Aku duduk di teras sambil menatap lekat ke
layar laptop yang menyala. Secangkir kopi hitam instant menemani di sabtu sore yang cerah ini. Sengaja kuboyong
laptop ke teras, agar ide-ide yang berterbangan di otak bisa tercurah lancar.
Sambil meramu ide-ide yang berseliweran di
kepala, kualihkan sejenak pandang ke halaman. Menikmati keasrian permadani
rumput gajah mini yang menutupi permukaan tanah. Anak bungsuku – Maghrib –
sedang menunaikan tugasnya menyapu halaman. Ya, halaman rumah kami yang luas
ditumbuhi beragam jenis pohon buah-buahan. Dan guguran daun matoa, rambutan,
cengkeh, jambu citra, dan mangga, senantiasa mengotori halaman berumput
tersebut. Tugas Maghrib lah untuk menyulapnya kembali asri.
Edel,
anak gadisku sedang menyalurkan hobi bakingnya
di dapur. Setelah lulus kuliah, si sulung ini bekerja di satu perusahaan BUMN, dan di tempatkan di
Yogya. Setiap akhir pekan dia pulang ke Salatiga, sekedar menemani aku dan
Maghrib yang sekarang hanya tinggal berdua. Hari Senin pagi selepas Subuh, dia
balik ke Yogya untuk kembali beraktivitas.
Pun demikian dengan Dhuha. Setelah lulus
kuliah, melalui jalur management trainee dia diterima di
sebuah perkebunan swasta nasional nun
jauh di Kalimantan. Sejak awal bertugas, Dhuha baru sekali pulang ke rumah
ketika papanya meninggal hampir enam bulan yang lalu.
Hanya si bungsu Maghrib yang kini mengisi
hari-hariku. Saat ini dia duduk di kelas 1 SMP. Sebenarnya, ada Mbak Sih
–asisten rumah tangga yang sudah mengabdi di keluargaku selama 24 tahun- yang
menemani kami. Sejak suamiku meninggal, Mbak Sih menginap di rumahku dari hari
Senin hingga Jumat sore. Di akhir pekan ketika Edel mudik, beliau pulang ke
rumahnya, dan kembali lagi Senin pagi.
Di saat aku asyik menata ide, sebuah mobil Pajero Sport
putih membunyikan klakson tepat di depan pintu gerbang . Maghrib yang sedang
menyapu halaman, meletakkan begitu saja sapu lidi yang sedang digunakannya
ketika melihat mobil yang dikenalinya tersebut. Dia segera berlari untuk
membuka gerbang.
Kendaraan dengan plat nomer cantik diikuti
dua huruf inisial nama seseorang yang sangat aku kenal itu memasuki halaman
rumah kami yang luas. Sejurus kemudian, seorang lelaki gagah, segagah mobil
tunggangannya turun. Maghrib menyalami beliau sembari mencium punggung
tangannya, sementara lelaki dewasa nan gagah tersebut menepuk-nepuk pundak Maghrib
dengan akrab. Tinggi mereka hampir seimbang, sehingga lelaki dewasa tersebut
tak lagi bisa mengusap ubun-ubun anak bungsuku seperti yang dulu sering beliau
lakukan. Setelahnya, beliau berjalan melintasi halaman berumput menuju teras.
Ada sedikit rasa terkejut melihat
kedatangannya. Dan rasa terkejut itu bercampur dengan...ah...ntahlah, aku tak
bisa menjabarkannya dengan kata-kata. Yang jelas, gejala-gejala grogi yang dulu
sering menghinggapiku, kini kembali menghampiri. Tangan dan kakiku dingin,
jantungku berdegup tak beraturan.
“Selamat sore, Nyonya.” Ucapan pertamanya
ketika beliau melangkah naik ke teras.
@@@@@
Pertemuan kami di bandara tiga minggu yang
lalu -ketika aku akan berangkat ke Medan- menjadi pembuka pintu komunikasi yang
sempat terputus selama lima tahun. Sebenarnya pertemuan secara kebetulan itu
sempat mengacaukan rencana liburanku. Aku yang berniat ingin menenangkan diri,
justru semakin terpuruk ketika harus bertemu tanpa sengaja dengan beliau. Bermaksud
mengobati luka, tapi aku justru mendapat
luka baru yang lebih perih.
Kepedihan itu sedikit terobati ketika beliau kembali rutin mengirim pesan melalui
aplikasi WA selama aku berada di
Medan. Namun kondisi itu tetap saja tidak akan bisa menyembuhkan luka hatiku.
Dua hari sebelum aku kembali ke Salatiga,
beliau memesan beberapa jenis oleh-oleh khas Medan. Pesanannya banyak, jadi
kuizinkan saja ketika beliau meminta nomer rekeningku, dan mentransfer sejumlah
dana untuk pesanannya tersebut.
Sehari setelah aku tiba di rumah, beliau
datang untuk mengambil 4 box Napoleon
Cake rasa durian, 4 box Bolu Meranti
orisinal, dan 50 tusuk Sate Kerang Medan. Aku yakin, titip oleh-oleh itu
mungkin hanya modus beliau untuk bisa berkunjung ke rumahku. Namun aku seolah
menutup mata dengan kemungkinan tersebut. Aku dejavu, menikmati komunikasi yang
kembali terjalin, dan menerima kedatangannya dengan ikhlas. Dan sore ini,
beliau kembali menyambangiku untuk kedua kalinya, dengan alasan yang tidak
kuketahui.
“Njenengan ada perlu apa ke sini, Dok ?” responku spontan atas
ucapan selamat sorenya. Ada getar dalam nada bicaraku.
“Silaturahmi,” jawab Beliau santai sambil mendudukkan diri di sebelahku di atas
kursi panjang.
Aku menggeser sedikit posisi duduk, agak
memberi jarak dengan dirinya.
“Lagi ngerjain apa?” tanyanya sambil menatap
ke layar laptop.
Beliau tidak berubah, masih seperti dulu, kharismatik,
bersih, dan mempesona. Parfum beraroma maskulin menguar dari tubuhnya. Nada
bicaranya hangat dan akrab. Sikapnya santai dan menyenangkan. Aku kembali
merasakan getar-getar yang sempat terporak-poranda.
“Artikel tentang rumah Tjong A Fie, pengusaha
dan bankir sukses di Medan pada zaman Belanda dulu.”
“Masih terhanyut dengan nuansa Medan, ya?”
tanyanya sambil melempar senyum ke arahku.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku melemparkan
pertanyaan lain pada beliau.
“Kemarin pesen oleh-oleh segitu banyak untuk
siapa aja, Dok ?”.
“Napoleon cakenya yang dua untuk di rumah.
Yang dua lagi dibawa Lintang dan Mentari ke sekolah masing-masing. Sate
kerangnya juga untuk di rumah. Lintang dan ibu saya suka banget dengan sate
kerangnya. Kalau Bolu Merantinya saya
bawa ke rumah sakit, untuk mbak-mbak perawat di poli.” Beliau
menjabarkan pendistribusian oleh-oleh yang kemarin dipesan.
“Memangnya orang-orang di rumah gak tanya, Njenengan dapet oleh-oleh sebanyak itu
dari mana?” tanyaku menyelidik.
“Mentari sudah langsung bisa nebak, kalau itu
dari Njenengan. Soalnya semuanya khas
Medan banget. O...ya...Mentari titip salam buat Njenengan.”
Aku mengernyitkan dahi. Terbayang wajah gadis
manis bermata bulat nan sendu. Kami baru dua kali bertemu, namun aku merasa ada
ikatan bathin yang kuat di antara kami. Pertemuan pertama, bertahun-tahun yang
lalu ketika dia merayakan ulang tahunnya yang ke 12. Saat itu aku yang membuat
tart ulang tahunnya. Dan pertemuan selanjutnya tiga minggu yang lalu di
bandara, saat aku akan berangkat ke Medan.
“Njenengan
pengen tau gimana cara Mentari mengungkapkan praduganya?” Pak Dokter
melanjutkan ujarannya.
“Gimana ?” tanyaku antusias.
“Dia kirim WA ke saya,” ujar Pak Dokter
sambil tertawa kecil dan mengeluarkan gawainya.
Kulihat beliau mengutak-atik gawainya,
mungkin mencari sesepesan. Sejurus kemudian beliau menunjukkan pesan tersebut
padaku. Aku membaca pesan itu dengan seksama.
[Papa, semua oleh-oleh ini dari Tante Maghrib
kan, Pa? Kalau satu waktu Papa bertemu lagi dengan Tante Maghrib, sampekan
salamku buat Tante ya, Pa.]
Ada haru menyelinap di dada membaca pesan
Mentari. Ujung mataku memanas. Anak itu selalu sukses memikatku. Dulu ketika
dia masih kanak-kanak, aku terhipnotis dengan kepolosan dan kemanjaannya
padaku. Dan saat ini, ketika dia mulai beranjak dewasa, dia seolah memahami
betul posisiku dan bapaknya.
Ketika aku mengangkat pandang setelah membaca
pesan Mentari, kulihat Pak Dokter sedang menatapku lekat. Kami beradu pandang,
ada desir hangat melintas di sekujur tubuhku. Kuabaikan rasa itu sejenak.
“Mentari tau kisah kita dulu?” tanyaku pada
beliau. Memoriku kembali mengenang kisah kami di tahun-tahun yang telah
berlalu.
“Kalau dulu mungkin dia belum mengerti. Tapi
kalau sekarang, mungkin dia mulai mereka-reka. Memutar memorinya ke kejadian
bertahun-tahun yang lalu, kemudian menyambungnya dengan keadaan di mana saya
tidak pernah memenuhi permintaan mereka untuk ketemu Njenengan setelah pertemuan di resort. Dan terakhir ketika kemarin
di bandara Njenengan seolah
menghindar bertemu dengan saya,” ujar Pak Dokter lirih.
Aku terdiam sesaat, selanjutnya untuk
menghilangkan segala rasa yang bergemuruh di dada, kualihkan topik pembicaraan.
“Saya bikinkan minum dulu, ya. Kopi atau teh,
Dok ?” tanyaku sambil berdiri.
“Seperti punya Njenengan ini,” ujarnya sambil menunjuk gelas kopiku dengan gayanya
yang santai dan luwes.
Aku berlalu masuk ke rumah, sengaja segera meninggalkannya, agar rasa grogi yang
menyelimuti diri bisa sedikit berkurang.
Begitu tiba di dapur ku ambil sebuah mug, mengisinya
dengan dua sendok gula, kemudian memasukkan sesendok peres kopi instant hitam
dan menyeduhnya dengan air panas dari dispenser. Di saat sedang melakoni aktivitas tersebut, Edel yang lagi asyik dengan aktivitas bakingnya, memberondongku dengan
beberapa pertanyaan.
“Siapa yang dateng, Ma? Pak Dokter, ya? Mau
ngapain?” Terdengar nada tidak senang dalam cara bicaranya.
“Iya,” jawabku singkat sambil mengaduk gula
dalam secangkir kopi tersebut.
“Mau ngapain?” ulangnya lagi.
“Mana Mama tau. Tanya aja langsung sama
Beliau,” jawabku seadanya. Karena jujur, aku memang tidak tahu Pak Dokter
datang dalam rangka apa.
“Hati-hati lho Ma,” ujarnya seolah-olah aku
ini anak ABG yang sangat perlu untuk diwaspadai.
“Mama bisa jaga diri,” jawabku sambil berlalu
meninggalkannya dengan membawa nampan yang berisi se-mug kopi untuk Pak Dokter.
Terus terang ada sedikit rasa tersinggung dengan ucapan anak gadisku tersebut.
Ketika aku kembali ke teras, Pak Dokter
sedang asyik ngobrol dengan Maghrib. Jarak dan waktu yang sempat memisahkan
mereka begitu lama, ternyata tidak memadamkan ikatan bathin yang pernah
terjalin di antara keduanya. Ikatan bathin antara seorang dokter dengan
pasiennya.
Aku meletakkan mug berisi kopi tersebut di meja persis di hadapan Pak Dokter.
“Maghrib masuk dulu ya, Om,” pamit Maghrib
pada Pak Dokter.
“Oke,” jawab beliau akrab sambil tersenyum
ramah.
“Kopi nya diminum, Dok,” ujarku setelah
Maghrib berlalu.
“Masih panas, kan ?” tanya beliau.
“Ho’oh,” balasku singkat.
Setelahnya kami terdiam, hening. Aku tidak
punya ide untuk bicara apa lagi, dan sepertinya beliau pun sama sepertiku.
Kumatikan laptop yang masih menyala.
Dalam keheningan tersebut, Edel datang
membawa sepiring kue soes vla susu hasil kreasinya sore ini dan sekotak tissue. Setelah meletakkan piring dan tissue di atas meja, dia menyalami Pak Dokter,
kemudian berbasa-basi mempersilahkan beliau mencicipi kue buatannya.
Aku bersyukur, walau tadi di dapur Edel
sempat menunjukkan perasaan tidak sukanya atas kedatangan Pak Dokter, namun dia
masih bisa menjaga sopan santun ketika harus berhadapan dengan beliau.
“Monggo,
Om, dicicipi kuenya.”
“Ini buatan Edel ?” tanya Pak Dokter
antusias.
“Iya, Om.”
“Ternyata buah jatuh gak jauh dari pohonnya,
ya.” Sambil mengambil sebuah soes, Pak Dokter mencoba mengutip satu pribahasa
untuk menggambarkan bakat Edel yang sama denganku.
Edel membalas perkataan Pak Dokter tersebut
dengan seutas senyum, kemudian pamit masuk ke rumah.
“Enak.” ujar beliau setelah memcicipi soes
buatan Edel.
“Njenengan
gak tanya ke Mentari, kenapa harus bertanya melalui WA, kenapa gak tanya
langsung aja.” Aku menyambung pembicaraan kami tentang Mentari. Rasa penasaran
menyelimuti hatiku akan sikap gadis remaja tersebut.
“Saya tanya, tapi dia gak balas,” ujar Pak
Dokter sambil kembali meraih sebuah soes.
“Njenengan
tanya-nya melalui WA juga?” ujarku heran.
“Iya,” jawab beliau santai. Beliau seolah
menikmati setiap gigitan soes yang tadi diambilnya.
“Hhmmmm...komunikasi yang aneh antara bapak
dan anak,” balasku spontan.
Beliau tertawa mendengar ucapanku sambil
mengambil selembar tissue, kemudian membersihkan sudut bibirnya.
“Bukan begitu, Nyonya. Saya berpikir, kalau
saya tanya langsung, mungkin dia sungkan mau menjawab. Jadi saya tanya melalui
WA, eh...ternyata tak berbalas,” ujar beliau.
Rasa penasaranku tak menemukan jawaban.
“Sekarang ini, Njenengan ada perlu apa ke sini, Dok?” Aku kembali mengulang
pertanyaan yang tadi telah kuungkapkan di awal kedatangannya.
Beliau menatapku lekat. Aku membalas tatapannya
sekilas, ada getar halus menyelimuti hati. Tak ingin terhanyut, kualihkan
pandang ke halaman.
“Saya cuma pengen ketemu Njenengan. Kita keluar sebentar yuk.”
“Mo kemana?” tanyaku sedikit heran dengan
ajakannya.
Melihat kehadirannya yang mendadak saja, aku
cukup kaget. Konon lagi tiba-tiba beliau mengajakku keluar.
“Yang dekat-dekat aja, ke Kafeole atau Salib
Putih,” lanjutnya.
“Gak ah, saya mau di rumah aja. Di sana
paling Njenengan pesannya juga kopi,
sama seperti yang saya hidangkan itu,” ujarku sambil menunjuk ke mug kopi
beliau.
“Lagian, mo ngapain sore-sore gentayangan, sebentar
lagi juga azan Maghrib,” lanjutku menolak ajakan beliau.
Beliau tersenyum mendengar jawabanku.
“Gentayangan...memangnya kita Casper,”
ujarnya.
“Saya kangen,” lanjutnya lagi, spontan dan tanpa
tedeng aling-aling.
Duh....Pak Dokter, masih saja seperti dulu,
bicara apa adanya. Dan aku...juga masih seperti dulu, merasakan hangat yang
menjalari sekujur tubuh mendengar gombalan ringannya itu.
“Kangen yang tidak pada tempatnya,” balasku
dingin.
Beliau terdiam, tidak membalas ucapanku.
Tiba-tiba rasa sakit itu kembali menghujam dadaku. Perih banget.
Seolah-olah memahami rasa sakit yang sedang
mendera hati, beliau membalas ujaranku.
“Bukan cuma Njenengan saja yang merasakan sakit, tapi saya juga. Bahkan sakit
yang saya rasakan mungkin lebih berat dari yang Njenengan rasakan, karena saya harus menanggungnya selama
bertahun-tahun.”
“Saya gak mau membahas masalah ini lagi, Dok.
Gak enak kalau didengar anak-anak. Lagi pula garis nasib sudah berbicara dengan jelas. Jadi kita gak perlu
menyesalinya.” Kalimatku terdengar sangat bijak, walau tak demikian adanya
dengan hatiku. Hatiku belum bisa sepenuhnya menerima garis nasib ini.
Dunia ini memang panggung sandiwara,
ceritanya mudah berubah. Begitu juga dengan kisahku dan Pak Dokter, berubah dan
terbalik-balik sesuai dengan keinginan Sang Sutradara Alam Semesta.
@@@@
Note
Cerbung Sekuel Stetoskop Cinta Sang Dokter (Jilid 1 sampai 11) telah diterbitkan dalam bentuk novel berjudul Episode Kedua, dengan spesifikasi
Judul Episode Kedua
Penulis Ni Roha Panjaitan
Tebal 259 halaman
Ukuran 13 x 19
Kertas Bookpaper 72
ISBN 978-602-336-814-3
Penerbit Diandra Creative Yogyakarta
0 Komentar