Paska kecelakaan beberapa waktu yang lalu, praktis aktivitasku hanya berdiam diri di rumah, sambil menikmati denyut-denyut nikmat di kepala. Sebenarnya luka fisik ku tidak terlalu parah, hanya robek di kening dan di hidung yang jahitannya pun sudah dibuka, serta hidung patah yang tindakan operasinya harus ditunda karena masalah aritmia di jantung ku.
Namun karena ada trauma kepala, jadi dokter memintaku untuk banyak beristirahat dan menunda dulu segala macam aktivitas berat.
Aku jadi curiga, jangan-jangan kepalaku yang terus
berdenyut-denyut ini bisa jadi penyebabnya bukan hanya karena benturan aspal
saja, melainkan juga karena efek kurang piknik, Atau bisa juga dampak dari
kondisi dompet yang sekarat paska lebaran.😞😞😞😞
Ah...apa pun itu, yang jelas aku ingin gentayangan. Jenuh
terkungkung dalam cengkeraman tembok-tembok beton. Aku ingin menghirup udara
bebas, melempar pandang ke alam luas, hamparan sawah, aliran sungai, dan
angkuhnya gunung-gunung berapi di sekeliling kami.
Ternyata Allah juga kasihan dengan diriku. Buktinya ketika
kebosanan ku sudah mencapai titik kulminasi, tetiba aku melihat pemandangan
hutan karet yang gundul dari story wa bu Dinul. Sekedar info, Bu Dinul itu
bidan desa yang menabrak ku. Kalau dalam cerita fiksi, suatu “kebetulan” seperti
ini akan memperjelek alur cerita. Tapi dalam kisah nyata, suatu “kebetulan” itu
bisa berarti rezeki, mukjizat, atau yang berhubungan dengan hal-hal positif.
Oke...kita kembali ke topik hutan karet yang gundul.
Lantas apa istimewanya ? Hutan karet itu kan sesuatu yang
biasa banget. Konon pula dalam kondisi gundul.
Eiittss...jangan salah. Di mata seorang emak-emak yang kurang
piknik seperti diriku, hutan karet gundul bisa menjelma menjadi pemandangan
bernilai seni nan eksotis dan romantis.
Maka, ku japrilah bu Dinul.
“Bu, story wa Njenengan lokasinya di mana, ya?”
“Di Padaan bu,” balas beliau menyebut nama sebuah desa yang
merupakan tetangga desa ku.
“Di Padaan di mananya ya, bu?” tanyaku lagi.
“Di Alaska, bu.”
Makjang...terkejut bathin aku. Bagaimana bisa Alaska pindah
ke Padaan.
“Alas karet, bu,” sambung beliau lagi.
Oalaaa....Alaska itu ternyata alas karet (hutan karet),
memanglah orang Indonesia paling jago berakronim.😄😄😄
Setelah berbalas chat dengan bu Dinul, menanyakan kepastian
rute menuju ke “Alaska”, aku segera bersiap. Dan dengan diantar pak suami, tak
begitu lama kami tiba di lokasi.
Alaska...hutan karet gundul. Pohon-pohon tanpa daun berdiri
tegak dengan kondisi meranggas, kering, gersang. Sementara dedaunan hijau yang
seharusnya anggun bergelantungan di setiap ujung rantingnya berpindah posisi
menutupi tanah tempat berpijak. Pun daun-daun tersebut telah bermetamorfosa
dalam warna coklat dan kuning. Justru dalam kesederhanaannya, situasi ini
menyajikan pemandangan yang anggun dan eksotis.
Bahagia itu sederhana, hanya dengan mengunjungi Alaska di
musim gugur ternyata sudah mampu menghapus kejenuhan yang bersemayam di diri
seorang emak. Apalagi ditambah dengan sesi photo-photo manja, walaupun wajah
agak sedikit compang-camping karena hidung belum direnovasi dan bekas jahitan
yang masih ingin eksis bertengger di pelipis, serta kepala yang terus berdenyut-denyut.
Abaikan semua itu. Nikmati keindahan senja di tengah
kesederhanaan hutan karet. Nikmati setiap hikmah di balik suatu peristiwa.
Karena kecelakaan yang tidak disengaja, ternyata bisa menumbuhkan rasa syukur
yang begitu mendalam, bisa mengeratkan jalinan kekeluargaan antara dua keluarga
tanpa pertalian darah, dan mampu memupuk sikap ikhlas dalam diri.
0 Komentar