Sekuel Stetoskop Cinta Sang Dokter (Jilid I)







Aku duduk di teras sambil menatap lekat ke layar laptop yang menyala. Secangkir kopi hitam instant menemani di sabtu sore yang cerah ini. Sengaja kuboyong laptop ke teras, agar ide-ide yang berterbangan di otak bisa tercurah lancar. 


Sambil meramu ide-ide yang berseliweran di kepala, kualihkan sejenak pandang ke halaman. Menikmati keasrian permadani rumput gajah mini yang menutupi permukaan tanah. Anak bungsuku – Maghrib – sedang menunaikan tugasnya menyapu halaman. Ya, halaman rumah kami yang luas ditumbuhi beragam jenis pohon buah-buahan. Dan guguran daun matoa, rambutan, cengkeh, jambu citra, dan mangga, senantiasa mengotori halaman berumput tersebut. Tugas Maghrib lah untuk menyulapnya kembali asri.


 Edel, anak gadisku sedang menyalurkan hobi bakingnya di dapur. Setelah lulus kuliah, si sulung ini bekerja di  satu perusahaan BUMN, dan di tempatkan di Yogya. Setiap akhir pekan dia pulang ke Salatiga, sekedar menemani aku dan Maghrib yang sekarang hanya tinggal berdua. Hari Senin pagi selepas Subuh, dia balik ke Yogya untuk kembali beraktivitas.


Pun demikian dengan Dhuha. Setelah lulus kuliah,  melalui jalur management trainee dia diterima di sebuah perkebunan  swasta nasional nun jauh di Kalimantan. Sejak awal bertugas, Dhuha baru sekali pulang ke rumah ketika papanya meninggal hampir enam bulan yang lalu.


Hanya si bungsu Maghrib yang kini mengisi hari-hariku. Saat ini dia duduk di kelas 1 SMP. Sebenarnya, ada Mbak Sih –asisten rumah tangga yang sudah mengabdi di keluargaku selama 24 tahun- yang menemani kami. Sejak suamiku meninggal, Mbak Sih menginap di rumahku dari hari Senin hingga Jumat sore. Di akhir pekan ketika Edel mudik, beliau pulang ke rumahnya, dan kembali lagi Senin pagi.


Di saat aku  asyik menata ide, sebuah mobil Pajero Sport putih membunyikan klakson tepat di depan pintu gerbang . Maghrib yang sedang menyapu halaman, meletakkan begitu saja sapu lidi yang sedang digunakannya ketika melihat mobil yang dikenalinya tersebut. Dia segera berlari untuk membuka  gerbang.


Kendaraan dengan plat nomer cantik diikuti dua huruf inisial nama seseorang yang sangat aku kenal itu memasuki halaman rumah kami yang luas. Sejurus kemudian, seorang lelaki gagah, segagah mobil tunggangannya turun. Maghrib menyalami beliau sembari mencium punggung tangannya, sementara lelaki dewasa nan gagah tersebut menepuk-nepuk pundak Maghrib dengan akrab. Tinggi mereka hampir seimbang, sehingga lelaki dewasa tersebut tak lagi bisa mengusap ubun-ubun anak bungsuku seperti yang dulu sering beliau lakukan. Setelahnya, beliau berjalan melintasi halaman berumput menuju teras.


Ada sedikit rasa terkejut melihat kedatangannya. Dan rasa terkejut itu bercampur dengan...ah...ntahlah, aku tak bisa menjabarkannya dengan kata-kata. Yang jelas, gejala-gejala grogi yang dulu sering menghinggapiku, kini kembali menghampiri. Tangan dan kakiku dingin, jantungku berdegup tak beraturan.


“Selamat sore, Nyonya.” Ucapan pertamanya ketika beliau melangkah naik ke teras. 



@@@@@



Pertemuan kami di bandara tiga minggu yang lalu -ketika aku akan berangkat ke Medan- menjadi pembuka pintu komunikasi yang sempat terputus selama lima tahun. Sebenarnya pertemuan secara kebetulan itu sempat mengacaukan rencana liburanku. Aku yang berniat ingin menenangkan diri, justru semakin terpuruk ketika harus bertemu tanpa sengaja dengan beliau. Bermaksud mengobati luka, tapi  aku justru mendapat luka baru yang lebih perih.


Kepedihan itu sedikit terobati ketika  beliau kembali rutin mengirim pesan melalui aplikasi WA selama aku berada di Medan. Namun kondisi itu tetap saja tidak akan bisa menyembuhkan luka hatiku. 


Dua hari sebelum aku kembali ke Salatiga, beliau memesan beberapa jenis oleh-oleh khas Medan. Pesanannya banyak, jadi kuizinkan saja ketika beliau meminta nomer rekeningku, dan mentransfer sejumlah dana untuk pesanannya tersebut. 


Sehari setelah aku tiba di rumah, beliau datang untuk mengambil  4 box Napoleon Cake rasa durian,  4 box Bolu Meranti orisinal, dan 50 tusuk Sate Kerang Medan. Aku yakin, titip oleh-oleh itu mungkin hanya modus beliau untuk bisa berkunjung ke rumahku. Namun aku seolah menutup mata dengan kemungkinan tersebut. Aku dejavu, menikmati komunikasi yang kembali terjalin, dan menerima kedatangannya dengan ikhlas. Dan sore ini, beliau kembali menyambangiku untuk kedua kalinya, dengan alasan yang tidak kuketahui.


“Njenengan ada perlu apa ke sini, Dok ?” responku spontan atas ucapan selamat sorenya. Ada getar dalam nada bicaraku.

“Silaturahmi,” jawab Beliau santai  sambil mendudukkan diri di sebelahku di atas kursi panjang.
Aku menggeser sedikit posisi duduk, agak memberi jarak dengan dirinya.


“Lagi ngerjain apa?” tanyanya sambil menatap ke layar laptop. 


Beliau tidak berubah, masih seperti dulu, kharismatik, bersih, dan mempesona. Parfum beraroma maskulin menguar dari tubuhnya. Nada bicaranya hangat dan akrab. Sikapnya santai dan menyenangkan. Aku kembali merasakan getar-getar yang sempat terporak-poranda.


“Artikel tentang rumah Tjong A Fie, pengusaha dan bankir sukses di Medan pada zaman Belanda dulu.”


“Masih terhanyut dengan nuansa Medan, ya?” tanyanya sambil melempar senyum ke arahku.


Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku melemparkan pertanyaan lain pada beliau.


“Kemarin pesen oleh-oleh segitu banyak untuk siapa aja, Dok ?”.


“Napoleon cakenya yang dua untuk di rumah. Yang dua lagi dibawa Lintang dan Mentari ke sekolah masing-masing. Sate kerangnya juga untuk di rumah. Lintang dan ibu saya suka banget dengan sate kerangnya. Kalau Bolu Merantinya saya  bawa ke rumah sakit, untuk mbak-mbak perawat di poli.” Beliau menjabarkan pendistribusian oleh-oleh yang kemarin dipesan.


“Memangnya orang-orang di rumah gak tanya, Njenengan dapet oleh-oleh sebanyak itu dari mana?” tanyaku menyelidik.


“Mentari sudah langsung bisa nebak, kalau itu dari Njenengan. Soalnya semuanya khas Medan banget. O...ya...Mentari titip salam buat Njenengan.”


Aku mengernyitkan dahi. Terbayang wajah gadis manis bermata bulat nan sendu. Kami baru dua kali bertemu, namun aku merasa ada ikatan bathin yang kuat di antara kami. Pertemuan pertama, bertahun-tahun yang lalu ketika dia merayakan ulang tahunnya yang ke 12. Saat itu aku yang membuat tart ulang tahunnya. Dan pertemuan selanjutnya tiga minggu yang lalu di bandara, saat aku akan berangkat ke Medan.


Njenengan pengen tau gimana cara Mentari mengungkapkan praduganya?” Pak Dokter melanjutkan ujarannya.


“Gimana ?” tanyaku antusias.


“Dia kirim WA ke saya,” ujar Pak Dokter sambil tertawa kecil dan mengeluarkan gawainya.
Kulihat beliau mengutak-atik gawainya, mungkin mencari sesepesan. Sejurus kemudian beliau menunjukkan pesan tersebut padaku. Aku membaca pesan itu dengan seksama.


[Papa, semua oleh-oleh ini dari Tante Maghrib kan, Pa? Kalau satu waktu Papa bertemu lagi dengan Tante Maghrib, sampekan salamku buat Tante ya, Pa.]


Ada haru menyelinap di dada membaca pesan Mentari. Ujung mataku memanas. Anak itu selalu sukses memikatku. Dulu ketika dia masih kanak-kanak, aku terhipnotis dengan kepolosan dan kemanjaannya padaku. Dan saat ini, ketika dia mulai beranjak dewasa, dia seolah memahami betul posisiku dan bapaknya.


Ketika aku mengangkat pandang setelah membaca pesan Mentari, kulihat Pak Dokter sedang menatapku lekat. Kami beradu pandang, ada desir hangat melintas di sekujur tubuhku. Kuabaikan rasa itu sejenak.


“Mentari tau kisah kita dulu?” tanyaku pada beliau. Memoriku kembali mengenang kisah kami di tahun-tahun yang telah berlalu.


“Kalau dulu mungkin dia belum mengerti. Tapi kalau sekarang, mungkin dia mulai mereka-reka. Memutar memorinya ke kejadian bertahun-tahun yang lalu, kemudian menyambungnya dengan keadaan di mana saya tidak pernah memenuhi permintaan mereka untuk ketemu Njenengan setelah pertemuan di resort. Dan terakhir ketika kemarin di bandara Njenengan seolah menghindar bertemu dengan saya,” ujar Pak Dokter lirih.


Aku terdiam sesaat, selanjutnya untuk menghilangkan segala rasa yang bergemuruh di dada, kualihkan topik pembicaraan.


“Saya bikinkan minum dulu, ya. Kopi atau teh, Dok ?” tanyaku sambil berdiri.


“Seperti punya Njenengan ini,” ujarnya sambil menunjuk gelas kopiku dengan gayanya yang santai dan luwes.


Aku berlalu masuk ke rumah,  sengaja  segera meninggalkannya, agar rasa grogi yang menyelimuti diri bisa sedikit berkurang.


Begitu tiba di dapur ku ambil sebuah mug, mengisinya dengan dua sendok gula, kemudian memasukkan sesendok peres kopi instant hitam dan menyeduhnya dengan air panas dari dispenser. Di saat sedang  melakoni aktivitas tersebut, Edel  yang lagi asyik dengan aktivitas bakingnya, memberondongku dengan beberapa pertanyaan.


“Siapa yang dateng, Ma? Pak Dokter, ya? Mau ngapain?” Terdengar nada tidak senang dalam cara bicaranya.


“Iya,” jawabku singkat sambil mengaduk gula dalam secangkir kopi tersebut.


“Mau ngapain?” ulangnya lagi.


“Mana Mama tau. Tanya aja langsung sama Beliau,” jawabku seadanya. Karena jujur, aku memang tidak tahu Pak Dokter datang dalam rangka apa.


“Hati-hati lho Ma,” ujarnya seolah-olah aku ini anak ABG yang sangat perlu untuk diwaspadai.


“Mama bisa jaga diri,” jawabku sambil berlalu meninggalkannya dengan membawa nampan yang berisi se-mug kopi untuk Pak Dokter. Terus terang ada sedikit rasa tersinggung dengan ucapan anak gadisku tersebut.


Ketika aku kembali ke teras, Pak Dokter sedang asyik ngobrol dengan Maghrib. Jarak dan waktu yang sempat memisahkan mereka begitu lama, ternyata tidak memadamkan ikatan bathin yang pernah terjalin di antara keduanya. Ikatan bathin antara seorang dokter dengan pasiennya.


Aku meletakkan mug berisi kopi tersebut di meja persis di hadapan Pak Dokter.


“Maghrib masuk dulu ya, Om,” pamit Maghrib pada Pak Dokter.


“Oke,” jawab beliau akrab sambil tersenyum ramah.


“Kopi nya diminum, Dok,” ujarku setelah Maghrib berlalu.


“Masih panas, kan ?” tanya beliau.


“Ho’oh,” balasku singkat.


Setelahnya kami terdiam, hening. Aku tidak punya ide untuk bicara apa lagi, dan sepertinya beliau pun sama sepertiku. Kumatikan laptop yang masih menyala.


Dalam keheningan tersebut, Edel datang membawa sepiring kue soes vla susu hasil kreasinya sore ini dan sekotak tissue.  Setelah meletakkan piring dan tissue  di atas meja, dia menyalami Pak Dokter, kemudian berbasa-basi mempersilahkan beliau mencicipi kue buatannya.


Aku bersyukur, walau tadi di dapur Edel sempat menunjukkan perasaan tidak sukanya atas kedatangan Pak Dokter, namun dia masih bisa menjaga sopan santun ketika harus berhadapan dengan beliau.


Monggo, Om, dicicipi kuenya.”


“Ini buatan Edel ?” tanya Pak Dokter antusias.


“Iya, Om.”


“Ternyata buah jatuh gak jauh dari pohonnya, ya.” Sambil mengambil sebuah soes, Pak Dokter mencoba mengutip satu pribahasa untuk menggambarkan bakat Edel yang sama denganku.


Edel membalas perkataan Pak Dokter tersebut dengan seutas senyum, kemudian pamit masuk ke rumah.


“Enak.” ujar beliau setelah memcicipi soes buatan Edel. 


Njenengan gak tanya ke Mentari, kenapa harus bertanya melalui WA, kenapa gak tanya langsung aja.” Aku menyambung pembicaraan kami tentang Mentari. Rasa penasaran menyelimuti hatiku akan sikap gadis remaja tersebut.


“Saya tanya, tapi dia gak balas,” ujar Pak Dokter sambil kembali meraih sebuah soes.


Njenengan tanya-nya melalui WA juga?” ujarku heran.


“Iya,” jawab beliau santai. Beliau seolah menikmati setiap gigitan soes yang tadi diambilnya.


“Hhmmmm...komunikasi yang aneh antara bapak dan anak,” balasku spontan.


Beliau tertawa mendengar ucapanku sambil mengambil selembar tissue, kemudian membersihkan sudut bibirnya.


“Bukan begitu, Nyonya. Saya berpikir, kalau saya tanya langsung, mungkin dia sungkan mau menjawab. Jadi saya tanya melalui WA, eh...ternyata tak berbalas,” ujar beliau.


Rasa penasaranku tak menemukan jawaban.


“Sekarang ini, Njenengan ada perlu apa ke sini, Dok?” Aku kembali mengulang pertanyaan yang tadi telah kuungkapkan di awal kedatangannya.


Beliau menatapku lekat. Aku membalas tatapannya sekilas, ada getar halus menyelimuti hati. Tak ingin terhanyut, kualihkan pandang ke halaman.


“Saya cuma pengen ketemu Njenengan. Kita keluar sebentar yuk.” 


“Mo kemana?” tanyaku sedikit heran dengan ajakannya.


Melihat kehadirannya yang mendadak saja, aku cukup kaget. Konon lagi tiba-tiba beliau mengajakku keluar.


“Yang dekat-dekat aja, ke Kafeole atau Salib Putih,” lanjutnya.


“Gak ah, saya mau di rumah aja. Di sana paling Njenengan pesannya juga kopi, sama seperti yang saya hidangkan itu,” ujarku sambil menunjuk ke mug kopi beliau.


“Lagian, mo ngapain sore-sore gentayangan, sebentar lagi juga azan Maghrib,” lanjutku menolak ajakan beliau.


Beliau tersenyum mendengar jawabanku.


“Gentayangan...memangnya kita Casper,” ujarnya.


“Saya kangen,” lanjutnya lagi, spontan dan tanpa tedeng aling-aling.


Duh....Pak Dokter, masih saja seperti dulu, bicara apa adanya. Dan aku...juga masih seperti dulu, merasakan hangat yang menjalari sekujur tubuh mendengar gombalan ringannya itu.


“Kangen yang tidak pada tempatnya,” balasku dingin.


Beliau terdiam, tidak membalas ucapanku. Tiba-tiba rasa sakit itu kembali menghujam dadaku. Perih banget.


Seolah-olah memahami rasa sakit yang sedang mendera hati, beliau membalas ujaranku.


“Bukan cuma Njenengan saja yang merasakan sakit, tapi saya juga. Bahkan sakit yang saya rasakan mungkin lebih berat dari yang Njenengan rasakan, karena saya harus menanggungnya selama bertahun-tahun.”


“Saya gak mau membahas masalah ini lagi, Dok. Gak enak kalau didengar anak-anak. Lagi pula garis nasib sudah  berbicara dengan jelas. Jadi kita gak perlu menyesalinya.” Kalimatku terdengar sangat bijak, walau tak demikian adanya dengan hatiku. Hatiku belum bisa sepenuhnya menerima garis nasib ini.


Dunia ini memang panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Begitu juga dengan kisahku dan Pak Dokter, berubah dan terbalik-balik sesuai dengan keinginan Sang Sutradara Alam Semesta.


@@@@



 Note 

Cerbung Sekuel Stetoskop Cinta Sang Dokter (Jilid 1 sampai 11) telah diterbitkan dalam bentuk novel berjudul Episode Kedua, dengan spesifikasi



Judul                     Episode Kedua
Penulis                 Ni Roha Panjaitan
Tebal                     259 halaman
Ukuran                 13 x 19
Kertas                   Bookpaper 72
ISBN                      978-602-336-814-3
Penerbit              Diandra Creative Yogyakarta









Posting Komentar

0 Komentar