Tepat pukul 13.00 kami meninggalkan rumah meluncur menuju
Dieng, kawasan dataran tinggi vulkanik aktif yang masuk wilayah Kabupaten
Banjarnegara dan kabupaten Wonosobo, yang lokasinya berada di sebelah barat
gunung kembar Sindoro dan Sumbing.
Waktu tempuh dari Semarang menuju Dieng sekitar empat jam
perjalanan. Dalam perjalanan ini kami menggunakan dua armada. Aku dan Pak
Dokter ditemani seorang supir menggunakan Mobilio Edel. Pak Dokter sengaja
mengajak seorang karyawan harian rumah sakit yang sedang libur untuk disewa
sebagai supir karena Beliau ingin beristirahat sepanjang perjalanan.
Sementara anak-anak menggunakan Pajero Pak Dokter. Lintang, Edel
dan Dhuha bergantian menjadi supir, mereka sudah berbagi rute. Sulung dan anak
tengahku walau terbiasa menyetir di landscape datar, namun cukup mahir dan
bernyali menaklukkan rute ke Dieng yang menanjak dan penuh tantangan. Sementara
Lintang jam terbangnya belum terlalu tinggi. Dia kebagian rute aman saja.
Anak-anak tidak ada yang bersedia diajak semobil dengan kami.
Jadilah pasangan Emak dan Bapak ini hanya berteman supir dan amunisi perang
berupa aneka cemilan, buah-buahan, minuman, serta tiga travel bag.
Mas supir yang menemani kami usianya masih muda, kira-kira
seumuran dengan Dhuha. Pak Dokter memanggilnya Rinto. Orangnya bersih, rapi,
dan sopan. Mas Rinto memang biasa menerima pekerjaaan sampingan sebagai supir.
Menurutnya, dia lebih senang mengisi jadwal liburnya dengan aktivitas seperti
ini, karena selain dapat uang tambahan juga bisa berlibur gratis.
Ketika tiba di Wonosobo,
kami berhenti sejenak untuk menikmati kuliner khas kota berhawa dingin ini, mie
ongklok. Kuliner berbahan utama mie telur ini dilengkapi sayuran seperti selada
air, kucai, dan kol. Sedangkan kuah kentalnya tercipta dari campuran tepung
kanji, aneka rempah, dan gula jawa. Biasanya mie ongklok disajikan dengan
tambahan beberapa tusuk sate, juga tahu bacem atau tempe kemul.
Pak Dokter memilih Warung Mie Ongklok Longkrang milik Pak
Waluyo. Warung yang terletak sekitar 1 km dari alun-alun Kota Wonosobo ini
merupakan salah satu penyedia mie ongklok legendaris, karena kelezatannya yang
tak berubah sejak dulu. Anak-anak sangat menikmati hidangan hangat ini, di
tengah dinginnya cuaca Wonosobo. Begitu
juga dengan Pak Dokter dan Mas Rinto.
Sambil beristirahat dan menikmati kuliner eksotis ini,
perhatianku tak luput dari sepasang sejoli yang kelihatannya sudah mulai
bersikap lebih luwes. Anak lajangku
selalu mengambil posisi di sebelah
sulung Pak Dokter, baik ketika sedang berjalan atau saat duduk. Sementara Edel,
Mentari, dan Maghrib sepertinya sudah memaklumi
situasi ini.
Tadi aku sudah memberi tahu Edel secara sekilas tentang status Dhuha dan Lintang melalui pesan
WA ketika Lintang memegang kemudi dari Semarang sampai ke Ambarawa. Edel
kuminta memberi tahu Mentari dan Maghrib melalui WA juga, untuk antisipasi
supaya kedua anak bontot tersebut tidak menggoda Abang dan Kakaknya ketika
mereka melihat pemandangan istimewa di antara keduanya.
Dan ketiga anak tersebut memainkan peran dengan sangat baik. Mereka
bersikap seolah-olah kedua sejoli yang selalu berdampingan itu
hanya kebetulan saja. Beda denganku yang selalu was-was, penasaran, dan berdebar tak menentu mengawasi kedua anak
yang sedang kasmaran tersebut.
Entah kenapa, setiap melihat Lintang dan Dhuha, darahku
selalu berdesir, Aku melihat bahasa tubuh mereka mengeluarkan aura kekuatan
cinta yang begitu tulus walau tanpa sentuhan phisik. Seperti yang terjadi sore
itu, ketika Lintang ingin mengambil tempe kemul yang letaknya agak jauh dari
posisi duduknya, Dhuha dengan sigap mengulurkan tangannya menjangkau makanan
tersebut kemudian memberikannya kepada Lintang dengan bahasa tubuh yang
menunjukkan rasa peduli yang begitu besar.
Pun demikian ketika Dhuha ingin mengambil tissue, Lintang
dengan spontan mendekatkan wadah persegi empat tersebut ke hadapan kekasih
hatinya sambil mengurai senyum manis. Dan aku, si Emak pemantau ini hanya bisa
menelan dua sendok saja hidangan mie ongklok yang tersaji di depan mata.
Romantisme sederhana ala Lintang dan Dhuha membuatku kenyang paripurna.
“Kok gak dihabisi?” Pak Dokter menegurku karena membiarkan
hidangan yang masih tersisa banyak.
“Saya kenyang.” Aku menjawab jujur pertanyaan Beliau.
Dan sepertinya Beliau bisa menangkap dari mana rasa kenyang
itu menyerangku ketika pandangnya beralih sekilas ke arah Lintang dan Dhuha.
Setelahnya Beliau kembali menatapku sambil tersenyum penuh arti.
@@@@@
Selesai bersantap sore, kami melanjutkan perjalanan menuju
penginapan yang terletak di jalan raya Wonosobo – Dieng km 17. Tempat bermalam
kami berbentuk homestay, memiliki tiga kamar dengan kamar mandi di tiap-tiap kamar. Juga ada ruang depan yang
menyatu dengan ruang makan, dan dapur
yang dilengkapi dengan peralatan memasak dan alat makan lengkap.
Lokasi homestay ini sangat strategis, dekat dengan rumah
makan, ATM, pasar tradisional, puskesmas 24 jam, serta dekat juga dengan objek
wisata di Dieng. Hanya dibutuhkan waktu
lima menit berkendara, kita bisa mencapai Gardu Pandang Tieng yang berposisi di
1.789 meter di atas permukaan laut. Dari gardu pandang ini kita bisa
menyaksikan landscape dataran tinggi Dieng atau golden sunrise yang memukau.
Sementara untuk menuju objek wisata lain seperti Candi Arjuna, Kawah Sikidang,
Telaga Warna, Theater, dan objek wisata populer lainnya di Dieng, hanya
membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 15 menit perjalanan.
Sesampainya di homestay, kami disuguhi dengan panorama
landscape alam pegunungan nan indah memukau. Terlihat di kejauhan Gunung
Sindoro, Gunung Nganjir dan Gunung Prau. Sementara nuansa pedesaan yang kental
begitu terasa di sekitar area penginapan yang terletak di ketinggian 1.550
meter di atas permukaan laut ini.
Anak-anak segera menurunkan barang-barang bawaan dari mobil
yang aku dan Pak Dokter tumpangi. Para gadis memilih kamar yang paling nyaman
menurut mereka. Dua kamar tersisa merupakan jatah Emak Bapak, serta para
lajang. Pak Dokter meminta Mas Rinto untuk bergabung di kamar Dhuha dan Maghrib. Beliau memang tidak pernah
membedakan status sosial seseorang. Penghargaannya kepada sesama begitu besar.
@@@@@
Selepas Maghrib, anak-anak keluar penginapan untuk mencari
makan malam di lingkungan sekitar. Mas Rinto juga ikut dengan mereka. Cuaca
dingin yang mencapai 15 derajat celcius ini membuat anak-anak merasa cepat
lapar, walaupun tadi sore sudah menyantap mie ongklok di Wonosobo. Sementara
aku dan Pak Dokter tetap tinggal di homestay karena masih kenyang.
Setelah hampir satu jam berlalu, kudengar suara-suara mereka
di kejauhan. Aku keluar kemudian duduk di teras menyambut kepulangan anak-anak.
Mas Rinto langsung masuk untuk menuju kamar, ingin segera tidur katanya.
Kumaklumi keputusannya, karena dia supir tunggal dan besok masih harus bertugas
lagi.
Sementara Edel and the gank masih menikmati suasana malam
yang begitu dingin ini dengan berbincang santai di teras. Pak Dokter yang tadi
berada di ruang depan ikut bergabung dengan kami di teras.
Malam semakin menua, aku tak sanggup menepis dingin yang
menusuk hingga ke tulang. Kutinggalkan anak-anak yang masih asyik berbincang.
Namun diri ini belum berniat untuk masuk
kamar. Ada kewajiban besar yang harus kulakoni, menjaga Lintang dan Dhuha.
Aku kembali ke ruang depan yang posisinya hanya berbatas
tembok dengan teras. Pak Dokter ternyata menyusulku.
“Kok ikut masuk, Dok?’
“Gak tahan saya, di teras dingin banget,” ujar Beliau sambil
duduk di sebelahku.
Suara anak-anak terdengar meriah, saling bertukar cerita,
berbagi canda, tertawa bersama. Sering aku mensyukuri nikmat tak terkira dari
Sang Pemberi Hidup, menyadari betapa Dia telah menganugerahi kami anak-anak
yang baik, yang bisa saling mengisi dan melengkapi walau mereka bukan saudara
kandung.
Pak Dokter asyik dengan gawainya, sementara aku hanya duduk
menonton televisi yang siarannya tidak kunikmati.
“Dok, saya ke kamar ya. Tapi Njenengan di sini aja, jagain
anak-anak.”
Bukannya merespon, Beliau malah tertawa lepas mendengar
ucapanku.
“Njenengan itu terlalu khawatir.” Beliau berujar lirih sambil
menjawil ujung hidungku.
“Memangnya Njenengan gak khawatir?” tanyaku lugas.
“Ya, ada sedikit ke khawatiran.”
“Nah...makanya, jagain mereka. Saya tidur duluan, ngantuk,
capek, dingin,” ujarku sembari bangkit dan bersiap melangkah menuju kamar
ketika Maghrib melintasi ruang depan menuju ke kamarnya.
Aku membatalkan niat semula, dan kembali duduk.
“Kok gak jadi?” tanya Pak Dokter heran.
“Nanti aja, Dok,” jawabku singkat.
Lima menit berlalu, Mentari dan Edel menyusul menuju ke kamar
mereka. Aku menatap ke arah Pak Dokter. Beliau membalas tatapanku.
“Kenapa?” tanyanya sarat makna.
“Gak papa,” jawabku sembari mematikan televisi.
“Sekarang jadwal kita ngeronda,” bisikku langsung ke telinga
Pak Dokter. Beliau tertawa mendengar bisikanku.
Aku sengaja mematikan televisi agar berkesan tak ada orang di
ruang depan. Sejatinya posisi duduk kami dan posisi duduk Lintang dan Dhuha
saling membelakangi namun terhalang tembok. Kami yang di dalam bisa mendengar
percakapan dari teras, begitupun sebaliknya.
Bukannya aku ingin menjadi Emak yang jahat dengan menguping
pembicaraan anak kami yang sedang
kasmaran. Namun, adalah tanggung jawab kami untuk menjaga kedua belia tersebut
agar tetap berada dalam koridor kebenaran. Bahkan sejatinya dengan membiarkan
mereka berduaan di teras tanpa didampingi saudara-saudaranya sudah menunjukkan
kalau kami ini sebenarnya orang tua yang lemah, karena tak tega melarang anak.
Sementara untuk bergabung dengan mereka, kami menyadari kalau mungkin ada
hal-hal yang ingin mereka bicarakan berdua saja.
“Sekarang udah lega, kan? Karena Mama Papa sudah tau hubungan
kita.” Kudengar Dhuha membuka percakapan.
“Iya, Mas. Rasanya lebih ringan dan rileks.” Suara Lintang
terdengar merespon ucapan Dhuha.
Pak Dokter terlihat meletakkan gawainya di atas meja.
Kemudian tangan kirinya merangkul sambil
mengelus-elus bahuku. Mungkin Beliau ingin memberi ketenangan dan kenyamanan
pada sang istri yang sedang menjadi mata-mata amatiran ini.
“Dari awal kita berkomitmen, sebenernya aku udah pengen
ngomong ke Mama, tapi kamu gak bolehin.”
“Soalnya aku malu Mas. Eh...Mbak Edel dan adek-adek kira-kira
tau gak ya tentang hubungan kita.”
“Mungkin tau.”
“Tapi kok mereka cuek, gak godain kita?”
“Memangnya kamu pengen digodain ? Nanti malu lagi, terus gak
mau ikut sarapan bareng seperti tadi pagi.” Dhuha menggoda Lintang, dan
terdengar Lintang merespon candaan Dhuha dengan suara sedikit manja.
“Gak juga sih.”
“Kalau aku yang godain, mau gak?” Makjaangg...kenapa jadi aku
yang malu mendengar Dhuha ngombalin Lintang.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pak Dokter
menggodaku, beliau berusaha menarik tangan yang menutupi wajahku. Setelahnya
kutatap beliau yang sedang menahan tawa agar jangan sampai mengeluarkan suara.
“Aku gak mau digoda, aku cuma mau disayang.” Terdengar
Lintang menjawab tanya Dhuha. Kalimatnya terdengar manja dan malu-malu.
Selanjutnya tawa kedua insan yang sedang berbunga-bunga itu
terdengar berbarengan. Sementara di balik tembok, seorang Emak kembali
merasakan gemetaran yang merajai diri, didampingi seorang Bapak yang sedang
tersenyum simpul.
“Mas kapan lagi pulang?”
“Lebaran. Memangnya kenapa? Kangen?”
“Iya.” Jawaban Lintang terdengar pelan. Aku bisa membayangkan
pasti saat itu pipi Lintang bersemu merah menahan malu.
“Makanya cepat lulus.”
“Terus kalau aku dah lulus kenapa?”
“Nikah. Jadi setiap hari kita bisa ketemu.” Mendengar jawaban
Dhuha aku bagai tersambar halilintar.
Namun sambarannya kali ini tidak membuatku gosong, tapi
justru membekukan seluruh nadi dan persendian. Telapak tangan dan kakiku
mendingin, dadaku berdegup kencang. Sepertinya Pak Dokter melihat gelagat tak
nyaman dari rona wajahku. Beliau berbisik ke telingaku, agar Lintang dan Dhuha
tidak mengetahui keberadaan kami di balik tembok.
“Njenengan masuk kamar aja. Saya takut Njenengan pingsan.”
Bukannya menghiburku, Beliau malah menggodaku sambil menahan tawa.
Aku mencubit perut Beliau. Pak Dokter mengaduh tanpa suara.
Seperti biasa, lelaki terkasihku itu akan berekspresi lebay kala aku mencubit
perutnya pelan.
Untungnya Dhuha dan Lintang tidak meniru Emak Bapaknya yang
terkadang sedikit alay. Kedua anak tersebut menggunakan sapaan standar –aku dan
kamu-. Namun Lintang tetap menghargai Dhuha dengan memanggilnya “Mas”. Aku
tidak bisa membayangkan kalau mereka berubah menjadi makhluk alay dengan memakai
sapaan ayah bunda, mama papa, bebi bala-bala, honey bunny, mimi pipi, momo
popo, dan semacam panggilan-panggilan lebay lainnya yang membuat kotoran di
telinga meluber dengan sukses.
“Putra Njenengan ternyata lebih nekad dari saya. Anak gadis
baru mau lulus SMA kok sudah siap-siap diajak nikah.” Pak Dokter kembali
berbisik di telingaku.
Walau hatiku resah gelisah, namun mendengar bisikan Beliau
aku berusaha menahan tawa. Teringat masa lalu, di mana Beliau ngotot mengajakku
nikah padahal saat itu Beliau masih berstatus suami Mbak Widya. Sekarang
gantian anak lajangku yang menodong sulung Beliau untuk menikah muda.
“Kok buru-buru tho, Mas? Aku masih mau kuliah.” Setelah
hening beberapa saat, terdengar Lintang merespon ucapan Dhuha.
Mungkin keheningan tersebut tercipta karena Lintang juga
kaget dengan kalimat-kalimat kekasihnya.
Sementara itu kusingkirkan rasa terkejut yang tadi menyergap
diri. Aku kembali fokus menguping pembicaraan muda-mudi tersebut.
“Walau sudah nikah, kan tetap bisa kuliah. Kalau aku harus
nunggu kamu selesai kuliah, ya kelamaan.”
“Setidaknya nunggu aku S.Ked, Mas.” Lintang mengungkapkan
keinginannya.
Putri sulung Pak Dokter ini memang bercita-cita mengikuti
jejak Bapaknya, menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran.
“Lagian Mbak Edel yang udah mapan aja belum nikah. Takutku
kalau Mas Dhuha buru-buru ngajak nikah, Mama Papa nanti malah gak merestui kita.”
Pola pikir gadis ayu itu cukup dewasa. Nalarnya berjalan mengalahkan
perasaannya, walau aku tau kalau Lintang juga menyimpan rasa cinta yang begitu
dalam kepada Dhuha.
“Berarti sekitar empat sampe lima tahun lagi? Umurku keburu
menjelang 30 tahun Tang. Lha terus mo punya anak umur berapa?”
Ampuuuuuunnn....ya Allah, percakapan mereka sudah sedemikian
dalamnya. Mendengar rencana masa depan Lintang dan Dhuha, berpadu dengan
dinginnya cuaca di daerah pegunungan ini membuatku hampir terserang hipotermia.
Sementara Pak Dokter malah senyum-senyum tak jelas mendengar obrolan dari balik
tembok. Mungkin Beliau pengen cepat-cepat momong cucu kali.
“Tang...” Panggilan Dhuha terdengar begitu lembut.
“Ya, Mas.” Terdengar Lintang menjawab dengan pelan.
“Aku sayang banget sama kamu.” Suara Dhuha terdengar lirih
dan bersungguh-sungguh.
“Aku takut gak bisa menahan godaan ketika kita harus bertemu
di setiap kepulanganku.” Anak tengahku melanjutkan ucapannya dengan sangat hati-hati.
Dan aku sudah tak sanggup menahan debaran di dada yang
semakin menghentak-hentak. Kubisikkan seuntai kalimat ke telinga Pak Dokter.
“Saya gak kuat, Dok. Saya ke kamar dulu. Lintang sama Dhuha
suruh masuk, ya Dok. Mereka anak-anak baek, jangan sampe terperosok karena
bisikan setan.” Ada getaran dalam nada bisikanku.
Aku beranjak perlahan, berusaha tidak menimbulkan bunyi
sekecil apapun, kemudian melangkah sambil berjingkat menuju kamar. Sementara
Pak Dokter berjalan menuju teras. Aku masih sempat mendengar kalimat Beliau.
“Dhuha, Lintang, sudah malam. Ayo masuk.” Pak Dokter berujar
dengan nada lembut namun penuh ketegasan.
@@@@@
Dua purnama telah berlalu sejak Dhuha kembali ke Kalimantan. Perilaku
Lintang mulai berubah. Kalau dulu dia
akan memasang wajah manyun jika digoda adik-adiknya, namun sekarang situasinya
berbeda. Dia akan tersenyum malu bercampur senang ketika Mentari atau Maghrib
menggodanya dengan menyebut nama Dhuha.
Sulung Pak Dokter tersebut saat ini sedang disibukkan aneka
try out dan segala jenis test. Dalam waktu tidak sampai tiga bulan ke depan dia
akan mengikuti ujian akhir. Setelah itu masih ada perjuangan berat lainnya,
merebut salah satu kursi di Fakultas Kedokteran UNDIP atau Fakultas yang sama
di almamater Bapaknya.
Di tengah-tengah kesibukannya belajar, Lintang sudah mulai terbuka. Sering, tiba-tiba dia
mendatangiku ke kamar, hanya untuk sekedar menyampaikan salam dari Dhuha,
padahal beberapa saat sebelumnya aku juga baru berkomunikasi dengan anak
tengahku itu.
Seperti yang terjadi malam ini. Waktu sudah menunjukkan pukul
20.30. Setelah selesai makan malam, Lintang, Mentari, dan Maghrib langsung
mendekam di kamar masing-masing, menyelesaikan tugas-tugas sekolah mereka.
Begitu juga diriku, dengan keberadaan Anggi yang kini sudah memasuki usia 23
minggu, aku lebih suka berada di kamar tidur lebih awal. Kecuali untuk
malam-malam libur, biasanya kami akan berkumpul di ruang keluarga atau di
teras, baik di rumah Semarang atau Salatiga.
Pak Dokter belum pulang dari rumah sakit, untuk mengisi waktu
menunggu kepulangan Beliau, aku menghubungi Edel dan Dhuha melalui pesan WA.
Edel membalas pesanku dengan seuntai kalimat, sementara Dhuha langsung
menghubungi nomorku melalui panggilan suara.
“Assalamualaikum, Ma.”
“Waalaikumussalam, Ha.”
“Mama lagi ngapain?”
“Lagi sendirian di kamar. Adek-adek dah mendekam di kamar
masing-masing. Pak Dokter belum pulang.”
“Mama sehatkan? Anggi rewel gak?”
“Alhamdulillah sehat, Ha. Anggi baik-baik aja. Kabar kamu
gimana, Ha.”
“Aku juga di sini baik-baik aja kok, Ma.”
“Makan kamu dijaga ya, Ha. Istirahat yang cukup, tenaga
jangan terlalu diforsir.” Aku memberi nasehat standar ala Emak-emak kepada si
tengah, mengingat dia sering bercerita
kalau beban kerja di perusahaannya cukup
berat.
Dan setelah bercerita sedikit tentang aktivitasnya, kami
mengakhiri percakapan ringan pengurai rindu tersebut.
Aku merebahkan diri di pembaringan, dan bermaksud memejamkan mata
sejenak sambil menanti kepulangan kekasih halalku, ketika Lintang memanggil
dari luar kamar.
“Mama....” Suara Lintang diikuti ketukan di pintu.
“Masuk Tang, pintu gak Mama kunci,” jawabku sambil kembali
membuka mata.
Pintu terbuka, Lintang melintas memasuki kamar. Wajahnya
terlihat cerah ceria. Tak seperti biasanya, si sulung membawa tas selempang
kecil. Padahal aku yakin dia pasti tidak sedang berniat pergi ke mana-mana.
“Ada apa, Tang?” Aku mengajukan pertanyaan basa-basi, karena
sejatinya sudah bisa ditebak kunjungan Lintang ke kamarku pasti ada hubungannya
dengan Dhuha.
“Mama kok belum tidur?” tanya gadis cantik itu sambil duduk
di tepi ranjang.
“Nunggu Papa,” jawabku sambil tetap berbaring.
“Mas Dhuha kirim salam, Ma.” Terlihat jelas rona bahagia membias
di wajah ayu Lintang ketika menyebut nama sang kekasih.
“O...ya? Nelphone atau WA ?” jawabku pura-pura surprised,
walaupun tadi aku juga baru mengurai rindu dengan si tengah.
“WA, Ma,” ujar Lintang sambil membuka tas selempangnya.
Gadis itu mengeluarkan puluhan lembar uang merah bergambar
sang proklamator. Aku kaget dengan tindakannya tersebut.
“Uang siapa Tang? Kok banyak banget?”
“Dari Mas Dhuha, Ma.”
Aku tercekat mendengar jawaban Lintang. Untuk apa anak
lajangku mengirimi Lintang uang. Bagi remaja seusia Lintang, uang sejumlah itu
sudah terlalu banyak, walaupun aku belum tahu jumlah pastinya. Tadi ketika
menelphoneku Dhuha tidak menyinggung sedikitpun masalah uang tersebut. Apa
memang dia sudah benar-benar siap melaksanakan ucapannya dua bulan yang lalu di
Wonosobo.
“Berapa itu, Tang?”
“Limit maksimal harian ATM-ku, Ma.”
“Untuk apa, Tang?” Kepalaku mulai berdenyut.
Pikiranku mengembara, membayangkan seandainya Dhuha benar-benar membuktikan ucapannya, ingin menikahi Lintang setelah dia lulus SMA.
0 Komentar