#The Doctor's Family (Jilid 4)









Selesai Sholat Subuh, aku berjalan hilir mudik di halaman depan, sekedar melemaskan otot-otot sambil menunggu Pak Dokter dan Maghrib yang belum pulang dari mesjid. Sementara ketiga anak gadis sedang berjibaku di dapur untuk membuat sarapan, karena walaupun akhir pekan ini kami tidak pulang ke Salatiga, tapi Mbak Kas dan Mbak Ramlah tetap mendapat jatah libur  untuk pulang ke rumah masing-masing.

Kupasrahkan kepada Edel, Lintang, dan Mentari untuk mengolah menu sesuai keinginan mereka, yang penting masakan lokal. Aku dan Pak Dokter memang lebih menyukai masakan Indonesia dibanding menu-menu asing yang kekinian. Berbanding terbalik dengan anak-anak yang lidahnya begitu gampang beradaptasi dengan segala jenis masakan luar. 
 
Namun dalam kondisi berbadan dua seperti ini, aku lebih sering sarapan dengan segelas susu hamil dan buah. Terkadang kalau sedang mood, diri ini ikut juga mencicipi menu yang tersaji.

Hari ini aku dan Pak Dokter berniat menyusuri jejak kolonial di Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan. Sementara anak-anak tak ada yang berminat untuk ikut ketika tadi malam sewaktu kami sedang berkumpul dan bersantai di teras samping, kuajukan penawaran pada mereka.

“Tante sama Papa aja yang ke sana. Dulu waktu masih pacarankan, Tante sama Papa kalau pergi selalu di kawal Dek Maghrib atau Mentari, pokoknya ada aja yang buntuti. Nah...sekarang kami bebasin deh pergi berduaan,” ujar Lintang menggoda Emak dan Bapaknya.

Pak Dokter cuma bisa tertawa mendengar celoteh si sulung. Mungkin Beliau terkenang masa- masa kami masih berstatus tak jelas, yang ke mana-mana selalu dibuntuti anak-anak.

Anak-anak menolak untuk ikut karena memang perjalanan kami nantinya tidak terlalu menarik. Hanya menyusuri dan mengambil photo gedung-gedung tua, serta mengumpulkan data tentang bangunan-bangunan bersejarah tersebut.

Mereka lebih memilih mengisi hari Minggu dengan menghadiri pesta sejuta buku di Auditorium UNDIP. Setelah dari sana, Edel  berencana untuk mentraktir adik-adiknya menonton film. 

 
@@@@


Waktu masih menunjukkan pukul 08.00 pagi. Aku dan Pak Dokter sudah bersiap untuk meluncur ke Kedungjati. Sementara anak-anak kuberi tanggung jawab untuk berbenah rumah sebelum pergi.

Maghrib kebagian tugas membersihkan halaman. Edel  membersihkan rumah wilayah lantai satu, sementara Lintang mengurus peliharaannya dan memegang area lantai dua. Mentari bertanggung jawab dengan dapur dan segala piranti kotornya.

Kupesankan pada anak-anak, baru boleh pergi kalau rumah sudah rapi. Bagi Edel dan Maghrib mungkin tugas ini tidak terlalu berat, karena mereka memang sudah terbiasa membantu aku atau Mbak Sih. Tapi tidak bagi Lintang dan Mentari yang selama ini selalu menikmati uluran tangan Mbak Kas dan Mbak Ramlah.

Namun, apapun itu, mereka sudah memasuki usia remaja akhir, jadi harus tetap dibimbing untuk bisa bersikap mandiri dan tertib. 

Setelah memastikan setiap anak bertanggung jawab dengan tugasnya masing-masing, aku dan Pak Dokter segera meluncur meninggalkan rumah. 

Perjalanan pagi ini kami awali dengan bismillah dan segenap rasa sukacita, karena kondisi cuaca, mood, dan tubuhku dalam keadaan prima. Melintasi tol Semarang – Salatiga yang diklaim sebagai salah satu ruas tol dengan pemandangan terindah di Indonesia, hanya memakan waktu tempuh selama 40 menit. 

Setelah memasuki kota Salatiga, Pak Dokter mengarahkan kendaraannya menuju ke rumahku. 

“Istirahat sejenak, biar Njenengan gak terlalu capek.” Begitu alasan Beliau  sambil memarkir mobil di halaman berumput nan luas.

“Saya gak capek kok, Dok,” ujarku sambil turun dari kendaraan.

“Gak pa-pa, Njenengan rebahan sejenak. Saya meriksa kondisi rumah,”  Beliau  memutar anak kunci, dan membuka pintu.

Begitu memasuki rumah, aku segera menuju  sofa yang berada di ruang keluarga dan merebahkan diri di atasnya. Sementara Pak Dokter menyingkap gordin ruang tamu dan ruang keluarga. Selanjutnya Beliau  memeriksa kamar per kamar, kemudian berlanjut ke ruangan-ruangan lain. Rumah ini sudah kosong sejak Jumat sore, wajar kalau Beliau begitu teliti memeriksa setiap sudutnya.

Selesai berkeliling, Beliau membawa segelas air putih untukku.

“Njenengan haus?” tanya Beliau sambil mengulurkan gelas tersebut padaku.

Aku bangkit dari posisi rebahan, menerima pemberiannya, kemudian meneguk isinya dengan seksama. Pak Dokter mendudukkan diri di sofa. Setelah meneguk air putih pemberian Beliau, aku kembali merebahkan diri, menggunakan paha Beliau sebagai bantal.

“Kira-kira Njenengan kuat gak?” Beliau seolah meragukan ketahananku untuk melanjutkan perjalanan.

“Kuat tho, Dok. Wong saya ini sedang dalam kondisi prima, kok,” ujarku meyakinkan Beliau.

“Kalau Njenengan gak kuat, gak usah memaksakan diri. Kita istirahat di rumah aja. Nanti siang atau  sore pulang lagi ke Semarang.”

“Sekali niat terpasang, pantang mengundurkan diri, Dok. Seperti Njenengan dulu waktu nekad menyusul saya ke Medan, padahal Njenengan gak tau keberadaan saya di Medan tu di mananya.” Aku mengingatkan Beliau akan kekonyolannya  saat Beliau masih dalam tahap mengejarku untuk diajak menikah.

Pak Dokter tertawa mendengar ucapanku.

“Kalau ingat saat-saat itu, saya bersyukur banget sekarang bisa menjalani hidup bareng Njenengan. Karena saat itu saya hampir putus asa meyakinkan Njenengan untuk mau berbagi dengan Mbak Widya.” Beliau jujur mengungkap perasaannya.

“Ngomong-ngomong, Mbak Widya sekarang di mana ya, Dok?” Ucapan Beliau tentang mantan istrinya mengingatkanku akan sosok wanita mungil dengan wajah cantik tersebut.

Sejak menikah dengan Pak Dokter, kami  tidak pernah membahas tentang keberadaan Mbak Widya. Hubungan Pak Dokter dengan Nyonya keduanya itu seolah putus tak berjejak, karena  memang di usia pernikahan yang hanya seumur jagung tersebut, mereka tidak punya sangkutan harta gono gini ataupun anak. 

Mendengar ucapanku. Pak Dokter menatap lekat. Tersirat keraguan dalam bola matanya untuk menjawab tanyaku.

“Njenengan teringat mbak Widya, nanti tiba-tiba ngambek karena cemburu, terus saya dicuekin lagi.”

“Gak lah, Dok. Wong saya ngerti perasaan Njenengan terhadap mbak Widya, kok.”

“Di hp saya ada nomer Mbak Widya. Njenengan salin gih. Kalau Njenengan pengen menjalin silaturahim dengan Beliau, monggo. Kalau saya, jujur sudah stop komunikasi sama sekali. Karena saya menghargai Njenengan dan suami Mbak Widya.”

“Ayo...jadi lanjut ke Kedungjati, gak ?” Beliau mengalihkan topik pembicaraan kami.

“Kenapa tho, Dok ? Kok seperti menghindar?” tanyaku penasaran.

“Saya takut Njenengan ngambek. Emosi Njenengan sekarang tu seperti cuaca di musim pencaroba, berubah-ubah tanpa bisa diprediksi. Sekarang ngobrol, manja-manjaan. Nanti tiba-tiba gak ada angin, gak ada hujan, ngambek.” Beliau menjawab tanyaku dengan jujur.

Aku tertawa kecil mendengar penjelasan Beliau, kemudian bangkit dari posisi rebahan. Kukecup lembut kedua pipi Beliau. 

“Saya ke kamar mandi bentar,” ujarku sambil berlalu meninggalkan Beliau.

Sementara Pak Dokter terdengar kembali menutup gordin ruang tamu dan ruang keluarga.


@@@@@


Perjalanan dari rumahku menuju Kedungjati hanya membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Setelah melewati Kecamatan Beringin yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Semarang, kami mulai memasuki kawasan Kecamatan Kedungjati yang berada dalam lingkup Kabupaten Grobogan.

Sesuai dengan namanya, di sepanjang rute menuju daerah ini kita akan disuguhi pemandangan hutan jati di kiri kanan jalan. 

Pohon jati merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan kayu bermutu tinggi. Tumbuhan ini berbatang lurus dan dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 30 sampai 40 meter. Pada saat musim kemarau, daun-daunnya yang lebar akan luruh, ini merupakan salah satu cara pohon jati bertahan hidup di puncak kekeringan sekalipun.

Di mataku, kondisi gundul dan meranggas tersebut, justru memancarkan keindahan yang bersahaja. Aku terkesima dengan eksotisme jajaran pohon-pohon berbatang lurus tersebut.

“Dok, berhenti sebentar. Saya pengen photo di hutan jati.” Aku meminta Pak Dokter menghentikan laju kendaraannnya.

“Nanti saja pulangnya. Sekarang kita ke tujuan utama dulu.” Tumben kali ini Dokter cintaku menolak keinginan pujaan hatinya.

Namun, Beliau seolah menyadari sesuatu, kemudian memperlambat laju kendaraan sebelum menghentikan mobil di bahu jalan. Sepertinya Pak Dokter teringat kebiasaan burukku selama hamil –ngambek- makanya tiba-tiba Beliau berubah pikiran.

“Mau photo di mana?” tanya Beliau setelah mobil terparkir sempurna.

“Di sana tadi. Gundulnya eksotis, yang di sini kurang bagus,” ujarku sambil menunjuk jajaran hutan jati yang sudah terlewati.

“Jadi ini sekarang mau balik lagi?” tanya Beliau penuh kesabaran.

“Gak usah, Dok. Nanti aja pulangnya,” jawabku.

“Serius atau ngambek?” Beliau memastikan kebenaran ucapanku.

“Serius, Dok.” Aku tertawa melihat Beliau yang terlalu khawatir kalau aku tiba-tiba ngambek.
Beliau kembali memacu kendaraan menyusuri jalanan beton nan mulus ini.

“Kenapa tho Dok, Njenengan kok khawatir banget kalau saya ngambek?” tanyaku setelah kami kembali melanjutkan perjalanan.

“Saya bingung kalau Njenengan ngambek, diam seribu bahasa. Kalau ditanya jawabannya sepotong-sepotong. Jujur, saya lebih rela diajak nganter Njenengan ke mana aja, bahkan ke ujung dunia sekalipun, dari pada dicuekin dan didiemin,” ujar Beliau sambil tetap fokus memandang ke depan karena kondisi jalan mulai berlika-liku.

“Anteri saya ke Raja Ampat sekarang, Dok,” ujarku spontan sambil memandang Beliau.

Pak Dokter mengernyitkan dahi sambil menatapku sekilas, kemudian kembali mengalihkan pandang ke depan. Aku tertawa melihat ekspresinya.

“Makanya, jangan lebay, Dok. Tadi katanya siap ngantar saya ke mana aja, bahkan ke ujung dunia sekalipun. Ehh...diminta ngantar ke Raja Ampat aja bingung.” Aku menggoda Beliau sambil mencubit perutnya pelan.

Walau cubitanku begitu pelan, tapi akting Beliau kembali lebay.

“Awww...sakit.” Beliau menjauhkan perutnya dari jangkauan tanganku sambil tertawa

“Njenengan lebay, Dok. Katanya sakit, tapi kok ekspresinya ketawa,” ujarku lugas.


@@@@@



Selesai sholat Isya, aku merebahkan diri di pembaringan. Ternyata usia memang tidak bisa berbohong. Tubuhku letih setelah menikmati perjalanan ke Kabupaten tetangga tadi. 

Padahal setibanya di lokasi, kami hanya sekedar mengambil photo GKJ di desa Kaliceret, Kantor Polsek Kedungjati, dan Stasiun Kereta Api. Kemudian mengumpulkan data dari gedung-gedung peninggalan bersejarah yang kami photo tersebut, dan selanjutnya kembali ke Semarang, sambil menyempatkan diri berphoto ria di tengah eksotisme hutan jati.

Walau belum terasa mengantuk, namun aku memejamkan mata sejenak. Terdengar suara pintu kamar terbuka. Mata yang baru sepersekian detik tertutup kembali kubuka. Pak Dokter memasuki kamar, Beliau baru pulang dari menunaikan sholat Isya.

“Njenengan gak makan?” tanya Beliau sambil duduk di tepi tempat tidur. Pak Dokter memijat betisku perlahan.

“Gak selera, Dok,” ujarku sambil menikmati pijatan Beliau.

“Capek, ya?” 

“Iya.”

“Tadikan sudah saya bilang, kalau gak kuat gak usah jadi pergi.” Beliau masih terus memijat kedua betisku. 

“Tadi pagi masih semangat, Dok.”

“Sekarang makan ya. Saya suapin.” Beliau berusaha membujukku sambil tetap memijat. Kini pijatannya beralih ke kedua tanganku.

“Gak selera, Dok.”

“Kasian Anggi.” Dengan sabar Beliau terus membujukku, “Atau minum susu ya? Sama buah atau roti?” lanjut Beliau. 

Lelaki paruh baya ini selalu membuatku jatuh cinta berulang-ulang. Kebaikan dan kesabarannya begitu tulus.

“Susu aja, Dok. Sama telur rebus, tapi jangan terlalu mateng,” pintaku manja.

“Sebentar ya, saya suruh Mbak Kas dulu.” Beliau mengecup keningku lembut, kemudian berlalu menuju pintu  kamar untuk memberi titah kepada Mbak Kas, yang sore tadi sudah kembali dari liburnya.

“Saya turun aja, Dok. Sekalian nemenin Njenengan makan malam.” Pak Dokter yang bersiap membuka pintu kamar menoleh ke arahku.

“Njenengan di sini aja. Saya makan bareng anak-anak aja,” ujar Beliau seolah menyadari kondisi istrinya yang menua ini.

Aku menuruti kemauan Pak Dokter, dan tetap tinggal di pembaringan. Sepeninggal Beliau  kembali kupejamkan mata,  membiarkan diri ini menikmati istirahatnya sejenak sambil menunggu pesanan datang. 


@@@@@


Waktu masih menunjukkan pukul 21.00. Tapi seluruh penghuni rumah sudah berlabuh di kamarnya masing-masing setelah menyelesaikan makan malam. Mungkin anak-anak kelelahan setelah seharian menikmati kebersamaan mereka. Dan besok, selepas Subuh Edel harus berpacu dengan waktu menuju Yogya.

Pak Dokter dan aku juga sudah mengurung diri sedari tadi. Kelelahan yang menggelayuti diri, sedikit berkurang setelah Beliau dengan telaten memijat kaki dan tanganku.

“Besok Njenengan ikut saya ke Rumah Sakit ya,” ujar Pak Dokter sambil merebahkan diri di sebelahku setelah aku meminta Beliau menghentikan pijatannya. Diri ini menyadari, Beliau juga pastinya lelah.

“Mau ngapain?” tanyaku heran atas permintaannya.

“Jalan-jalan ke bangsal anak.” Jawaban Beliau tak memuaskan rasa penasaranku.

“Jawab dulu perlunya apa. Kalau gak dijawab, saya besok gak mau ikut Njenengan.” Beliau tertawa mendengar ancamanku yang kekanak-kanakan.

“Besok saya jelasin. Sekarang tidur dulu, Njenengankan capek, besok harus bangun gasik, Edel mo balik ke Yogya.” Beliau masih bertahan untuk membuatku penasaran.

“Jawab tho, Doook...” ujarku semakin penasaran.

“Malam ini mau umroh atau naik haji?” Bukannya menjawab pertanyaanku, Beliau malah semakin menggodaku.

“Anggi lagi ngambek, gak mau ketemu Papa,” ujarku pura-pura ketus sambil berbalik posisi berbaring menghadap tembok. Padahal sebenarnya diri ini menahan tawa mendengar gurauan Beliau.

Pak Dokter tertawa melihat kelakuanku. Beliau memelukku dari belakang, meninabobokkan wanita paruh baya ini untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sedang didera kelelahan.








Posting Komentar

0 Komentar