Tidak seperti hari-hari yang lain, biasanya selesai sholat
Subuh aku berjalan-jalan di halaman
depan sambil menunggu Pak Dokter dan Maghrib pulang dari mesjid. Kali ini aku
memilih kembali merebahkan diri di peraduan.
“Maaaaa...” Terdengar Edel memanggilku diikuti dengan suara
ketukan di pintu.
Sulungku itu tadi malam pulang, dan selama tiga hari ke
depan, mulai hari ini hingga Jumat, Edel mengambil cuti. Alasan utamanya
supaya bisa ikut merayakan ulang
tahunku.
“Ya Edel...masuk. Pintunya gak Mama kunci.”
Ternyata Edel tidak sendirian, Mentari dan Lintang mengikutinya
memasuki kamar. Mentari dan Lintang langsung naik ke peraduan. Aku bangkit dari
posisi rebahan. Edel menghampiriku.
“Selamat ulang tahun, Mama. Tetap jadi Mama yang baik dan
hebat untuk kami semua ya, Ma.” Edel mencium kedua pipiku, kemudian memelukku
erat.
“Makasih, sayang. Kamu juga selalu jadi anak yang baik, ya,”
ujarku membalas ucapan selamat dari Edel.
Lintang dan Mentari mengikuti jejak Edel, menyalamiku,
mencium kedua pipi, kemudian memeluk erat tubuh tua ini.
“Kami gak punya kado, Tan. Tapi kami punya hadiah istimewa
untuk Tante. Mulai sekarang aku sama Mentari boleh manggil Tante “Mama”, ya ?”
Aku memang meminta anak-anak untuk tidak memberi kado atau
tart ulang tahun, begitu juga dengan Pak Dokter. Tapi ternyata Beliau tetap
menghadiahiku bingkisan dalam bentuk mengadakan donasi ke bangsal perawatan
anak. Dan kini kedua anak gadis Beliau juga mempersembahkan kado yang begitu
spesial, panggilan “Mama”.
Mendengar ujaran Lintang yang lugas dan spontan, aku
terenyuh. Baru kusadari, ternyata kedua gadis remaja ini merindukan panggilan
Mama. Panggilan yang sebenarnya juga kurindukan keluar dari mulut mereka
berdua.
Kurengkuh kedua gadis Pak Dokter, kubawa mereka dalam
dekapan, kubisikkan seuntai kalimat ke telinga mereka secara bergantian.
“Mama sayang Lintang dan Mentari.” Ujung mataku memanas.
Mereka membalas dekapanku, erat dan penuh kasih.
Walau aku tahu kedua gadis ini menerima dan menyayangiku
sebagai ibu sambung mereka, namun pagi ini di hari ulang tahunku, aku merasa
status sebagai ibu buat keduanya telah sempurna utuh.
Pintu kamar terbuka, Pak Dokter baru pulang dari Subuh
berjamaah.
“Ngapain rame-rame di sini?” tanya Beliau spontan melihat
kami berempat sedang asyik berengkrama di atas tempat tidur.
“Ngucapin selamat ulang tahun buat Mama,” jawab Mentari
polos.
“Sejak kapan manggil Mama?” tanya Pak Dokter heran sambil
duduk di kursi meja kerja.
“Sejak pagi ini.” Lintang mewakili Mentari menjawab tanya
sang Bapak.
Pak Dokter menatapku, tatapannya penuh tanda tanya.
“Kata Lintang dan Mentari sebagai hadiah ulang tahun untuk
saya.” Aku menjawab tanya Pak Dokter yang terucap melalui bahasa kalbu.
“Berarti sebagai hadiah ulang tahun untuk Mama, Edel juga
ikutan manggil Papa, ya?” Pak Dokter menggoda Edel.
Mentari dan Lintang tertawa mendengar ucapan Sang Bapak,
sementara Edel cuma bisa tersenyum pasrah sambil berujar,
“Iya, Om...eh...Pa.”
Kami tertawa mendengar ucapannya yang terdengar kikuk.
“Mama...” Terdengar suara Maghrib memanggil dari luar kamar.
“Masuk Maghrib. Ayo sini ngumpul sama mbak-mbak.” Pak Dokter
merespon panggilan Maghrib.
“Iya, Om.” Bungsuku menjawab kalimat Pak Dokter sambil masuk
ke kamar, kemudian ikut naik ke tempat tidur.
“Dah gak musim manggil Om lagi,” celetuk Lintang begitu
bungsuku sudah berada di kamar dan ikut nimbrung naik ke peraduan.
Maghrib cuma bisa melongo mendengar ucapan kakak tirinya.
“Napa tho Mbak Lintang nih ?”
“Dek maghrib gak boleh manggil “Om” lagi ke Papa.” Mentari
membantu kakaknya menggoda Maghrib.
“Terus aku harus manggil apa?”
“Manggil Papa. Mau gak?” Pak Dokter menjawab tanya Maghrib.
“Hhmm...ya, Om...eh...Pa.” Persis seperti Edel, bungsuku juga
terlihat kaku dengan sapaan barunya.
Maghrib beringsut mendekatiku,
“Ma, selamat ulang tahun ya. Aku sayang Mama.” Walau kalimat
yang diucapkan Maghrib begitu sederhana, namun bagiku ungkapan tersebut begitu
sarat makna.
Kurengkuh si bungsu yang berbadan bongsor itu dalam dekapan,
kuciumi kedua pipinya, kuusap-usap ubun-ubunnya.
Sementara ketiga gadis heboh mengganggu Maghrib. Edel mengambil
gawaiku yang terletak di atas nakas di sisi tempat tidur. Kemudian mengarahkan
gawai untuk mengambil photo ketika aku sedang dalam posisi menciumi dan memeluk
Maghrib.
“Udah gede kok masih diciumi, Mama.” Lintang paling senang
kalau menggoda Maghrib.
“Mbak Edel, photonya upload di facebook.” Mentari ikut-ikutan
menjadi provokator.
“Jangan mbak.” Maghrib protes mendengar usul Mentari.
Sementara Pak Dokter tertawa melihat si perjaka dikeroyok
para gadis.
“Papa kok gak ngucapin selamat ulang tahun buat Mama?” Tetiba
Lintang mengajukan tanya kepada sang Bapak.
“Papa sudah duluan tadi malam.” Pak Dokter menjawab tanya
anaknya dengan kalem.
Beliau tidak bohong, tadi ketika membangunkanku untuk
sholat malam, seuntai ucapan sudah
Beliau persembahkan untukku.
“Ayo Pa, ucapin selamat ulang tahun. Cium Mama, Pa.” Setelah
puas membully Maghrib, kini giliran Pak Dokter yang jadi sasaran anak-anaknya.
Aku dan Edel cuma tertawa melihat tingkah Mentari dan
Lintang. Anak sulungku itu tidak berani ikut serta menggoda Pak Dokter, mungkin
dia sungkan dengan Bapak tirinya itu. Tapi tidak demikian dengan Maghrib.
“Ayo Om...eh...Pa, kasih selamat tho buat Mama.”
Pak Dokter gerah dengan ocehan anak-anaknya. Beliau beranjak
dari duduknya menuju ke arahku, mengecup lembut keningku sambil berujar,
“Selamat ulang tahun, Nyonya.” Sesimpel itu saja.
Aku
tersenyum melihat sikap Pak Dokter yang terlihat begitu kaku, berbeda jauh kala
Beliau sedang berduaan denganku.
“Cie....cie...” Keempat anak serentak menggoda kami berdua.
Aku dan Pak Dokter tak kuasa menahan tawa dengan godaan anak-anak.
“Tapi aneh, udah mesra-mesra cium kening, kok manggilnya
Nyonya. Piye tho, Pa.” Lintang secara spontan memprotes ujaran Bapaknya.
Kami tertawa mendengar celetukan spontan si Lintang.
“Udah pada bubar sana. Siap-siap mo berangkat sekolah. Edel nanti ikut Mama donasi
ke rumah sakit, ya.” Pak Dokter membubarkan para perusuh dari kamar kami.
“Iya, Pa.” Terdengar kalau Edel masih kaku dengan panggilan
barunya.
Anak-anak berlalu meninggalkan kamar kami, mempersiapkan diri
untuk berangkat ke sekolah.
@@@@@
Aku dan Edel meluncur ke rumah sakit pada pukul 08.30. Pak
Dokter sudah berangkat lebih awal. Menurut Beliau, donasi ini murni kegiatanku.
Jadi akulah pelaku utamanya, tidak perlu melibatkan Beliau. Di rumah sakit
nantipun kami tidak akan bertemu. Beliau bertugas, aku dan Edel berdonasi.
Setelah selesai acara di rumah sakit Edel akan mengajakku menemui temannya.
Nanti malam, kami sekeluarga merayakan ulang tahunku dengan
makan malam bersama di rumah saja. Pak Dokter katanya akan mengundang residen
yang ingin Beliau jodohkan dengan Edel.
Sementara Edel sendiri berujar padaku kalau teman yang akan kami temui nanti
juga akan ikut makan malam bersama di rumah. Ah...ntahlah, aku bingung, karena
aku memang belum pernah mengajak Edel berbincang tentang rencana Pak Dokter
untuk menjodohkannya.
Donasi di bangsal anak berjalan lancar. Aku dan Edel memasuki
satu ruangan ke ruangan lain. Berinteraksi dengan para pasien, juga orang
tuanya. Bertegur sapa, berbincang santai, bercanda.
Pada saat pembagian buku dan mainan, kami ditemani seorang
perawat pendamping dan seorang staff humas yang berperan sebagai dokumentator,
karena sebagai pengunjung kami dilarang membawa kamera dan mengabadikan keadaan
pasien. Aku dan Edel berperan sebagai donatur luar, bukan sebagai keluarga Pak
Dokter.
Ada rasa haru menyelinap ke rongga hati melihat pasien-pasien
usia muda tersebut harus menanggung beban penyakit yang begitu berat, leukimia,
jantung, hidrosefalus, kanker mata, dan penyakit berat lainnya. Dalam kondisi
seperti ini barulah hati benar-benar terbuka untuk berucap syukur mengingat
semua anak-anakku dalam kondisi sehat walafiat. Walaupun dulu Maghrib sempat
menjadi pasien tetap rumah sakit ini untuk waktu yang cukup lama.
Anak-anak berwajah polos tersebut begitu antusias dan gembira
ketika kami membagi buku satu persatu kepada mereka. Pun demikian dengan para
orang tua pendamping pasien, mereka terlihat sumringah. Ternyata sesuatu yang
bagi kita begitu sederhana, bisa menjadi hal berharga buat orang lain.
Berbagi itu indah. Aku bahagia Pak Dokter memberiku hadiah
ulang tahun dalam bentuk donasi. Beliau selalu memiliki ide-ide unik untuk
membuatku tersenyum dan tersanjung.
Lelakiku itu, sekali lagi berhasil membuatku jatuh cinta.
Jatuh cinta ntah untuk yang keberapa kali. Aku semakin menyayanginya.
Pak Dokter tidak memanjakanku dengan emas permata, tapi
Beliau memanjakanku dengan kasih sayang. Kasih sayang dari dirinya untuk
diriku. Dan kasih sayang dari keluarga kami untuk keluarga lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba aku merindukannya, ingin berada dalam dekapannya. Tapi
rindu itu harus kukemas dulu, menyimpannya dengan rapi hingga saatnya Beliau
pulang ke rumah di senja hari nanti.
Aku dan Edel berjalan menyusuri selasar rumah sakit menuju
area parkir ketika kami berpapasan dengan seorang lelaki berusia sekitar 50
tahun. Untuk ukuran lelaki Beliau tidak bisa dibilang tinggi, berambut hitam
lurus, dengan kacamata minus menghiasi penampilannya. Beliau menyapaku.
“Selamat pagi, Bu,” ucapnya sopan.
Aku menjawab sapaannya sambil berpikir keras, siapa Beliau
ini.
“Pagi juga, Pak.” Jas putih yang Beliau kenakan membuatku
yakin kalau lelaki itu satu profesi dengan suamiku.
Sepertinya Beliau menyadari kalau aku tidak mengenalinya.
“Ibu lupa ya dengan saya?” tanyanya tetap dengan nada yang
sangat sopan, “Saya teman papanya Lintang. Saya ikut mendampingi Papa Lintang
waktu acara ijab qabul di Pasar Papringan.” Kalimat Beliau mengembalikan
ingatanku ke peristiwa sakral beberapa bulan yang lalu.
Acara pernikahan kami
waktu itu hanya dihadiri 30 undangan yang semuanya merupakan keluarga intiku
dan Pak Dokter, serta anak-anak kami. Orang luar yang diundang Pak Dokter hanya
dua sahabat baiknya dan seorang atasannya. Dan Beliau yang menyapaku ini adalah
satu dari dua sahabat Pak Dokter yang diundang saat itu.
Aku malu karena melupakan teman baik suami sendiri, sementara
Beliau tetap mengenaliku walau postur tubuhku sudah berubah karena sedang
hamil.
“O..ya. Maaf ya Pak, maklum sudah tua, agak tulalit,” jawabku
seadanya.
“Ibu dari mana ? Kok gak ditemani papanya Lintang ?”
“Pak Dokter lagi jadwal di poli. Saya tadi dari bangsal anak,
donasi buku.”
“Ibu lagi ulang tahun, ya?” Sahabat suamiku ini bisa menebak
dengan tepat alasanku ke bangsal anak.
“Kok Bapak tau?” tanyaku sedikit heran dengan tebakannya yang
begitu tepat.
“Dulu sewaktu Mama Lintang masih ada, setiap merayakan ulang
tahun pasti donasi ke bangsal anak, rutin setiap tahun. Setelah almarhumah gak
ada, aktivitas itu terhenti sama sekali. Sekarang setelah bertahun-tahun, gak
sengaja saya ketemu ibu di sini, habis donasi ke bangsal anak, pasti dalam
moment ulang tahun Ibu. Selamat ulang tahun ya Bu, semoga sehat-sehat terus,
kehamilannya lancar sampai nanti melahirkan.” Beliau berbicara panjang lebar
dan diakhiri dengan seuntai ucapan selamat sambil menyalamiku.
Aku mendengar cerita dan menerima uluran selamat darinya
dengan hati mencelos. Kuakhiri percakapan singkat di selasar rumah sakit
tersebut dengan memohon pamit karena ada keperluan di tempat lain.
Aku dan Edel kembali menyusuri lorong-lorong panjang. Suasana
hatiku mulai berubah. Tadi aku begitu gembira menerima hadiah ulang tahun yang
sangat spesial ini, tapi kini perasaan bahagia itu sirna, berganti dengan
sekelebat cemburu, yang perlahan tapi pasti semakin besar dan membesar.
Ya...aku cemburu sama Mama Lintang. Ternyata Pak Dokter hanya
meneruskan tradisi yang dulu selalu Beliau berikan untuk almarhumah. Jadi ide
Pak Dokter itu bukan orisinil untukku, bukan karena aku istimewa, tapi hanya
mengkopi paste.
Mungkin Pak Dokter masih menintai Mama Lintang dan sedang
terkenang dengan almarhumah, jadi memintaku kembali melakukan apa yang dulu
rutin mereka lakukan untuk sekedar membangkitkan kenangan di masa lalu. Mungkin Pak Dokter sedang jenuh melihatku
yang terlalu sering ngambek. Berbagai kemungkinan buruk merasuki kewarasanku.
Edel sepertinya merasakan perubahan sikapku, karena aku yang
tadi terus mengoceh sepanjang perjalanan, kini diam membisu hingga kami tiba di
tempat parkir, masuk mobil, dan meluncur di jalan raya.
“Mama kenapa?” Edel mencoba mencairkan suasana. Tatapannya
tetap lurus ke depan, konsentrasi dengan aktivitas menyetirnya.
“Gak pa-pa, Edel.”
“Mama bohong.” Anak gadisku itu langsung menembak tepat di
sasaran, “Mama cemburu sama Mama Lintang, karena ternyata apa yang diberikan
Papa untuk Mama saat ini sama dengan yang dulu Papa lakukan untuk Mama Lintang,
kan?” lanjutnya tanpa basa-basi.
Aku terdiam. Kupikir tanpa perlu kujawab toh Edel sudah tau
alasan perubahan sikapku.
“Mama tidur dulu. Nanti kalau sudah sampe rumah temen kamu,
bangunin Mama,” ujarku sambil menyandarkan kepala di jok dan memejamkan mata.
Sejujurnya perbuatan ini kulakukan hanya untuk menghindari
percakapan dengan Edel. Hatiku sedang tak nyaman. Aku malas untuk bercerita dan
bertukar argumen. Diam dan pura-pura tidur mungkin bisa meredakan sedikit
gejolak cemburu yang sedang menguasai logikaku.
Edel membiarkan diriku dengan segala pikiran yang berkecamuk.
Dia menyalakan audio, lagu-lagu generasi zaman now mengalun mengiringi perjalanan
kami. Aku sama sekali tidak mengenal dan tidak bisa menikmati musik yang
diputar Edel tersebut. Selera musik kami terpisah dinding dan waktu.
Setelah sekian waktu berpura-pura tidur, aku kembali membuka
mata. Seketika diri ini terkejut melihat tanaman bakau di kiri kanan jalan.
“Kok ke bandara?” tanyaku heran, “Teman kamu rumahnya di luar
kota tho ? Terus ini sengaja datang ke Semarang?” Aku memberondong Edel dengan
sejumlah pertanyaan.
Dia tidak menjawab tanyaku, melainkan cuma memamerkan senyumnya
sekilas.
“Edel, kok gak jawab pertanyaan Mama?”
“Nanti Mama tau sendiri,” jawabnya santai.
Aku diam. Rasa cemburu masih menggelayuti hati. Aku masih
malas memikirkan hal lain. Kami sudah memasuki area bandara. Edel bilang dia
malas parkir, tadi sudah janji dengan temannya supaya temannya itu menunggu di
dekat halte trans. Gadisku itu langsung memacu mobil menuju area drop in, terus
mendekati halte trans. Di dekat halte BRT tersebut mobil berhenti sejenak. Dan
baru kusadari seseorang yang akan kami jemput dan sekarang bergegas membuka
pintu mobil itu adalah anak tengahku.
“Dhuhaaa...” jeritku spontan sambil memiringkan badan
menghadap belakang setelah Dhuha berada
di jok belakang mobil. Sementara Edel dengan senyum kemenangannya kembali
melajukan mobil untuk menuju ke luar bandara.
“Mama. Aku kangen.” Anak lelakiku itu meraih tanganku,
“Selamat ulang tahun, Mama,” lanjutnya dengan nada sopan penuh kasih sayang.
Dia menciumi pipiku walau posisi kami terhalang jarak.
“Kok pada main rahasia tho? Berarti semua sudah tau kalau
Dhuha mau pulang?” Aku mengajukan protes pada kedua anakku, menyadari kalau
ternyata yang Edel maksud temannya itu adalah Dhuha. Bukannya menjawab tanya,
mereka malah tertawa berbarengan.
“Ini ide pacarnya Mama. Yang tau itu cuma aku, Dhuha, sama
Papa. Adek-adek gak ada yang tau, soalnya kalau Mentari atau Maghrib tau, pasti
bakalan bocor ke Mama. Wong Mentari sama Maghrib tu anak kesayangan Emak.”
Akhirnya Edel menjawab tanyaku.
Aku tertawa mendengar jawaban Edel. Mentari sama Maghrib memang
tidak pernah bisa menyimpan rahasia dariku.
“Idenya Pak Dokter?” tanyaku tak yakin.
“Iya. Minggu lalu Om nelphone aku, tanya kira-kira pas ulang
tahun Mama aku bisa ambil cuti gak. Biar bisa ngumpul, biar Mama senang.
Soalnya kata Om sejak hamil Mama suka ngambek. Jadi mungkin kalo semua
anak-anak ngumpul di hari ulang tahun Mama, penyakit ngambek Mama bisa pulih.”
Dhuha memaparkan panjang lebar alasan kepulangannya.
Sementara Edel tergelak mendengar kalimat-kalimat Dhuha.
“Bukannya pulih, malah makin sewot.” Edel nyeletuk di
sela-sela tawanya.
Aku mencubit lengannya.
“Kamu ni kenapa sih?” ujarku pura-pura ketus.
“Mama lagi ngambek sama Papa ni Ha, cemburu sama Mamanya
Lintang.”
“Apaan sih kamu Edel.” Kembali kuingatkan anak gadisku itu
untuk tidak usah bercerita yang aneh-aneh dulu, karena Dhuha masih capek.
“Kamu cuti berapa hari, Ha?” Kuabaikan Edel, aku masih ingin
mengurai rindu pada anak lajangku.
“Tiga hari, Ma. Sama seperti Mbak Edel. Mulai hari ini sampai
Jumat. Sabtu Minggu libur. Nanti aku balik hari Minggu naik pesawat siang.
Kemarin tiketnya sudah dibelikan sekalian sama Om. Gak enak aku Ma. Masak sudah
kerja mapan, tiket pulang masih dibelikan,” ujar Dhuha polos.
“Ya nanti gantian, Lintang sama Mentari kamu beliin apa
gitu.” Edel memberikan ide pada adik lelakinya itu.
“Berarti nanti aku serumah ni sama Lintang.” Tetiba anak
lajangku itu mengurai kalimat yang membuatku tersentak.
“Terus kalau serumah sama Lintang kenapa?” tanyaku penuh
selidik.
“Ya gak pa-pa, Ma. Berartikan bisa jumpa setiap hari, bisa
nganter jemput Lintang sekolah.”
Edel kembali tergelak mendengar percakapanku dengan Dhuha.
“Sekalian aja Ha, Lintang dibelikan cincin tunangan, sebagai
pengganti uang tiket Papa,” Edel semakin ngawur menggoda adeknya.
Kedua kakak beradek itu tertawa berbarengan.
“Jangan macem-macem lho, Ha. Nanti Mama malu sama Pak
Dokter.” Aku mencoba mengingatkan Dhuha.
Perjalanan pulang ini kami isi dengan berbincang berbagai
hal. Hatiku diliputi kegembiraan yang begitu sempurna. Perasaan sumringah
menyelimuti jiwa melihat anak lajangku kini begitu dekat. Kejutan istimewa di
hari ulang tahun.
Tiba-tiba aku teringat Pak Dokter. Aku merenungkan ucapan Dhuha tentang usaha
Pak Dokter yang memintanya untuk mengambil cuti. Perasaan bersalah menusuk
kalbu atas syakwa sangka yang tadi kutuduhkan pada Pak Dokter. Ternyata
lelakiku itu benar-benar tulus. Beragam cara Beliau lakukan cuma untuk
membahagiakanku. Rasa kangen kembali menjalari diri, ingin segera tiba di
rumah, menyambut kepulangannya, memeluknya erat. Menghirup aroma maskulin bercampur peluh yang menguar dari tubuh
lelaki tercintaku.
0 Komentar