The Doctor's Family (Jilid 6)








Tidak seperti hari-hari yang lain, biasanya selesai sholat Subuh aku  berjalan-jalan di halaman depan sambil menunggu Pak Dokter dan Maghrib pulang dari mesjid. Kali ini aku memilih kembali merebahkan diri di peraduan.

“Maaaaa...” Terdengar Edel memanggilku diikuti dengan suara ketukan di pintu.

Sulungku itu tadi malam pulang, dan selama tiga hari ke depan, mulai hari ini hingga Jumat, Edel mengambil cuti. Alasan utamanya supaya  bisa ikut merayakan ulang tahunku.

“Ya Edel...masuk. Pintunya gak Mama kunci.”

Ternyata Edel tidak sendirian, Mentari dan Lintang mengikutinya memasuki kamar. Mentari dan Lintang langsung naik ke peraduan. Aku bangkit dari posisi rebahan. Edel menghampiriku.

“Selamat ulang tahun, Mama. Tetap jadi Mama yang baik dan hebat untuk kami semua ya, Ma.” Edel mencium kedua pipiku, kemudian memelukku erat.

“Makasih, sayang. Kamu juga selalu jadi anak yang baik, ya,” ujarku membalas ucapan selamat dari Edel.

Lintang dan Mentari mengikuti jejak Edel, menyalamiku, mencium kedua pipi, kemudian memeluk erat tubuh tua ini.

“Kami gak punya kado, Tan. Tapi kami punya hadiah istimewa untuk Tante. Mulai sekarang aku sama Mentari boleh manggil Tante  “Mama”, ya ?”

Aku memang meminta anak-anak untuk tidak memberi kado atau tart ulang tahun, begitu juga dengan Pak Dokter. Tapi ternyata Beliau tetap menghadiahiku bingkisan dalam bentuk mengadakan donasi ke bangsal perawatan anak. Dan kini kedua anak gadis Beliau juga mempersembahkan kado yang begitu spesial, panggilan “Mama”.

Mendengar ujaran Lintang yang lugas dan spontan, aku terenyuh. Baru kusadari, ternyata kedua gadis remaja ini merindukan panggilan Mama. Panggilan yang sebenarnya juga kurindukan keluar dari mulut mereka berdua.

Kurengkuh kedua gadis Pak Dokter, kubawa mereka dalam dekapan, kubisikkan seuntai kalimat ke telinga mereka secara bergantian.

“Mama sayang Lintang dan Mentari.” Ujung mataku memanas. Mereka membalas dekapanku, erat dan penuh kasih.

Walau aku tahu kedua gadis ini menerima dan menyayangiku sebagai ibu sambung mereka, namun pagi ini di hari ulang tahunku, aku merasa status sebagai ibu buat keduanya telah sempurna utuh.

Pintu kamar terbuka, Pak Dokter baru pulang dari Subuh berjamaah.

“Ngapain rame-rame di sini?” tanya Beliau spontan melihat kami berempat sedang asyik berengkrama di atas tempat tidur.

“Ngucapin selamat ulang tahun buat Mama,” jawab Mentari polos.

“Sejak kapan manggil Mama?” tanya Pak Dokter heran sambil duduk di kursi meja kerja.

“Sejak pagi ini.” Lintang mewakili Mentari menjawab tanya sang Bapak.

Pak Dokter menatapku, tatapannya penuh tanda tanya.

“Kata Lintang dan Mentari sebagai hadiah ulang tahun untuk saya.” Aku menjawab tanya Pak Dokter yang terucap melalui bahasa kalbu.

“Berarti sebagai hadiah ulang tahun untuk Mama, Edel juga ikutan manggil Papa, ya?” Pak Dokter menggoda Edel.

Mentari dan Lintang tertawa mendengar ucapan Sang Bapak, sementara Edel cuma bisa tersenyum pasrah sambil berujar,

“Iya, Om...eh...Pa.”

Kami tertawa mendengar ucapannya yang terdengar kikuk.

“Mama...” Terdengar suara Maghrib memanggil dari luar kamar.

“Masuk Maghrib. Ayo sini ngumpul sama mbak-mbak.” Pak Dokter merespon panggilan Maghrib.

“Iya, Om.” Bungsuku menjawab kalimat Pak Dokter sambil masuk ke kamar, kemudian ikut  naik ke  tempat tidur.

“Dah gak musim manggil Om lagi,” celetuk Lintang begitu bungsuku sudah berada di kamar dan ikut nimbrung naik ke peraduan.

Maghrib cuma bisa melongo mendengar ucapan kakak tirinya.

“Napa tho Mbak Lintang nih ?”

“Dek maghrib gak boleh manggil “Om” lagi ke Papa.” Mentari membantu kakaknya menggoda Maghrib.

“Terus aku harus manggil apa?”

“Manggil Papa. Mau gak?” Pak Dokter menjawab tanya Maghrib.

“Hhmm...ya, Om...eh...Pa.” Persis seperti Edel, bungsuku juga terlihat kaku dengan sapaan barunya. 

Maghrib beringsut mendekatiku,

“Ma, selamat ulang tahun ya. Aku sayang Mama.” Walau kalimat yang diucapkan Maghrib begitu sederhana, namun bagiku ungkapan tersebut begitu sarat makna.

Kurengkuh si bungsu yang berbadan bongsor itu dalam dekapan, kuciumi kedua pipinya, kuusap-usap ubun-ubunnya.

Sementara ketiga gadis heboh mengganggu Maghrib. Edel mengambil gawaiku yang terletak di atas nakas di sisi tempat tidur. Kemudian mengarahkan gawai untuk mengambil photo ketika aku sedang dalam posisi menciumi dan memeluk Maghrib.

“Udah gede kok masih diciumi, Mama.” Lintang paling senang kalau menggoda Maghrib.

“Mbak Edel, photonya upload di facebook.” Mentari ikut-ikutan menjadi provokator. 

“Jangan mbak.” Maghrib protes mendengar usul Mentari.

Sementara Pak Dokter tertawa melihat si perjaka dikeroyok para gadis.

“Papa kok gak ngucapin selamat ulang tahun buat Mama?” Tetiba Lintang mengajukan tanya kepada sang Bapak.

“Papa sudah duluan tadi malam.” Pak Dokter menjawab tanya anaknya dengan kalem.

 Beliau tidak bohong, tadi ketika membangunkanku untuk sholat malam, seuntai ucapan  sudah Beliau persembahkan untukku.

“Ayo Pa, ucapin selamat ulang tahun. Cium Mama, Pa.” Setelah puas membully Maghrib, kini giliran Pak Dokter yang jadi sasaran anak-anaknya. 

Aku dan Edel cuma tertawa melihat tingkah Mentari dan Lintang. Anak sulungku itu tidak berani ikut serta menggoda Pak Dokter, mungkin dia sungkan dengan Bapak tirinya itu. Tapi tidak demikian dengan Maghrib.

“Ayo Om...eh...Pa, kasih selamat tho buat Mama.” 

Pak Dokter gerah dengan ocehan anak-anaknya. Beliau beranjak dari duduknya menuju ke arahku, mengecup lembut keningku sambil berujar,

“Selamat ulang tahun, Nyonya.” Sesimpel itu saja. 

Aku tersenyum melihat sikap Pak Dokter yang terlihat begitu kaku, berbeda jauh kala Beliau sedang berduaan denganku.

“Cie....cie...” Keempat anak serentak menggoda kami berdua. Aku dan Pak Dokter tak kuasa menahan tawa dengan godaan anak-anak.

“Tapi aneh, udah mesra-mesra cium kening, kok manggilnya Nyonya. Piye tho, Pa.” Lintang secara spontan memprotes ujaran Bapaknya.

Kami tertawa mendengar celetukan spontan si Lintang.

“Udah pada bubar sana. Siap-siap mo  berangkat sekolah. Edel nanti ikut Mama donasi ke rumah sakit, ya.” Pak Dokter membubarkan para perusuh dari kamar kami.

“Iya, Pa.” Terdengar kalau Edel masih kaku dengan panggilan barunya.

Anak-anak berlalu meninggalkan kamar kami, mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.

@@@@@


Aku dan Edel meluncur ke rumah sakit pada pukul 08.30. Pak Dokter sudah berangkat lebih awal. Menurut Beliau, donasi ini murni kegiatanku. Jadi akulah pelaku utamanya, tidak perlu melibatkan Beliau. Di rumah sakit nantipun kami tidak akan bertemu. Beliau bertugas, aku dan Edel berdonasi. Setelah selesai acara di rumah sakit Edel akan mengajakku menemui temannya. 

Nanti malam, kami sekeluarga merayakan ulang tahunku dengan makan malam bersama di rumah saja. Pak Dokter katanya akan mengundang residen yang  ingin Beliau jodohkan dengan Edel. Sementara Edel sendiri berujar padaku kalau teman yang akan kami temui nanti juga akan ikut makan malam bersama di rumah. Ah...ntahlah, aku bingung, karena aku memang belum pernah mengajak Edel berbincang tentang rencana Pak Dokter untuk menjodohkannya.

Donasi di bangsal anak berjalan lancar. Aku dan Edel memasuki satu ruangan ke ruangan lain. Berinteraksi dengan para pasien, juga orang tuanya. Bertegur sapa, berbincang santai, bercanda.

Pada saat pembagian buku dan mainan, kami ditemani seorang perawat pendamping dan seorang staff humas yang berperan sebagai dokumentator, karena sebagai pengunjung kami dilarang membawa kamera dan mengabadikan keadaan pasien. Aku dan Edel berperan sebagai donatur luar, bukan sebagai keluarga Pak Dokter.

Ada rasa haru menyelinap ke rongga hati melihat pasien-pasien usia muda tersebut harus menanggung beban penyakit yang begitu berat, leukimia, jantung, hidrosefalus, kanker mata, dan penyakit berat lainnya. Dalam kondisi seperti ini barulah hati benar-benar terbuka untuk berucap syukur mengingat semua anak-anakku dalam kondisi sehat walafiat. Walaupun dulu Maghrib sempat menjadi pasien tetap rumah sakit ini untuk waktu yang cukup lama.

Anak-anak berwajah polos tersebut begitu antusias dan gembira ketika kami membagi buku satu persatu kepada mereka. Pun demikian dengan para orang tua pendamping pasien, mereka terlihat sumringah. Ternyata sesuatu yang bagi kita begitu sederhana, bisa menjadi hal berharga buat orang lain.

Berbagi itu indah. Aku bahagia Pak Dokter memberiku hadiah ulang tahun dalam bentuk donasi. Beliau selalu memiliki ide-ide unik untuk membuatku tersenyum dan tersanjung.
Lelakiku itu, sekali lagi berhasil membuatku jatuh cinta. Jatuh cinta ntah untuk yang keberapa kali. Aku semakin menyayanginya. 

Pak Dokter tidak memanjakanku dengan emas permata, tapi Beliau memanjakanku dengan kasih sayang. Kasih sayang dari dirinya untuk diriku. Dan kasih sayang dari keluarga kami untuk keluarga lain yang membutuhkan.

Tiba-tiba aku merindukannya, ingin berada dalam dekapannya. Tapi rindu itu harus kukemas dulu, menyimpannya dengan rapi hingga saatnya Beliau pulang ke rumah di senja hari nanti. 

Aku dan Edel berjalan menyusuri selasar rumah sakit menuju area parkir ketika kami berpapasan dengan seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun. Untuk ukuran lelaki Beliau tidak bisa dibilang tinggi, berambut hitam lurus, dengan kacamata minus menghiasi penampilannya. Beliau menyapaku.

“Selamat pagi, Bu,” ucapnya sopan.

Aku menjawab sapaannya sambil berpikir keras, siapa Beliau ini. 

“Pagi juga, Pak.” Jas putih yang Beliau kenakan membuatku yakin kalau lelaki itu satu profesi dengan suamiku.

Sepertinya Beliau menyadari kalau aku tidak mengenalinya.

“Ibu lupa ya dengan saya?” tanyanya tetap dengan nada yang sangat sopan, “Saya teman papanya Lintang. Saya ikut mendampingi Papa Lintang waktu acara ijab qabul di Pasar Papringan.” Kalimat Beliau mengembalikan ingatanku ke peristiwa sakral beberapa bulan yang lalu.

Acara pernikahan  kami waktu itu hanya dihadiri 30 undangan yang semuanya merupakan keluarga intiku dan Pak Dokter, serta anak-anak kami. Orang luar yang diundang Pak Dokter hanya dua sahabat baiknya dan seorang atasannya. Dan Beliau yang menyapaku ini adalah satu dari dua sahabat Pak Dokter yang diundang saat itu.

Aku malu karena melupakan teman baik suami sendiri, sementara Beliau tetap mengenaliku walau postur tubuhku sudah berubah karena sedang hamil.

“O..ya. Maaf ya Pak, maklum sudah tua, agak tulalit,” jawabku seadanya.

“Ibu dari mana ? Kok gak ditemani papanya Lintang ?”

“Pak Dokter lagi jadwal di poli. Saya tadi dari bangsal anak, donasi buku.”

“Ibu lagi ulang tahun, ya?” Sahabat suamiku ini bisa menebak dengan tepat alasanku ke bangsal anak.

“Kok Bapak tau?” tanyaku sedikit heran dengan tebakannya yang begitu tepat.

“Dulu sewaktu Mama Lintang masih ada, setiap merayakan ulang tahun pasti donasi ke bangsal anak, rutin setiap tahun. Setelah almarhumah gak ada, aktivitas itu terhenti sama sekali. Sekarang setelah bertahun-tahun, gak sengaja saya ketemu ibu di sini, habis donasi ke bangsal anak, pasti dalam moment ulang tahun Ibu. Selamat ulang tahun ya Bu, semoga sehat-sehat terus, kehamilannya lancar sampai nanti melahirkan.” Beliau berbicara panjang lebar dan diakhiri dengan seuntai ucapan selamat sambil menyalamiku.

Aku mendengar cerita dan menerima uluran selamat darinya dengan hati mencelos. Kuakhiri percakapan singkat di selasar rumah sakit tersebut dengan memohon pamit karena ada keperluan di tempat lain.

Aku dan Edel kembali menyusuri lorong-lorong panjang. Suasana hatiku mulai berubah. Tadi aku begitu gembira menerima hadiah ulang tahun yang sangat spesial ini, tapi kini perasaan bahagia itu sirna, berganti dengan sekelebat cemburu, yang perlahan tapi pasti semakin besar dan membesar.

Ya...aku cemburu sama Mama Lintang. Ternyata Pak Dokter hanya meneruskan tradisi yang dulu selalu Beliau berikan untuk almarhumah. Jadi ide Pak Dokter itu bukan orisinil untukku, bukan karena aku istimewa, tapi hanya mengkopi paste.

Mungkin Pak Dokter masih menintai Mama Lintang dan sedang terkenang dengan almarhumah, jadi memintaku kembali melakukan apa yang dulu rutin mereka lakukan untuk sekedar membangkitkan kenangan di masa lalu.  Mungkin Pak Dokter sedang jenuh melihatku yang terlalu sering ngambek. Berbagai kemungkinan buruk merasuki kewarasanku.

Edel sepertinya merasakan perubahan sikapku, karena aku yang tadi terus mengoceh sepanjang perjalanan, kini diam membisu hingga kami tiba di tempat parkir, masuk mobil, dan meluncur di jalan raya.

“Mama kenapa?” Edel mencoba mencairkan suasana. Tatapannya tetap lurus ke depan, konsentrasi dengan aktivitas menyetirnya.

“Gak pa-pa, Edel.”

“Mama bohong.” Anak gadisku itu langsung menembak tepat di sasaran, “Mama cemburu sama Mama Lintang, karena ternyata apa yang diberikan Papa untuk Mama saat ini sama dengan yang dulu Papa lakukan untuk Mama Lintang, kan?” lanjutnya tanpa basa-basi.

Aku terdiam. Kupikir tanpa perlu kujawab toh Edel sudah tau alasan perubahan sikapku.

“Mama tidur dulu. Nanti kalau sudah sampe rumah temen kamu, bangunin Mama,” ujarku sambil menyandarkan kepala di jok dan memejamkan mata.

Sejujurnya perbuatan ini kulakukan hanya untuk menghindari percakapan dengan Edel. Hatiku sedang tak nyaman. Aku malas untuk bercerita dan bertukar argumen. Diam dan pura-pura tidur mungkin bisa meredakan sedikit gejolak cemburu yang sedang menguasai logikaku.

Edel membiarkan diriku dengan segala pikiran yang berkecamuk. Dia menyalakan audio, lagu-lagu generasi zaman now mengalun mengiringi perjalanan kami. Aku sama sekali tidak mengenal dan tidak bisa menikmati musik yang diputar Edel tersebut. Selera musik kami terpisah dinding dan waktu.

Setelah sekian waktu berpura-pura tidur, aku kembali membuka mata. Seketika diri ini terkejut melihat tanaman bakau di kiri kanan jalan. 

“Kok ke bandara?” tanyaku heran, “Teman kamu rumahnya di luar kota tho ? Terus ini sengaja datang ke Semarang?” Aku memberondong Edel dengan sejumlah pertanyaan.

Dia tidak menjawab tanyaku, melainkan cuma memamerkan senyumnya sekilas.

“Edel, kok gak jawab pertanyaan Mama?”

“Nanti Mama tau sendiri,” jawabnya santai.

Aku diam. Rasa cemburu masih menggelayuti hati. Aku masih malas memikirkan hal lain. Kami sudah memasuki area bandara. Edel bilang dia malas parkir, tadi sudah janji dengan temannya supaya temannya itu menunggu di dekat halte trans. Gadisku itu langsung memacu mobil menuju area drop in, terus mendekati halte trans. Di dekat halte BRT tersebut mobil berhenti sejenak. Dan baru kusadari seseorang yang akan kami jemput dan sekarang bergegas membuka pintu mobil itu adalah anak tengahku.

“Dhuhaaa...” jeritku spontan sambil memiringkan badan menghadap belakang  setelah Dhuha berada di jok belakang mobil. Sementara Edel dengan senyum kemenangannya kembali melajukan mobil untuk menuju ke luar bandara.

“Mama. Aku kangen.” Anak lelakiku itu meraih tanganku, “Selamat ulang tahun, Mama,” lanjutnya dengan nada sopan penuh kasih sayang.

Dia menciumi pipiku walau posisi kami terhalang jarak.

“Kok pada main rahasia tho? Berarti semua sudah tau kalau Dhuha mau pulang?” Aku mengajukan protes pada kedua anakku, menyadari kalau ternyata yang Edel maksud temannya itu adalah Dhuha. Bukannya menjawab tanya, mereka malah tertawa berbarengan.

“Ini ide pacarnya Mama. Yang tau itu cuma aku, Dhuha, sama Papa. Adek-adek gak ada yang tau, soalnya kalau Mentari atau Maghrib tau, pasti bakalan bocor ke Mama. Wong Mentari sama Maghrib tu anak kesayangan Emak.” Akhirnya Edel menjawab tanyaku.

Aku tertawa mendengar jawaban Edel. Mentari sama Maghrib memang tidak pernah bisa menyimpan rahasia dariku.

“Idenya Pak Dokter?” tanyaku tak yakin.

“Iya. Minggu lalu Om nelphone aku, tanya kira-kira pas ulang tahun Mama aku bisa ambil cuti gak. Biar bisa ngumpul, biar Mama senang. Soalnya kata Om sejak hamil Mama suka ngambek. Jadi mungkin kalo semua anak-anak ngumpul di hari ulang tahun Mama, penyakit ngambek Mama bisa pulih.” Dhuha memaparkan panjang lebar alasan kepulangannya.

Sementara Edel tergelak mendengar kalimat-kalimat Dhuha.

“Bukannya pulih, malah makin sewot.” Edel nyeletuk di sela-sela tawanya.

Aku mencubit lengannya.

“Kamu ni kenapa sih?” ujarku pura-pura ketus.

“Mama lagi ngambek sama Papa ni Ha, cemburu sama Mamanya Lintang.”

“Apaan sih kamu Edel.” Kembali kuingatkan anak gadisku itu untuk tidak usah bercerita yang aneh-aneh dulu, karena Dhuha masih capek.

“Kamu cuti berapa hari, Ha?” Kuabaikan Edel, aku masih ingin mengurai rindu pada anak lajangku. 

“Tiga hari, Ma. Sama seperti Mbak Edel. Mulai hari ini sampai Jumat. Sabtu Minggu libur. Nanti aku balik hari Minggu naik pesawat siang. Kemarin tiketnya sudah dibelikan sekalian sama Om. Gak enak aku Ma. Masak sudah kerja mapan, tiket pulang masih dibelikan,” ujar Dhuha polos.

“Ya nanti gantian, Lintang sama Mentari kamu beliin apa gitu.” Edel memberikan ide pada adik lelakinya itu.

“Berarti nanti aku serumah ni sama Lintang.” Tetiba anak lajangku itu mengurai kalimat yang membuatku tersentak.

“Terus kalau serumah sama Lintang kenapa?” tanyaku penuh selidik.

“Ya gak pa-pa, Ma. Berartikan bisa jumpa setiap hari, bisa nganter jemput Lintang sekolah.”
Edel kembali tergelak mendengar percakapanku dengan Dhuha.

“Sekalian aja Ha, Lintang dibelikan cincin tunangan, sebagai pengganti uang tiket Papa,” Edel semakin ngawur menggoda adeknya.

Kedua kakak beradek itu tertawa berbarengan.

“Jangan macem-macem lho, Ha. Nanti Mama malu sama Pak Dokter.” Aku mencoba mengingatkan Dhuha.

Perjalanan pulang ini kami isi dengan berbincang berbagai hal. Hatiku diliputi kegembiraan yang begitu sempurna. Perasaan sumringah menyelimuti jiwa melihat anak lajangku kini begitu dekat. Kejutan istimewa di hari ulang tahun.

Tiba-tiba aku teringat Pak Dokter.  Aku merenungkan ucapan Dhuha tentang usaha Pak Dokter yang memintanya untuk mengambil cuti. Perasaan bersalah menusuk kalbu atas syakwa sangka yang tadi kutuduhkan pada Pak Dokter. Ternyata lelakiku itu benar-benar tulus. Beragam cara Beliau lakukan cuma untuk membahagiakanku. Rasa kangen kembali menjalari diri, ingin segera tiba di rumah, menyambut kepulangannya, memeluknya erat. Menghirup aroma maskulin  bercampur peluh yang menguar dari tubuh lelaki tercintaku.








Posting Komentar

0 Komentar