“Dok...bangun. Dah jam tiga lho.” Aku duduk di tepi tempat
tidur, membangunkan Pak Dokter sambil menggoyang-goyang bahunya pelan.
Diri ini baru tuntas menyelesaikan dua rakaat di sepertiga
malam, masih dengan kondisi mengenakan mukena, kupenuhi amanah Pak Dokter untuk
membangunkan Beliau tepat di pukul 03.00. Sebenarnya gak tega juga sih,
mengingat kekasih halalku ini baru pulang ketika jam telah menunjukkan pukul
01.00 dini hari, setelah memenuhi emergency call.
Kutatap wajah lelaki dewasa nan kharismatik tersebut. Bahkan
dalam tidur pulasnya pun wajah itu tetap memancarkan kharisma yang mempesona.
Jadi jangan heran kalau hatiku sempat porak-poranda dan luluh lantak selama
bertahun-tahun dalam menghadapi Beliau.
“Dok....” Kupanggil Beliau dengan lembut.
“Ayo bangun...katanya minta digugah jam tiga,” lanjutku.
Entah kenapa, walau sudah menikah, aku merasa lebih nyaman
tetap memanggil Beliau dengan sebutan ‘Dok’. Begitupun dengan Pak Dokter, yang
masih setia memanggilku dengan sebutan ‘Nyonya’. Sebenarnya kami pernah punya
kesepakatan untuk mengubah panggilan. Beliau memanggilku adik, aku memanggil
Beliau Abang. Tapi kesepakatan itu hanya bertahan satu hari, selebihnya kami
kembali ke kebiasaan lama.
Pun demikian dengan anak-anak. Lintang dan Mentari tetap
memanggilku Tante. Sementara ketiga anak almarhum Pak Wicaksono, tetap
memanggil Pak Dokter dengan sebutan ‘Om’. Kami lakoni semuanya tanpa perlu
memaksa diri untuk berubah, yang paling penting semua nyaman dan senang.
Walau dalam urusan panggil memanggil tidak ada perubahan,
namun setelah resmi menjadi emak bagi Lintang dan Mentari, aku menerapkan
beberapa aturan baru terhadap mereka. Selama ini semua kebutuhan kedua gadis
tersebut dilayani seratus persen oleh ART, bahkan untuk urusan mencuci
‘dalaman’. Sejak kehadiranku, mereka kuberi pengertian untuk mencuci sendiri
‘peralatan pribadi’ tersebut. Tabu dan dosa kalau sampai dicucikan oleh ART.
Edel, Dhuha, dan Maghrib, sudah kubiasakan untuk melakukan pekerjaan ini sejak
mulai duduk di bangku SMP. Lintang dan Mentari juga kuminta untuk merapikan
sendiri tempat tidur dan kamar mereka.
Alhamdulillah mereka bersedia mengikuti aturan mainku, walau
pernah sekali waktu Mentari nyeletuk, menurut dia setelah jadi emak ternyata aku cerewet, gak
semanis waktu masih jadi “pacar Papa”. Aku tertawa mendengar kepolosannya.
Namun begitu, walau menganggapku cerewet, dia hobbi banget curhat ke diriku.
Beberapa hari yang lalu dia curhat tentang salah seorang mahasiswa Bapaknya
yang mulai rutin menghubunginya melalui pesan-pesan WA. Sementara Lintang, dia lebih suka mengobrol denganku tentang
komunitas pecinta reptil tempat dia bergabung. Sekali-sekali kami asyik
membahas resep masakan, karena putri sulung Pak Dokter ini ternyata juga suka
memasak. Tapi dia selalu menghindar setiap aku menyinggung masalah cowok.
“Dok....” Aku kembali fokus membangunkan Pak Dokter.
“Ayo bangun...,” lanjutku masih dengan sabar menunggu Beliau
memberi respon.
Beliau menggeliat, bukannya menjawab ujaranku, malah
merengkuh diri ini dalam pelukannya.
“Sudah jam tiga, nanti keburu Subuh. Sekarang Subuhnya gasik
lho,” ujarku dalam rengkuhannya.
Posisiku canggung, separuh tubuhku berada dalam dekapan di
atas dada Beliau, separuh yang lain masih terduduk di tepi tempat tidur.
Mendapati ucapanku tidak direspon, cara lain terpaksa
dilakoni. Layaknya kuas, jari telunjukku mengeksplorasi wajah Beliau. Kulukis
alis di alisnya. Kemudian telunjukku mulai melukis mata di matanya, berlanjut ke
hidung, bibir, dan terakhir telunjukku menarik garis melingkar membentuk
bulatan wajah. Beliau tertawa dalam kondisi mata masih terpejam.
“Geli...,” ujar Beliau dalam tawa.
“Dulu waktu Maghrib masih kecil, kalau pas ngeloni dia,
wajahnya saya lukis dengan telunjuk seperti tadi. Dia suka, katanya bikin
ngantuk. Kok Njenengan malah geli, Dok?”
“Karena saya bukan Maghrib. Maghrib jadi ngantuk karena dia
menikmati belaian sayang dari jari emaknya. Kalau saya jadi geli karena yang
gentayangan di wajah saya itu jari Sang Belahan Jiwa.” Pak Dokter sudah
terjaga.
Aku bangkit dari rengkuhan Pak Dokter, kembali dalam posisi
duduk seutuhnya.
“Ayo bangun, Dok. Dah hampir setengah empat lho, keburu
Subuh. Nanti Njenengan gak sempat Tahajud.”
“Berarti udah gak ada waktu untuk bikin Njenengan keramas nih
?” Masih dalam posisi berbaring, Beliau menggodaku dengan pertanyaan dan
senyumannya.
“Ingat umur lho, Dok. Malam ini Njenengan tidur kurang dari
dua jam, masih mo bikin saya keramas ?” tanyaku dengan nada heran.
Beliau tergelak mendengar ucapanku.
“Just kidding, Mam. Tenaganya disimpan untuk weekend aja,
ya?” ujar Beliau sembari bangkit dari tidurnya. Kemudian mengecup bibirku
sesaat, dan setelahnya beranjak menuju kamar mandi di sudut kamar.
@@@@@
TGIF...Thanks God It’s Friday, ucapan yang pernah menjadi
slogan teman-temanku di masa kuliah dulu ketika hari Jumat tiba, yang berarti weekend menanti di depan
mata.
Begitu juga dengan kondisiku saat ini. Sejak menikah dengan
Pak Dokter, aku dan Maghrib ikut Beliau ke Semarang. Maghrib pindah sekolah.
Dan rumah besar inipun sekarang semakin meriah dengan tambahan dua orang
penghuninya. Sementara rumah Salatiga tetap diurusi Mbak Sih.
Bersyukur anak-anak menjalani lima hari sekolah dalam
seminggu, jadi setiap Jumat malam kami bisa boyongan ke Salatiga, menghabiskan
akhir pekan di rumahku. Edel juga pulang ke rumah di hari itu. Sementara Sabtu
paginya Pak Dokter terpaksa melaju dari Salatiga ke Semarang untuk dinas.
Itulah kenapa aku selalu bersemangat setiap hari Jumat tiba.
Karena kami semua –minus Dhuha- berkumpul menghabiskan akhir pekan bersama.
Senin selepas Subuh kami akan kembali boyongan ke Semarang,
dan Edel balik ke Yogya.
Setelah menyelesaikan ibadah Subuh, aku bergegas ke
dapur menyiapkan sarapan untuk semua
anggota The Doctors. Lintang dan Mentari masih di kamar masing-masing. Kedua
gadisku itu (sekarang mereka juga anakku kan ??) biasanya baru turun dari kamar
ketika waktu sudah menunjukkan pukul 05.30. Selesai Subuh, masing-masing gadis
remaja itu sibuk menyiapkan kelengkapan sekolahnya, atau terkadang
menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang belum terselesaikan. Sementara Maghrib
dan Pak Dokter belum pulang dari mesjid. Kedua ART Pak Dokter, pulang ke rumah
masing-masing sejak Kamis sore. Mereka akan kembali Minggu sore untuk
bersih-bersih dan beberes menyambut kepulangan kami di Senin pagi.
Hari ini mood memasakku sedang buruk, namun semangat
menyambut hari sangat maksimal karena nanti malam akan berkumpul dengan Edel
dan semuanya. Walau memiliki dua ART, tapi untuk urusan sarapan aku biasa
menghandle semuanya sendiri. Biasanya mbak Kas –salah satu ART Pak Dokter-
hanya membantu meracik-racik, dan eksekusinya tetap menjadi tanggung jawabku.
Dengan mood yang terjun bebas, jadilah pagi ini aku hanya
menyiapkan telur mata sapi, dan roti
tawar. Dan kedua komponen itu akan kulengkapi
dengan salada, irisan timun, irisan bawang bombay, irisan tomat dan saos
sambal ekstra hot. Nanti biar masing-masing personil menata sendiri roti lapis
mereka.
Di saat aku sedang mengupas timun, terdengar salam dari Pak
Dokter dan Maghrib yang masuk melalui pintu tengah. Maghrib langsung menuju ke
kamarnya di lantai atas. Sementara
langkah kaki Pak Dokter terdengar menyambangiku ke dapur.
“Sarapan apa?” tanya Beliau sambil memelukku dari belakang.
Sejak menikah, Beliau senang banget melakukan aktivitas ini
ketika menyambangiku saat diri ini sedang mengerjakan sesuatu.
“Awas lho...bentar lagi anak-anak pada turun dari kamar. Malu
kalau dilihat anak-anak,” ujarku mengingatkan Beliau.
Beliau mengecup pipiku, kemudian melepas pelukannya dan
berdiri di sampingku.
“Lagi gak mood masak, Dok. Roti lapis pake mata sapi aja ya?”
balasku sambil mengalihkan pandang ke Beliau, meminta persetujuannya.
“Kenapa kok gak mood?” tanya Beliau sambil menatap ke arahku.
“Gak tau, Dok. Padahal kalau hari Jumat begini saya biasanya
selalu semangat lho.”
“Jangan-jangan Njenengan hamil,” ujar Pak Dokter menggodaku
sambil tersenyum.
“Ampun, Dok. Saya dah tua. Jangan ah....” Aku menepis praduga
Pak Dokter.
“Gak boleh gitu. Itu namanya menentang kehendak Allah. Kalau
memang ternyata Njenengan hamil ya gak pa-pa tho, wong ada suaminya. Lagian
Njenengan dan saya itu kan masih sama-sama produktif.” Pak Dokter mencoba
mengingatkanku.
Kalau dipikir-pikir memang benar juga sih ucapan Beliau,
kalau sudah kehendak Allah, manusia tak kuasa menyangkalnya. Walau sudah monopause sekalipun, kalau Allah
menyatakan “Kun fayakun”, ya jadilah. Konon lagi diriku dan Pak Dokter yang
masih sama-sama produktif dan hanya ber-KB alami.
Ah...kutepis bayangan itu. Apapun yang terjadi, terjadilah.
Hamil disyukuri, tidak hamil ya Alhamdulillah.
“Kok malah melamun ?” Beliau menggugahku yang masih asyik
mengiris timun namun tidak merespon ucapannya.
“Njenengan gak siap punya anak dari saya?” lanjut Beliau dengan nada
kecewa.
Ada rasa kasihan mendengar nada bicara Pak Dokter yang
terkesan kecewa. Aku menatap Beliau sambil tersenyum, mencium pipinya sekilas,
kemudian menjawab tanyanya dengan nada riang gembira,
“Sangat siap, Pak Dokter cintaku.” Bersamaan dengan itu,
tanpa kami sadari kehadirannya, Lintang ternyata sudah berada di dapur.
“Papa sama Tante pagi-pagi sudah main sinetron,” ujarnya asal
njeplak.
Aku dan Pak Dokter tertawa berbarengan mendengar ocehan si
Sulung yang langsung tanpa basa-basi.
@@@@@
0 Komentar