Selesai Sholat Subuh, aku berjalan hilir mudik di halaman
depan, sekedar melemaskan otot-otot sambil menunggu Pak Dokter dan Maghrib yang
belum pulang dari mesjid. Sementara ketiga anak gadis sedang berjibaku di dapur
untuk membuat sarapan, karena walaupun akhir pekan ini kami tidak pulang ke
Salatiga, tapi Mbak Kas dan Mbak Ramlah tetap mendapat jatah libur untuk pulang ke rumah masing-masing.
Kupasrahkan kepada Edel, Lintang, dan Mentari untuk mengolah
menu sesuai keinginan mereka, yang penting masakan lokal. Aku dan Pak Dokter
memang lebih menyukai masakan Indonesia dibanding menu-menu asing yang
kekinian. Berbanding terbalik dengan anak-anak yang lidahnya begitu gampang
beradaptasi dengan segala jenis masakan luar.
Namun dalam kondisi berbadan dua seperti ini, aku lebih
sering sarapan dengan segelas susu hamil dan buah. Terkadang kalau sedang mood,
diri ini ikut juga mencicipi menu yang tersaji.
Hari ini aku dan Pak Dokter berniat menyusuri jejak kolonial
di Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan. Sementara anak-anak tak ada yang
berminat untuk ikut ketika tadi malam sewaktu kami sedang berkumpul dan
bersantai di teras samping, kuajukan penawaran pada mereka.
“Tante sama Papa aja yang ke sana. Dulu waktu masih
pacarankan, Tante sama Papa kalau pergi selalu di kawal Dek Maghrib atau
Mentari, pokoknya ada aja yang buntuti. Nah...sekarang kami bebasin deh pergi
berduaan,” ujar Lintang menggoda Emak dan Bapaknya.
Pak Dokter cuma bisa tertawa mendengar celoteh si sulung.
Mungkin Beliau terkenang masa- masa kami masih berstatus tak jelas, yang ke
mana-mana selalu dibuntuti anak-anak.
Anak-anak menolak untuk ikut karena memang perjalanan kami
nantinya tidak terlalu menarik. Hanya menyusuri dan mengambil photo
gedung-gedung tua, serta mengumpulkan data tentang bangunan-bangunan bersejarah
tersebut.
Mereka lebih memilih mengisi hari Minggu dengan menghadiri
pesta sejuta buku di Auditorium UNDIP. Setelah dari sana, Edel berencana untuk mentraktir adik-adiknya
menonton film.
@@@@
Waktu masih menunjukkan pukul 08.00 pagi. Aku dan Pak Dokter
sudah bersiap untuk meluncur ke Kedungjati. Sementara anak-anak kuberi tanggung
jawab untuk berbenah rumah sebelum pergi.
Maghrib kebagian tugas membersihkan halaman. Edel membersihkan rumah wilayah lantai satu,
sementara Lintang mengurus peliharaannya dan memegang area lantai dua. Mentari
bertanggung jawab dengan dapur dan segala piranti kotornya.
Kupesankan pada anak-anak, baru boleh pergi kalau rumah sudah
rapi. Bagi Edel dan Maghrib mungkin tugas ini tidak terlalu berat, karena
mereka memang sudah terbiasa membantu aku atau Mbak Sih. Tapi tidak bagi
Lintang dan Mentari yang selama ini selalu menikmati uluran tangan Mbak Kas dan
Mbak Ramlah.
Namun, apapun itu, mereka sudah memasuki usia remaja akhir,
jadi harus tetap dibimbing untuk bisa bersikap mandiri dan tertib.
Setelah memastikan setiap anak bertanggung jawab dengan
tugasnya masing-masing, aku dan Pak Dokter segera meluncur meninggalkan rumah.
Perjalanan pagi ini kami awali dengan bismillah dan segenap
rasa sukacita, karena kondisi cuaca, mood, dan tubuhku dalam keadaan prima.
Melintasi tol Semarang – Salatiga yang diklaim sebagai salah satu ruas tol
dengan pemandangan terindah di Indonesia, hanya memakan waktu tempuh selama 40
menit.
Setelah memasuki kota Salatiga, Pak Dokter mengarahkan
kendaraannya menuju ke rumahku.
“Istirahat sejenak, biar Njenengan gak terlalu capek.” Begitu
alasan Beliau sambil memarkir mobil di
halaman berumput nan luas.
“Saya gak capek kok, Dok,” ujarku sambil turun dari
kendaraan.
“Gak pa-pa, Njenengan rebahan sejenak. Saya meriksa kondisi
rumah,” Beliau memutar anak kunci, dan membuka pintu.
Begitu memasuki rumah, aku segera menuju sofa yang berada di ruang keluarga dan
merebahkan diri di atasnya. Sementara Pak Dokter menyingkap gordin ruang tamu
dan ruang keluarga. Selanjutnya Beliau memeriksa kamar per kamar, kemudian berlanjut
ke ruangan-ruangan lain. Rumah ini sudah kosong sejak Jumat sore, wajar kalau
Beliau begitu teliti memeriksa setiap sudutnya.
Selesai berkeliling, Beliau membawa segelas air putih
untukku.
“Njenengan haus?” tanya Beliau sambil mengulurkan gelas
tersebut padaku.
Aku bangkit dari posisi rebahan, menerima pemberiannya,
kemudian meneguk isinya dengan seksama. Pak Dokter mendudukkan diri di sofa.
Setelah meneguk air putih pemberian Beliau, aku kembali merebahkan diri,
menggunakan paha Beliau sebagai bantal.
“Kira-kira Njenengan kuat gak?” Beliau seolah meragukan
ketahananku untuk melanjutkan perjalanan.
“Kuat tho, Dok. Wong saya ini sedang dalam kondisi prima,
kok,” ujarku meyakinkan Beliau.
“Kalau Njenengan gak kuat, gak usah memaksakan diri. Kita
istirahat di rumah aja. Nanti siang atau sore pulang lagi ke Semarang.”
“Sekali niat terpasang, pantang mengundurkan diri, Dok.
Seperti Njenengan dulu waktu nekad menyusul saya ke Medan, padahal Njenengan
gak tau keberadaan saya di Medan tu di mananya.” Aku mengingatkan Beliau akan
kekonyolannya saat Beliau masih dalam
tahap mengejarku untuk diajak menikah.
Pak Dokter tertawa mendengar ucapanku.
“Kalau ingat saat-saat itu, saya bersyukur banget sekarang
bisa menjalani hidup bareng Njenengan. Karena saat itu saya hampir putus asa
meyakinkan Njenengan untuk mau berbagi dengan Mbak Widya.” Beliau jujur mengungkap
perasaannya.
“Ngomong-ngomong, Mbak Widya sekarang di mana ya, Dok?”
Ucapan Beliau tentang mantan istrinya mengingatkanku akan sosok wanita mungil
dengan wajah cantik tersebut.
Sejak menikah dengan Pak Dokter, kami tidak pernah membahas tentang keberadaan Mbak
Widya. Hubungan Pak Dokter dengan Nyonya keduanya itu seolah putus tak
berjejak, karena memang di usia
pernikahan yang hanya seumur jagung tersebut, mereka tidak punya sangkutan
harta gono gini ataupun anak.
Mendengar ucapanku. Pak Dokter menatap lekat. Tersirat
keraguan dalam bola matanya untuk menjawab tanyaku.
“Njenengan teringat mbak Widya, nanti tiba-tiba ngambek
karena cemburu, terus saya dicuekin lagi.”
“Gak lah, Dok. Wong saya ngerti perasaan Njenengan terhadap
mbak Widya, kok.”
“Di hp saya ada nomer Mbak Widya. Njenengan salin gih. Kalau
Njenengan pengen menjalin silaturahim dengan Beliau, monggo. Kalau saya, jujur
sudah stop komunikasi sama sekali. Karena saya menghargai Njenengan dan suami
Mbak Widya.”
“Ayo...jadi lanjut ke Kedungjati, gak ?” Beliau mengalihkan
topik pembicaraan kami.
“Kenapa tho, Dok ? Kok seperti menghindar?” tanyaku
penasaran.
“Saya takut Njenengan ngambek. Emosi Njenengan sekarang tu
seperti cuaca di musim pencaroba, berubah-ubah tanpa bisa diprediksi. Sekarang
ngobrol, manja-manjaan. Nanti tiba-tiba gak ada angin, gak ada hujan, ngambek.”
Beliau menjawab tanyaku dengan jujur.
Aku tertawa kecil mendengar penjelasan Beliau, kemudian
bangkit dari posisi rebahan. Kukecup lembut kedua pipi Beliau.
“Saya ke kamar mandi bentar,” ujarku sambil berlalu
meninggalkan Beliau.
Sementara Pak Dokter terdengar kembali menutup gordin ruang
tamu dan ruang keluarga.
@@@@@
Perjalanan dari rumahku menuju Kedungjati hanya membutuhkan
waktu sekitar 40 menit. Setelah melewati Kecamatan Beringin yang termasuk dalam
wilayah Kabupaten Semarang, kami mulai memasuki kawasan Kecamatan Kedungjati
yang berada dalam lingkup Kabupaten Grobogan.
Sesuai dengan namanya, di sepanjang rute menuju daerah ini
kita akan disuguhi pemandangan hutan jati di kiri kanan jalan.
Pohon jati merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan kayu
bermutu tinggi. Tumbuhan ini berbatang lurus dan dapat tumbuh hingga mencapai
ketinggian 30 sampai 40 meter. Pada saat musim kemarau, daun-daunnya yang lebar
akan luruh, ini merupakan salah satu cara pohon jati bertahan hidup di puncak
kekeringan sekalipun.
Di mataku, kondisi gundul dan meranggas tersebut, justru
memancarkan keindahan yang bersahaja. Aku terkesima dengan eksotisme jajaran
pohon-pohon berbatang lurus tersebut.
“Dok, berhenti sebentar. Saya pengen photo di hutan jati.”
Aku meminta Pak Dokter menghentikan laju kendaraannnya.
“Nanti saja pulangnya. Sekarang kita ke tujuan utama dulu.”
Tumben kali ini Dokter cintaku menolak keinginan pujaan hatinya.
Namun, Beliau seolah menyadari sesuatu, kemudian memperlambat
laju kendaraan sebelum menghentikan mobil di bahu jalan. Sepertinya Pak Dokter
teringat kebiasaan burukku selama hamil –ngambek- makanya tiba-tiba Beliau
berubah pikiran.
“Mau photo di mana?” tanya Beliau setelah mobil terparkir
sempurna.
“Di sana tadi. Gundulnya eksotis, yang di sini kurang bagus,”
ujarku sambil menunjuk jajaran hutan jati yang sudah terlewati.
“Jadi ini sekarang mau balik lagi?” tanya Beliau penuh
kesabaran.
“Gak usah, Dok. Nanti aja pulangnya,” jawabku.
“Serius atau ngambek?” Beliau memastikan kebenaran ucapanku.
“Serius, Dok.” Aku tertawa melihat Beliau yang terlalu
khawatir kalau aku tiba-tiba ngambek.
Beliau kembali memacu kendaraan menyusuri jalanan beton nan
mulus ini.
“Kenapa tho Dok, Njenengan kok khawatir banget kalau saya
ngambek?” tanyaku setelah kami kembali melanjutkan perjalanan.
“Saya bingung kalau Njenengan ngambek, diam seribu bahasa.
Kalau ditanya jawabannya sepotong-sepotong. Jujur, saya lebih rela diajak
nganter Njenengan ke mana aja, bahkan ke ujung dunia sekalipun, dari pada
dicuekin dan didiemin,” ujar Beliau sambil tetap fokus memandang ke depan
karena kondisi jalan mulai berlika-liku.
“Anteri saya ke Raja Ampat sekarang, Dok,” ujarku spontan
sambil memandang Beliau.
Pak Dokter mengernyitkan dahi sambil menatapku sekilas,
kemudian kembali mengalihkan pandang ke depan. Aku tertawa melihat ekspresinya.
“Makanya, jangan lebay, Dok. Tadi katanya siap ngantar saya
ke mana aja, bahkan ke ujung dunia sekalipun. Ehh...diminta ngantar ke Raja
Ampat aja bingung.” Aku menggoda Beliau sambil mencubit perutnya pelan.
Walau cubitanku begitu pelan, tapi akting Beliau kembali
lebay.
“Awww...sakit.” Beliau menjauhkan perutnya dari jangkauan
tanganku sambil tertawa
“Njenengan lebay, Dok. Katanya sakit, tapi kok ekspresinya
ketawa,” ujarku lugas.
@@@@@
Selesai sholat Isya, aku merebahkan diri di pembaringan.
Ternyata usia memang tidak bisa berbohong. Tubuhku letih setelah menikmati
perjalanan ke Kabupaten tetangga tadi.
Padahal setibanya di lokasi, kami hanya sekedar mengambil photo
GKJ di desa Kaliceret, Kantor Polsek Kedungjati, dan Stasiun Kereta Api.
Kemudian mengumpulkan data dari gedung-gedung peninggalan bersejarah yang kami
photo tersebut, dan selanjutnya kembali ke Semarang, sambil menyempatkan diri
berphoto ria di tengah eksotisme hutan jati.
Walau belum terasa mengantuk, namun aku memejamkan mata
sejenak. Terdengar suara pintu kamar terbuka. Mata yang baru sepersekian detik
tertutup kembali kubuka. Pak Dokter memasuki kamar, Beliau baru pulang dari
menunaikan sholat Isya.
“Njenengan gak makan?” tanya Beliau sambil duduk di tepi
tempat tidur. Pak Dokter memijat betisku perlahan.
“Gak selera, Dok,” ujarku sambil menikmati pijatan Beliau.
“Capek, ya?”
“Iya.”
“Tadikan sudah saya bilang, kalau gak kuat gak usah jadi
pergi.” Beliau masih terus memijat kedua betisku.
“Tadi pagi masih semangat, Dok.”
“Sekarang makan ya. Saya suapin.” Beliau berusaha membujukku
sambil tetap memijat. Kini pijatannya beralih ke kedua tanganku.
“Gak selera, Dok.”
“Kasian Anggi.” Dengan sabar Beliau terus membujukku, “Atau
minum susu ya? Sama buah atau roti?” lanjut Beliau.
Lelaki paruh baya ini selalu membuatku jatuh cinta
berulang-ulang. Kebaikan dan kesabarannya begitu tulus.
“Susu aja, Dok. Sama telur rebus, tapi jangan terlalu mateng,”
pintaku manja.
“Sebentar ya, saya suruh Mbak Kas dulu.” Beliau mengecup
keningku lembut, kemudian berlalu menuju pintu
kamar untuk memberi titah kepada Mbak Kas, yang sore tadi sudah kembali
dari liburnya.
“Saya turun aja, Dok. Sekalian nemenin Njenengan makan
malam.” Pak Dokter yang bersiap membuka pintu kamar menoleh ke arahku.
“Njenengan di sini aja. Saya makan bareng anak-anak aja,”
ujar Beliau seolah menyadari kondisi istrinya yang menua ini.
Aku menuruti kemauan Pak Dokter, dan tetap tinggal di
pembaringan. Sepeninggal Beliau kembali
kupejamkan mata, membiarkan diri ini
menikmati istirahatnya sejenak sambil menunggu pesanan datang.
@@@@@
Waktu masih menunjukkan pukul 21.00. Tapi seluruh penghuni
rumah sudah berlabuh di kamarnya masing-masing setelah menyelesaikan makan
malam. Mungkin anak-anak kelelahan setelah seharian menikmati kebersamaan
mereka. Dan besok, selepas Subuh Edel harus berpacu dengan waktu menuju Yogya.
Pak Dokter dan aku juga sudah mengurung diri sedari tadi.
Kelelahan yang menggelayuti diri, sedikit berkurang setelah Beliau dengan
telaten memijat kaki dan tanganku.
“Besok Njenengan ikut saya ke Rumah Sakit ya,” ujar Pak
Dokter sambil merebahkan diri di sebelahku setelah aku meminta Beliau
menghentikan pijatannya. Diri ini menyadari, Beliau juga pastinya lelah.
“Mau ngapain?” tanyaku heran atas permintaannya.
“Jalan-jalan ke bangsal anak.” Jawaban Beliau tak memuaskan
rasa penasaranku.
“Jawab dulu perlunya apa. Kalau gak dijawab, saya besok gak
mau ikut Njenengan.” Beliau tertawa mendengar ancamanku yang kekanak-kanakan.
“Besok saya jelasin. Sekarang tidur dulu, Njenengankan capek,
besok harus bangun gasik, Edel mo balik ke Yogya.” Beliau masih bertahan untuk
membuatku penasaran.
“Jawab tho, Doook...” ujarku semakin penasaran.
“Malam ini mau umroh atau naik haji?” Bukannya menjawab
pertanyaanku, Beliau malah semakin menggodaku.
“Anggi lagi ngambek, gak mau ketemu Papa,” ujarku pura-pura
ketus sambil berbalik posisi berbaring menghadap tembok. Padahal sebenarnya
diri ini menahan tawa mendengar gurauan Beliau.
Pak Dokter tertawa melihat kelakuanku. Beliau memelukku dari
belakang, meninabobokkan wanita paruh baya ini untuk mengistirahatkan tubuhnya
yang sedang didera kelelahan.
0 Komentar