#The Doctor's Family (Jilid 3)








[Dok...saya kangen pake banget.] Seuntai pesan kukirim kepada kekasih halal yang sedang berada nun jauh di pulau seberang.


Sudah  seminggu Pak Dokter berada di Makassar. Ini perpisahan terlama kami sejak menikah. Biasanya, saat harus ke luar kota, Beliau hanya membutuhkan waktu satu atau dua hari, paling lama tiga hari. 


[Sabar ya, besokkan udah bisa ketemu. Gambar hati berwarna merah] Balasan dari Beliau langsung aku terima.


[Njenengan mo dibawain oleh-oleh apa?] Pesan lanjutan dari Pak Dokter kembali menghiasi gawai.


[Saya gak mau oleh-oleh, saya maunya Njenengan cepat pulang.]


[Emak Maghrib kok sekarang manja, ya? Emotikon senyum.]


[Besok landing jam berapa, Dok? Saya jeput ya?] Rasa rindu yang begitu membelenggu membuatku tak mampu menunggu.


[Kalau gak delay, 08.25 sudah landing. Njenengan mo jeput naik apa? Anak-anak sekolah semua, siapa yang mo nyetir ? Makanya Njenengan belajar nyetir. Emotikon mengerling.]


[Saya jeput naik grab.] 


[Emotikon ketawa ngakak. Gak usah, Njenengan nunggu saya di rumah aja. Besok saya naik taksi, ya.]


[Saya kangen, Dok. Anggi  juga kangen sama Papa.] Kami biasa memanggil adeknya Maghrib dengan sebutan Anggi, kosa kata bahasa Batak yang berarti adik.


[Sama...saya juga kangen Njenengan, gambar hati berwarna merah. Peluk cium buat Anggi, bilang  besok Papa pulang.]



@@@@@



Aku sedang duduk manis di teras, menanti sang pujaan hati kembali ke sangkar. Perpisahan kali ini terasa beda. Setiap hari aku merindukan Pak Dokter dengan rasa kangen yang begitu menggebu. Walau setiap malam menjelang tidur Beliau selalu menghubungiku via video call, tapi tetap tak mampu untuk menghalau rindu.


Dan saat ini, waktu masih menunjukkan pukul 09.00, namun aku  sudah berdandan rapi, tak sabar menanti kepulangan Beliau. 


Bagai ABG yang sedang menunggu pacar untuk wakuncar, begitu juga situasi yang kualami saat ini. Gelisah dan tak betah duduk di teras, aku masuk ke rumah, melintasi ruang tamu, kemudian singgah di ruang keluarga, menyalakan televisi. Baru sesaat, rasa jenuh melanda, kumatikan kembali kotak bergambar tersebut. 


Dari ruang keluarga aku berjalan menuju teras belakang, di sana ada kandang Ben dan Tom. Kuamati kedua hewan melata tersebut, rasanya ingin meraih Ben, mengeluarkannya dari kandang, tapi teringat pesan Pak Dokter supaya aku tidak lagi bermesraan dengan kedua hewan seksi tersebut. Tak ingin menjadi istri durhaka, kuurungkan niat mengambil Ben.


“Ibu jangan pegang-pegang Ben dan Tom, nanti Bapak marah.” Tiba-tiba Mbak Ramlah, ART Pak Dokter yang baru selesai menjemur cucian di area jemur melintas di teras. Beliau seolah mampu menerawang apa yang ada dalam pikiranku.


Mbak Ramlah, wanita bertubuh kurus tinggi berusia sekitar 40 tahun, ikut Pak Dokter sejak Mamanya Lintang meninggal. Waktu itu almarhum ibu Pak Dokter merasa terlalu berat untuk mengasuh dua orang anak usia di awal SD. Jadi walau sudah ada Mbak Kas, akhirnya Pak Dokter mencari ART tambahan –Mbak Ramlah- untuk mengasuh anak-anak.


“Gak, Mbak. Saya cuma lihat-lihat aja.” Aku membalas ujaran Mbak Ramlah sambil tersenyum.


Selanjutnya diri ini beranjak melintasi ruang makan, langsung menuju dapur.  Mbak Kas sedang menumis bumbu. Sejak ada kehidupan baru di rahim, aku jarang ke dapur. Aroma masakan sering membuatku mual. Jadilah sekarang semua urusan masak memasak kembali menjadi tanggung jawab penuh Mbak Kas, wanita berusia 45 tahun yang sudah mengabdi di keluarga Pak Dokter sejak Lintang lahir. Jadi dibanding Mbak Ramlah, Beliau jauh lebih senior. 


Sebenarnya dengan keberadaanku di rumah ini, kami hanya butuh seorang ART saja. Tapi karena Beliau berdua sudah cukup lama ikut Pak Dokter, kemudian sikap dan perilaku keduanya juga sangat baik, sopan, dan loyal, jadi tidak ada alasan untuk melepas salah satunya. Menurut Pak Dokter, gak ada salahnya tetap mempekerjakan mereka berdua, hitung-hitung berbagi rezeki. 


“Ibu gak mual nyium aroma masakan ?” Melihat kehadiranku, Mbak Kas mengajukan tanya.


“Nih mulai mual, Mbak,” ujarku jujur, “ Soalnya bosen duduk di teras. Nonton TV juga jenuh,  nungguin Pak Dokter lama banget.”


Mbak Kas tersenyum mendengar jawabanku, seolah memahami kalau wanita paruh baya ini sedang mengalami puber ketiga akibat gangguan si buah hati yang bersemayam manis di kantong rahim.


“Bawaan bayi ya, Bu?” tanyanya sarat makna.


“Mungkin, Mbak,” jawabku singkat, “Saya ke depan dulu ya, Mbak. Mo nunggu di kamar aja, tiduran bentar,” lanjutku.


“Nggih, Bu. Monggo,” jawab Beliau santun.


Kutinggalkan Mbak Kas yang kembali asyik dengan aktivitas memasaknya. Tidak lagi berniat duduk di teras depan, kulangkahkan kaki menuju kamar. Maksud hati ingin sejenak membaringkan  tubuh yang rasanya mulai gak jelas begini. Bukan capek, bukan penat, bukan pegal, ntah apalah ini namanya, yang pasti aku merasa sangat tidak nyaman.


Sesampainya di kamar, kurebahkan diri di peraduan, sekedar meluruskan kaki dan pinggang. Kehamilan yang mulai memasuki minggu ke-12 ini memang sering mengganggu. Mungkin karena  usia sudah tak muda lagi, jadi wajar kalau tubuh sering merasa tak nyaman. Namun aku bersyukur karena semua elemen dalam diri, seperti, tensi, hb, gula darah,  berada dalam batas normal. Pola makan juga masih bagus, walau sering diiringi mual. Berat badan  mengalami kenaikan yang wajar saja, namun layaknya orang hamil postur tubuhku mulai melar kurang sedap dipandang mata.


Sambil berbaring, kuraih gawai yang tergeletak di atas nakas yang berada di samping tempat tidur. Kukirim seuntai pesan kepada sang belahan jiwa.


[Njenengan sudah sampe mana, Dok?] Pesan terkirim dan dibaca.


“Sudah sampe sini, Nyonya.” Beliau menjawab pesanku sambil membuka pintu kamar.


Bagai anak TK melihat Bapaknya pulang kerja sambil membawa permen, kegembiraan meluap dari lubuk hati begitu mendengar suara dan melihat sosoknya memasuki kamar. Rasa tak nyaman yang membelenggu diri seakan hilang, terbang terbawa hembusan angin. Tak tau lagi kemana rimbanya.


Keberadaan lelaki gagah dengan senyumnya nan menawan  di depan mata, membuatku kembali bugar. Aku bangkit dari peraduan, kuletakkan kembali gawai di atas nakas, kemudian menghambur ke pelukan Pak Dokter.


“Saya kangen banget, Dok.” Ujarku tanpa basa basi sambil melingkarkan kedua tangan ke tubuh Beliau dan menyandarkan kepala ke dada Beliau yang bidang.


Pak Dokter membalas pelukanku, menciumi ubun-ubunku, seolah memahami kalau pujaan hatinya sedang terkena sindrom malarindu tropikangen akut.


“Njenengan kangen gak sama saya, Dok?”


“Pastinya kangen tho, Nyonya.”


“Tapi kok Njenengan gak ngomong kangen ?” Aku sedikit protes pada Pak Dokter.


Beliau tertawa renyah mendengar protesku, kemudian mencium keningku dengan lembut.


“Masa-masa saya mengungkapkan kangen dengan kata-kata sudah berlalu. Dulu sebelum kita menikah, saya cuma bisa mengungkap rasa rindu dengan ucapan. Tapi kalau sekarang, rindu itu bisa saya ungkapkan dengan ini dan ini,” ujar Beliau sambil mengecup  kening dan bibirku.


Aku tertawa kecil menanggapi perkataan dan perbuatan Beliau.


“Anggi nakal gak?” Beliau melonggarkan pelukannya, kemudian mengelus perutku yang mulai menyembul.


“Gak dong, anak Pak Dokter kan baek budi,” ujarku sambil memegang tangan Pak Dokter yang berada di perut. Kutuntun tangan itu untuk menelusuri perut ke segala arah, menyapa buah cinta kami.


Setelahnya, aku melepas pelukan Pak Dokter. Kerinduanku sudah berlabuh di dermaganya. Kemudian diri ini melangkah menuju lemari untuk mengambilkan baju ganti buat Pak Dokter.


“Ganti baju dulu, Dok. Terus nanti saya bikinin minum,” ujarku sambil mengulurkan kaos rumahan dan celana pendek.


Sementara Pak Dokter berganti baju, aku membuka travel bag Beliau sambil duduk di tepi tempat tidur, memilah-milah isinya antara yang kotor dan bersih.


Selesai berganti baju, kulihat Pak Dokter menuju kamar mandi, mungkin ingin cuci muka dan bersih-bersih.


Keluar dari kamar mandi, Beliau langsung menuju peraduan.


“Kalau saya istirahat bentar gimana ?” ujar Pak Dokter  sambil  merebahkan tubuhnya seolah hendak melepas penat.


“Tadi malam setelah  acara selesai, ngobrol dengan teman-teman sampai menjelang tengah malam. Terus tadi pagi harus bangun gasik karena ikut penerbangan pertama. Di pesawat gak bisa tidur, penumpang yang duduk di sebelah ngajak cerita terus,” lanjut Beliau.


Aku yang masih berurusan dengan pakaian-pakaian Beliau menatapnya sejenak. Sebenarnya diri ini masih ingin berbincang melepas rindu sambil mengajaknya keluar, tapi melihat wajah Beliau yang menyiratkan aura lelah, hatiku jatuh iba. Namun sisi lain diriku seakan mengabaikan rasa iba tersebut, menggantinya dengan ego yang harus di kedepankan. Beliau membalas tatapanku.


“Kenapa melihat saya seperti itu, Nyonya ? Kangennya belum hilang?” Seolah memahami isi hatiku, Beliau mengajukan tanya. 


“Gak pa-pa, Dok. Njenengan gak minum dulu ?” tanyaku dengan lembut.


“Sebenarnya saya pengen ngajak Njenengan makan kupat tahu Batoar,” lanjutku dengan nada memelas sebelum Beliau menjawab pertanyaanku.


Pak Dokter kaget mendengar ucapanku.


“Kupat tahu Batoar?” Seolah tak percaya, Beliau mengulang ucapanku.


Wajar kalau Beliau kaget, karena kupat tahu Batoar itu adanya di Temanggung, kalau dari Semarang butuh waktu dua jam perjalanan untuk bisa tiba di sana. 


Aku mengangguk dengan perasaan berkecamuk, antara kasihan dan ingin yang teramat sangat.


“Kalau kupat tahunya diganti tahu gimbal aja gimana?” Beliau mengajukan barter untuk memenuhi rasa kepinginku.


Sejatinya kupat tahu dan tahu gimbal adalah sejenis makanan yang senada seirama, alias gak jauh beda. Hanya karena beda daerah, jadi mereka pun memiliki sebutan beragam. Makanan dengan bahan utama ketupat, tahu goreng, irisan kol mentah, tauge, irisan seledri, bawang goreng, kerupuk, kemudian disiram dengan sambal kacang plus kecap tersebut disebut kupat tahu di Temanggung, sementara di Semarang namanya menjadi tahu gimbal karena ada penambahan bakwan udang (gimbal). Dan di daerah Salatiga, Ambarawa, di sebut tahu campur.


Aku menggeleng menolak tawaran Pak Dokter. Pak Dokter bangkit dari posisi tidurnya, kemudian menurunkan travel bag yang tergeletak di atas kasur ke lantai. Setelah itu kembali merebahkan diri sembari merengkuhku untuk ikut berbaring. Sambil mendekapku, Beliau berujar dengan lembut.


“Saya tidur sebentar, nanti Njenengan bangunin saya pas azan Zuhur, ya. Setelah sholat Zuhur kita ke Temanggung, oke ?” Pak Dokter mencoba membujuk istrinya yang mulai bersikap manja tak menentu.


“Tapi Njenengan capek ?” Diri ini mulai terombang ambing antara ego dan iba.


“Tapi Njenengan pengen ?” Pak Dokter menirukan ucapanku sambil tertawa menggoda.


“Nanti  habis Zuhur kita berangkat. Sekarang Njenengan di sini aja, mainan handphone sambil nemenin saya tidur, ya?” lanjut Beliau.


Tak butuh waktu lama, selanjutnya lelaki yang begitu baik hati tersebut mulai memejamkan mata. Aku melepas dekapan Pak Dokter.  Kupandangi wajahnya yang telah membuat hati ini porak-poranda dan selalu jatuh cinta. Tiba-tiba perasaan melankolis menyelimuti jiwa. Aku takut kehilangan Beliau. 


Aku pernah mengalami fase kehilangan ketika Pak Dokter masih menjadi suami Mbak Widya. Saat-saat itu kurasakan begitu berat, karena secara hati dan phisik, kami berdekatan, tapi tidak bisa memiliki. Dan saat ini, tetiba perasaan takut itu kembali menyergap diri, karena lelaki-ku ini cukup potensial untuk menarik minat lawan jenis, walau usianya sudah tak muda lagi.


“Pasti yang ngajak ngobrol di pesawat tadi cewek cakep.”


Walau matanya sudah terpejam, namun aku tahu kalau Beliau belum terlelap. Dan demi mendengar ucapanku, Beliau kembali membuka mata. Pak Dokter menatapku sambil tersenyum menggoda.


“Emaknya Maghrib cemburu, ya,” gurau Beliau.


Entah kenapa, hatiku seolah menyetujui ucapan Beliau. Membayangkan Pak Dokter mengobrol akrab dengan wanita lain yang pastinya keren dan smart, sampai membuat Beliau betah melakoni perjalanan jauh tanpa tertidur.


Selama mengenal dan menjalin hubungan dengan Pak Dokter, aku belum pernah dilanda cemburu, karena meyakini cinta Beliau kepadaku melimpah ruah. Tapi tidak kali ini. Menyadari umur yang tidak lagi muda, dan tubuh yang semakin membengkak, apalagi diri ini tak lagi produktif. Sejak hamil, Pak Dokter melarang menerima orderan snack atau tart, aktivitas menulis juga terhenti sama sekali, semua kondisi ini membuatku mengalami krisis percaya diri.


“Siapa jugaaa yang cemburu,” jawabku pura-pura cuek, padahal sebenarnya taring dan tandukku sudah mulai menyembul perlahan-lahan. Asap tipis pun mulai keluar dari hidung.


“Yang duduk di sebelah saya itu laki-laki, sudah sepuh. Kalau orang sudah sepuh kan biasanya seneng ngobrol, dan seneng kalau ada yang berkenan mendengar omongannya. Masak emaknya Maghrib cemburu dengan kakek-kakek. Lagian, bagi saya wanita smart yang paling mempesona di muka bumi ya cuma Njenengan.” Pak Dokter merayuku dengan jurus andalannya, gombal mukiyo.


Bukannya tersanjung, aku justru tersinggung dengan bualan Beliau.


“Nenek-nenek minum ciu juga tau Dok kalau saya ini gak mempesona, udah tua, udah gak menarik, ditambah lagi sekarang badan saya melar, gak langsing lagi,” ujarku sambil bangkit dari tempat tidur.


Beliau tertawa kecil mendengar ucapanku.


“Kok bawa-bawa nenek-nenek minum ciu segala?” Beliau seakan belum menyadari kalau ego-ku sedang bermain.


“Pujian Njenengan terlalu absurd, yang 90 persen isinya bagai janji kampanye...gak nyata,” lanjutku sambil berlalu keluar kamar.



@@@@@



Aku berjalan menuju teras belakang. Begitu tiba di teras, aku memilih kursi di sebelah kandang Ben, mendudukkan diri di atasnya sambil mengamati hewan peliharaan Lintang yang sedang melingkar dengan damai. Perasaanku tak menentu. Aku jengkel dengan diri sendiri karena merusak suasana indah yang baru saja tercipta  dengan Pak Dokter. Tapi perasaan melankolis, cemburu tak menentu, dan marah tanpa alasan itu datang begitu saja, bahkan aku pun tidak menginginkannya. Aku kasihan dengan Pak Dokter, masih capek, butuh istirahat,  istrinya malah rewel.


“Dari pada nungguin Ben, lebih baik nungguin saya tidur.” Tiba-tiba Pak Dokter sudah duduk di sampingku.


Begitu mendengar suara Beliau, rasa kasihan yang tadi menyelinap di dalam hati, tiba-tiba  menghilang, sang ego kembali membelenggu diri. Walau sebenarnya aku ingin bertanya, kenapa Beliau tidak jadi tidur, kuurungkan niat tersebut.


“Njenengan kenapa kok tiba-tiba ngambek ?” tanya Beliau penuh kehati-hatian.


“Gak pa-pa, Dok.” jawabku singkat sambil fokus mengamati Ben.


“Mau ke Temanggung sekarang ?” Beliau seolah berusaha untuk membujukku.


“Gak, saya gak mau ke Temanggung,” balasku datar.


“Tadi katanya pengen kupat tahu Batoar.”


“Udah gak pengen lagi.”


“Sekarang Njenengan pengen apa?” tanya Beliau lembut.


“Gak pengen apa-apa.” Aku tetap menghindar beradu pandang dengan Pak Dokter.


“Ayo banyak-banyak istighfar, biar jengkelnya hilang. Saya tau sebenarnya Njenengan juga gak nyaman kan ngambek begini ?” Bagai cenayang, Beliau seakan memahami isi hatiku.


Rasa iba kembali menyelimuti jiwa. Aku mengalihkan pandang ke arah Beliau. Wajahnya terlihat lelah, tapi beliau begitu sabar menghadapiku. Pak Dokter tersenyum melihatku sudah bersedia beradu pandang.


“Perasaan pengen marah dan ngambek yang berlebihan jangan dituruti ya, kasian Anggi kalau Mamanya terlalu sering ngambek,” ujar Beliau lagi.


“Njenengan kok gak jadi tidur, Dok?” Ego-ku mulai mereda.


“Mana mungkin saya bisa tidur, sementara Njenengan ngambek tanpa saya tau sebabnya apa.” Pak Dokter memposisikan tangan kirinya merangkul bahuku.


“Maaf ya Dok, saya rewel,” ujarku sambil menatap Beliau.


Beliau membalas tatapanku, kemudian tersenyum mendapati istrinya sudah kembali waras.


“Jadi mau ke Temanggung ?” Pak Dokter kembali mengajukan pertanyaan yang tadi kujawab dengan datar.


“Gak,”


“Kenapa ?” Beliau menatapku was-was, seolah memasang ancang-ancang kalau aku ngambek lagi.


“Kasian Njenengan, capek,” balasku seadanya.


“Njenengan gemesin, pengen saya gigit.”  Pak Dokter menggodaku sambil tertawa.


“Njenengan gak jadi tidur?” Kembali kuulangi pertanyaan yang tadi sudah terucap.


“Sudah nanggung, bentar lagi zuhur,” jawab Beliau.


Pak Dokter mendekatkan wajahnya ke telingaku, kemudian membisikkan seuntai kalimat.


“Saya pengen ketemu Anggi sekarang, setelah itu langsung mandi, nanti tidurnya habis Zuhur aja.”



@@@@@



Selesai sholat zuhur aku segera berganti pakaian, mematut diri di depan cermin sejenak. Walau perut sudah menyembul, tapi aku tetap lebih suka mengenakan celana jeans dibanding baju terusan longgar. Dan syukurnya di zaman sekarang ini, sangat mudah mencari celana-celana berkantung perut yang modis bagi kebutuhan ibu hamil. 


Sambil menunggu Pak Dokter yang belum pulang dari mesjid, selesai berdandan aku menyambangi Mbak Kas yang sedang menyiapkan makan siang.  Anak-anak belum pulang sekolah. Dengan program lima hari sekolah, otomatis jam belajar mereka lebih panjang, biasanya ketiga bocah baru akan tiba di rumah setelah jam menunjuk ke pukul 17.00. Jadi makan siang yang sedang ditata Mbak Kas itu diperuntukkan bagiku dan Pak Dokter.


“Saya gak makan lho, Mbak,” ujarku pada Mbak Kas sambil menarik kursi, kemudian mendudukkan diri di atasnya.


“Lho...kasian Anggi kalo Ibu gak makan.” Mbak Kas mengingatkanku akan keberadaan adeknya Maghrib.


“Soalnya mau  makan kupat tahu mbak. Ni lagi nunggu Bapak, mo ke Temanggung.” Aku mengambil sebuah jeruk, mengupasnya perlahan.


Sebenarnya aku sudah gak berniat untuk pergi ke Temanggung, tapi kali ini gantian Pak Dokter yang memaksa. Padahal tadi Beliau bilang setelah sholat zuhur mau tidur. Tiba-tiba  sebelum berangkat ke mesjid Beliau pesan supaya aku bersiap-siap, selesai zuhur langsung meluncur. Mungkin setelah ketemu Anggi, tenaga dan semangatnya jadi full kembali.


“Ke Temanggung mau ngapain, Bu ?”


“Ya makan kupat tahu,” jawabku sambil memasukkan siung jeruk ke mulut.


Terlihat ekspresi wajah Mbak Kas yang kaget mendengar jawabanku.


“Jauh banget, Bu. Mo makan kupat tahu aja sampe ke Temanggung ?”


Belum sempat aku menjawab tanya Mbak Kas, dari pintu samping terdengar Pak Dokter mengucap salam, dan sesaat kemudian Beliau sudah berada di ruang makan. 


Melihat kehadiran Pak Dokter, Mbak Kas yang sudah menyelesaikan tugasnya meninggalkan kami berdua. Pak Dokter menarik kursi kemudian duduk dan bersiap untuk makan.


“Njenengan mo makan dulu, Dok?” Pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu lagi kuajukan.


“Mbak Kas udah capek masak, udah nata meja untuk makan siang, kasian kalau gak ada yang makan.” Dokter cintaku ini memang bener-bener lelaki yang begitu menghargai sesamanya.


Aku meletakkan jeruk yang baru sebagian termakan, kemudian meraih piring dan menyendokkan nasi untuk Pak Dokter.


“Dikit aja,” ujar Beliau, “ Yang penting mengapresiasi pekerjaan Mbak Kas,” lanjutnya.


“Dok, gak usah ke Temanggung, ya?” Aku meminta Beliau untuk membatalkan rencana pergi kami.


Pak Dokter yang bersiap mengambil lauk menghentikan aktivitasnya, kemudian menatapku lekat. Sementara aku kembali asyik menikmati jeruk yang tinggal separuh.


“Anggi ngambek lagi?” tanya Beliau sarat makna.


“Enggak Dooookkk,” jawabku manja sambil tertawa kecil, “ Njenengan tidur aja, saya juga capek.”


Pak Dokter terlihat lega. Beliau mengambil lauk, sayur, kemudian mulai menyendok nasi ke mulutnya.


“Kalau gak jadi pergi, ya sekarang Njenengan makan dulu,” ujarnya.


“Saya gak selera makan, Dok.”


“Kasian Anggi.” Beliau membujukku.


“Saya makan buah aja. Nanti kalau pas pengen makan,  saya makan.” Setelah jeruk yang tadi kuambil habis, aku kembali meraih dua buah plum hitam. Buah eksotis tersebut kubelah dua, kemudian membuang biji tunggalnya, dan mengirisnya menjadi potongan yang tidak terlalu tebal. Sambil menemani Pak Dokter makan, kunikmati kekenyalan buah yang juga sangat bagus untuk diet tersebut.


“Ya sudah, saya manut kemauan Tuan Putri aja.” Beliau tertawa menggodaku, “Tapi jangan pake acara ngambek-ngambek lagi, ya,” lanjut Pak Dokter.


“Gak janji ya, Dok,” balasku sekenanya.


“Supaya gak ada waktu untuk ngambek, Njenengan nulis lagi gih. Hari Minggu mo cari bahan tulisan ke mana ? Biar saya antar. Gak usah yang jauh-jauh, nanti Njenengan capek.”


“Sebenernya saya punya pandangan untuk discover heritage, Dok. Tapi agak jauh.” Aku teringat bangunan gereja tua dan kantor polsek peninggalan zaman kolonial di daerah Kedungjati, kota kecamatan yang masuk dalam wilayah kabupaten Grobogan.


“Memangnya di mana?” tanya Pak Dokter antusias.


“Di Kedungjati.”


“Kalau dari Salatiga kan dekat. Ya udah, besok Minggu kita ke sana. Kalau anak-anak mau ikut diajak. Kalau gak mau, ya  kita berdua aja.” Pak Dokter menyudahi makan siangnya yang hanya sedikit.



@@@@@



Aku asyik berbalas pesan dengan Edel sambil berbaring di tempat tidur ketika Pak Dokter masuk ke kamar. Beliau baru pulang dari pengajian di rumah salah seorang perawat rumah sakit yang mengkhitankan putranya. Di saat Beliau punya waktu lega, Pak Dokter memang selalu menyempatkan hadir jika diundang seseorang, siapapun itu.


Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Lintang, Mentari, dan Maghrib sudah bersemayam di kamar masing-masing.


“Dok, besok Edel pengen pulang ke Semarang lho. Berarti kan kita gak pulang ke Salatiga.”


“Lantas ?” tanya Pak Dokter sambil berganti baju.


“Berarti besok Minggu gak jadi ke Kedungjati?”


“Ya jadi. Berangkat dari Semarang kan gak pa-pa,” jawab Beliau sambil naik ke peraduan setelah selesai berganti baju, kemudian membaringkan diri di sebelahku.


“Mbak Sih udah dikabari, kalau weekend ini kita gak pulang?” Beliau mengingatkanku untuk mengabari mbak ART kami.


“Sudah. Tapi saya tetap kasih izin kalau Mbak Sih mau pulang ke rumahnya. Cuma saya pesenin lampu teras sama semua lampu luar tetap dinyalakan.”


“Nyonya...Edel udah punya pacar apa belum tho?” Tiba-tiba Pak Dokter menanyakan pertanyaan yang tak biasa.


“Saya gak tau, Dok. Memangnya kenapa?” tanyaku penasaran.


“Sekarang umur Edel berapa?” Bukannya menjawab tanyaku, Beliau malah kembali melempar tanya.


“25 jalan 26. Kenapa tho, Dok?” Aku makin penasaran.


“Ada residen saya. Orangnya baik banget, pinter, gak neko-neko. Njenengan tau sendirikan masalah senioritas di PPDS, tapi dia gak terpengaruh tuh dengan hal-hal yang begitu. Umurnya dah 30. Setiap dia mendampingi saya, saya teringat Edel. Kalau Edel belum punya pacar bisa kita comblangi.”


Aku tergelak mendengar cerita Pak Dokter. Bisa-bisanya Beliau mikirin nyomblangin anak tirinya di tengah kesibukan yang begitu padat.


“Malu Dok, nyomblang-nyomblangi anak gadis kita,” ujarku lugas.


Sejak menikah, aku dan Pak Dokter membiasakan diri menjalani pillow talk, obrolan ringan menjelang tidur. Biasanya kami asyik mengobrol masalah apa saja, terutama masalah anak-anak dengan segala romantika dan problematikanya. 


Dan aku sangat menikmati kebersamaan model seperti ini dengan Beliau. Salah satu hal yang membuat aku kelimpungan kalau Beliau keluar kota, ya karena kehilangan momen pillow talk ini.


“Kenapa malu ? Edel sudah dewasa, berkualitas dari segi phisik dan intelektualitas. Dan  si residen ini juga sering ngobrol sama saya masalah jodoh. Kalau dari sisi dia, saya gak khawatir. Yang saya khawatirkan itu justru Edel.” Ternyata Pak Dokter juga sepemikiran denganku.


“Saya juga gak berani ngutak-ngutik Edel. Njenengan tau sendiri gimana sikap dia setiap Njenengan dateng ke rumah waktu kita masih STJ.”


“Apa itu STJ?” tanya Beliau heran.


“Status Tak Jelas.”


Beliau tertawa mendengar jawabanku.


“Njenengan seperti generasi alay, pake singkatan gak pakem begitu,” ujar Beliau di sela tawanya.


“Dok...” Panggilanku menggantung.


“Ya...”


“Kalau Dhuha beneran suka sama Lintang gimana, Dok ?” Kukeluarkan uneg-uneg yang kadang mengganggu pikiran.


“Ya nikahkan aja,” jawab Beliau santai.


“Njenengan ngawur Dok. Masak saya harus besanan dengan Njenengan.”


Beliau kembali tergelak mendengar ucapanku.


“Dari pada cinta si Dhuha gak kesampaian, nanti dia sengsara seperti saya dulu waktu masih mengejar Njenengan,” ujar beliau.


“Njenengan coba pelan-pelan tanya Edel, dia dah punya pacar apa belum.” Pak Dokter kembali mengalihkan pembicaraan ke masalah Edel.


“Ya...nanti saya coba,” jawabku singkat, “ Wah...saya jadi mikir nih, Dok,” lanjutku.


“Mikir apa?”


“Njenengan dokter, punya wacana mau nyomblangi Edel dengan dokter. Mentari juga ni mulai digoda pesan-pesan WA dari mahasiswa Njenengan. Kelihatannya saya bakal dikelilingi tukang suntik nih, Dok.”


“Siapa yang godain Mentari ? Anak kecil gitu dah mulai goda-godaan? Sama mahasiswa pula.” Pak Dokter kaget mendengar ceritaku. Beliau merubah posisi tidurnya, miring menghadap diriku.


“Gak tau saya. Cuma dia cerita, ada mahasiswa Papa yang mulai rajin ngirimi dia chat.” Aku juga menirukan perbuatan Beliau, memiringkan posisi tidur menghadap Beliau.


“Njenengan cari info lebih lanjut,  Mentari diajak ngomong pelan-pelan. Saya gak mau kalau  ketiga kakaknya malah dilangkahi Mentari.” Aku geli dan tak mampu menahan tawa mendengar kekhawatiran Beliau yang terlalu berlebihan.


Pak Dokter menggeser posisi tidurnya mendekatiku, kemudian membiarkan lengan kirinya untuk kujadikan bantal. 


“Saya bahagia karena di usia yang semakin menua, saya punya teman berbagi seperti Njenengan.” Kalimat Beliau terdengar begitu tulus. 


Pak Dokter mengecup bibirku lembut. Dan perbuatannya ini membuat jiwa dan ragaku terganggu sepenuhnya. Layaknya pengantin baru, mendapat kecupan lembut nan sederhana begitu, otot-ototku terasa mengejang.


“Tidur, yuk. Besok harus bangun gasik,” ujar Beliau yang terlihat mulai memejamkan mata.


“Dok....” Suaraku terdengar manja.


“Ya...”


“Gara-gara Njenengan cium, saya jadi pengen umroh,” lanjutku.


Pak Dokter yang sudah mulai memejamkan mata kembali terjaga demi mendengar kalimatku. Beliau menatapku dengan senyum penuh arti.


“I like the way you are, no basa-basi,” ujar Pak Dokter sambil kembali mengecup bibirku mesra.


“Anggi bener-bener anak kesayangan Papa nih. Tadi siang baru ketemu, sekarang dah pengen ketemu Papa lagi,” lanjut Beliau.


Belaian lembut dan penuh kasih Beliau curahkan sepenuh hati kepada sang belahan jiwa. Selanjutnya Pak Dokter bersiap mengantarku berangkat umroh.



 

Posting Komentar

0 Komentar