The Doctor's Family (Jilid 11)











“Untuk apa, Tang?” Sambil menahan denyut yang menghinggapi kepala, kucoba bertanya pada Lintang dengan nada setenang mungkin.

“Untuk belanja, Ma.” Mendengar jawaban Lintang denyut di kepalaku semakin menjadi.

“Belanja apa? Cincin kawin?” Pertanyaanku bagai motor matic yang meluncur dari turunan tanpa menggunakan rem, bablas.

“iiisshhh...Mama kok gitu sih tanyanya?” Lintang merespon ucapanku sambil tersipu malu.

“Lha...terus untuk belanja apa?” ujarku sambil bangkit dari posisi tidur. Kemudian mengelus rambut panjangnya yang hitam mengkilau.

“Ya, belanja baju sama jilbab?”

“Untuk siapa?” tanyaku heran.

“Untuk aku.”

Aku melempar tatapan penuh makna ke arah sulung Pak Dokter. Dia membalas tatapanku sambil berusaha menyembunyikan senyum dan rasa malu yang mungkin mulai menyergapnya.

Lintang belum berhijab. Aku dan Pak Dokter memang tidak pernah memintanya secara frontal, tapi sering mengingatkannya secara tersirat. Namun Allah mungkin belum membukakan pintu hati gadis ayu ini. Berbeda dengan Mentari, sejak masuk SMA dia mulai menata diri dengan menutup aurat. Walaupun penampilannya masih modis ala-ala kids zaman now, tapi dia komit  menjaga aurat di depan yang bukan muhrimnya seperti Maghrib dan Dhuha.

“Lintang mau berhijab?” Kulempar tanya dengan perlahan dan hati-hati.

“Iya, Ma.” Dia menjawab pelan sambil menunduk.

“Karena apa?” Kali ini aku bertanya dengan nada tegas.

Dia tidak menjawab tanyaku. Mungkin gadis ini sudah tahu bahwa Emak bisa menebak jawabannya, dan dia sedikit gentar mendengar ketegasan dalam pertanyaan terakhirku.
Beberapa saat berlalu, menanti jawab yang tak jua terucap dari bibirnya, kulempar seuntai umpan untuk Lintang.

“Mas Dhuha?” Aku yakin, hanya dengan menyebut nama itu, Lintang akan memberikan semua jawaban yang tersisa.

“Iya, Ma.” Suaranya terdengar lirih dan bergetar. 

Kelihatannya Lintang kembali ke jiwa introvertnya. Sikapnya sekarang berbeda dengan saat dia memasuki kamarku tadi, ceria dan sumringah. Kali ini dia terlihat mulai gugup.

“Kenapa Lintang mau?” tanyaku lembut.

“Karena aku sayang sama Mas Dhuha, Ma. Mas Dhuha minta aku pakai hijab.”

“Kalau misalnya Mas Dhuha nyuruh Lintang pakai tank-top, Lintang juga mau?”

“Gak, Ma.”

“Lho...kenapa? Katanya Lintang sayang sama Mas Dhuha. Disuruh pake hijab mau, tentunya disuruh pake tank-top juga mau donk?”

Lintang tidak merespon ucapanku, mungkin dia tak tahu harus memberi jawaban apa. Untuk beberapa saat kami sama-sama terdiam. Aku memutar otak untuk kembali meneruskan percakapan ini.

“Bukannya Mama gak suka Lintang berhijab, justru sebaliknya Mama seneng banget. Tapi jujur, Mama gak suka dengan alasannya.” Lintang masih terdiam dalam posisinya duduk di tepi tempat tidur.

“Lintang....” Aku memanggil namanya dengan lembut.

“Ya, Ma,” jawabannya terdengar pelan.

“Sini Mama peluk,” ujarku sambil menarik tubuh langsingnya dalam rengkuhan. 

Kuberi dia dekapan hangat dan penuh kasih. Kuelus punggungnya dengan lembut. Dia membalas pelukanku erat. 

Setelah beberapa saat, aku melepas dekapan dari tubuh Lintang. Sudah kuputuskan untuk tidak lagi memaksa Lintang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Kupikir biarkan saja dia melakoni permintaan Dhuha, selama permintaan itu menuju ke jalan kebaikan. Sekarang tugasku sebagai orang tua, memberi dia pemahaman untuk meluruskan niat, agar tidak tersandung syirik.

“Lintang kapan mau belanja?” ujarku pelan, “Uangnya dimasukin tas lagi gih,” lanjutku.

“Mama sudah gak marah?” tanyanya sembari kembali memasukkan lembaran merah tersebut ke dalam tas selempangnya.

Duh...gadis ini terlalu perasa. Padahal aku sudah berusaha berbicara setenang mungkin untuk membuat dia nyaman, namun ternyata perasaannya terlalu dalam.

“Mama gak marah, Sayang. Cuma Mama khawatir, kalau kamu berhijab hanya karena disuruh Mas Dhuha, nanti kamu gak isitqomah. Harusnya kalau melakukan sesuatu apalagi yang benilai ibadah, alasannya itu karena Yang Di Atas. Kalau alasannya karena manusia bisa syirik lho Tang,” ujarku sambil menunjuk ke atas.

“Daahh...gak usah malu atau takut lagi,” lanjutku. 

“Eh...Mama mau tau, sebenernya sedalam apa sih perasaan Lintang ke Mas Dhuha, dan perasaan Mas Dhuha ke Lintang? Kok Lintang bisa nurut gitu sama Mas Dhuha?” Aku memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengorek kedalaman cinta keduanya langsung dari si sumber.

Lintang tersenyum malu mendengar pertanyaanku, aura wajahnya sudah kembali sumringah dan cerah.

“Mas Dhuha pengen ngajak nikah kalau aku sudah lulus SMA, Ma.” Walau aku sudah pernah mendengar kalimat tersebut dua bulan yang lalu -hasil menguping di balik tembok- namun tetap saja dampak dari kata-kata Lintang itu membuat jantungku kembali melompat-lompat kecil.

“O...ya?” Aku pura-pura kaget.

“Lintang mau?” pancingku lebih dalam.

“Aku masih mau kuliah, Ma. Tapi kata Mas Dhuha, Akukan tetap bisa kuliah walau sudah nikah, karena kalau nunggu aku lulus, nanti Mas Dhuha keburu tua.” Kalimatnya terdengar runtun dan teratur.

“Jadi...?” Kupancing dia untuk terus mengeluarkan uneg-unegnya.

“Kalau menurut Mama gimana?” Sulung Pak Dokter tersebut malah menodongku dengan balik bertanya.

Aku baru hendak membalas pertanyaan Lintang ketika Pak Dokter masuk ke kamar. Kulirik jam di dinding sudah menunjuk ke pukul 21.15. Lintang mengalihkan pandang ke Bapaknya, sementara Pak Dokter langsung menuju ke arahku, kemudian mengecup keningku lembut, rutinitas wajib setiap Beliau pulang dinas. 

Walau ada Lintang  di situ, tapi kami tidak menganggap hal ini tabu. Rutinas cium kening sebelum berangkat atau setelah pulang dinas memang kadang berlangsung di depan anak-anak. Dan justru untuk menunjukkan ke anak-anak, kalau aktivitas ini bukan nafsu, tapi perekat ikatan bathin suami istri.

Selanjutnya Pak Dokter berdiri di sebelah gadis muda yang duduk di tepi tempat tidur tersebut, mengelus-elus ubun-ubunnya sembari bertanya,

“Lagi ngapain, kok bawa tas segala ? Curhat ke Mama mo minta restu untuk nikah?” Mendengar pertanyaan Pak Dokter yang kebablasan tersebut, aku tak mampu menahan tawa.

Lintang cemberut digoda Bapaknya sedemikian rupa.

“Ahh...Papa,” ujarnya dengan nada ngambek sambil menunjukkan wajah jutek.

Aku dan Pak Dokter tertawa melihat ekspresi wajahnya.

“Masih suka ngambek gitu kok sudah pengen nikah.” Pak Dokter kembali melanjutkan godaannya. 

Lintang menatapku penuh tanya. Aku memahami makna tatapannya, yang seolah-olah hendak protes kenapa si Bapak bisa tahu kalau Dhuha mengajak dia menikah muda.

“Eiittsss....jangan curiga sama Mama lho. Mama kan juga baru tau kabar itu dari Lintang tadi, terus ni Mama baru ketemu Papa sekarang, belum sempat ngobrol-ngobrol. Tanya aja sama Papa tau dari mana?” ujarku pura-pura lugu.

Gadis ayu tersebut malah bangkit dari duduknya.

“Aku keluar ah...gak asyik ada Papa. Nanti Mama aku WA ya, ngelanjutin cerita yang tadi.” Aku dan Pak Dokter kembali tertawa melihat tingkah Lintang, mau curhat kok via WA.

“Eh...kamu tu anak Papa, besok kalo nikah yang dampingi Papa. Mama dampingi Mas Dhuha sebagai mertua kamu, jadi harusnya curhat ke Papa bukan ke Mama.” Ternyata Pak Dokter masih belum puas menggoda anak gadisnya.

“Udah ah...Papa godain terus,” ujarnya dengan nada seolah-olah tidak senang, padahal aku menangkap ada sinyal kegembiraan di balik nada bicaranya tersebut.

“Ya udah, terusin ngobrolnya sama Mama. Papa mau mandi, gerah,” ujar Pak Dokter sambil  beranjak menuju kamar mandi di sudut kamar.

Aku  turun dari tempat tidur, menuju lemari untuk mengambilkan baju ganti Pak Dokter, sepasang piyama berwarna abu beserta kelengkapannya, kemudian meletakkannya di atas meja kerja. Sementara Lintang meneruskan niatnya kembali ke kamar.

“Ma, aku balik ke kamar. Nanti Mama aku WA,” ujarnya ketika si Bapak sedang berada di kamar mandi.

“Ya...dah malam juga. Besok ngobrol lagi, ya.” Aku kembali naik ke peraduan menanti Pak Dokter selesai mandi.

“Kamu jangan mikirin Mas Dhuha terus lho, Tang. Fokus ke UN. Kalau sampai nilai kamu berantakan, dan gak bisa nembus FK, Mama gak bakal kasih restu.” Aku mengultimatum si sulung. 

“Idiihh...Mama tiru-tiru Papa.” Lintang protes, kemudian mencium keningku dan berlalu meninggalkan kamar.

Lima menit berlalu, Pak Dokter keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk melilit di pinggang sebagai penutup tubuh bagian bawahnya. Beliau mandi kilat, maklum sudah malam, yang penting rasa gerah dan lengket sudah enyah dari tubuh atletisnya.

“Lintang mana?” tanya Beliau sembari menuju ke meja kerja, kemudian mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan.

“Balik ke kamarnya,” jawabku singkat.

Selesai berpiyama, Pak Dokter kembali ke kamar mandi untuk menyampirkan handuk yang tadi dikenakan. Selanjutnya Beliau menutup pintu kamar, menguncinya, dan menyusulku membaringkan diri di peraduan.

“Mau saya buatin minum, Dok?” Aku mengajukan pertanyaan basa-basi tersebut sebagai syarat kesopanan kepada suami terkasih, karena sejatinya kalau sudah pulang di atas jam sembilan malam Beliau tidak butuh minum atau makan lagi.

“Gak usah.” Jawaban lembut Beliau sesuai prediksiku.

“Lintang ngobrol apa?” Pertanyaan Pak Dokter  membuat denyut-denyut di kepala kembali menghampiri.

“Hayati lelah Bang, ceritanya besok aja, ya?” ujarku dengan nada memelas yang dibuat-buat.

Beliau terkekeh melihat ekspresi dramaku. Lelaki paruh baya nan kharismatik tersebut menggeser posisi berbaringnya mendekati tubuhku. Kemudian tanpa basa-basi Beliau mencium bibirku dengan lembut, hanya sesaat. Sambil memeluk hangat tubuhku, Pak Dokter berbisik lembut ke telinga,

“Kalau Abang pengen ketemu Anggi, Hayati lelah, gak?”

Uupppsss...,ternyata ada yang kangen sama anak bungsu. Aku tersenyum mendengar bisikan Pak Dokter. Sudah lama Beliau tak menggombaliku. 

Ya sudah, terpaksa perjalanan mengunjungi Anggi malam ini tidak diawali dengan pillow talk.

Sensor.


@@@@@


Kami sekeluarga -minus Edel- baru selesai belanja, lebih tepatnya mengantar Lintang berbelanja. Setelahnya anak-anak minta singgah untuk makan malam ke resto cepat saji di Mall yang terletak di Jalan Pemuda Semarang ini.

Sebenarnya aku dan Pak Dokter tidak terlalu suka dengan aneka menu di gerai fast food, tapi demi anak-anak, orang tuapun terpaksa mengalah. 

Dengan menggabungkan dua meja, keluarga unik Pak Dokter menikmati makan malam sambil berbincang santai. 

Lintang terlihat  gembira, begitupun dengan kedua adiknya karena mereka juga kecipratan rezeki dari kakaknya. Mentari mendapat jatah celana jeans dan sebuah tunik manis berbahan jeans juga. Sementara Maghrib lebih memilih sepatu jogging dan  sebuah jumper. Lintang sendiri membeli entah berapa banyak jilbab dan pasmina,  dua overall, dan tiga gamis manis yang sesuai untuk gadis remaja seusianya. 

Kalau untuk atasan dan bawahan, dia memang hanya membeli beberapa potong saja, karena baju-bajunya selama ini banyak yang berlengan panjang dan celana panjang, jadi masih bisa dipakai walau nanti dia sudah berhijab.

Anak-anak bisa berbelanja lumayan banyak karena aku berpesan pada mereka untuk memilih pakaian dengan harga waras. Kutanamkan prinsip bahwa yang terpenting dalam berpakaian itu nyaman dipakai serta indah dan pantas dipandang mata. Untuk apa membeli baju harga jutaan tapi terlihat tidak pantas dengan penampilan kita.

Di saat kami sedang menikmati sajian yang terhidang, seseorang menyapaku dengan menyebut namaku. Aku menoleh ke arah sumber suara, menatap wajah yang pernah sangat familiar dalam memoriku. 

Seorang lelaki seusia dengan diriku dan Pak Dokter, berkulit coklat tapi bersih terawat, berkacamata, dengan wajah oriental yang kontras dengan kulit coklatnya. Tubuh pria itu tidak lebih tinggi dariku. Penampilannya trendy, bergaya kekinian, dan tampak berkelas. Dia menghampiri ke meja kami. Setelah menyadari keberadaan lelaki tersebut, aku membalas sapaannya.

“Hey...apa khabar, Lang ?” ujarku surprised dengan pertemuan yang tak terduga ini.

“Baik.” Jawabnya sambil menyalami Pak Dokter dan anak-anak secara bergantian. 

Karena kondisi kami yang sedang bersantap, kami membalas jabat tangan Elang dengan menangkupkan kedua telapak tangan.

“Dok, ini Elang. Temen lama.” Aku memperkenalkan Elang pada Pak Dokter. Beliau melempar senyum kepada Elang.

“Ayo duduk, Mas Elang. Sekalian ikut makan malam ya?” Pak Dokter mempersilahkan Elang duduk di kursi kosong persis di sebelahnya dan menawari makan malam.

“Gak usah Mas. Saya tadi baru selesai makan, pas mau keluar melihat ke arah sini kok seperti (menyebut namaku), saya panggil ternyata iya.” Elang menolak halus tawaran Pak Dokter.

“Kok kamu masih tanda aja sih sama aku?”

“Soalnya wajah kamu  gak berubah, masih seperti dulu.”

“Apa iya, Dok? Berarti saya awet muda ya, Dok?” Aku mengajak Pak Dokter untuk terlibat dalam percakapan kami. Pak Dokter cuma tertawa kecil mendengar tanyaku.

Elang terlihat melempar pandangannya, menyapu ke arah tiga anak yang sedang asyik menyantap hidangan mereka.

Aku bisa menangkap, ada keheranan di wajah Elang menyadari di antara ketiga anakku ada yang berganti kelamin. Begitu juga ketika dia menatap ke arah Pak Dokter dan kemungkinan rasa heran itu semakin bertambah melihat kondisiku yang sedang hamil.

Kami pernah bertemu  bertahun-tahun yang lalu di Yogya. Ketika itu aku masih berstatus istri Pak Wicaksono. Kondisi pertemuannya juga seperti ini, kami sekeluarga sedang makan di resto, dan Elang melihat keberadaanku kemudian menyapa dan menghampiri kami.

Nah...mungkin dia heran, waktu itu anakku dua laki-laki dan satu perempuan, kenapa sekarang jadi terbalik. Begitu juga dengan keberadaan Pak Dokter. Tapi kuabaikan tanda tanya yang tergambar di wajahnya.

Pak Dokter sudah menghabiskan hidangannya, Beliau menuju wastafel untuk membasuh tangan.

“Tinggal di mana sekarang, Lang?” tanyaku santai membuyarkan keheranannya.

“Masih di Tanjung Enim.”

“Dinas di mana, Mas?” Pak Dokter yang baru kembali dari wastafel menyapa ramah lawan bicaranya sembari kembali mendudukkan diri.

“PTBA, Mas.” Elang menyebut nama BUMN yang bergerak di bidang pertambangan tersebut.

“Ke Semarang dalam rangka dinas?”

“Menghadiri Resepsi pernikahan putrinya Big Bos, Mas. Acaranya besok, di hotel sebelah.”

“Anak kamu dah berapa, Lang?” tanyaku spontan.

“Masih seperti dulu.” Dia menjawab santai sambil tertawa kecil. Berarti lelaki matang ini masih betah melajang.

“Pantesan gayamu masih free style begitu. Usia dah over cooked, tapi makan malamnya seperti anak muda, di gerai fast food. Betah banget sih ngejomblo, Lang ?” tanyaku lugas.

“Anakku aja udah mau enam. Ni tiga, yang satu di Kalimantan, satu di Yogya, yang satu segera launching,” lanjutku.

Dia tertawa mendengar kalimatku.

“Kalau belum ada jodoh mo gimana ya, Mas?” Elang merespon perkataanku sambil seolah-olah meminta persetujuan Pak Dokter. Pak Dokter tersenyum mendengar ucapan Elang.

“Kamu terlalu pilih-pilih sih,” ujarku spontan, “Dia berkomitmen mo cari istri orang Batak, Dok. Tapi sayangnya belum ada yang nyantol sampe sekarang.” Aku melanjutkan ujaran yang kutujukan kepada Pak Dokter.

Selanjutnya kami bertiga  terlibat perbincangan santai.  Karena memang kisahku dan Elang murni persahabatan, jadi aku tidak merasa sungkan kepada Pak Dokter ketika sesekali kisah-kisah yang telah berlalu sempat terurai juga. 

Sementara ketiga anak satu-persatu telah menyelesaikan santap malamnya dan bergantian membasuh tangan ke wastafel. Selanjutnya mereka mulai asyik dengan gawai masing-masing sambil sesekali berbincang di antara ketiganya.

Aku dan Elang memang sudah akrab dari zaman SMA. Itu sebabnya aku bisa berbincang santai dan ceplas ceplos.

Kami bertemu di Jakarta, di satu acara yang diselenggarakan oleh Departemen Koperasi berpuluh tahun yang lalu. Acara itu diikuti oleh peserta tingkat SMA dari seluruh propinsi (waktu itu jumlah propinsi di Indonesia masih 27).

Aku dan dua orang temanku mewakili propinsi Sumatera Utara, sementara Elang dan dua temannya mewakili DKI Jakarta. Sejak berada di Wisma peserta, kontingen Sumut dan kontingen DKI memang sudah akrab. Dan keakraban –khususnya antara aku dan Elang- itu terus berlanjut ketika acara usai dan kami harus kembali ke daerah.

Kami merajut kebersamaan lebih dari sepuluh tahun melalui berlembar-lembar surat. Selepas SMA Elang meneruskan kuliahnya di Fakultas Tekhnik UGM, kemudian melalui jalur Management Trainee, dia mendapat pekerjaan di BUMN yang bergerak di bidang pertambangan batubara, PTBA di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Ketika Elang wisuda, dia mengirimiku tiket untuk mengunjunginya di Yogya dan menjadi pendamping wisudanya. Walau kami seangkatan, tapi karena kecerdasannya, Elang selesai lebih cepat dariku. Dan ketika aku lulus, dia sudah bekerja di PTBA. Saat aku wisuda, Elang  meluncur ke Medan untuk menjadi pendampingku .

Ketika itu aku sudah mengenal Bapak Maghrib, tapi status kami masih sahabat pena, belum pacaran. Dalam surat-suratku kepada Bapak Maghrib, aku sering bercerita tentang Elang.

Ya, Elang memang teman istimewaku. Kami sahabat kental, lebih dekat dan terbuka dari pada pasangan kekasih. Elang itu cerdas, wawasannya luas, aku suka dan nyaman bercerita padanya. Kami bebas bercerita apa saja, berkeluh kesah, berbagi bahagia, dan segala hal. Namun kami berbeda aqidah. Itulah sebabnya walau Elang spesial, tapi aku tidak memiliki getar-getar istimewa terhadapnya.

Aku murni menganggap dia sebagai sahabat sejati. Tapi tidak demikian dengan Elang, ternyata dia menyimpan rasa yang mendalam kepadaku, tapi dia menyadari sepenuhnya kalau  “rasa” yang mendalam itu tidak mungkin bisa menyatu.

Saat aku wisuda dia pernah berujar,
“Setelah Mama, perempuan paling istimewa dalam hidupku itu kamu. Tapi aku sadar, kamu gak mungkin bersedia jadi pendampingku. Jadi cita-citaku sekarang ini, pengen cari istri orang Batak seperti kamu.”

Dan dia membuktikan ucapannya itu. Dua kali menjalin hubungan dengan wanita Batak tapi kandas. Keluarga kedua pihak terlalu fanatik dengan suku masing-masing (Elang berdarah Jawa), padahal mereka seiman. 

Ketika aku menikah, Elang menghadiri perhelatan resepsi kami. Setelah itu  hubungan terputus karena dia menyadari kalau aku sudah menjadi istri orang. Kemudian hubungan kembali terjalin setelah adanya facebook, tapi tidak seintens dulu, hanya sekedar ber-hai hello saja. 

Tahun 2014, tahunnya demokrasi, aku memblacklist Elang dari pertemanan karena kami berbeda pandangan politik. Sebenarnya perbedaan sudut pandang bukanlah alasan yang paling utama, melainkan karena dia terlalu sering menyerangku dengan argumen-argumen konyolnya. Dia terlalu getol membela junjungannya dan menjelek-jelekkan jagoanku. Sementara aku sangat tidak suka berdebat. Kalau sudah beda, ya sudah, jangan dipaksakan menjadi sama. Cara pandangku terhadap Elang berubah. Dia yang tadinya kuanggap cerdas dan berwawasan, mendadak menjadi seorang pemuja yang taklid buta.
  
Bertahun-tahun yang lalu kami bertemu dengan kondisi aku sudah beranak tiga, sementara dia masih jomblo. Dan sekarang lebih parah lagi, anakku sudah hampir enam, dia masih setia bernasib ngenes. 

Akhirnya tuntas juga hidangan yang tersaji di depanku. Aku beranjak ke wastafel, Pak Dokter dan Elang masih asyik berbincang.

Ketika aku balik dari wastafel, Elang  pamit undur diri. Sebelumnya dia meminta nomor handphoneku. Karena aku memang tak berminat lagi menjalin komunikasi dengan dia, kuminta Pak Dokter untuk memberikan nomor Beliau, dengan alasan gawaiku off karena lowbat dan aku tidak hapal nomorku sendiri. Pak Dokter berbasa-basi menawari Elang untuk singgah ke rumah kami.

“Nanti kalau kamu nikah, jangan lupa undang kami ya. Insyaa Allah kami dateng serombongan, ya Dok?” Pak Dokter tertawa mendengar ocehanku. 

Perjumpaan dengan Elang berlalu begitu saja. Walau kami pernah menjadi sohib kental dengan bumbu “rasa” dari pihak Elang, namun pertemuan tak sengaja ini tak memberi kesan apa-apa untukku, biasa saja.

Setelah Elang pamit, kami juga segera meninggalkan resto cepat saji tersebut, selanjutnya menuju tempat parkir.  

Ketika tiba di tempat parkir, Pak Dokter meminta Lintang menggantikan dirinya.

“Kamu yang nyetir Tang. Papa mau istirahat,” ujar Beliau sambil menyerahkan kunci mobil.

Gadisku itu langsung merespon titah Bapaknya. Biasanya kalau Lintang jadi supir, Pak Dokter bertindak sebagai navigator. Tapi kali ini Maghrib yang diminta untuk mendampingi Lintang, sementara beliau memilih duduk di jok belakang, aku dan Mentari di jok tengah.

“Seumur aku hidup, baru sekali ini Papa duduk di belakang. Sendirian lagi.” Kami tertawa mendengar celoteh Mentari yang menggunakan kosa kata –seumur aku hidup-.

“Sekali-sekali pengen ngerasain jadi jomblo,” jawab Pak Dokter lugas.

Anak-anak terkekeh mendengar respon Sang Bapak.

“Padahal biasanya gak mau pisah dari Mama, nempel terus kayak ABG.” Sambil fokus dengan kemudi, Lintang menggoda Bapaknya.

Aku tersenyum mendengar celetukan Lintang.

“Itukan kamu sama Dhuha.” Pak Dokter membalas kalimat Lintang.

“Cie...cie....” Mentari mengambil kesempatan untuk menggoda Lintang.

“Kamu tiru-tiru Papa, nanti baju yang tadi dibeli aku tarik lagi lho, gak jadi buat kamu.” Lintang mengancam adiknya.

“Gak mbak...ampuuun.”

“Mbak-mbak berdua ini selalu heboh. Apalagi kalo besok dah jadi emak-emak, pasti lebih heboh lagi.” Maghrib yang dari tadi asyik dengan gawainya, merespon ucapan Lintang dan Mentari.


@@@@@


Ketika tiba di rumah waktu sudah menunjukkan pukul 21.30. Anak-anak langsung menuju kamar masing-masing, karena sejatinya ini bukan malam libur. Besok mereka harus sekolah.

Aku lebih dulu masuk ke kamar, sementara Pak Dokter masih memasukkan mobil ke garasi. Setelah berganti baju, membersihkan wajah, bersugi, kemudian menggunakan krim malam yang aman bagi ibu hamil, aku bersiap naik ke peraduan untuk berbaring, meluruskan  persendian.

Di saat aku sedang mengistirahatkan diri, Pak Dokter masuk ke kamar. Beliau segera berganti baju, bebersih diri di kamar mandi, kemudian menyusul ke pembaringan.

Sebelum membaringkan diri, Beliau mencium keningku lembut. Setelah itu berbaring sambil memunggungiku, tanpa suara, tanpa sepatah kata.

Seumur pernikahan kami, Pak Dokter belum pernah dengan sengaja membelakangiku di saat kami akan berangkat tidur. Kalaupun karena terlalu lelah dan ingin segera terlelap, hingga tak mampu berpillow talk, Beliau selalu memposisikan diri menghadap ke arahku.

Sebenarnya aku masih ingin mengajak Beliau bicara. Malam Minggu yang lalu, Anggiat datang ke rumah tanpa konfirmasi, tapi saat itu Edel sedang tidak pulang. Dan tadi pagi, ketika kami sedang menikmati sarapan, Pak Dokter berujar kalau malam Minggu ini mungkin Anggiat akan berkunjung lagi. Beliau memintaku menghubungi Edel untuk memastikan dia pulang apa tidak.

“Dok....” panggilku pelan.

“Ya.” Beliau menjawab pendek dan datar.

“Njenengan udah ngantuk, Dok?” tanyaku hati-hati menyadari kalau sikap Beliau berbeda dari biasanya.

“Sudah.” Jawabannya masih bernada datar.

Aku merapatkan posisi tidur ke Beliau. Kupeluk tubuh lelaki terkasih itu dari belakang. Kuciumi tengkuknya. Pak Dokter bereaksi seakan merinding karena hembusan napasku di tengkuknya.

“Saya ngantuk.” Beliau merespon tindakanku masih dengan nada yang hambar.

“Ya sudah,” ujarku pelan sambil melepas pelukan.

“Saya gak pinter bujuk Njenengan, tapi saya bisa merasakan kalau ada sesuatu yang salah sampai-sampai Njenengan memunggungi saya,” lanjutku dengan nada tegas.

Apa yang kuucapkan barusan memang murni apa yang kurasakan. Biasanya kalau aku ngambek atau cemburu, Pak Dokter akan membujukku dengan seksama sampai aku luluh dan kembali bersikap normal.

Namun kini ketika Beliau bersikap tak bersahabat, dan aku mencoba meluluhkannya tapi tak berhasil, ya sudah. Aku memiringkan tubuh menghadap tembok. Kami tidur saling membelakangi. 

“Gak ada yang salah.” Aku bisa memastikan, saat merespon ucapanku Beliau masih dalam posisi tidurnya yang semula.

Walau tubuh ini lelah, tapi aku tidak bisa memejamkan mata dengan situasi tak nyaman ini. Baru kali ini Pak Dokter bersikap tak perduli padaku. Dan juga baru kusadari  tadi Beliau pun memilih duduk sendiri di jok belakang, tidak mau berdekatan denganku.

Walau berusaha keras untuk mengabaikan Beliau yang sedang bersikap acuh, namun ternyata aku tak mampu. Perasaan sentimentilku mencuat. Mataku terasa memanas, terabaikan itu ternyata sangat tidak enak. Aku merubah posisi tidur, telentang.

“Dok...saya sedih Njenengan cuekin.” Nada suaraku bergetar, “Sementara saya gak tau salah saya apa,” lanjutku lagi.

Mungkin Pak Dokter menangkap getaran dalam nada bicaraku sehingga akhirnya Beliau membalikkan badan menghadap ke arahku.

“Njenengan kenapa?” Ucapan Beliau sudah kembali seperti biasa, lembut dan penuh perhatian.

“Harusnya saya yang tanya, Njenengan kenapa nyuekin saya?” Aku melempar balik pertanyaan Pak Dokter.

“Sudah malam. Ayo tidur,” ujarnya sambil merengkuh tubuhku dalam pelukannya.

“Saya gak bisa tidur kalau pikiran masih terganggu. Njenengan pernah menasehati saya, jangan sampai membawa masalah dalam tidur.” Aku mengingatkan Beliau akan petuah yang pernah terucap ketika diri ini sedang ngambek.

“Memangnya Njenengan mikirin apa?”

“Ya mikirin Njenengan. Gak ada angin gak ada hujan kok nyuekin saya dengan kejamnya.”

“Sudah gak usah dipikir, saya gak pa-pa. Udah malem, tidur gih.” Pak Dokter masih mendekapku dalam pelukannya. Beliau mengelus-elus punggungku, namun seakan ada duri di sela-sela jemari Beliau, aku bisa merasakan elusan itu tak senyaman biasanya.

Aku berusaha mengosongkan pikiran dari rasa kecewa atas sikap Pak Dokter. Kupejamkan mata, kunikmati dekapan dan elusan tangannya  yang tak bernyawa dan tanpa kehangatan.

“Kenapa ada orang yang rela membujang sampai usianya hampir mencapai setengah abad.” Tiba-tiba Pak Dokter berkata dengan sangat lirih.


















Posting Komentar

2 Komentar