatku dengan,

[Emotikon ngakak sampai berderai air mata.]

Naluri wanitaku mulai bekerja. Walau dalam menjawab chat-nya aku sedikit ketus,  namun tak dipungkiri kalau aku merasa tersanjung, karena ternyata dokter simpatik yang merawat Maghrib punya perhatian khusus padaku. Dan sedikit rasa kagum dengan sikapnya yang gentle tanpa basa-basi, jauh dari gombalan alay bin lebay.
















Posting Komentar

4 Komentar