Aku dan Pak Dokter mengantar Dokter Anggiat sampai ke halaman
depan. Sebelum masuk ke mobil, lelaki berdarah Batak tersebut menyalami diriku
dan Pak Dokter dengan takzim.
Anggiat Sihombing, wajahnya standar. Garis-garis
ketegasan khas suku Batak jelas tergambar di sana. Namun wajah standar itu
tertutupi postur tubuhnya yang gagah
atletis, serta cara berpakaiannya yang bersih dan kekinian. Secara keseluruhan
penampilan pria berusia 30 tahun itu cukup mempesona. Apalagi attitudenya juga bagus.
Walau berasal dari suku yang terkenal keras, tapi Anggiat sangat sopan. Aku
sependapat dengan penilaian Pak Dokter tentang Anggiat selama ini.
Setelah Anggiat masuk
ke mobil, membunyikan klakson sebagai
pertanda pamit, dan melajukan kendaraannya, kami kembali ke rumah. Pak Dokter menghentikan langkahnya
di teras, kemudian mendudukkan diri di kursi panjang.
“Udah malam Dok. Masuk aja, yuk.” Aku mengajak Beliau untuk
bergegas masuk.
“Duduk dulu sebentar.” Beliau memintaku mendampinginya duduk.
“Gak usah terburu-buru mengajak Edel bicara. Kita masih punya
waktu sampe hari Minggu,” lanjut Beliau pelan setelah aku duduk persis di
sebelahnya.
“Ya, Dok,” balasku singkat sambil memutar otak mencari cara
yang luwes untuk berbincang dengan Edel.
“Kalau menurut Njenengan, Anggiat gimana?” Pak Dokter meminta
pendapatku.
“Secara kasat mata sih oke. Penampilannya bersih, sopan.
Kelihatan kalau anaknya gak neko-neko,” jawabku lugas.
“Selama saya berinteraksi dengan dia, ya memang seperti itu
anaknya. Makanya saya langsung punya ide mendekatkan dia dengan Edel.” Pak
Dokter merespon ucapanku sambil melingkarkan tangan kirinya ke pundakku.
“Dok, itu si Anggiat apa bener gak punya pacar ? Secara kalau
saya lihat, penampilannya keren, walau wajahnya biasa aja. Badannya juga bagus.
Terus dia punya profesi dan prilaku yang baik. Masak sih gak ada yang mau.”
“Kalau menurut cerita dia, belum ada yang cocok di hatinya.
Jadi bukan gak ada yang mau. Pastinya yang mau sama dia banyak lah. Seperti
saya dulu, yang mau banyak, tapi saya maunya cuma sama orang Batak Salatiga ini,”
ujar Pak Dokter seraya menunjuk diriku sambil melempar senyum menggoda.
Aku tertawa kecil mendengar gurauan lelaki terkasihku.
“Njenengan terlalu PD, Dok,” responku singkat terhadap
kalimat Pak Dokter. Beliau tertawa mendengar ujaranku.
“Tapi kita jangan terlalu berharap lho, Dok. Kita belum tau
gimana tanggapan Edel, bahkan kita juga belum tau tanggapan Anggiat setelah
melihat Edel. Bisa jadi Edel juga tidak termasuk dalam kriteria dia,” lanjutku
mengingatkan Pak Dokter.
“Makanya, besok kalau Njenengan ngajak bicara Edel, santai
aja. Seolah-olah bicaranya sambil lalu.” Beliau memberikan masukannya.
“Oke, Dok,” ujarku mantap.
“Masuk yuk Dok, dah malam,” lanjutku sambil berdiri, kemudian
beranjak memasuki rumah. Pak Dokter mengiringi langkah-langkahku melewati ruang
tamu, kami langsung menuju ruang keluarga.
Kelima anak-anak sedang berkumpul di ruang keluarga sambil
asyik bercengkrama dengan cerita mereka masing-masing. Di ruang keluarga ini terdapat sofa besar yang
bisa diduduki lima orang. Sofa besar ini posisinya menghadap ke televisi layar
datar 32 inch yang terletak di atas
lemari buku berukuran panjang dua meter, lebar 70 cm dan tinggi 90 cm. Lemari
buku dengan dua shaf itu dipenuhi buku-buku Pak Dokter. Di hadapan sofa besar
terdapat meja yang di bawahnya diberi alas karpet tebal bercorak polkadot.
Selain itu juga ada dua sofa tunggal di sebelah kiri meja, dan satu kursi
goyang antik berbahan kayu jati.
Para gadis berada di sofa besar, sementara Dhuha duduk di
salah satu sofa tunggal. Bungsuku asyik berayun di atas kursi goyang antik. Aku
mengambil posisi duduk di sebelah Mentari, dan Pak Dokter duduk di sofa tunggal
sebelah Dhuha. Ternyata dengan tujuh orang penghuni, ruang keluarga ini sudah
penuh.
“Pa, aku kok baru sekali ini lihat temen Papa tadi. Itu siapa
tho Pa ? Kok diundang makan malam segala?” Bungsu Pak Dokter langsung
memberondong Bapaknya dengan beberapa pertanyaan. Belum sempat Pak Dokter
menjawab, anak-anak sudah bersahut-sahutan dengan ocehannya masing-masing.
“Mbak Mentari kepo,” celetuk Maghrib.
“Penasaran tauuu. Soalnya Papa gak pernah cerita tentang
abang siapa itu tadi, kok tau-tau diundang pas ulang tahun Mama.” Mentari
membela diri atas celetukan Maghrib.
“Jangan-jangan mau dijodohin sama kamu.” Lintang pun tak mau
ketinggalan menggoda adiknya.
Pecah tawa kami semua
mendengar celetukan Lintang. Sulung Pak Dokter ini penampilannya memukau,
dengan rambut panjang dan wajah ayunya. Tapi sifatnya sedikit tertutup dan agak
jutek. Beda dengan adiknya yang berwajah sendu namun pribadinya lebih periang
dan terbuka. Ada sedikit kesamaan antara Lintang dan Edel dalam hal jutek.
Namun sebagai kakak adik dan sesama wanita, kulihat selama ini mereka bisa
saling mengisi. Edel bisa menempatkan diri dengan mengemong adik-adiknya.
“Iisshhh....udah tua. Cocoknya sama Mbak Edel tu. Kalo Mbak
Lintang, cocoknya sama Mas Dhuha.” Mentari mengakhiri ucapannya dengan tawa
tergelak. Dua gadis yang disebut namanya sontak memasang muka masam.
Dalam kemasaman wajah keduanya, aku melihat sedikit guratan
jengah dalam wajah Lintang. Walau tak mampu menarik maknanya, namun sebagai
orang yang pernah merasakan jatuh cinta, sedikit banyak aku dejavu dengan
ekspresi Lintang tersebut.
Menanggapi ocehan Mentari tadi, Lintang secara spontan
langsung mencubit perut adiknya tersebut.
“Mamaaa...sakiiittt.”
“Lho...yang nyubit Mbak Lintang, kok malah Mama yang
diteriakin.” Kubiarkan Lintang melampiaskan kejengkelannya pada Mentari.
“Untung aku gak ikut-ikutan nyiksa kamu, Mentari. Kalau gak,
bisa jadi peyek kamu.” Edel urun rembuk membully Mentari secara verbal.
“Kalian memang kakak-kakak yang kejam.”
“Kamu adek yang gak sopan,” balas Lintang.
Dhuha sepertinya tak terlalu mendengar ucapan Mentari. Pak
Dokter sedang mengajaknya bicara di antara keriuhan tingkah polah para gadis
itu. Sementara Maghrib asyik berayun-ayun sambil menikmati handphonenya.
“Aku cuma ngasih pendapat kok dibilang gak sopan. Temen Papa
tadi memang cocok sama Mbak Edel. Mbak Lintang memang cocok sama Mas Dhuha,
tapi sayangnya gak bakal dapat restu dari Mama.” Bungsu Pak Dokter ini nampaknya
belum puas menggoda kakak-kakaknya.
“Ayo Tang, kita siksa lebih seksama.” Edel yang duduk di
ujung sofa berdiri dari duduknya, kemudian menghampiri Mentari yang berada di sebelahku.
Lintang sudah bersiap memegangi kedua tangan Mentari, ketika bungsu Pak Dokter
itu refleks memelukku. Posisinya agak menekan perutku. Aku berusaha
melonggarkan pelukan Mentari, tapi anak ini terus menekanku karena takut
ancaman kedua kakaknya.
“Papaaa...aku mau disiksa mbak-mbak kejam ini lho.” Sambil
memelukku dia memanggil Bapaknya mengharap pertolongan.
Pak Dokter yang sedang asyik berbincang dengan Dhuha,
mengalihkan pandang ke arah diriku dan Mentari.
“Mentari...kamu tuh kenapa toh ? Itu kasian Anggi kejepit
kamu.” Bukannya membela si bungsu, Pak Dokter malah menegurnya.
Mentari melepas pelukannya, sementara Edel kembali duduk ke
sebelah Lintang. Pak Dokter itu humoris dan penyabar, jadi begitu Beliau bicara
dengan nada sedikit tinggi, orang-orang yang mendengarnya langsung sungkan,
begitu juga dengan anak-anaknya.
“Syukurin.” Lintang berbisik ke Mentari tapi dengan nada
keras. Sementara Edel, Maghrib, dan diriku menahan tawa melihat Mentari yang
cemberut.
Pak Dokter kembali melanjutkan obrolannya dengan Dhuha.
“Sudah sana pada tidur, besok sekolah. Mama juga capek banget,
seharian wira wiri ke sana ke mari. Untung hari ini Anggi baik budi, gak
rewel,” ujarku sambil berdiri dan bersiap melangkah menuju kamar.
“Tang, tidur sama Mbak Edel yuk.” Gadisku mengajak Lintang
tidur di kamarnya.
“Aku ikut ya Mbak.” Si bungsu dengan memelasnya memohon
supaya diizinkan bergabung.
“Kamu tidur sama Mama aja, ajak Maghrib bergabung. Kalian kan
sebenarnya para bayi yang berbadan besar, anak mami.” Edel segera menarik
lengan Lintang dengan tawa terburai, meninggalkan Mentari yang memasang wajah
manyun.
“Gara-gara Mbak Mentari aku jadi kena bully juga,” ujar
Maghrib sambil berlalu menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ada rasa
tak tega melihat bungsu Pak Dokter ditinggal kakak-kakaknya dan di salahkan
adiknya.
“Ayo tidur sama Mama, mumpung Papa masih asyik ngobrol sama
Mas Dhuha.” Gadis manis itu langsung sumringah mendengar tawaranku.
“Dok, saya tidur dulu ya. Capek banget,” ujarku meminta izin
Pak Dokter.
“Ya, saya ngobrol dulu sama Dhuha, ya.”
Aku merespon ujaran Pak Dokter dengan anggukan kecil.
“Mama tidur dulu ya, Ha. Besok kita ngobrol-ngobrol lagi.
Kasian ni Anggi kecapekan, seharian diajak jalan-jalan.”
“Ya, Ma. Gak pa-pa.”
Kuayunkan langkah menuju kamar didampingi Mentari yang
bergelayut manja di lenganku. Ntah kenapa, aku selalu jatuh iba ketika melihat
Bungsu Pak Dokter ini tersakiti walau oleh kakak-kakaknya sendiri.
@@@@@
Aku dan Pak Dokter menghadiri resepsi pernikahan anak dari teman
Beliau. Acara yang digelar di gedung DPRD Ungaran ini dilaksanakan tepat di
malam Jumat. Jujur, aku merasa agak aneh
menghadiri pesta di malam Jumat.
Ketika kami sudah bersiap untuk pulang, sudah duduk manis di
kendaraan, dan siap menyusuri jalanan menuju ke rumah, telphone selulerku
bergetar.
[ Ma, aku keluar ya. Mungkin nanti pulangnya agak malam.]
Seuntai pesan dari Dhuha menghiasi layarnya.
[Ya.] Balasku singkat.
“Sepertinya anak-anak pada keluar ni, Dok.” Kusampaikan info
dari Dhuha kepada Pak Dokter.
“Gak pa-pa. Mumpung pada ngumpul semua, biar mereka menikmati
kebersamaan. Nanti sampe rumah Njenengan langsung istirahat aja. Kemarin
seharian Njenengan dah kecapekan. Biar saya yang nunggu anak-anak,” ujar Pak
Dokter sambil tetap fokus mengemudi.
“Saya belum sempat ngobrol sama Edel, Edel katanya mau balik ke Yogya hari Minggu
sore supaya Seninnya gak terlalu capek. Padahal besok siang kita mau berangkat
ke Dieng. Sabtu sore balik dari Dieng pasti dah pada capek, gak nyaman kalau
diajak ngobrol.”
“Gak pa-pa, santai aja. Saya juga tadi ketemu Anggiat gak
nyinggung masalah pertemuan tadi malam. Saya nunggu sampai dia yang memulai.”
Selanjutnya kami nikmati perjalanan pulang ini diiringi
lantunan tembang lawas berjudul “Sayang” milik Chrisye . Aku dan Pak Dokter
sepakat memproklamirkan lagu ini sebagai lagu kebangsaan kami berdua.
Sebenarnya itu lagu favorit Beliau. Dulu ketika kami masih berstatus
terkatung-katung, Beliau sering mengirimiku lagu ini melalui pesan audio.
Karena terlalu sering mendengar, akhirnya aku jadi terikut menyukai melodi lagu
sendu tersebut. Sampai sekarang, ketika kami bepergian hanya berdua saja, lagu
ini akan berputar tanpa jeda mengiringi sepanjang perjalanan ke manapun tujuan
kami.
Tepat pukul 21.30 kami tiba di rumah. Pak Dokter bermaksud
turun dari kendaraan untuk membuka pintu gerbang. ketika Maghrib keluar dari
rumah dan bergegas membukakan gerbang untuk kami.
“Maghrib kok gak ikut pergi?” tanyaku masih dalam posisi di
atas kendaraan.
“Gak Ma.”
Turun dari mobil, aku segera menuju ruang keluarga melalui
pintu tembus garasi. Terlihat Edel dan Mentari sedang asyik menonton TV,
Maghrib juga sudah kembali menikmati
kursi goyangnya.
“Lho...katanya pada pergi?” tanyaku dengan nada heran melihat
kedua gadis justru sedang asyik dengan tontonannya.
“Dhuha sama Lintang yang pergi, Ma,” jawab Edel santai.
Darahku berdesir mendengar jawaban Edel. Kutatap Pak Dokter
yang baru saja memasuki ruangan.
“Dhuha dengan Lintang, Dok,” ujarku pelan.
“Kenapa?” tanya Beliau santai seolah-olah tidak menangkap
sedikitpun kekhawatiran yang sedang kurasakan.
Beliau justru langsung berjalan melintasi ruang keluarga
menuju ke kamar kami. Kuhampiri Edel dan Mentari di sofa besar. Kududukkan diri
di antara keduanya.
“Gimana ceritanya, kok bisa Lintang sama Dhuha aja yang pergi,
Edel ?” Diri ini tak mampu menyembunyikan kekhawatiran dalam nada bicaraku.
“Tadi aku sama Mentari ke minimarket cari pembalut. Pas lagi
di sana, Dhuha WA mau pinjem mobil, katanya mau keluar. Begitu nyampe rumah,
Lintang juga gak ada. Kukira mereka pergi bertiga sama Maghrib. Ternyata pas
aku sama Mentari lagi nonton TV, Maghrib tau-tau nongol, baru keluar dari
kamarnya,” urai Edel panjang lebar.
“Memangnya Mas Dhuha gak izin sama Mama?” tanya Mentari
polos.
“Tadi mas Dhuha memang WA Mama, izin mau keluar, pulangnya
agak malam katanya. Mama kira kalian semua pergi bareng-bareng.” Aku masih tak
habis pikir dengan tindakan anakku dan anak Pak Dokter tersebut.
“Udah Ma, gak usah dipikir. Wong ya paling Dhuha sama Lintang
cuma keliling-keliling thok.” Edel berusaha menenangkan Emaknya yang mulai
galau.
“Maghrib, kamu gak dipamiti tho waktu Mas Dhuha pergi ?” Aku
mencoba menggali informasi dari si Bungsu.
“Gak, Ma. Tadi aku lagi di kamar. Cuma dengar suara mobil
keluar, tapi gak kulihat,” jawabnya polos.
Pak Dokter kembali bergabung dengan kami, beliau sudah
berganti baju. Aku mencoba menghubungi nomor telphone Dhuha. Terdengar nada
sambung di seberang sana.
“Njenengan ganti baju dulu gih. Udah gak usah dipikir. Nanti
juga pulang.” Terus terang ada sedikit rasa jengkel mendengar kalimat Pak
Dokter yang begitu santainya.
“Bener tho yang kubilang, Mas Dhuha tu cocoknya sama Mbak
Lintang.” Tiba-tiba Mentari nyeletuk, “Buktinya, sekarang tiba-tiba pergi berduaan, gak pamitan. Padahal akukan
juga pengen ikut jalan-jalan,” lanjutnya polos. Pak Dokter tertawa mendengar
ucapan Mentari.
“Tadi kenapa kamu gak minta, ikut?” tanya Beliau.
“Aku sama Mbak Edel lagi ke minimarket, tau-tau pas pulang
dua-duanya dah gak ada.”
Kuabaikan obrolan Mentari dan Sang Bapak, Dhuha mengangkat
telphonenya,
“Assalamualaikum, Ma.”
“Walalikumussalam. Kamu di mana, Ha?”
“Di Paragon, Ma. Lagi nonton sama Lintang.” Jawaban Dhuha terdengar santai
tanpa beban.
Kumatikan telphone selular tanpa menutup pembicaraan dengan
Dhuha.
“Malah nonton bioskop.” Aku memberi info ke seluruh penghuni
ruangan tentang keberadaan Dhuha dan Lintang.
Dan keempat personil The Doctors itu langsung mengurai tawa
mendengar informasi dariku. Edel dan
Mentari bahkan tertawa ngakak.
“Lintang ternyata diam-diam makan dalam.” Edel berujar di
sela-sela tawanya.
“Mbak Edel, aku gak bisa bayangin gimana cara Mas Dhuha pas
ngajak Mbak Lintang tadi ya. Kira-kira Mas Dhuha diketusin gak ya sama Mbak
Lintang.” Mentari malah ikut-ikutan menimpali ucapan Edel.
Melihat kedua gadis itu asyik tertawa membayangkan kencan
aneh ala-ala Dhuha dan Lintang, mau tak mau aku juga ikut tertawa.
“Waduuuhhh...gawat, kelihatannya Mama bakal serius besanan
sama Papa nih.” Edel melanjutkan kalimatnya.
“Yang Mama gak habis pikir itu gimana cara Dhuha pas ngajak
nonton . Kok Lintang langsung mau gitu.” Aku mengungkapkan rasa heran yang
bersemayam di hati.
“Mungkin selama di
Kalimantan Dhuha belajar ajian rayuan maut, Ma.” Edel masih mengeluarkan
kalimat-kalimat konyolnya.
“Mbak Edel, jangan-jangan Mas Dhuha belajar menggombal dari
Papa. Kemarin malamkan Papa sama Mas Dhuha ngobrol sampe malam, padahal kita
semua dah tidur. Mungkin tu Papa lagi ngajarin Mas Dhuha menggombal.” Mendengar
kalimat Mentari, Pak Dokter cuma bisa tertawa pasrah.
“Jangan bawa-bawa Papa lho, Papa gak ikut campur.” Beliau
membela diri.
Mentari, Maghrib, dan Edel mulai sibuk dengan telphone
seluler mereka, mungkin ketiganya iseng mengganggu Dhuha dan Lintang, sesekali
mereka tertawa bersamaan.
Walau agak lucu membayangkan Lintang dan Dhuha yang tanpa
interaksi tiba-tiba pergi nonton berduaan, namun tidak bisa dipungkiri ada
kecemasan menyelusup di sudut hatiku. Sementara Pak Dokter tidak sedikitpun
terlihat risau menghadapi kedua anak muda yang mungkin sedang terkena
percik-percik asmara itu.
Apa yang pernah mengganggu pikiranku, walau masih samar kini
mulai terbukti. Insting seorang emak itu memang tajam, lebih tajam dari sebilah
silet. Dulu aku sempat berpikir kalau kekhawatiranku tentang ucapan Dhuha di
Pasar Papringan terlalu berlebihan. Namun ternyata, ada keseriusan yang tersembunyi dengan rapi di
dalam candaan yang dia ucapkan berbulan-bulan yang lalu. Hhmmm...anak lanangku
ini rupanya memang memiliki obsesi terhadap putri sulung Pak Dokter.
Namun yang membuatku tak habis pikir, kemungkinan Lintang juga
mempunyai obsesi yang sama terhadap Dhuha. Di balik sikap ketusnya, dia
bersedia menerima ajakan Dhuha untuk nonton berduaan.
Perbuatan yang sulit diterima akal, mengingat sejak kedatangan Dhuha, keduanya tidak pernah terlihat
berduaan. Interaksi di antara mereka selalu terjalin secara bersama-sama,
berlima. Bahkan Lintang sering terlihat menghindar dari Dhuha.
Aku beradu pandang dengan Pak Dokter. Mungkin Beliau bisa
menangkap bahasa tubuh dan raut wajahku yang mulai terlihat tidak nyaman.
“Udah gak usah dipikir. Mereka bisa jaga diri. Sana gih ganti
baju, terus langsung istirahat,” bujuknya dengan lembut di depan anak-anak.
“Iya, Ma. Santai aja. Nanti kalau Mama stress, Anggi juga
ikut stress. Dhuha sama Lintang aman-aman aja. Aku ikhlas kok dilangkahi, Ma,
asal pelangkahannya sesuai keinginanku, tiket umroh bareng Mentari dan
Maghrib.” Edel yang kukira berusaha menenangkan diri ini dengan serius,
ternyata endingnya malah guyon.
“Setuju mbak...setuju mbak.” Mentari langsung heboh merespon
ucapan Edel, sementara Maghrib dan Pak Dokter ikut-ikutan tertawa.
Aku beranjak, kemudian melangkah menuju kamar meninggalkan
Edel dan adik-adiknya. Sebelum diri ini
memasuki kamar, kudengar Pak Dokter
memberi pesan pada Edel.
“Edel, kamu nunggu Dhuha ya. Nanti kalau mereka pulang, Papa
dipanggil. Papa nemenin Mama dulu,
sepertinya Mama galau berat mau besanan
sama Papa.” Pesan Beliau diikuti suara tertawa ketiga anak kami.
Di saat sedang berganti baju, Pak Dokter menyusulku masuk
kamar. Beliau langsung menuju peraduan, membaringkan tubuhnya.
“Njenengan gak usah terlalu mikirin Dhuha dan Lintang. Udah
santai aja. Dhuha anak baik, saya percaya sama dia.” Pak Dokter masih berusaha
menenangkanku.
Aku mendengarkan Beliau bicara sambil duduk di depan meja
rias, membersihkan sisa-sisa make up selepas resepsi dengan susu pembersih,
selanjutnya diri ini beranjak menuju kamar mandi untuk menyempurnakan ritual bebersih
ini dengan sabun wajah kemudian bersugi.
Setelah purna, aku kembali ke meja rias, memakai krim malam
tipis-tipis, setelahnya menyusul Pak Dokter ke peraduan.
“Yang mau diajak ngobrol Edel, malah Dhuha yang duluan bikin
kasus,” ujarku pelan setelah berbaring di sebelah Pak Dokter.
“Njenengan gak usah marah sama Dhuha.” Beliau mengingatkanku
untuk menahan emosi.
“Insyaa Allah gak, Dok,” jawabku pendek, “ Saya ingat
masa-masa kebersamaan kita dulu, Dhuha-lah yang pertama mendukung hubungan
kita. Maghrib walau tidak terus terang tapi dia mengingatkan saya untuk tidak
pacaran dengan Njenengan karena Mbak Mentari sudah punya Mama, katanya.
Sementara Edel jelas-jelas menginginkan saya tetap berjodoh dengan Papanya di
akhirat. Tapi Dhuha, dia mensupport saya sepenuh hati. Dia mendukung keputusan
apapun yang saya ambil, asalkan saya bahagia. Bagi dia kebahagiaan saya di atas
segalanya,” lanjutku mengenang masa lalu yang pernah kami lewati.
“Cuma saya gak habis pikir dengan Lintang, Dok.” Aku kembali
melanjutkan ujaran, “ Saya gak nyangka, Lintang yang agak tertutup gitu, kok
langsung mau diajak Dhuha pergi berdua. Berarti selama ini mereka sama-sama
menyimpan rasa ya, Dok?” tanyaku pelan.
“itulah yang namanya cinta, Nyonya. Pesonanya terlalu
dahsyat. Kita pernah merasakannya, bahkan di usia yang tidak muda. Jadi beri
toleransi pada Lintang dan Dhuha, ya.”
“Saya kepikiran Lintang, Dok. Kasiahan dia, Edel dan Mentari
pasti bakal menggoda dia terus. Njenengan ngerti sendirikan gimana Lintang.”
Aku membayangkan sulung Pak Dokter itu pasti bakal malu dan tertekan digoda
saudara-saudaranya.
“Itu jadi PR Njenengan. Pokoknya urusan mengatasi perasaan
anak-anak, saya pasrahkan sama Njenengan, karena saya percaya Njenengan punya
pendekatan yang bagus sama mereka. Dan merekapun sepertinya lebih nyaman
bercerita ke Njenengan dari pada ke
saya.”
“Tapi Lintang agak susah Dok kalau diajak cerita masalah
pribadi begini. Dia itu tertutup. Gak seperti Mentari, tanpa ditanya dia sudah
cerita duluan.”
“Papaaa...Mas Dhuha pulang.” Terdengar Mentari memanggil dari luar kamar diikuti
suara ketukan di pintu.
“Iya, Papa keluar.” Pak Dokter segera menjawab panggilan
bungsunya.
“Saya nemuin Dhuha dulu, Njenengan gak usah keluar. Istirahat
aja dulu. Biar hati sama pikiran Njenengan tenang dan santai, besok bisa ngajak
ngobrol Lintang.” Pak Dokter mengecup keningku lembut, kemudian beranjak turun
dan segera meninggalkan kamar untuk menemui anak tengahku.
0 Komentar