“Mama mana, Edel?” Aku sedang berada di halaman belakang
ketika terdengar suara Pak Dokter menanyakan diriku pada Edel yang lagi di dapur
dengan Mentari dan Lintang.
Hari ini Sabtu, waktu masih menunjukkan pukul 16.30, tapi Pak
Dokter sudah pulang dinas.
“Tumben pulang cepat,” bathinku.
Biasanya di saat beliau pulang, aku sedang berkumpul dengan
anak-anak di teras, atau di ruang keluarga, dan terkadang di dapur. Kali ini,
mungkin karena tidak melihat keberadaanku di antara para gadis, Beliau
menanyakannya.
“Di halaman belakang, Pa.” Kudengar Lintang mewakili Edel
menjawab tanya Papanya.
Tak berapa lama Pak Dokter menyusulku.
“Njenengan lagi ngapain?” Beliau bertanya sambil berdiri di
sampingku.
Dan belum sempat aku menjawab tanyanya, Beliau kembali
berlalu menuju ke dapur memanggil Lintang.
“Lintang, itu kenapa Tante yang mandiin Ben,” Kudengar Beliau bertanya ke Lintang dengan nada sedikit
tinggi.
“Wong Tante yang mau kok, Pa,” Lintang menjawab tanya Bapaknya.
Aku melangkahkan kaki
menuju dapur sambil membawa Ben, seekor Blood Phyton remaja peliharaan Lintang.
Ular yang juga dikenal dengan nama Dipong ini
panjangnya sudah mencapai satu meter . Lintang sudah memelihara ular ini
sejak masih berujud bayi , itulah sebabnya Ben bisa jinak sekali. Sebenarnya
Lintang mempunyai dua ekor ular peliharaan, yang satunya lagi jenis Phyton
Reticulatus atau Sanca Kembang, yang diberi nama Tom, tapi karakternya agresif,
aku kurang suka. Padahal sama seperti Ben, Tom juga dipelihara dari bayi.
Sejak pertama melihat peliharaan Lintang ini aku langsung
jatuh cinta. Saat Lintang terlalu sibuk dengan tugas-tugas sekolah, aku
mengambil alih tugasnya untuk memandikan, membersihkan kandang, atau memberi makan ketika waktunya harus makan.
Ben dan Tom hanya makan ketika mereka sudah BAB, dan itu berlangsung seminggu atau sepuluh hari sekali. Tapi aku cuma bersedia mengurus Ben, tidak dengan Tom. Setiap kami pulang ke
Salatiga, Ben dan Tom selalu ikut serta, karena rumah Semarang kosong.
“Ada apa tho, Dok?” tanyaku santai sambil membiarkankan Ben
melingkari lenganku, setelah bergabung dengan ke empat anggota keluarga The Doctors
di dapur.
Mentari, Lintang, dan Edel sedang mengeksekusi resep bolen
pisang coklat. Edel menggiling adonan bolen, sementara Mentari melipat adonan
yang sudah beberapa kali digiling setelah mengisinya dengan pisang dan mieses.
Pak Dokter tidak menjawab tanyaku. Beliau meraih Ben dari
lenganku, kemudian mengangsurkannya ke Lintang sambil berujar.
“Mulai sekarang, Tante gak boleh ngurusin Ben.”
“Kenapa tho, Dok?” Aku penasaran dengan sikap Beliau yang
agak marah dengan Lintang karena membiarkanku memandikan Ben. Beliau tidak menjawab
tanyaku.
Setelah Ben diserahkan Pak Dokter ke Lintang, aku menuju
wastafel untuk mencuci tangan dan lengan. Pak Dokter juga mengikuti apa yang
kulakukan. Selesai mencuci tangan, Beliau menuju meja makan, dan duduk di salah
satu kursinya. Sementara aku membuatkan kopi untuk Pak Dokter.
“Iya nih Papa. Biasanya juga Tante ngurusin Ben, Papa gak
pernah marah.” Seolah menyetujui rasa penasaranku. sambil membelai-belai Ben
yang melingkar di lengannya, sekali lagi Lintang memberi argumentasi pada
Bapaknya.
Se-mug kopi untuk Pak Dokter kuletakkan di atas meja persis
di hadapan Beliau, selanjutnya aku mendudukkan diri di kursi yang bersebelahan
dengannya.
“Iya...tapi sekarang gak boleh lagi, ya.” Suara Pak Dokter
kembali lembut seperti biasa, sambil menyambut kopi buatanku. Sementara Lintang
masih manyun karena tanpa sebab musabab ditegur begitu saja.
“Lintang gak salah lho, Om,” ujar Edel sambil memberi taburan
keju parut di atas bolen yang sudah tertata di loyang. Setelah selesai, Edel
mengulurkan loyang ke Mentari, dan gadis
remaja tersebut memasukkannya ke oven. Sementara Lintang berlalu ke teras
samping untuk menjemur Ben sesaat sebelum memasukkannya ke kandang.
“Tadi tu Mama bingung mo ngapain. Mo bantu kami baking kata
Mama lagi gak mood, terus bilang sama Lintang mo mandiin Ben,” lanjut Edel.
“Iya Pa.” Bungsu Pak Dokter mendukung Edel untuk membela
Lintang.
“Papa gak tau sih. Sejak Tante pindah ke Semarang, cinta
Tante tuh dah gak seratus persen buat Papa, dah terbagi sama si Ben,” lanjut
Mentari dengan santainya.
Aku, Pak Dokter, dan Edel, tertawa mendengar celotehan
Mentari.
“Kok pulang cepat tho, Dok ?” Kuajukan pertanyaan yang sedari
tadi belum sempat terucap.
“O..ya...itu saya bawa pesenan Njenengan,” ujar Beliau sambil
bangkit dari duduknya kemudian berjalan menuju ke kamar kami.
“Memangnya saya pesen apa, Dok?” tanyaku mengikuti langkah beliau.
@@@@@
Sekuntum mawar putih tergeletak di atas meja kerjaku.
Sementara di sebelahnya terlihat kemasan alat pendeteksi kehamilan. Beliau
mengambil bunga yang melambangkan kemurnian, kesucian, dan ketulusan tersebut,
kemudian mengulurkannya kepadaku yang duduk di tepi tempat tidur.
“Untuk Njenengan,” ujar Beliau sambil mengecup keningku,
kemudian duduk di sebelah.
“Dalam rangka?” tanyaku bingung sambil menerima pemberian
Beliau.
Tidak seperti biasanya, aku selalu deg-degan setiap Beliau
memberi perlakuan istimewa. Kali ini semuanya terasa biasa saja. Mungkin
tersamar oleh rasa bingung dan penasaran akan sikap Beliau yang tadi tiba-tiba
marah ke Lintang, dan sekarang tiada angin tiada hujan menghadiahiku sekuntum
mawar.
Kucium kuntum mawar yang masih setengah mekar tersebut,
aromanya lembut dan samar.
“Mawar putih itu biasanya diasosiasikan sebagai permulaan
yang baru. Dan saya berharap, ada kehidupan baru yang bersemayam di sini,” ujar
Beliau sambil mengelus perutku lembut.
Aku terkesima mendengar kalimat Beliau, tidak menyangka kalau
ternyata Beliau begitu berharap aku benar-benar hamil. Kuletakkan kembali bunga
pemberian Beliau di atas meja.
“Njenengan terlalu berharap, Dok. Wong saya tu cuma lemes gak
semangat kok. Lagian kan belum ditest.” Ada seberkas kekhawatiran akan
keyakinan Beliau tersebut.
Pak Dokter berdiri, melangkah ke meja kerja, mengambil
kemasan alat pendeteksi kehamilan yang terletak di atasnya.
“Besok pagi kita test, ya,” ujar Beliau sumringah sambil mengacungkan
benda yang dipegangnya tersebut.
“Njenengan ingat, bulan lalu kita ke Lava Tour Merapi tanggal
berapa?” Beliau menguji daya ingatku ketika kami sekeluarga menghabiskan libur
akhir pekan di Yogya.
“Tanggal 15,” jawabku singkat.
“Sekarang tanggal berapa?”
“Tanggal 25.” Aku mulai memahami arah pertanyaan Beliau.
Pertengahan bulan lalu ketika kami berakhir pekan ke Yogya
aku dalam kondisi datang bulan. Dan bulan ini, walau sudah berada di angka 25
tapi tamu bulanan belum datang. Diri ini takjub dengan ingatan dan perhatian
Beliau. Aku sendiri yang punya badan tidak mengingatnya. Maklum sejak kembali
menjadi single aku kurang perhatian dengan jadwal bulanan, dan kebiasaan itu
terus berlanjut ketika diri ini sudah menjadi istri Pak Dokter.
“Kok Njenengan bisa ingat tho, Dok?” tanyaku sungguh-sungguh
heran.
“Ya ingat. Wong bulan ini jatah saya masih rutin, belum
terpotong cuti bulanan,” ujar Beliau sambil tersenyum menggodaku.
(Sstttt...rutin di sini bukan berarti tiap hari ya, bisa lempoh Emak Maghrib
kalau tiap hari keramas.)
“Njenengan bener-bener pengen saya hamil tho, Dok?” tanyaku
serius ketika Beliau sudah kembali ke sebelahku.
“Kenapa kok tanya seperti itu?” Bukannya menjawab tanyaku, Beliau
malah balik bertanya.
“Ya cuma mau tau aja, Dok?”
“Njenengan gak siap punya anak dari saya?” Beliau mengulang
pertanyaan yang kemarin pagi sudah terucap, masih dengan nada yang sama,
sedikit kecewa.
Dan aku kembali jatuh
iba mendengar nada kecewa dalam ujaran Beliau. Sejujurnya, aku tidak siap hamil
di usia yang sudah terlalu matang. Bukannya mendahului takdir, tapi aku was-was
dengan segala resiko kehamilan di usia paruh baya. Sementara Pak Dokter yang
praktisi kesehatan justru lebih meyakini kekuasaan Allah, bahwa segala sesuatu
yang terjadi di muka bumi ini tidak ada yang kebetulan, semua sudah tertera di catatan
Allah. Begitu juga seandainya Allah menyatukan sel sperma Pak Dokter dengan sel
telurku dalam wujud calon bayi, pasti Allah sudah punya rencana untuk kami.
Jadi menurut Beliau, kita hanya perlu menjaga diri tapi tidak harus khawatir
berlebihan. Bahkan menurut Beliau, itu semua rejeki.
“Nyonya...kenapa melamun?”
Mendengar tanya Pak Dokter, kuarahkan tatapan ke bola mata
Beliau. Mungkin Beliau bisa melihat ada ragu dan khawatir dalam tatapanku.
“Njenengan takut?” Ujarannya bermakna seolah Beliau
mengetahui apa yang ada dalam benakku.
“Saya siap banget punya anak dari Njenengan, Dok. Tapi saya
takut,” jawabku jujur.
Beliau mengulurkan kedua tangan, merengkuh diri ini dalam
pelukannya. Aku terbuai dalam kehangatan dekapannya. Walau belum berganti
pakaian sepulang dinas, namun aroma maskulin tetap mengalir dari tubuh Beliau,
bercampur dengan aroma peluh yang justru memberi sensasi tersendiri bagi diri
ini. Pelukan hangat dan penuh kasih ini sedikit banyak mengurangi rasa galau yang
menyelinap ke relung hati.
Aku tidak ingin hamil, tapi aku juga tidak ingin mengecewakan
Pak Dokter. Jika memang Beliau sangat berkeinginan memiliki anak dariku, aku
siap. Rasa cinta pada Beliau mengalahkan ketakutan yang membelenggu jiwa.
Beliau melepas pelukannya, kemudian mengecup bibirku sesaat.
“Udah lega ?” tanya Beliau sambil menatapku penuh kasih.
“Lumayan,” jawabku singkat. Karena jujur, pelukan hangat yang
berpadu dengan aroma maskulin serta peluh Beliau memang bagai aroma therapy yang mampu
mengusir kegalauan dalam diri.
“Nyonya...saya tidak memaksa untuk bisa dapat anak dari
Njenengan, karena saya sudah cukup bahagia dengan kelima anak yang kita miliki
sekarang. Tapi saya sadar, kemungkinan untuk itu selalu ada, karena Njenengan
belum monopause. Apalagi kita membiarkan semuanya berjalan secara alami, tanpa
KB,” Pak Dokter mencoba menenangkan diriku yang sedang galau.
“Tapi kenapa Njenengan terlihat antusias banget, Dok. Pake
ngasih mawar segala,” tanyaku heran.
“Rasa antusias saya bisa menjadi penawar rasa takut
Njenengan.” Beliau menjawab tanyaku secara diplomatis.
“Saya tau, Njenengan berada di usia rentan. Itu sebabnya saya
pantau periodesasi Njenengan, supaya kalau telat seperti ini kita bisa langsung
test. Dan kalau ternyata beneran hamil, kita jaga bener-bener kondisi
Njenengan. Asupan makanan, aktivitas dan waktu istirahat, tensi, hb, kadar
gula. Intinya kita antisipasi dan berusaha maksimal untuk menjaga semuanya
supaya gak terjadi hal-hal yang gak diharapkan.”
Duh....ya Allah...aku jatuh cinta lagi. Pada dia, lelaki
dewasa yang begitu menyayangiku sepenuh hati. Perhatiannya begitu penuh, hingga
untuk hal-hal yang tidak kusadari, beliau justru telah memikirkannya dengan
cermat.
Tanpa basa-basi kukecup bibirnya sekilas, kemudian kupeluk
Pak Dokter erat. Beliau membalas pelukanku. Hangat, penuh kasih, tanpa nafsu.
“Makasih, Dok. Karena sudah menyayangi saya begitu tulus,”
ujarku dalam pelukannya.
Beliau tidak membalas ucapanku, namun bisa kurasakan
dekapannya menjadi lebih erat. Tetiba aku teringat sesuatu, kulepaskan pelukan
yang menyatukan kami.
“Kalau Njenengan gak memaksa dapat anak dari saya, kenapa
kemarin dan tadi nada bicara Njenengan seolah kecewa melihat saya yang belum
siap?” tanyaku penasaran.
Aku memang selalu penasaran untuk hal-hal kecil yang kadang
terselip dalam setiap perbincangan kami.
“Saya kecewa, karena kalau seandainya adek Maghrib sudah ada
di sini, tapi Njenengan tidak siap menerimanya, bisa berdampak secara psikologis terhadap dia,” ujar Pak
Dokter sambil memegang perutku.
Hhmmm...alasan yang masuk akal.
“Saya siap, Dok. Bahkan sangat siap,” ujarku penuh keyakinan.
Beliau tertawa melihat ekspresiku yang mungkin terlihat begitu
PD.
“Besok kita test ya. Dan mulai sekarang jangan lagi
megang-megang Ben dan Tom.”
“Njenengan tadi kenapa marahin Lintang?” tanyaku teringat
peristiwa di dapur tadi.
“Walau kita hidup di abad milenial, dan meskipun saya orang
kesehatan, tapi saya masih tersugesti dengan hal-hal yang demikian. Maksud
Njenengan baik, Njenengan mengurus Ben, bukan menyakiti. Tapi saya minta, lebih
baik gak usah lagi ngurusin Ben dan Tom,
ya.” Beliau mengulangi permohonannya agar aku menjauhkan diri dari kedua hewan
peliharaan Lintang tersebut.
“Saya gak pernah ngurus Tom, kok. Saya gak suka, soalnya Tom
agresif,” jawabku sedikit manja. Kesempatan, mumpung Pak Dokter sudah bersiap
siaga memperlakukan diri ini bagai putri raja.
“Saya agresif tapi kok Njenengan suka ?” Beliau menggodaku
dengan tanyanya.
“Memangnya Lebih agresif mana, Tom atau saya?” lanjutnya
dengan tawa terburai karena melihatku cemberut.
Aku mencubit perutnya kemudian mengambil mawar yang
tergeletak di atas meja, setelahnya berlalu keluar kamar meninggalkan Beliau
dengan tawanya.
@@@@@
Aku dan Pak Dokter sedang berbincang santai di teras,
menikmati malam Minggu hanya berdua saja. Sementara Edel mengajak adik-adiknya
keluar. Tadi minta izinnya mau cari
cemilan dan keliling-keliling Salatiga. Padahal sesore tadi, ketiga gadis itu
sibuk berjibaku di dapur bikin bolen, sekarang malah cari cemilan ke luar.
“Lho...kok anak-anak sudah pulang tuh,” ujar Pak Dokter
ketika mendengar suara klakson mobil di depan pintu gerbang.
Terlihat Maghrib turun dari mobil dan membukakan pintu
gerbang yang tidak terkunci. Mobilio hitam milik Edel segera meluncur mulus
langsung menuju garasi.
“Kok sudah pulang?” tanyaku begitu Lintang, Mentari, dan
Maghrib bergabung dengan kami di teras.
Maghrib dan Mentari mengambil posisi duduk di kiri kananku.
“Tadi cuma ke singkong keju D9 thok kok, Tan,” jawab Mentari
mewakili semuanya.
“Buat Tante sama Papa.” Lintang meletakkan bungkusan di meja
teras, kemudian duduk di sebelah Bapaknya.
“Gak jadi keliling-keliling?” tanya Pak Dokter.
“Lha itu dek Maghrib ribut minta pulang. Katanya ngantuk,”
ujar Edel yang baru menyusul ke teras sambil menunjuk Maghrib, dan mengambil
posisi duduk di sebelah Lintang.
“Memang aku capek kok mbak. Tadi renang seharian,” ujarnya
berargumentasi.
Bungsuku itu selalu memanfaatkan saat kepulangan kami ke
Salatiga untuk bertemu teman-teman lamanya. Biasanya mereka menghabiskan waktu
dengan berenang.
“Maghrib mau punya adek gak?” Tiba-tiba Pak Dokter mengajukan
pertanyaan yang tak terduga kepada bungsuku.
Aku memberi kode pada Beliau, tapi yang dikode seolah tak
perduli.
“Memangnya kenapa, Om?”
“Tante hamil ya, Pa?” tanya Lintang antusias.
“Serius....Mama hamil?” Edel pun tak kalah kaget.
“Mau...mau..., Om.” Maghrib yang mendengar respon
kakak-kakaknya memberi jawaban yang telat atas pertanyaan Pak Dokter.
Sementara Mentari langsung mengelus perutku sambil menatapku
dengan senyum penuh arti.
“Laki-laki ya, Ma. Biar aku ada temen. Lha ini aku dikeroyok
tiga mbak-mbak.”
“Kan ada Mas Dhuha,” jawabku.
“Mas Dhuha jauh. Apalagi kalau nanti Mas Dhuha nikah sama
orang Kalimantan, bakal gak pulang-pulang.”
“Mas Dhuha itu kesengsemnya sama orang Semarang,” ujarku
sambil melirik Pak Dokter.
Beliau tertawa melihat kode dariku.
“Memang pacarnya Dhuha orang Semarang, Ma?” tanya Edel
penasaran.
“Bukan pacar, tapi kesengsem. Cuma Mama gak merestui,”
jawabku penuh arti.
“Tumben tante otoriter, biasanya demokratis.” Lintang
merespon ucapanku.
“Soalnya, kalau Tante setujui, nanti kita sekeluarga jadi
terlibat dalam sinetron -Anakku Menantuku-.“
Edel dan Pak Dokter tergelak mendengar jawabanku, sementara
Mentari, Lintang, dan Maghrib masih bingung mencerna kalimat terakhirku.
“Hati-hati Tang, Dhuha naksir kamu lho.” Edel mempertegas
kalimatku.
Ibarat pepatah better late than never, Mentari dan Maghrib
tertawa berbarengan. Sementara Lintang yang menjadi objek penderita cuma bisa
manyun.
“Hari ini nasibku ngenes. Tadi sore tiba-tiba dimarahi Papa,
gara-gara Papa cemburu sama Ben. Malam ini justru mau dijadikan menantu sama
Emak tiri gue.”
0 Komentar