#The Doctor's Family (Jilid 2)










“Mama mana, Edel?” Aku sedang berada di halaman belakang ketika terdengar suara Pak Dokter menanyakan diriku pada Edel yang lagi di dapur dengan Mentari dan Lintang. 


Hari ini Sabtu, waktu masih menunjukkan pukul 16.30, tapi Pak Dokter sudah pulang dinas.
“Tumben pulang cepat,” bathinku.


Biasanya di saat beliau pulang, aku sedang berkumpul dengan anak-anak di teras, atau di ruang keluarga, dan terkadang di dapur. Kali ini, mungkin karena tidak melihat keberadaanku di antara para gadis, Beliau menanyakannya.


“Di halaman belakang, Pa.” Kudengar Lintang mewakili Edel menjawab tanya Papanya.


Tak berapa lama Pak Dokter menyusulku.


“Njenengan lagi ngapain?” Beliau bertanya sambil berdiri di sampingku.
Dan belum sempat aku menjawab tanyanya, Beliau kembali berlalu menuju ke dapur memanggil Lintang.


“Lintang, itu kenapa Tante yang mandiin Ben,” Kudengar  Beliau bertanya ke Lintang dengan nada sedikit tinggi.


“Wong Tante yang mau kok, Pa,”  Lintang menjawab tanya Bapaknya.


Aku  melangkahkan kaki menuju dapur sambil membawa Ben, seekor Blood Phyton remaja peliharaan Lintang. Ular yang juga dikenal dengan nama Dipong ini  panjangnya sudah mencapai satu meter . Lintang sudah memelihara ular ini sejak masih berujud bayi , itulah sebabnya Ben bisa jinak sekali. Sebenarnya Lintang mempunyai dua ekor ular peliharaan, yang satunya lagi jenis Phyton Reticulatus atau Sanca Kembang, yang diberi nama Tom, tapi karakternya agresif, aku kurang suka. Padahal sama seperti Ben, Tom juga dipelihara dari bayi. 


Sejak pertama melihat peliharaan Lintang ini aku langsung jatuh cinta. Saat Lintang terlalu sibuk dengan tugas-tugas sekolah, aku mengambil alih tugasnya untuk memandikan, membersihkan kandang, atau  memberi makan ketika waktunya harus makan. Ben dan Tom hanya makan ketika mereka sudah BAB, dan itu berlangsung  seminggu atau sepuluh hari sekali.  Tapi aku cuma bersedia mengurus Ben,  tidak dengan Tom. Setiap kami pulang ke Salatiga, Ben dan Tom selalu ikut serta, karena rumah Semarang kosong.


“Ada apa tho, Dok?” tanyaku santai sambil membiarkankan Ben melingkari lenganku, setelah bergabung  dengan ke empat anggota keluarga The Doctors di dapur.


Mentari, Lintang, dan Edel sedang mengeksekusi resep bolen pisang coklat. Edel menggiling adonan bolen, sementara Mentari melipat adonan yang sudah beberapa kali digiling setelah mengisinya dengan pisang dan mieses. 


Pak Dokter tidak menjawab tanyaku. Beliau meraih Ben dari lenganku, kemudian mengangsurkannya ke Lintang sambil berujar.


“Mulai sekarang, Tante gak boleh ngurusin Ben.”


“Kenapa tho, Dok?” Aku penasaran dengan sikap Beliau yang agak marah dengan Lintang karena membiarkanku memandikan Ben. Beliau tidak menjawab tanyaku.


Setelah Ben diserahkan Pak Dokter ke Lintang, aku menuju wastafel untuk mencuci tangan dan lengan. Pak Dokter juga mengikuti apa yang kulakukan. Selesai mencuci tangan, Beliau menuju meja makan, dan duduk di salah satu kursinya. Sementara aku membuatkan kopi untuk Pak Dokter. 


“Iya nih Papa. Biasanya juga Tante ngurusin Ben, Papa gak pernah marah.” Seolah menyetujui rasa penasaranku. sambil membelai-belai Ben yang melingkar di lengannya, sekali lagi Lintang memberi argumentasi pada Bapaknya.


Se-mug kopi untuk Pak Dokter kuletakkan di atas meja persis di hadapan Beliau, selanjutnya aku mendudukkan diri di kursi yang bersebelahan dengannya.


“Iya...tapi sekarang gak boleh lagi, ya.” Suara Pak Dokter kembali lembut seperti biasa, sambil menyambut kopi buatanku. Sementara Lintang masih manyun karena tanpa sebab musabab ditegur begitu saja. 


“Lintang gak salah lho, Om,” ujar Edel sambil memberi taburan keju parut di atas bolen yang sudah tertata di loyang. Setelah selesai, Edel mengulurkan loyang  ke Mentari, dan gadis remaja tersebut memasukkannya ke oven. Sementara Lintang berlalu ke teras samping untuk menjemur Ben sesaat sebelum memasukkannya  ke kandang.


“Tadi tu Mama bingung mo ngapain. Mo bantu kami baking kata Mama lagi gak mood, terus bilang sama Lintang mo mandiin Ben,” lanjut Edel.


“Iya Pa.” Bungsu Pak Dokter mendukung Edel untuk membela Lintang.


“Papa gak tau sih. Sejak Tante pindah ke Semarang, cinta Tante tuh dah gak seratus persen buat Papa, dah terbagi sama si Ben,” lanjut Mentari dengan santainya.


Aku, Pak Dokter, dan Edel, tertawa mendengar celotehan Mentari.


“Kok pulang cepat tho, Dok ?” Kuajukan pertanyaan yang sedari tadi belum sempat terucap.


“O..ya...itu saya bawa pesenan Njenengan,” ujar Beliau sambil bangkit dari duduknya kemudian berjalan menuju ke kamar kami.


“Memangnya saya pesen apa, Dok?” tanyaku  mengikuti langkah beliau.



@@@@@



Sekuntum mawar putih tergeletak di atas meja kerjaku. Sementara di sebelahnya terlihat kemasan alat pendeteksi kehamilan. Beliau mengambil bunga yang melambangkan kemurnian, kesucian, dan ketulusan tersebut, kemudian mengulurkannya kepadaku yang duduk di tepi tempat tidur.


“Untuk Njenengan,” ujar Beliau sambil mengecup keningku, kemudian duduk di sebelah.


“Dalam rangka?” tanyaku bingung sambil menerima pemberian Beliau. 


Tidak seperti biasanya, aku selalu deg-degan setiap Beliau memberi perlakuan istimewa. Kali ini semuanya terasa biasa saja. Mungkin tersamar oleh rasa bingung dan penasaran akan sikap Beliau yang tadi tiba-tiba marah ke Lintang, dan sekarang tiada angin tiada hujan menghadiahiku sekuntum mawar.


Kucium kuntum mawar yang masih setengah mekar tersebut, aromanya lembut dan samar.


“Mawar putih itu biasanya diasosiasikan sebagai permulaan yang baru. Dan saya berharap, ada kehidupan baru yang bersemayam di sini,” ujar Beliau sambil mengelus perutku lembut.


Aku terkesima mendengar kalimat Beliau, tidak menyangka kalau ternyata Beliau begitu berharap aku benar-benar hamil. Kuletakkan kembali bunga pemberian Beliau di atas meja.


“Njenengan terlalu berharap, Dok. Wong saya tu cuma lemes gak semangat kok. Lagian kan belum ditest.” Ada seberkas kekhawatiran akan keyakinan Beliau tersebut.


Pak Dokter berdiri, melangkah ke meja kerja, mengambil kemasan alat pendeteksi kehamilan yang terletak di atasnya.


“Besok pagi kita test, ya,” ujar Beliau sumringah sambil mengacungkan benda yang dipegangnya tersebut.


“Njenengan ingat, bulan lalu kita ke Lava Tour Merapi tanggal berapa?” Beliau menguji daya ingatku ketika kami sekeluarga menghabiskan libur akhir pekan di Yogya.


“Tanggal 15,” jawabku singkat.


“Sekarang tanggal berapa?”


“Tanggal 25.” Aku mulai memahami arah pertanyaan Beliau.


Pertengahan bulan lalu ketika kami berakhir pekan ke Yogya aku dalam kondisi datang bulan. Dan bulan ini, walau sudah berada di angka 25 tapi tamu bulanan belum datang. Diri ini takjub dengan ingatan dan perhatian Beliau. Aku sendiri yang punya badan tidak mengingatnya. Maklum sejak kembali menjadi single aku kurang perhatian dengan jadwal bulanan, dan kebiasaan itu terus berlanjut ketika diri ini sudah menjadi istri Pak Dokter.


“Kok Njenengan bisa ingat tho, Dok?” tanyaku sungguh-sungguh heran.


“Ya ingat. Wong bulan ini jatah saya masih rutin, belum terpotong cuti bulanan,” ujar Beliau sambil tersenyum menggodaku. (Sstttt...rutin di sini bukan berarti tiap hari ya, bisa lempoh Emak Maghrib kalau tiap hari keramas.)


“Njenengan bener-bener pengen saya hamil tho, Dok?” tanyaku serius ketika Beliau sudah kembali ke sebelahku.


“Kenapa kok tanya seperti itu?” Bukannya menjawab tanyaku, Beliau malah balik bertanya.


“Ya cuma mau tau aja, Dok?”


“Njenengan gak siap punya anak dari saya?” Beliau mengulang pertanyaan yang kemarin pagi sudah terucap, masih dengan nada yang sama, sedikit kecewa.


Dan aku kembali  jatuh iba mendengar nada kecewa dalam ujaran Beliau. Sejujurnya, aku tidak siap hamil di usia yang sudah terlalu matang. Bukannya mendahului takdir, tapi aku was-was dengan segala resiko kehamilan di usia paruh baya. Sementara Pak Dokter yang praktisi kesehatan justru lebih meyakini kekuasaan Allah, bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini tidak ada yang  kebetulan, semua sudah tertera di catatan Allah. Begitu juga seandainya Allah menyatukan sel sperma Pak Dokter dengan sel telurku dalam wujud calon bayi, pasti Allah sudah punya rencana untuk kami. Jadi menurut Beliau, kita hanya perlu menjaga diri tapi tidak harus khawatir berlebihan. Bahkan menurut Beliau, itu semua rejeki.


“Nyonya...kenapa melamun?” 


Mendengar tanya Pak Dokter, kuarahkan tatapan ke bola mata Beliau. Mungkin Beliau bisa melihat ada ragu dan khawatir dalam tatapanku.


“Njenengan takut?” Ujarannya bermakna seolah Beliau mengetahui apa yang ada dalam benakku.


“Saya siap banget punya anak dari Njenengan, Dok. Tapi saya takut,” jawabku jujur.


Beliau mengulurkan kedua tangan, merengkuh diri ini dalam pelukannya. Aku terbuai dalam kehangatan dekapannya. Walau belum berganti pakaian sepulang dinas, namun aroma maskulin tetap mengalir dari tubuh Beliau, bercampur dengan aroma peluh yang justru memberi sensasi tersendiri bagi diri ini. Pelukan hangat dan penuh kasih ini sedikit banyak mengurangi rasa galau yang menyelinap ke relung hati.


Aku tidak ingin hamil, tapi aku juga tidak ingin mengecewakan Pak Dokter. Jika memang Beliau sangat berkeinginan memiliki anak dariku, aku siap. Rasa cinta pada Beliau mengalahkan ketakutan yang membelenggu jiwa.


Beliau melepas pelukannya, kemudian mengecup bibirku sesaat.


“Udah lega ?” tanya Beliau sambil menatapku penuh kasih.


“Lumayan,” jawabku singkat. Karena jujur, pelukan hangat yang berpadu dengan aroma maskulin serta peluh Beliau  memang bagai aroma therapy yang mampu mengusir kegalauan dalam diri.


“Nyonya...saya tidak memaksa untuk bisa dapat anak dari Njenengan, karena saya sudah cukup bahagia dengan kelima anak yang kita miliki sekarang. Tapi saya sadar, kemungkinan untuk itu selalu ada, karena Njenengan belum monopause. Apalagi kita membiarkan semuanya berjalan secara alami, tanpa KB,” Pak Dokter mencoba menenangkan diriku yang sedang galau.


“Tapi kenapa Njenengan terlihat antusias banget, Dok. Pake ngasih mawar segala,” tanyaku heran.


“Rasa antusias saya bisa menjadi penawar rasa takut Njenengan.” Beliau menjawab tanyaku secara diplomatis.


“Saya tau, Njenengan berada di usia rentan. Itu sebabnya saya pantau periodesasi Njenengan, supaya kalau telat seperti ini kita bisa langsung test. Dan kalau ternyata beneran hamil, kita jaga bener-bener kondisi Njenengan. Asupan makanan, aktivitas dan waktu istirahat, tensi, hb, kadar gula. Intinya kita antisipasi dan berusaha maksimal untuk menjaga semuanya supaya gak terjadi hal-hal yang gak diharapkan.” 


Duh....ya Allah...aku jatuh cinta lagi. Pada dia, lelaki dewasa yang begitu menyayangiku sepenuh hati. Perhatiannya begitu penuh, hingga untuk hal-hal yang tidak kusadari, beliau justru telah memikirkannya dengan cermat.


Tanpa basa-basi kukecup bibirnya sekilas, kemudian kupeluk Pak Dokter erat. Beliau membalas pelukanku. Hangat, penuh kasih, tanpa nafsu.


“Makasih, Dok. Karena sudah menyayangi saya begitu tulus,” ujarku dalam pelukannya.


Beliau tidak membalas ucapanku, namun bisa kurasakan dekapannya menjadi lebih erat. Tetiba aku teringat sesuatu, kulepaskan pelukan yang menyatukan kami.


“Kalau Njenengan gak memaksa dapat anak dari saya, kenapa kemarin dan tadi nada bicara Njenengan seolah kecewa melihat saya yang belum siap?” tanyaku penasaran.


Aku memang selalu penasaran untuk hal-hal kecil yang kadang terselip dalam setiap perbincangan kami.


“Saya kecewa, karena kalau seandainya adek Maghrib sudah ada di sini, tapi Njenengan tidak siap menerimanya, bisa berdampak  secara psikologis terhadap dia,” ujar Pak Dokter sambil memegang perutku.


Hhmmm...alasan yang masuk akal.


“Saya siap, Dok. Bahkan sangat siap,” ujarku penuh keyakinan.


Beliau tertawa melihat ekspresiku yang mungkin terlihat begitu PD.


“Besok kita test ya. Dan mulai sekarang jangan lagi megang-megang Ben dan Tom.”


“Njenengan tadi kenapa marahin Lintang?” tanyaku teringat peristiwa di dapur tadi.


“Walau kita hidup di abad milenial, dan meskipun saya orang kesehatan, tapi saya masih tersugesti dengan hal-hal yang demikian. Maksud Njenengan baik, Njenengan mengurus Ben, bukan menyakiti. Tapi saya minta, lebih baik gak usah lagi  ngurusin Ben dan Tom, ya.” Beliau mengulangi permohonannya agar aku menjauhkan diri dari kedua hewan peliharaan Lintang tersebut.


“Saya gak pernah ngurus Tom, kok. Saya gak suka, soalnya Tom agresif,” jawabku sedikit manja. Kesempatan, mumpung Pak Dokter sudah bersiap siaga memperlakukan diri ini bagai putri raja.


“Saya agresif tapi kok Njenengan suka ?” Beliau menggodaku dengan tanyanya. 


“Memangnya Lebih agresif mana, Tom atau saya?” lanjutnya dengan tawa terburai karena melihatku cemberut.


Aku mencubit perutnya kemudian mengambil mawar yang tergeletak di atas meja, setelahnya berlalu keluar kamar meninggalkan Beliau dengan tawanya.



@@@@@



Aku dan Pak Dokter sedang berbincang santai di teras, menikmati malam Minggu hanya berdua saja. Sementara Edel mengajak adik-adiknya keluar. Tadi minta izinnya  mau cari cemilan dan keliling-keliling Salatiga. Padahal sesore tadi, ketiga gadis itu sibuk berjibaku di dapur bikin bolen, sekarang malah cari cemilan ke luar.


“Lho...kok anak-anak sudah pulang tuh,” ujar Pak Dokter ketika mendengar suara klakson mobil di depan pintu gerbang.


Terlihat Maghrib turun dari mobil dan membukakan pintu gerbang yang tidak terkunci. Mobilio hitam milik Edel segera meluncur mulus langsung menuju garasi.


“Kok sudah pulang?” tanyaku begitu Lintang, Mentari, dan Maghrib bergabung dengan kami di teras.


Maghrib dan Mentari mengambil posisi duduk di kiri kananku. 


“Tadi cuma ke singkong keju D9 thok kok, Tan,” jawab Mentari mewakili semuanya.


“Buat Tante sama Papa.” Lintang meletakkan bungkusan di meja teras, kemudian duduk di sebelah Bapaknya.


“Gak jadi keliling-keliling?” tanya Pak Dokter.


“Lha itu dek Maghrib ribut minta pulang. Katanya ngantuk,” ujar Edel yang baru menyusul ke teras sambil menunjuk Maghrib, dan mengambil posisi duduk di sebelah Lintang.


“Memang aku capek kok mbak. Tadi renang seharian,” ujarnya berargumentasi.


Bungsuku itu selalu memanfaatkan saat kepulangan kami ke Salatiga untuk bertemu teman-teman lamanya. Biasanya mereka menghabiskan waktu dengan berenang.


“Maghrib mau punya adek gak?” Tiba-tiba Pak Dokter mengajukan pertanyaan yang tak terduga kepada bungsuku.


Aku memberi kode pada Beliau, tapi yang dikode seolah tak perduli.


“Memangnya kenapa, Om?”


“Tante hamil ya, Pa?” tanya Lintang antusias.


“Serius....Mama hamil?” Edel pun tak kalah kaget.


“Mau...mau..., Om.” Maghrib yang mendengar respon kakak-kakaknya memberi jawaban yang telat atas pertanyaan Pak Dokter.


Sementara Mentari langsung mengelus perutku sambil menatapku dengan senyum penuh arti.


“Laki-laki ya, Ma. Biar aku ada temen. Lha ini aku dikeroyok tiga mbak-mbak.”


“Kan ada Mas Dhuha,” jawabku.


“Mas Dhuha jauh. Apalagi kalau nanti Mas Dhuha nikah sama orang Kalimantan, bakal gak pulang-pulang.”


“Mas Dhuha itu kesengsemnya sama orang Semarang,” ujarku sambil melirik Pak Dokter.
Beliau tertawa melihat kode dariku.


“Memang pacarnya Dhuha orang Semarang, Ma?” tanya Edel penasaran.


“Bukan pacar, tapi kesengsem. Cuma Mama gak merestui,” jawabku penuh arti.


“Tumben tante otoriter, biasanya demokratis.” Lintang merespon ucapanku.


“Soalnya, kalau Tante setujui, nanti kita sekeluarga jadi terlibat dalam sinetron -Anakku Menantuku-.“


Edel dan Pak Dokter tergelak mendengar jawabanku, sementara Mentari, Lintang, dan Maghrib masih bingung mencerna kalimat terakhirku.


“Hati-hati Tang, Dhuha naksir kamu lho.” Edel mempertegas kalimatku.


Ibarat pepatah better late than never, Mentari dan Maghrib tertawa berbarengan. Sementara Lintang yang menjadi objek penderita cuma bisa manyun.


“Hari ini nasibku ngenes. Tadi sore tiba-tiba dimarahi Papa, gara-gara Papa cemburu sama Ben. Malam ini justru mau dijadikan menantu sama Emak tiri gue.”











Posting Komentar

0 Komentar