The Doctor's Family (Jilid 8)






Aku dan Pak Dokter mengantar Dokter Anggiat sampai ke halaman depan. Sebelum masuk ke mobil, lelaki berdarah Batak tersebut menyalami diriku dan Pak Dokter dengan takzim.

Anggiat Sihombing, wajahnya standar. Garis-garis ketegasan khas suku Batak jelas tergambar di sana. Namun wajah standar itu tertutupi   postur tubuhnya yang gagah atletis, serta cara berpakaiannya yang bersih dan kekinian. Secara keseluruhan penampilan pria berusia 30 tahun itu cukup mempesona. Apalagi attitudenya juga bagus. Walau berasal dari suku yang terkenal keras, tapi Anggiat sangat sopan. Aku sependapat dengan penilaian Pak Dokter tentang Anggiat selama ini.

Setelah Anggiat  masuk ke mobil,  membunyikan klakson sebagai pertanda pamit, dan melajukan kendaraannya, kami kembali  ke rumah. Pak Dokter menghentikan langkahnya di teras, kemudian mendudukkan diri di  kursi panjang.

“Udah malam Dok. Masuk aja, yuk.” Aku mengajak Beliau untuk bergegas masuk.

“Duduk dulu sebentar.” Beliau memintaku mendampinginya duduk. 

“Gak usah terburu-buru mengajak Edel bicara. Kita masih punya waktu sampe hari Minggu,” lanjut Beliau pelan setelah aku duduk persis di sebelahnya.

“Ya, Dok,” balasku singkat sambil memutar otak mencari cara yang luwes untuk berbincang dengan Edel.

“Kalau menurut Njenengan, Anggiat gimana?” Pak Dokter meminta pendapatku.

“Secara kasat mata sih oke. Penampilannya bersih, sopan. Kelihatan kalau anaknya gak neko-neko,” jawabku lugas.

“Selama saya berinteraksi dengan dia, ya memang seperti itu anaknya. Makanya saya langsung punya ide mendekatkan dia dengan Edel.” Pak Dokter merespon ucapanku sambil melingkarkan tangan kirinya ke pundakku.

“Dok, itu si Anggiat apa bener gak punya pacar ? Secara kalau saya lihat, penampilannya keren, walau wajahnya biasa aja. Badannya juga bagus. Terus dia punya profesi dan prilaku yang baik. Masak sih gak ada yang mau.” 

“Kalau menurut cerita dia, belum ada yang cocok di hatinya. Jadi bukan gak ada yang mau. Pastinya yang mau sama dia banyak lah. Seperti saya dulu, yang mau banyak, tapi saya maunya cuma sama orang Batak Salatiga ini,” ujar Pak Dokter seraya menunjuk diriku sambil melempar senyum menggoda. 

Aku tertawa kecil mendengar gurauan lelaki terkasihku.

“Njenengan terlalu PD, Dok,” responku singkat terhadap kalimat Pak Dokter. Beliau tertawa mendengar ujaranku.

“Tapi kita jangan terlalu berharap lho, Dok. Kita belum tau gimana tanggapan Edel, bahkan kita juga belum tau tanggapan Anggiat setelah melihat Edel. Bisa jadi Edel juga tidak termasuk dalam kriteria dia,” lanjutku mengingatkan Pak Dokter.

“Makanya, besok kalau Njenengan ngajak bicara Edel, santai aja. Seolah-olah bicaranya sambil lalu.” Beliau memberikan masukannya.

“Oke, Dok,” ujarku mantap.

“Masuk yuk Dok, dah malam,” lanjutku sambil berdiri, kemudian beranjak memasuki rumah. Pak Dokter mengiringi langkah-langkahku melewati ruang tamu, kami langsung menuju ruang keluarga.

Kelima anak-anak  sedang berkumpul di ruang keluarga sambil asyik bercengkrama dengan cerita mereka masing-masing.  Di ruang keluarga ini terdapat sofa besar yang bisa diduduki lima orang. Sofa besar ini posisinya menghadap ke televisi layar datar 32 inch yang terletak  di atas lemari buku berukuran panjang dua meter, lebar 70 cm dan tinggi 90 cm. Lemari buku dengan dua shaf itu dipenuhi buku-buku Pak Dokter. Di hadapan sofa besar terdapat meja yang di bawahnya diberi alas karpet tebal bercorak polkadot. Selain itu juga ada dua sofa tunggal di sebelah kiri meja, dan satu kursi goyang antik berbahan kayu jati. 

Para gadis berada di sofa besar, sementara Dhuha duduk di salah satu sofa tunggal. Bungsuku asyik berayun di atas kursi goyang antik. Aku mengambil posisi duduk di sebelah Mentari, dan Pak Dokter duduk di sofa tunggal sebelah Dhuha. Ternyata dengan tujuh orang penghuni, ruang keluarga ini sudah penuh. 

“Pa, aku kok baru sekali ini lihat temen Papa tadi. Itu siapa tho Pa ? Kok diundang makan malam segala?” Bungsu Pak Dokter langsung memberondong Bapaknya dengan beberapa pertanyaan. Belum sempat Pak Dokter menjawab, anak-anak sudah bersahut-sahutan dengan ocehannya masing-masing.

“Mbak Mentari kepo,” celetuk Maghrib.

“Penasaran tauuu. Soalnya Papa gak pernah cerita tentang abang siapa itu tadi, kok tau-tau diundang pas ulang tahun Mama.” Mentari membela diri atas celetukan Maghrib.

“Jangan-jangan mau dijodohin sama kamu.” Lintang pun tak mau ketinggalan menggoda adiknya.

Pecah tawa  kami semua mendengar celetukan Lintang. Sulung Pak Dokter ini penampilannya memukau, dengan rambut panjang dan wajah ayunya. Tapi sifatnya sedikit tertutup dan agak jutek. Beda dengan adiknya yang berwajah sendu namun pribadinya lebih periang dan terbuka. Ada sedikit kesamaan antara Lintang dan Edel dalam hal jutek. Namun sebagai kakak adik dan sesama wanita, kulihat selama ini mereka bisa saling mengisi. Edel bisa menempatkan diri dengan mengemong adik-adiknya.

“Iisshhh....udah tua. Cocoknya sama Mbak Edel tu. Kalo Mbak Lintang, cocoknya sama Mas Dhuha.” Mentari mengakhiri ucapannya dengan tawa tergelak. Dua gadis yang disebut namanya sontak memasang muka masam. 

Dalam kemasaman wajah keduanya, aku melihat sedikit guratan jengah dalam wajah Lintang. Walau tak mampu menarik maknanya, namun sebagai orang yang pernah merasakan jatuh cinta, sedikit banyak aku dejavu dengan ekspresi Lintang tersebut.

Menanggapi ocehan Mentari tadi, Lintang secara spontan langsung mencubit perut adiknya tersebut. 

“Mamaaa...sakiiittt.”

“Lho...yang nyubit Mbak Lintang, kok malah Mama yang diteriakin.” Kubiarkan Lintang melampiaskan kejengkelannya pada Mentari.

“Untung aku gak ikut-ikutan nyiksa kamu, Mentari. Kalau gak, bisa jadi peyek kamu.” Edel urun rembuk membully Mentari secara verbal.

“Kalian memang kakak-kakak yang kejam.”

“Kamu adek yang gak sopan,” balas Lintang. 

Dhuha sepertinya tak terlalu mendengar ucapan Mentari. Pak Dokter sedang mengajaknya bicara di antara keriuhan tingkah polah para gadis itu. Sementara Maghrib asyik berayun-ayun sambil menikmati handphonenya. 

“Aku cuma ngasih pendapat kok dibilang gak sopan. Temen Papa tadi memang cocok sama Mbak Edel. Mbak Lintang memang cocok sama Mas Dhuha, tapi sayangnya gak bakal dapat restu dari Mama.” Bungsu Pak Dokter ini nampaknya belum puas menggoda kakak-kakaknya.

“Ayo Tang, kita siksa lebih seksama.” Edel yang duduk di ujung sofa berdiri dari duduknya, kemudian  menghampiri Mentari yang berada di sebelahku. 

Lintang sudah bersiap memegangi kedua tangan Mentari, ketika bungsu Pak Dokter itu refleks memelukku. Posisinya agak menekan perutku. Aku berusaha melonggarkan pelukan Mentari, tapi anak ini terus menekanku karena takut ancaman kedua kakaknya.

“Papaaa...aku mau disiksa mbak-mbak kejam ini lho.” Sambil memelukku dia memanggil Bapaknya mengharap pertolongan.

Pak Dokter yang sedang asyik berbincang dengan Dhuha, mengalihkan pandang ke arah diriku dan Mentari.

“Mentari...kamu tuh kenapa toh ? Itu kasian Anggi kejepit kamu.” Bukannya membela si bungsu, Pak Dokter malah menegurnya.

Mentari melepas pelukannya, sementara Edel kembali duduk ke sebelah Lintang. Pak Dokter itu humoris dan penyabar, jadi begitu Beliau bicara dengan nada sedikit tinggi, orang-orang yang mendengarnya langsung sungkan, begitu juga dengan anak-anaknya.

“Syukurin.” Lintang berbisik ke Mentari tapi dengan nada keras. Sementara Edel, Maghrib, dan diriku menahan tawa melihat Mentari yang cemberut.

Pak Dokter kembali melanjutkan obrolannya dengan Dhuha.

“Sudah sana pada tidur, besok sekolah. Mama juga capek banget, seharian wira wiri ke sana ke mari. Untung hari ini Anggi baik budi, gak rewel,” ujarku sambil berdiri dan bersiap melangkah menuju kamar.

“Tang, tidur sama Mbak Edel yuk.” Gadisku mengajak Lintang tidur di kamarnya.

“Aku ikut ya Mbak.” Si bungsu dengan memelasnya memohon supaya diizinkan bergabung.

“Kamu tidur sama Mama aja, ajak Maghrib bergabung. Kalian kan sebenarnya para bayi yang berbadan besar, anak mami.” Edel segera menarik lengan Lintang dengan tawa terburai, meninggalkan Mentari yang memasang wajah manyun.

“Gara-gara Mbak Mentari aku jadi kena bully juga,” ujar Maghrib sambil  berlalu  menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ada rasa tak tega melihat bungsu Pak Dokter ditinggal kakak-kakaknya dan di salahkan adiknya.

“Ayo tidur sama Mama, mumpung Papa masih asyik ngobrol sama Mas Dhuha.” Gadis manis itu langsung sumringah mendengar tawaranku. 

“Dok, saya tidur dulu ya. Capek banget,” ujarku meminta izin Pak Dokter. 

“Ya, saya ngobrol dulu sama Dhuha, ya.” 

Aku merespon ujaran Pak Dokter dengan anggukan kecil.

“Mama tidur dulu ya, Ha. Besok kita ngobrol-ngobrol lagi. Kasian ni Anggi kecapekan, seharian diajak jalan-jalan.”

“Ya, Ma. Gak pa-pa.”

Kuayunkan langkah menuju kamar didampingi Mentari yang bergelayut manja di lenganku. Ntah kenapa, aku selalu jatuh iba ketika melihat Bungsu Pak Dokter ini tersakiti walau oleh kakak-kakaknya sendiri.


@@@@@


Aku dan Pak Dokter  menghadiri resepsi pernikahan anak dari teman Beliau. Acara yang digelar di gedung DPRD Ungaran ini dilaksanakan tepat di malam Jumat. Jujur, aku  merasa agak aneh menghadiri pesta di malam Jumat.

Ketika kami sudah bersiap untuk pulang, sudah duduk manis di kendaraan, dan siap menyusuri jalanan menuju ke rumah, telphone selulerku bergetar.

[ Ma, aku keluar ya. Mungkin nanti pulangnya agak malam.] Seuntai pesan dari Dhuha menghiasi layarnya.

[Ya.] Balasku singkat.

“Sepertinya anak-anak pada keluar ni, Dok.” Kusampaikan info dari Dhuha kepada Pak Dokter.

“Gak pa-pa. Mumpung pada ngumpul semua, biar mereka menikmati kebersamaan. Nanti sampe rumah Njenengan langsung istirahat aja. Kemarin seharian Njenengan dah kecapekan. Biar saya yang nunggu anak-anak,” ujar Pak Dokter sambil tetap fokus mengemudi.

“Saya belum sempat ngobrol sama Edel,  Edel katanya mau balik ke Yogya hari Minggu sore supaya Seninnya gak terlalu capek. Padahal besok siang kita mau berangkat ke Dieng. Sabtu sore balik dari Dieng pasti dah pada capek, gak nyaman kalau diajak ngobrol.”

“Gak pa-pa, santai aja. Saya juga tadi ketemu Anggiat gak nyinggung masalah pertemuan tadi malam. Saya nunggu sampai dia yang memulai.”

Selanjutnya kami nikmati perjalanan pulang ini diiringi lantunan tembang lawas berjudul “Sayang” milik Chrisye . Aku dan Pak Dokter sepakat memproklamirkan lagu ini sebagai lagu kebangsaan kami berdua. Sebenarnya itu lagu favorit Beliau. Dulu ketika kami masih berstatus terkatung-katung, Beliau sering mengirimiku lagu ini melalui pesan audio. Karena terlalu sering mendengar, akhirnya aku jadi terikut menyukai melodi lagu sendu tersebut. Sampai sekarang, ketika kami bepergian hanya berdua saja, lagu ini akan berputar tanpa jeda mengiringi sepanjang perjalanan ke manapun tujuan kami.

Tepat pukul 21.30 kami tiba di rumah. Pak Dokter bermaksud turun dari kendaraan untuk membuka pintu gerbang. ketika Maghrib keluar dari rumah dan bergegas membukakan gerbang untuk kami.

“Maghrib kok gak ikut pergi?” tanyaku masih dalam posisi di atas kendaraan.

“Gak Ma.”

Turun dari mobil, aku segera menuju ruang keluarga melalui pintu tembus garasi. Terlihat Edel dan Mentari sedang asyik menonton TV, Maghrib juga sudah  kembali menikmati kursi goyangnya.

“Lho...katanya pada pergi?” tanyaku dengan nada heran melihat kedua gadis justru sedang asyik dengan tontonannya.

“Dhuha sama Lintang yang pergi, Ma,” jawab Edel santai.

Darahku berdesir mendengar jawaban Edel. Kutatap Pak Dokter yang baru saja memasuki ruangan.

“Dhuha dengan Lintang, Dok,” ujarku pelan.

“Kenapa?” tanya Beliau santai seolah-olah tidak menangkap sedikitpun kekhawatiran yang sedang kurasakan.

Beliau justru langsung berjalan melintasi ruang keluarga menuju ke kamar kami. Kuhampiri Edel dan Mentari di sofa besar. Kududukkan diri di antara keduanya.

“Gimana ceritanya, kok bisa Lintang sama Dhuha aja yang pergi, Edel ?” Diri ini tak mampu menyembunyikan kekhawatiran dalam nada bicaraku. 

“Tadi aku sama Mentari ke minimarket cari pembalut. Pas lagi di sana, Dhuha WA mau pinjem mobil, katanya mau keluar. Begitu nyampe rumah, Lintang juga gak ada. Kukira mereka pergi bertiga sama Maghrib. Ternyata pas aku sama Mentari lagi nonton TV, Maghrib tau-tau nongol, baru keluar dari kamarnya,” urai Edel panjang lebar.

“Memangnya Mas Dhuha gak izin sama Mama?” tanya Mentari polos.

“Tadi mas Dhuha memang WA Mama, izin mau keluar, pulangnya agak malam katanya. Mama kira kalian semua pergi bareng-bareng.” Aku masih tak habis pikir dengan tindakan anakku dan anak Pak Dokter tersebut.

“Udah Ma, gak usah dipikir. Wong ya paling Dhuha sama Lintang cuma keliling-keliling thok.” Edel berusaha menenangkan Emaknya yang mulai galau.

“Maghrib, kamu gak dipamiti tho waktu Mas Dhuha pergi ?” Aku mencoba menggali informasi dari si Bungsu.

“Gak, Ma. Tadi aku lagi di kamar. Cuma dengar suara mobil keluar, tapi gak kulihat,” jawabnya polos.

Pak Dokter kembali bergabung dengan kami, beliau sudah berganti baju. Aku mencoba menghubungi nomor telphone Dhuha. Terdengar nada sambung di seberang sana.

“Njenengan ganti baju dulu gih. Udah gak usah dipikir. Nanti juga pulang.” Terus terang ada sedikit rasa jengkel mendengar kalimat Pak Dokter yang begitu santainya.

“Bener tho yang kubilang, Mas Dhuha tu cocoknya sama Mbak Lintang.” Tiba-tiba Mentari nyeletuk, “Buktinya, sekarang tiba-tiba  pergi berduaan, gak pamitan. Padahal akukan juga pengen ikut jalan-jalan,” lanjutnya polos. Pak Dokter tertawa mendengar ucapan Mentari.

“Tadi kenapa kamu gak minta, ikut?” tanya Beliau.

“Aku sama Mbak Edel lagi ke minimarket, tau-tau pas pulang dua-duanya dah gak ada.”

Kuabaikan obrolan Mentari dan Sang Bapak, Dhuha mengangkat telphonenya,

“Assalamualaikum, Ma.”

“Walalikumussalam. Kamu di mana, Ha?”

“Di Paragon, Ma. Lagi nonton sama Lintang.” Jawaban Dhuha terdengar santai tanpa beban.

Kumatikan telphone selular tanpa menutup pembicaraan dengan Dhuha.

“Malah nonton bioskop.” Aku memberi info ke seluruh penghuni ruangan tentang keberadaan Dhuha dan Lintang.

Dan keempat personil The Doctors itu langsung mengurai tawa mendengar  informasi dariku. Edel dan Mentari bahkan tertawa ngakak.

“Lintang ternyata diam-diam makan dalam.” Edel berujar di sela-sela tawanya.

“Mbak Edel, aku gak bisa bayangin gimana cara Mas Dhuha pas ngajak Mbak Lintang tadi ya. Kira-kira Mas Dhuha diketusin gak ya sama Mbak Lintang.” Mentari malah ikut-ikutan menimpali ucapan Edel.

Melihat kedua gadis itu asyik tertawa membayangkan kencan aneh ala-ala Dhuha dan Lintang, mau tak mau aku juga ikut tertawa.

“Waduuuhhh...gawat, kelihatannya Mama bakal serius besanan sama Papa nih.” Edel melanjutkan kalimatnya.

“Yang Mama gak habis pikir itu gimana cara Dhuha pas ngajak nonton . Kok Lintang langsung mau gitu.” Aku mengungkapkan rasa heran yang bersemayam di hati.

“Mungkin selama  di Kalimantan Dhuha belajar ajian rayuan maut, Ma.” Edel masih mengeluarkan kalimat-kalimat konyolnya.

“Mbak Edel, jangan-jangan Mas Dhuha belajar menggombal dari Papa. Kemarin malamkan Papa sama Mas Dhuha ngobrol sampe malam, padahal kita semua dah tidur. Mungkin tu Papa lagi ngajarin Mas Dhuha menggombal.” Mendengar kalimat Mentari, Pak Dokter cuma bisa tertawa pasrah. 

“Jangan bawa-bawa Papa lho, Papa gak ikut campur.” Beliau membela diri. 

Mentari, Maghrib, dan Edel mulai sibuk dengan telphone seluler mereka, mungkin ketiganya iseng mengganggu Dhuha dan Lintang, sesekali mereka tertawa bersamaan.

Walau agak lucu membayangkan Lintang dan Dhuha yang tanpa interaksi tiba-tiba pergi nonton berduaan, namun tidak bisa dipungkiri ada kecemasan menyelusup di sudut hatiku. Sementara Pak Dokter tidak sedikitpun terlihat risau menghadapi kedua anak muda yang mungkin sedang terkena percik-percik asmara itu.

Apa yang pernah mengganggu pikiranku, walau masih samar kini mulai terbukti. Insting seorang emak itu memang tajam, lebih tajam dari sebilah silet. Dulu aku sempat berpikir kalau kekhawatiranku tentang ucapan Dhuha di Pasar Papringan terlalu berlebihan. Namun ternyata,  ada keseriusan yang tersembunyi dengan rapi di dalam candaan yang dia ucapkan berbulan-bulan yang lalu. Hhmmm...anak lanangku ini rupanya memang memiliki obsesi terhadap putri sulung Pak Dokter. 

Namun yang membuatku tak habis pikir, kemungkinan Lintang juga mempunyai obsesi yang sama terhadap Dhuha. Di balik sikap ketusnya, dia bersedia menerima ajakan Dhuha untuk nonton berduaan. 

Perbuatan yang sulit diterima akal, mengingat sejak  kedatangan Dhuha, keduanya tidak pernah terlihat berduaan. Interaksi di antara mereka selalu terjalin secara bersama-sama, berlima. Bahkan Lintang sering terlihat menghindar dari Dhuha.

Aku beradu pandang dengan Pak Dokter. Mungkin Beliau bisa menangkap bahasa tubuh dan raut wajahku yang mulai terlihat tidak nyaman.

“Udah gak usah dipikir. Mereka bisa jaga diri. Sana gih ganti baju, terus langsung istirahat,” bujuknya dengan lembut di depan anak-anak.

“Iya, Ma. Santai aja. Nanti kalau Mama stress, Anggi juga ikut stress. Dhuha sama Lintang aman-aman aja. Aku ikhlas kok dilangkahi, Ma, asal pelangkahannya sesuai keinginanku, tiket umroh bareng Mentari dan Maghrib.” Edel yang kukira berusaha menenangkan diri ini dengan serius, ternyata endingnya malah guyon.

“Setuju mbak...setuju mbak.” Mentari langsung heboh merespon ucapan Edel, sementara Maghrib dan Pak Dokter ikut-ikutan tertawa.

Aku beranjak, kemudian melangkah menuju kamar meninggalkan Edel dan adik-adiknya.  Sebelum diri ini memasuki  kamar, kudengar Pak Dokter memberi pesan pada Edel.

“Edel, kamu nunggu Dhuha ya. Nanti kalau mereka pulang, Papa dipanggil.  Papa nemenin Mama dulu, sepertinya Mama galau berat  mau besanan sama Papa.” Pesan Beliau diikuti suara tertawa ketiga anak kami.

Di saat sedang berganti baju, Pak Dokter menyusulku masuk kamar. Beliau langsung menuju peraduan, membaringkan tubuhnya.

“Njenengan gak usah terlalu mikirin Dhuha dan Lintang. Udah santai aja. Dhuha anak baik, saya percaya sama dia.” Pak Dokter masih berusaha menenangkanku.

Aku mendengarkan Beliau bicara sambil duduk di depan meja rias, membersihkan sisa-sisa make up selepas resepsi dengan susu pembersih, selanjutnya diri ini beranjak menuju kamar mandi untuk menyempurnakan ritual bebersih ini dengan sabun wajah kemudian bersugi.

Setelah purna, aku kembali ke meja rias, memakai krim malam tipis-tipis, setelahnya menyusul Pak Dokter ke peraduan.

“Yang mau diajak ngobrol Edel, malah Dhuha yang duluan bikin kasus,” ujarku pelan setelah berbaring di sebelah Pak Dokter.

“Njenengan gak usah marah sama Dhuha.” Beliau mengingatkanku untuk menahan emosi.

“Insyaa Allah gak, Dok,” jawabku pendek, “ Saya ingat masa-masa kebersamaan kita dulu, Dhuha-lah yang pertama mendukung hubungan kita. Maghrib walau tidak terus terang tapi dia mengingatkan saya untuk tidak pacaran dengan Njenengan karena Mbak Mentari sudah punya Mama, katanya. Sementara Edel jelas-jelas menginginkan saya tetap berjodoh dengan Papanya di akhirat. Tapi Dhuha, dia mensupport saya sepenuh hati. Dia mendukung keputusan apapun yang saya ambil, asalkan saya bahagia. Bagi dia kebahagiaan saya di atas segalanya,” lanjutku mengenang masa lalu yang pernah kami lewati.

“Cuma saya gak habis pikir dengan Lintang, Dok.” Aku kembali melanjutkan ujaran, “ Saya gak nyangka, Lintang yang agak tertutup gitu, kok langsung mau diajak Dhuha pergi berdua. Berarti selama ini mereka sama-sama menyimpan rasa ya, Dok?” tanyaku pelan.

“itulah yang namanya cinta, Nyonya. Pesonanya terlalu dahsyat. Kita pernah merasakannya, bahkan di usia yang tidak muda. Jadi beri toleransi pada Lintang dan Dhuha, ya.”

“Saya kepikiran Lintang, Dok. Kasiahan dia, Edel dan Mentari pasti bakal menggoda dia terus. Njenengan ngerti sendirikan gimana Lintang.” Aku membayangkan sulung Pak Dokter itu pasti bakal malu dan tertekan digoda saudara-saudaranya.

“Itu jadi PR Njenengan. Pokoknya urusan mengatasi perasaan anak-anak, saya pasrahkan sama Njenengan, karena saya percaya Njenengan punya pendekatan yang bagus sama mereka. Dan merekapun sepertinya lebih nyaman bercerita ke  Njenengan dari pada ke saya.”

“Tapi Lintang agak susah Dok kalau diajak cerita masalah pribadi begini. Dia itu tertutup. Gak seperti Mentari, tanpa ditanya dia sudah cerita duluan.”

“Papaaa...Mas Dhuha pulang.” Terdengar  Mentari memanggil dari luar kamar diikuti suara ketukan di pintu.

“Iya, Papa keluar.” Pak Dokter segera menjawab panggilan bungsunya.

“Saya nemuin Dhuha dulu, Njenengan gak usah keluar. Istirahat aja dulu. Biar hati sama pikiran Njenengan tenang dan santai, besok bisa ngajak ngobrol Lintang.” Pak Dokter mengecup keningku lembut, kemudian beranjak turun dan segera meninggalkan kamar untuk menemui anak tengahku.


















Posting Komentar

0 Komentar