#The Doctor’s Family (Jilid 1)









“Dok...bangun. Dah jam tiga lho.” Aku duduk di tepi tempat tidur, membangunkan Pak Dokter sambil menggoyang-goyang bahunya pelan.


Diri ini baru tuntas menyelesaikan dua rakaat di sepertiga malam, masih dengan kondisi mengenakan mukena, kupenuhi amanah Pak Dokter untuk membangunkan Beliau tepat di pukul 03.00. Sebenarnya gak tega juga sih, mengingat kekasih halalku ini baru pulang ketika jam telah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, setelah memenuhi emergency call.


Kutatap wajah lelaki dewasa nan kharismatik tersebut. Bahkan dalam tidur pulasnya pun wajah itu tetap memancarkan kharisma yang mempesona. Jadi jangan heran kalau hatiku sempat porak-poranda dan luluh lantak selama bertahun-tahun dalam menghadapi Beliau.


“Dok....” Kupanggil Beliau dengan lembut.


“Ayo bangun...katanya minta digugah jam tiga,” lanjutku. 


Entah kenapa, walau sudah menikah, aku merasa lebih nyaman tetap memanggil Beliau dengan sebutan ‘Dok’. Begitupun dengan Pak Dokter, yang masih setia memanggilku dengan sebutan ‘Nyonya’. Sebenarnya kami pernah punya kesepakatan untuk mengubah panggilan. Beliau memanggilku adik, aku memanggil Beliau Abang. Tapi kesepakatan itu hanya bertahan satu hari, selebihnya kami kembali ke kebiasaan lama.


Pun demikian dengan anak-anak. Lintang dan Mentari tetap memanggilku Tante. Sementara ketiga anak almarhum Pak Wicaksono, tetap memanggil Pak Dokter dengan sebutan ‘Om’. Kami lakoni semuanya tanpa perlu memaksa diri untuk berubah, yang paling penting semua nyaman dan senang.


Walau dalam urusan panggil memanggil tidak ada perubahan, namun setelah resmi menjadi emak bagi Lintang dan Mentari, aku menerapkan beberapa aturan baru terhadap mereka. Selama ini semua kebutuhan kedua gadis tersebut dilayani seratus persen oleh ART, bahkan untuk urusan mencuci ‘dalaman’. Sejak kehadiranku, mereka kuberi pengertian untuk mencuci sendiri ‘peralatan pribadi’ tersebut. Tabu dan dosa kalau sampai dicucikan oleh ART. Edel, Dhuha, dan Maghrib, sudah kubiasakan untuk melakukan pekerjaan ini sejak mulai duduk di bangku SMP. Lintang dan Mentari juga kuminta untuk merapikan sendiri tempat tidur dan kamar mereka.


Alhamdulillah mereka bersedia mengikuti aturan mainku, walau pernah sekali waktu Mentari nyeletuk, menurut dia  setelah jadi emak ternyata aku cerewet, gak semanis waktu masih jadi “pacar Papa”. Aku tertawa mendengar kepolosannya. Namun begitu, walau menganggapku cerewet, dia hobbi banget curhat ke diriku. Beberapa hari yang lalu dia curhat tentang salah seorang mahasiswa Bapaknya yang mulai rutin menghubunginya melalui pesan-pesan WA. Sementara Lintang, dia lebih suka mengobrol denganku tentang komunitas pecinta reptil tempat dia bergabung. Sekali-sekali kami asyik membahas resep masakan, karena putri sulung Pak Dokter ini ternyata juga suka memasak. Tapi dia selalu menghindar setiap aku menyinggung masalah cowok.


“Dok....” Aku kembali fokus membangunkan Pak Dokter.


“Ayo bangun...,” lanjutku masih dengan sabar menunggu Beliau memberi respon.


Beliau menggeliat, bukannya menjawab ujaranku, malah merengkuh diri ini dalam pelukannya.


“Sudah jam tiga, nanti keburu Subuh. Sekarang Subuhnya gasik lho,” ujarku dalam rengkuhannya.


Posisiku canggung, separuh tubuhku berada dalam dekapan di atas dada Beliau, separuh yang lain masih terduduk di tepi tempat tidur. Mendapati   ucapanku tidak direspon, cara lain terpaksa dilakoni. Layaknya kuas, jari telunjukku mengeksplorasi wajah Beliau. Kulukis alis di alisnya. Kemudian telunjukku mulai melukis mata di matanya, berlanjut ke hidung, bibir, dan terakhir telunjukku menarik garis melingkar membentuk bulatan wajah. Beliau tertawa dalam kondisi mata masih terpejam.


“Geli...,” ujar Beliau dalam tawa.


“Dulu waktu Maghrib masih kecil, kalau pas ngeloni dia, wajahnya saya lukis dengan telunjuk seperti tadi. Dia suka, katanya bikin ngantuk.  Kok Njenengan malah geli, Dok?”


“Karena saya bukan Maghrib. Maghrib jadi ngantuk karena dia menikmati belaian sayang dari jari emaknya. Kalau saya jadi geli karena yang gentayangan di wajah saya itu jari Sang Belahan Jiwa.” Pak Dokter sudah terjaga.


Aku bangkit dari rengkuhan Pak Dokter, kembali dalam posisi duduk seutuhnya.


“Ayo bangun, Dok. Dah hampir setengah empat lho, keburu Subuh. Nanti Njenengan gak sempat Tahajud.”


“Berarti udah gak ada waktu untuk bikin Njenengan keramas nih ?” Masih dalam posisi berbaring, Beliau menggodaku dengan pertanyaan dan senyumannya.


“Ingat umur lho, Dok. Malam ini Njenengan tidur kurang dari dua jam, masih mo bikin saya keramas ?” tanyaku dengan nada heran.


Beliau tergelak mendengar ucapanku.


“Just kidding, Mam. Tenaganya disimpan untuk weekend aja, ya?” ujar Beliau sembari bangkit dari tidurnya. Kemudian mengecup bibirku sesaat, dan setelahnya beranjak menuju kamar mandi di sudut kamar.



@@@@@



TGIF...Thanks God It’s Friday, ucapan yang pernah menjadi slogan teman-temanku di masa kuliah dulu ketika hari Jumat  tiba, yang berarti weekend menanti di depan mata.


Begitu juga dengan kondisiku saat ini. Sejak menikah dengan Pak Dokter, aku dan Maghrib ikut Beliau ke Semarang. Maghrib pindah sekolah. Dan rumah besar inipun sekarang semakin meriah dengan tambahan dua orang penghuninya. Sementara rumah Salatiga tetap diurusi Mbak Sih.


Bersyukur anak-anak menjalani lima hari sekolah dalam seminggu, jadi setiap Jumat malam kami bisa boyongan ke Salatiga, menghabiskan akhir pekan di rumahku. Edel juga pulang ke rumah di hari itu. Sementara Sabtu paginya Pak Dokter terpaksa melaju dari Salatiga ke Semarang untuk dinas.


Itulah kenapa aku selalu bersemangat setiap hari Jumat tiba. Karena kami semua –minus Dhuha- berkumpul menghabiskan akhir pekan bersama.
Senin selepas Subuh kami akan kembali boyongan ke Semarang, dan Edel balik ke Yogya.

 
Setelah menyelesaikan ibadah Subuh, aku bergegas ke dapur  menyiapkan sarapan untuk semua anggota The Doctors. Lintang dan Mentari masih di kamar masing-masing. Kedua gadisku itu (sekarang mereka juga anakku kan ??) biasanya baru turun dari kamar ketika waktu sudah menunjukkan pukul 05.30. Selesai Subuh, masing-masing gadis remaja itu sibuk menyiapkan kelengkapan sekolahnya, atau terkadang menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang belum terselesaikan. Sementara Maghrib dan Pak Dokter belum pulang dari mesjid. Kedua ART Pak Dokter, pulang ke rumah masing-masing sejak Kamis sore. Mereka akan kembali Minggu sore untuk bersih-bersih dan beberes menyambut kepulangan kami di Senin pagi.


Hari ini mood memasakku sedang buruk, namun semangat menyambut hari sangat maksimal karena nanti malam akan berkumpul dengan Edel dan semuanya. Walau memiliki dua ART, tapi untuk urusan sarapan aku biasa menghandle semuanya sendiri. Biasanya mbak Kas –salah satu ART Pak Dokter- hanya membantu meracik-racik, dan eksekusinya tetap menjadi tanggung jawabku.


Dengan mood yang terjun bebas, jadilah pagi ini aku hanya menyiapkan  telur mata sapi, dan roti tawar. Dan kedua komponen itu akan kulengkapi  dengan salada, irisan timun, irisan bawang bombay, irisan tomat dan saos sambal ekstra hot. Nanti biar masing-masing personil menata sendiri roti lapis mereka.


Di saat aku sedang mengupas timun, terdengar salam dari Pak Dokter dan Maghrib yang masuk melalui pintu tengah. Maghrib langsung menuju ke kamarnya di lantai atas. Sementara  langkah kaki Pak Dokter terdengar menyambangiku ke dapur.


“Sarapan apa?” tanya Beliau sambil memelukku dari belakang.


Sejak menikah, Beliau senang banget melakukan aktivitas ini ketika menyambangiku saat diri ini sedang mengerjakan sesuatu.


“Awas lho...bentar lagi anak-anak pada turun dari kamar. Malu kalau dilihat anak-anak,” ujarku mengingatkan Beliau.


Beliau mengecup pipiku, kemudian melepas pelukannya dan berdiri di sampingku.


“Lagi gak mood masak, Dok. Roti lapis pake mata sapi aja ya?” balasku sambil mengalihkan pandang ke Beliau, meminta persetujuannya.


“Kenapa kok gak mood?” tanya Beliau sambil menatap ke arahku.


“Gak tau, Dok. Padahal kalau hari Jumat begini saya biasanya selalu semangat lho.”


“Jangan-jangan Njenengan hamil,” ujar Pak Dokter menggodaku sambil tersenyum.


“Ampun, Dok. Saya dah tua. Jangan ah....” Aku menepis praduga Pak Dokter.


“Gak boleh gitu. Itu namanya menentang kehendak Allah. Kalau memang ternyata Njenengan hamil ya gak pa-pa tho, wong ada suaminya. Lagian Njenengan dan saya itu kan masih sama-sama produktif.” Pak Dokter mencoba mengingatkanku.


Kalau dipikir-pikir memang benar juga sih ucapan Beliau, kalau sudah kehendak Allah, manusia tak kuasa menyangkalnya.  Walau sudah monopause sekalipun, kalau Allah menyatakan “Kun fayakun”, ya jadilah. Konon lagi diriku dan Pak Dokter yang masih sama-sama produktif dan hanya ber-KB alami. 


Ah...kutepis bayangan itu. Apapun yang terjadi, terjadilah. Hamil disyukuri, tidak hamil ya Alhamdulillah.


“Kok malah melamun ?” Beliau menggugahku yang masih asyik mengiris timun namun tidak merespon ucapannya.


“Njenengan gak siap punya anak dari saya?” lanjut Beliau dengan nada kecewa.


Ada rasa kasihan mendengar nada bicara Pak Dokter yang terkesan kecewa. Aku menatap Beliau sambil tersenyum, mencium pipinya sekilas, kemudian menjawab tanyanya dengan nada riang gembira,

“Sangat siap, Pak Dokter cintaku.” Bersamaan dengan itu, tanpa kami sadari kehadirannya, Lintang ternyata sudah berada di dapur.


“Papa sama Tante pagi-pagi sudah main sinetron,” ujarnya asal njeplak.


Aku dan Pak Dokter tertawa berbarengan mendengar ocehan si Sulung yang langsung tanpa basa-basi.



@@@@@















Posting Komentar

0 Komentar