The Doctor's Family (Jilid 14)












Di Minggu pagi ini aku dan Pak Dokter berencana menghibur diri ke Car Free Day. Hanya  berdua saja, tanpa anak-anak.

Tadi malam setelah menginterogasi Edel dan memberi penataran singkat kepada Mentari dan Lintang, Pak Dokter langsung menyuruh Edel untuk menghubungi Sang Maharaja.
Beliau meminta gadisku tersebut  memberitahu pujaan hatinya, kalau kami ingin bertemu dan berkenalan dengan dia siang ini.

Setelah mendapat kepastian dari Edel, bahwa ‘Kak Raja’ nya  bersedia memenuhi tantingan Sang Bapak, aku segera menghubungi Mbak Kas dan Mbak Ramlah untuk kembali ke rumah kami di pagi hari.

Biasanya kedua ART Pak Dokter tersebut mendapat jatah libur dari Kamis malam dan kembali masuk di hari Minggu sore. Namun kali ini aku memohon kesediaan mereka untuk memotong sedikit liburannya. Alhamdulillah, keduanya tidak keberatan untuk memenuhi permohonanku.

Sebelum meninggalkan rumah, kuberi beberapa intsruksi kepada anak-anak. Seperti biasa, mereka tetap bertanggung jawab terhadap tugas bersih-bersih rumah, dan halaman, walau pagi ini Mbak Kas dan Mbak Ramlah kembali datang.

Sementara untuk kedua ART, aku meninggalkan uang dan pesan tertulis berupa daftar belanjaan dan menu masakan yang harus mereka olah. Setelah menitipkan semuanya kepada Edel,  Pak Dokter dan diriku meluncur menuju tengah kota untuk menikmati kebersamaan kami sambil mengurai segala kisah yang ditorehkan anak-anak.

Ya, tadi malam diri ini  tak mampu ber-pillow talk dengan Pak Dokter. Jiwa dan ragaku mengalami keletihan yang teramat sangat. Setelah menghubungi Mbak Kas dan Mbak Ramlah, aku langsung mengistirahatkan diri. Terbuai ke alam mimpi dengan lelapnya, dan baru terbangun ketika Pak Dokter menggugah di sepertiga malam.

Kami sengaja berangkat di awal pagi agar mudah mendapat tempat parkir, hingga tidak perlu berjalan terlalu jauh ke lokasi. Car Free Day Semarang ada di dua lokasi, yaitu di Jl. Pemuda dan Jl. Pahlawan. Aku dan Pak Dokter lebih memilih lokasi yang di Jl. Pahlawan, karena di sini lebih banyak pilihan kegiatan dan lokasinya berdekatan dengan Simpang Lima. 

Pak Dokter memarkir kendaraannya di area Taman Menteri Supeno atau Taman KB. Setelah kendaraan terparkir,  pasangan tua yang sedang dilanda kegalauan ini berjalan santai sambil bergandengan tangan menuju ke arah Jl. Pahlawan.

Aku yang baru pertama kali  merasakan suasana Car Free Day Semarang sangat menikmati kemeriahan yang kondisinya seperti pasar kaget ini. Puluhan penjual makanan, cemilan, asesoris, pakaian, mainan, semuanya tumpah ruah di sini.

Kami  menyusuri area CFD sambil menikmati kebersamaan dengan  tetap bergandengan tangan. Setelah sekian jauh berjalan, aku mengajak Pak Dokter untuk berhenti di satu lapak bubur ayam. Sebenarnya Pak Dokter masih ingin mengajakku meneruskan perjalanan hingga ke Simpang Lima. Menurut Beliau, di sana suasananya lebih meriah lagi, tidak hanya diramaikan pedagang saja, tapi juga banyak komunitas penyayang hewan yang berkumpul. Kemudian juga ada kegiatan senam, jalan santai, hunting photo, dan lain sebagainya. Tapi aku enggan memenuhi ajakan Beliau. 

Pak Dokter terpaksa mengikuti kemauan belahan jiwanya, berhenti di lapak bubur ayam. Aku memilih lapak ini karena melihat penjualnya sepasang suami istri berusia sekitar 40-an yang penampilannya rapi dan bersih. Gerobak jualannya juga terlihat resik. 

Pak Dokter memesan dua porsi bubur ayam komplit, dan dua gelas jeruk hangat. Sambil menanti pesanan datang, aku dan Pak Dokter mengistirahatkan diri. Ternyata duduk lesehan di trotoar jalan sembari menikmati lalu lalang manusia dengan segala aksi, tingkah laku, dan dandanannya, bisa memberi penghiburan tersendiri.

Tak jarang kami harus menahan tawa melihat pejalan kaki yang berpakaian olah raga namun dandanannya menor habis bagai pria bertulang lunak di Taman Lawang. Atau mendadak miris melihat pasangan remaja yang tak malu-malu mengumbar kemesraan di tengah area publik yang hiruk pikuk ini. Sekali waktu kami terpesona melihat pasangan tua namun  masih terlihat sehat dan energik, yang berjalan bersisian sambil bergandengan tangan. Dan sebersit rasa kagum juga respek menghinggapi diri kala terlihat beberapa pedagang asongan yang sudah berusia  sepuh namun masih memiliki semangat sekeras baja dalam mencari nafkah yang halal. Dalam keasyikan tersebut, aku mengurai seuntai kalimat kepada Pak Dokter,

“Kita asyik memantau perilaku orang-orang, mungkin ada juga orang yang memantau  dan menganggap kita pasangan aneh ya, Dok. Sudah tua, duduk berdampingan begitu rapat, dengan kondisi hamil besar.” Pak Dokter tertawa mendengar kalimatku.

“Njenengan hati-hati lho, jangan terlalu banyak mbathin kalau melihat ada yang aneh.” Beliau berujar sambil menunjuk perutku.

Aku tertawa kecil mendengar peringatan Pak Dokter  sambil ber-istighfar mengelus perutku menyadari keberadaan Anggi di sana.

“Njenengan gak malu  makan lesehan di trotoar?” Pak Dokter menguji kadar gengsi-ku.

“Gak lah, Dok. Wong namanya CFD, ya memang nikmatnya lesehan di pinggir jalan gini tho,” jawabku lugas.

Bubur ayam dan jeruk hangat pesanan kami datang. Di saat aku dan Pak Dokter berniat menikmati hidangan sarapan kami, terdengar suara seorang wanita menyapa Pak Dokter.

Pak Dokter dan aku refleks mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Seorang wanita cantik berusia sekitar 40 tahun, didampingi seorang lelaki yang kurang lebih seumuran dengan sang wanita tersebut menghampiri kami.

Begitu menyadari kehadiran pasangan tersebut, Pak Dokter menjawab sapaan yang tadi telah terlontar sambil berdiri dari duduknya.

“Heiii...apa khabar?” ujar Beliau sambil menyalami keduanya, dan aku mengikuti tindakan Pak Dokter tersebut.

“Alhamdulillah baik, Dok.” Ibu cantik tersebut menjawab tanya suamiku,” Lintang sama Mentari kok gak kelihatan, Dok?” lanjut si Ibu sambil melempar senyum ke arahku.

“Anak-anak tinggal di rumah. Masih ingat sama Mama-nya Maghrib gak?” Pak Dokter mengenalkan diriku kepada temannya tersebut.

“Masih tho, Dok. Mama Maghrib wajahnya gak berubah, masih seperti dulu.” Wanita tersebut mengurai pendapatnya sambil tetap mengulum senyum penuh arti,” Mentari mau nambah adek nih kelihatannya.” Lanjut Beliau.

Aku dan Pak Dokter tertawa kecil mendengar kalimat Beliau.

“Alhamdulillah...walau sudah tua tapi ternyata masih diberi amanah sama Allah,” jawab Pak Dokter diplomatis.

“Ternyata berjodoh juga ya, Dok.” Ucapan teman Pak Dokter tersebut seakan mengingatkan pada suatu kejadian di masa lalu, karena begitu mendengar ucapannya Pak Dokter langsung tertawa lepas. 

Setelah berbasa-basi sejenak, pasangan tersebut pamit melanjutkan jalan santai mereka. Aku masih belum bisa mengkoneksikan pikiran dengan sosok wanita ini. Dia mengenalku tapi aku tidak mengenal dia. Pak Dokter menawari mereka untuk ikut sarapan bersama kami, tapi keduanya menolak dengan halus.

“Njenengan pasti gak ingat itu tadi siapa.” ujar Pak Dokter sambil kembali duduk setelah  pasangan tersebut berlalu dari hadapan kami.

“Sama sekali saya gak punya gambaran mbak tadi siapa. Tapi kok dia tau saya ya, Dok?” tanyaku penasaran sambil mulai menyuap bubur ayam yang terlihat menggugah selera tersebut.

“Itu residen yang ada di ruangan saya sewaktu saya minta nomor telphone Njenengan dengan modus ngasih kartu nama.” Pak Dokter berbicara sambil mengurai tawa,”Makanya saya tadi tertawa sewaktu dia bilang ternyata jodoh juga. Soalnya saya jadi teringat kekonyolan yang saya buat bertahun-tahun yang lalu,” lanjut Pak Dokter dengan tawa yang masih berderai.

“Oaalaahhh...saya bener-bener gak tanda, soalnya penampilannya sudah berubah banget. Lha sekarang Beliau dinas di mana, Dok?”

“Di Boyolali,” jawab Pak Dokter sambil menikmati sarapannya. 

Pertemuan singkat yang tak disengaja dengan mantan residen Pak Dokter tersebut membuat memori otakku kembali ke suasana beberapa tahun yang silam, titik awal dari sejarah panjang kisah cinta kami. Dan tak terasa, perjalanan panjang itu kini telah menghasilkan seutas nyawa yang  sedang mendekam hangat di rahimku. 

Selain itu, ternyata warna warni kisah cinta kami itu masih terus berlanjut hingga saat ini. Kini giliran para buah hati yang memberi kami kejutan-kejutan kecil namun berdampak sangat besar dalam  kehidupan keluarga Pak Dokter.

Beberapa bulan yang lalu, Lintang dan Dhuha menggoreskan warna baru dalam keluarga kami. Kali ini Edel yang berperan serta mengulas warna lain dengan kisah kasihnya.

“Dok...,” sapaku pelan kepada Pak Dokter.

“Ya....” Beliau menjawab sapaanku sambil tetap asyik menikmati bubur ayamnya.

“Gimana tuh calon menantu?” Aku membuka obrolan tentang rencana kedatangan pacar Edel siang nanti.

“Melihat Edel yang sudah begitu mantap dengan pilihannya, gak ada gunanya juga ditentang. Tinggal kita lihat saja nanti, gimana wujud dan attitude-nya si Raja.” Pak Dokter menjawab tanyaku dengan santai.

“Kalau dari ceritanya Edel, sebenarnya gak ada yang salah dengan pilihannya itu. Hanya karena faktor usia dan status saja yang membuat kita kaget.” Beliau melanjutkan ujarannya.
Ucapan Pak Dokter ada benarnya. Melihat dari track record anak-anaknya yang berpendidikan bagus, hidup normal, gak neko-neko, sepertinya pilihan Edel memang lelaki baik-baik. Buktinya dia bisa mendidik keturunannya sedemikian rupa.

Namun  tak bisa kuingkari, kalau masih ada sedikit ganjalan di hati tentang selisih usia yang begitu jauh. Aku takut Edel tidak bisa menyamakan pola pikirnya dengan si Raja.

“Masih ada kekhawatiran dalam diri saya tentang perbedaan usia yang begitu jauh, Dok.”

“Sama. Saya juga memikirkan hal itu,” jawab Pak Dokter lugas, “Tapi kalau kita gak menyetujui hubungan mereka, mungkin bisa berdampak buruk  buat Edel. Soalnya  Edel kelihatan cinta berat sama Raja. Takut saya kalau kita larang, dia patah arang.” Beliau melanjutkan ujarannya.

“Itu juga yang saya khawatirkan, Dok. Kalau sampe dia patah hati, ngambek terus gak mikirin nikah, nanti saya tambah mumet.”

“Sejauh ini pandangan saya tentang Raja cukup baik, punya profesi bagus, berpendidikan, seiman. Nanti kita lihat gimana orangnya. Kalau memang pada saat pertemuan nanti, apa yang kita bayangkan sesuai dengan kenyataan, saya cuma menyarankan ke Njenengan, ikhlaskan Edel berjodoh sama Raja. Karena saya gak bisa memberi keputusan pada mereka tanpa persetujuan Njenengan. Biar gimanapun, Njenengan yang lebih berhak memberi restu untuk Edel, tugas saya hanya sebagai penerus kata,” ujar Pak Dokter sambil mengelap bibirnya dengan saputangan setelah menuntaskan semangkuk bubur ayam.

Kini Beliau meraih segelas jeruk hangat sebagai penutup sarapan kaki lima kami. Aku masih menikmati beberapa sendok buryam yang  tersisa ketika Pak Dokter kembali melanjutkan bicaranya.

“Kalau ternyata si Raja sesuai dengan pengharapan kita, saya minta Njenengan nanti bantu saya untuk bicara sama mereka, gak perlu berlama-lama pacaran. Usia Edel dan Raja sudah sangat cocok berumah tangga, dan Edel itu tinggal jauh dari orang tua tapi dekat dengan pacarnya. Kita menghindari hal-hal yang gak baik. Toh katanya si Raja-kan juga sudah beberapa kali meminta Edel jadi istrinya. Kalau memang serius, gak usah bertele-tele, halalkan atau tinggalkan.”

“Tapi kalau mau menyegerakan mereka nikah, kita harus minta Dhuha untuk pulang, Dok. Karena nanti dia yang jadi wali Edel. Apa dia bisa cuti lagi ? Kemarin ulang tahun saya baru pulang. Nanti lebaran mau pulang lagi memenuhi permintaan anak gadis Njenengan.” Aku merespon ucapan Pak Dokter. Beliau tertawa mendengar kalimat terakhirku.

“Hhmmmm...ternyata yang namanya hidup itu memang dinamis ya. Selalu penuh problema dan romantika. Dulu sewaktu kita belum nikah, rasanya ngenes banget kenapa kita gak bisa bersatu. Sekarang setelah kita nikah, saya dan Njenengan bisa bersatu, anak-anak kita juga bisa berbaur, kita  dikasih rezeki Anggi...eh...kok ternyata di balik kebahagiaan yang begitu sempurna, Allah masih memberi kita lika liku hidup yang penuh warna melalui anak-anak.”

“Ya itulah hidup, Dok. Selalu ada kejutan supaya kita gak berhenti berpikir. Problem yang  sekarang  sedang kita hadapi, ibarat bisul di ketiak ya, Dok. Gak kelihatan, tapi cenut-cenutnya nikmat banget,” ujarku sok bijak, kemudian meraih jeruk hangat yang sudah tak hangat lagi, menyesapnya beberapa tegukan dan meletakkan kembali gelas di posisi semula. 

Pak Dokter tertawa mendengar analogiku.

“Njenengan itu kalo ngasih perumpamaan aneh-aneh saja,” ujar Beliau sambil menjawil ujung hidungku.

“Malu  dilihat orang, Dok. Kayak ABG aja,” balasku sambil menghindar jawilan tangan Beliau, “Lha...terus kalau ternyata Dhuha gak bisa pulang gimana ?” lanjutku lagi.

“Nunggu lebaran.”

“Keburu Anggi lahir, nanti saya yang repot.” Aku protes mendengar jawaban Beliau.

Tetiba aku mengingat sosok lelaki yang bermukim nun jauh di ujung Barat  Pulau Sumatera.

“Kan ada Pakdenya Edel, Dok,” lanjutku ketika tiba-tiba teringat kakak lelaki almarhum Pak Wicaksono yang menetap dan mengemban tugas di Banda Aceh, dan telah lama tidak berkomunikasi lagi denganku.

“Nanti saya yang hubungi Beliau,” ujar Pak Dokter bijak.

Selanjutnya, suami terkasihku itu menarik napas berat sambil kembali tertawa lepas. 

“Huft....Anak-anak...anak-anak...” Beliau bergumam seolah pada dirinya sendiri, “Kok anak-anak kita jadi kayak sinetron, ya. Bikin Emak Bapaknya  mumet,” lanjut Beliau.

“Untuk berjaga-jaga kalau Pakdenya Edel gak bisa jadi wali, seandainya pernikahan mau disegerakan nanti kita atur waktunya di akhir pekan, biar Dhuha bisa berangkat Sabtu pagi dari sana, Minggu siang atau sore balik lagi. Ijab saja dulu, diusahakan waktunya Malam Minggu. Urusan resepsi belakangan saja.” Pak Dokter kembali mengeluarkan pendapatnya.

“Setelah saya pikir-pikir, kita ini kok aneh ya, Dok,” ujarku lugas setelah menyadari sesuatu.

“Kenapa?”

“Kemarin kita kaget dan bingung dengan pilihan Edel. Eh....sekarang kok  kita seolah udah siap banget untuk mantu, sampe ngomongin masalah atur waktu ijab segala. Padahal ketemu orangnya aja belum.” Menyadari hal itu, tanpa dikomando kami tertawa berbarengan. 

“Sekedar buat jaga-jaga untuk segala kemungkinan,” jawab Pak Dokter diplomatis.

Dan ntah kenapa tetiba perasaan melankolis dalam diriku  begitu merajai kalbu. Aku merasa beruntung sekali berjodoh dengan lelaki dewasa yang sangat ngemong dan bertanggung jawab ini. Di satu waktu kami bisa menjadi pasangan kekasih yang romantis. Di lain waktu menjadi pasangan diskusi yang saling mengisi dan sambung menyambung. Atau menjadi pasangan teman yang kadang saling mengusili satu sama lain.

Hubunganku dengan Pak Dokter memang unik. Keunikan itu sudah tercipta dari awal pertemuan kami. Dan di pagi  ini, dalam kebersamaan kami sebagai pasangan Emak dan Bapak, cintaku pada Beliau seolah kembali bermekaran seperti ketika kami masih dalam masa kasmaran dulu. Aku begitu mencintainya, dan rasa cinta itu seakan menghentak-hentak meminta untuk segera dilepaskan dalam wujud bahasa verbal.

“Dok...,” panggilku pelan.

“Ya....”

“Love you pake banget,” ujarku manja namun dengan volume suara yang pelan tentunya, supaya tetangga yang duduk di kiri kanan kami tak bisa ikut mendengar.

Pak Dokter tertawa mendengar kalimat lebay-ku.

“Njenengan kok jadi aneh sih,” ujar Beliau masih dengan tawa berderai, “Agak-agak lebay gimanaaa gitu,” lanjutnya.

Aku mencubit perut Beliau  refleks, kebiasaan yang tak pernah lekang dimakan waktu. Pak Dokter semakin mengurai tawa.

“Pulang yuuk...siap-siap menyambut Sang Maharaja,” ujar Beliau sambil bangkit. Aku mengikuti tindakannya. 

Setelah membayar semua pesanan, pasangan paruh baya ini kembali berjalan santai menuju area parkir sambil bergandengan tangan, merekatkan cinta kasih dan chemistry supaya tetap  terjaga hingga ke akhir hayat.


@@@@@


Tiba di rumah anak-anak sudah selesai dengan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing. Keempatnya sedang berkumpul di ruang keluarga, menonton televisi sambil bercengkrama. Sementara kedua ART masih berkutat di dapur memenuhi tugas  memasak beberapa menu pesananku tadi. Pak Dokter langsung menuju kamar, untuk mandi dan mempersiapkan diri menyambut kehadiran calon menantunya.

“Sudah pada sarapan belum?” Pertanyaan itu kuajukan kepada semua anak yang sedang bermalas-malasan di ruang keluarga, sambil meletakkan sekotak pai susu produk sebuah bakery di jalan Pandanaran.

Dalam perjalanan pulang tadi, aku dan Pak Dokter singgah ke satu bakery yang terletak di pusat kota itu. Membeli beberapa jenis kue untuk hidangan tamu kami nanti. Setelahnya kami sempatkan juga singgah ke toko buah. 

Edel langsung membuka kotak yang tadi kuletakkan di atas meja, mengambil isinya satu kemudian menikmati panganan tersebut.

“Udah, Ma.” Maghrib dan Lintang menjawab berbarengan.

“Ayo pada mandi, nanti mo ada tamu.” Emak-emak ini kembali memberi perintah kepada semua personil keluarga Pak Dokter.

Anak-anak mematuhi titah emaknya, menyebar menuju kamar masing-masing. Lintang dan Edel bisa memanfaatkan kamar mandi yang ada di tiap kamar mereka. Sementara Mentari dan Maghrib bergantian memanfaatkan kamar mandi  umum di dekat ruang keluarga. 

Aku beranjak menuju dapur, menyerahkan bungkusan buah dan panganan  yang tadi kami beli kepada Mbak Kas. Selanjutnya diri ini  berlalu menuju kamar.

Ketika aku masuk kamar, Pak Dokter masih berada di kamar mandi. Sambil menunggu Beliau selesai mandi, aku menyiapkan pakaian lengkap untuk ganti Pak Dokter. Pakaian dalam, celana jeans hitam, serta t-shirt polo berkerah berwarna coklat muda bergaris putih. Kuletakkan semuanya di tepi tempat tidur. Beberapa saat kemudian, lelakiku itu menuntaskan ritual bersih dirinya. Dengan handuk melilit di pinggang untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, Beliau langsung menuju pakaian yang telah kusiapkan. Sementara aku beranjak menuju ke kamar mandi.

Tak ada penyambutan istimewa dan berlebihan untuk kedatangan Sang Maharaja, karena bagi kami ini hanya kunjungan biasa saja, sekedar berkenalan, mengetahui sosoknya seperti apa. Jadi bukan acara pertemuan keluarga yang penuh dengan formalitas dan harus disambut dengan aneka hidangan mewah dan komplit serta dandanan menawan yang butuh sentuhan beauty salon.

Yang ada hanya bincang santai sambil menikmati hidangan makan siang sederhana olahan Mbak Kas dan Mbak Ramlah, dilengkapi dengan buah dan panganan buatan bakery.

Setelah selesai bebersih diri dan berdandan, kususul Pak Dokter yang sudah lebih dulu berada di ruang keluarga. Pasangan Emak dan Bapak ini duduk berdua menonton TV. Sebenarnya aku tidak terlalu menikmati acara TV tersebut, karena pikiran bercabang membayangkan kira-kira seperti apa sang calon menantu nanti. Dan sepertinya Pak Dokter juga sedang mengalami apa  kurasakan.

Beberapa saat berlalu, Edel menyusul ke ruang keluarga. Dia sudah rapi berbalut rok circle bermotif floral berpadu dengan atasan slim fit berwarna marun yang tidak terlalu longgar juga tidak terlalu sempit. Jilbab warna senada dengan baju atasannya melengkapi penampilan Edel siang itu. Dengan tubuh tinggi semampai, penampilan Edel yang sederhana itu tampak manis dipandang mata. 

Anak sulungku tersebut menyampaikan kalau pujaan hatinya sudah keluar tol Jatingaleh. Mendengar informasi dari Edel, perasaan tak nyaman mulai menggelayuti jiwa. Walau Edel yang akan bertemu dengan kekasihnya, tapi ntah kenapa justru aku yang merasakan demam panggung hebat. Debar di dadaku bertalu-talu tak menentu, sementara telapak kaki dan tangan mendingin secara tiba-tiba.

Rasa penasaran seolah tak hendak menjauh dari benak. Aneka bayangan berseliweran tentang wajah dan penampilan Sang Maharaja. Mengingat rentang usianya yang  selisih sedikit dengan kami, kubayangkan sosok itu mungkin tak jauh beda dengan tampilan Pak Dokter. Atau bahkan mungkin lebih tua, dengan rambut yang mulai dihiasi beberapa uban, mengingat profesinya sebagai dosen yang pastinya identik dengan kutu buku. 

Sambil menanti Sang Maharaja tiba, Edel ikut duduk bersama kami. Ketiga adiknya belum menampakkan diri. Gadisku itu terlihat begitu tenang, berbanding terbalik dengan diriku yang gemetaran dan penasaran tak menentu.

Beberapa waktu berlalu, terdengar suara klakson mobil.

“Mungkin itu, Ma.” Wajah Edel yang tadi terlihat tenang kini berubah begitu sumringah. Nada suaranya terdengar riang. 

Ah...ternyata gadisku memang sedang tertancap panah asmara dengan kadar racun yang  tinggi.

Dengan gerakan lincah, dia bangkit menuju ruang tamu. Kami mengikuti langkah wanita muda tersebut. Edel langsung keluar, melintasi teras dan halaman untuk membukakan pintu pagar bagi si pujaan hati. Sementara aku dan Pak Dokter masih bertahan di ruang tamu. Kami memantau dari jendela besar berkaca mati. Sesuai yang diucapkan Edel bahwa pacarnya bukan lelaki kaya, sebuah kendaraan sederhana mobil sejuta  umat -yang kalau dilihat dari karakteristiknya merupakan keluaran tahun 2012-, meluncur memasuki halaman rumah Pak Dokter. 

Beberapa saat kemudian, setelah mobil terparkir sempurna, seorang lelaki tinggi berkulit bersih terlihat turun dari atas tunggangannya. Walau terhalang gorden tipis tapi sosok lelaki tersebut tergambar dengan sangat jelas.

Aku dan Pak Dokter saling bertatap pandang melihat Sang Maharaja calon menantu kami. Terlihat ekspresi heran di raut wajah Pak Dokter. Mungkin apa yang ada dalam pikiran Beliau sama dengan apa yang ada dalam benakku.








Posting Komentar

0 Komentar