Di Minggu pagi ini aku dan Pak Dokter berencana menghibur
diri ke Car Free Day. Hanya berdua saja,
tanpa anak-anak.
Tadi malam setelah menginterogasi Edel dan memberi penataran
singkat kepada Mentari dan Lintang, Pak Dokter langsung menyuruh Edel untuk
menghubungi Sang Maharaja.
Beliau meminta gadisku tersebut memberitahu pujaan hatinya, kalau kami ingin
bertemu dan berkenalan dengan dia siang ini.
Setelah mendapat kepastian dari Edel, bahwa ‘Kak Raja’ nya bersedia memenuhi tantingan Sang Bapak, aku
segera menghubungi Mbak Kas dan Mbak Ramlah untuk kembali ke rumah kami di pagi
hari.
Biasanya kedua ART Pak Dokter tersebut mendapat jatah libur
dari Kamis malam dan kembali masuk di hari Minggu sore. Namun kali ini aku
memohon kesediaan mereka untuk memotong sedikit liburannya. Alhamdulillah,
keduanya tidak keberatan untuk memenuhi permohonanku.
Sebelum meninggalkan rumah, kuberi beberapa intsruksi kepada
anak-anak. Seperti biasa, mereka tetap bertanggung jawab terhadap tugas
bersih-bersih rumah, dan halaman, walau pagi ini Mbak Kas dan Mbak Ramlah
kembali datang.
Sementara untuk kedua ART, aku meninggalkan uang dan pesan
tertulis berupa daftar belanjaan dan menu masakan yang harus mereka olah.
Setelah menitipkan semuanya kepada Edel, Pak Dokter dan diriku meluncur menuju tengah
kota untuk menikmati kebersamaan kami sambil mengurai segala kisah yang ditorehkan
anak-anak.
Ya, tadi malam diri ini tak mampu ber-pillow talk dengan Pak Dokter.
Jiwa dan ragaku mengalami keletihan yang teramat sangat. Setelah menghubungi
Mbak Kas dan Mbak Ramlah, aku langsung mengistirahatkan diri. Terbuai ke alam
mimpi dengan lelapnya, dan baru terbangun ketika Pak Dokter menggugah di
sepertiga malam.
Kami sengaja berangkat di awal pagi agar mudah mendapat
tempat parkir, hingga tidak perlu berjalan terlalu jauh ke lokasi. Car Free Day
Semarang ada di dua lokasi, yaitu di Jl. Pemuda dan Jl. Pahlawan. Aku dan Pak
Dokter lebih memilih lokasi yang di Jl. Pahlawan, karena di sini lebih banyak
pilihan kegiatan dan lokasinya berdekatan dengan Simpang Lima.
Pak Dokter memarkir kendaraannya di area Taman Menteri Supeno
atau Taman KB. Setelah kendaraan terparkir, pasangan tua yang sedang dilanda kegalauan ini
berjalan santai sambil bergandengan tangan menuju ke arah Jl. Pahlawan.
Aku yang baru pertama kali merasakan suasana Car Free Day Semarang sangat
menikmati kemeriahan yang kondisinya seperti pasar kaget ini. Puluhan penjual
makanan, cemilan, asesoris, pakaian, mainan, semuanya tumpah ruah di sini.
Kami menyusuri area
CFD sambil menikmati kebersamaan dengan
tetap bergandengan tangan. Setelah sekian jauh berjalan, aku mengajak
Pak Dokter untuk berhenti di satu lapak bubur ayam. Sebenarnya Pak Dokter masih
ingin mengajakku meneruskan perjalanan hingga ke Simpang Lima. Menurut Beliau,
di sana suasananya lebih meriah lagi, tidak hanya diramaikan pedagang saja,
tapi juga banyak komunitas penyayang hewan yang berkumpul. Kemudian juga ada
kegiatan senam, jalan santai, hunting photo, dan lain sebagainya. Tapi aku
enggan memenuhi ajakan Beliau.
Pak Dokter terpaksa mengikuti kemauan belahan jiwanya,
berhenti di lapak bubur ayam. Aku memilih lapak ini karena melihat penjualnya
sepasang suami istri berusia sekitar 40-an yang penampilannya rapi dan bersih.
Gerobak jualannya juga terlihat resik.
Pak Dokter memesan dua porsi bubur ayam komplit, dan dua
gelas jeruk hangat. Sambil menanti pesanan datang, aku dan Pak Dokter
mengistirahatkan diri. Ternyata duduk lesehan di trotoar jalan sembari
menikmati lalu lalang manusia dengan segala aksi, tingkah laku, dan dandanannya,
bisa memberi penghiburan tersendiri.
Tak jarang kami harus menahan tawa melihat pejalan kaki yang
berpakaian olah raga namun dandanannya menor habis bagai pria bertulang lunak
di Taman Lawang. Atau mendadak miris melihat pasangan remaja yang tak malu-malu
mengumbar kemesraan di tengah area publik yang hiruk pikuk ini. Sekali waktu kami
terpesona melihat pasangan tua namun
masih terlihat sehat dan energik, yang berjalan bersisian sambil
bergandengan tangan. Dan sebersit rasa kagum juga respek menghinggapi diri kala
terlihat beberapa pedagang asongan yang sudah berusia sepuh namun masih memiliki semangat sekeras
baja dalam mencari nafkah yang halal. Dalam keasyikan tersebut, aku mengurai
seuntai kalimat kepada Pak Dokter,
“Kita asyik memantau perilaku orang-orang, mungkin ada juga
orang yang memantau dan menganggap kita
pasangan aneh ya, Dok. Sudah tua, duduk berdampingan begitu rapat, dengan
kondisi hamil besar.” Pak Dokter tertawa mendengar kalimatku.
“Njenengan hati-hati lho, jangan terlalu banyak mbathin kalau
melihat ada yang aneh.” Beliau berujar sambil menunjuk perutku.
Aku tertawa kecil mendengar peringatan Pak Dokter sambil ber-istighfar mengelus perutku menyadari
keberadaan Anggi di sana.
“Njenengan gak malu makan lesehan di trotoar?” Pak Dokter menguji
kadar gengsi-ku.
“Gak lah, Dok. Wong namanya CFD, ya memang nikmatnya lesehan
di pinggir jalan gini tho,” jawabku lugas.
Bubur ayam dan jeruk hangat pesanan kami datang. Di saat aku
dan Pak Dokter berniat menikmati hidangan sarapan kami, terdengar suara seorang
wanita menyapa Pak Dokter.
Pak Dokter dan aku refleks mengalihkan pandangan ke arah
sumber suara. Seorang wanita cantik berusia sekitar 40 tahun, didampingi
seorang lelaki yang kurang lebih seumuran dengan sang wanita tersebut
menghampiri kami.
Begitu menyadari kehadiran pasangan tersebut, Pak Dokter
menjawab sapaan yang tadi telah terlontar sambil berdiri dari duduknya.
“Heiii...apa khabar?” ujar Beliau sambil menyalami keduanya,
dan aku mengikuti tindakan Pak Dokter tersebut.
“Alhamdulillah baik, Dok.” Ibu cantik tersebut menjawab tanya
suamiku,” Lintang sama Mentari kok gak kelihatan, Dok?” lanjut si Ibu sambil
melempar senyum ke arahku.
“Anak-anak tinggal di rumah. Masih ingat sama Mama-nya
Maghrib gak?” Pak Dokter mengenalkan diriku kepada temannya tersebut.
“Masih tho, Dok. Mama Maghrib wajahnya gak berubah, masih
seperti dulu.” Wanita tersebut mengurai pendapatnya sambil tetap mengulum
senyum penuh arti,” Mentari mau nambah adek nih kelihatannya.” Lanjut Beliau.
Aku dan Pak Dokter tertawa kecil mendengar kalimat Beliau.
“Alhamdulillah...walau sudah tua tapi ternyata masih diberi
amanah sama Allah,” jawab Pak Dokter diplomatis.
“Ternyata berjodoh juga ya, Dok.” Ucapan teman Pak Dokter
tersebut seakan mengingatkan pada suatu kejadian di masa lalu, karena begitu
mendengar ucapannya Pak Dokter langsung tertawa lepas.
Setelah berbasa-basi sejenak, pasangan tersebut pamit
melanjutkan jalan santai mereka. Aku masih belum bisa mengkoneksikan pikiran
dengan sosok wanita ini. Dia mengenalku tapi aku tidak mengenal dia. Pak Dokter
menawari mereka untuk ikut sarapan bersama kami, tapi keduanya menolak dengan
halus.
“Njenengan pasti gak ingat itu tadi siapa.” ujar Pak Dokter
sambil kembali duduk setelah pasangan tersebut
berlalu dari hadapan kami.
“Sama sekali saya gak punya gambaran mbak tadi siapa. Tapi
kok dia tau saya ya, Dok?” tanyaku penasaran sambil mulai menyuap bubur ayam
yang terlihat menggugah selera tersebut.
“Itu residen yang ada di ruangan saya sewaktu saya minta
nomor telphone Njenengan dengan modus ngasih kartu nama.” Pak Dokter berbicara
sambil mengurai tawa,”Makanya saya tadi tertawa sewaktu dia bilang ternyata
jodoh juga. Soalnya saya jadi teringat kekonyolan yang saya buat bertahun-tahun
yang lalu,” lanjut Pak Dokter dengan tawa yang masih berderai.
“Oaalaahhh...saya bener-bener gak tanda, soalnya
penampilannya sudah berubah banget. Lha sekarang Beliau dinas di mana, Dok?”
“Di Boyolali,” jawab Pak Dokter sambil menikmati sarapannya.
Pertemuan singkat yang tak disengaja dengan mantan residen
Pak Dokter tersebut membuat memori otakku kembali ke suasana beberapa tahun
yang silam, titik awal dari sejarah panjang kisah cinta kami. Dan tak terasa,
perjalanan panjang itu kini telah menghasilkan seutas nyawa yang sedang mendekam hangat di rahimku.
Selain itu, ternyata warna warni kisah cinta kami itu masih
terus berlanjut hingga saat ini. Kini giliran para buah hati yang memberi kami
kejutan-kejutan kecil namun berdampak sangat besar dalam kehidupan keluarga Pak Dokter.
Beberapa bulan yang lalu, Lintang dan Dhuha menggoreskan
warna baru dalam keluarga kami. Kali ini Edel yang berperan serta mengulas
warna lain dengan kisah kasihnya.
“Dok...,” sapaku pelan kepada Pak Dokter.
“Ya....” Beliau menjawab sapaanku sambil tetap asyik
menikmati bubur ayamnya.
“Gimana tuh calon menantu?” Aku membuka obrolan tentang
rencana kedatangan pacar Edel siang nanti.
“Melihat Edel yang sudah begitu mantap dengan pilihannya, gak
ada gunanya juga ditentang. Tinggal kita lihat saja nanti, gimana wujud dan
attitude-nya si Raja.” Pak Dokter menjawab tanyaku dengan santai.
“Kalau dari ceritanya Edel, sebenarnya gak ada yang salah
dengan pilihannya itu. Hanya karena faktor usia dan status saja yang membuat
kita kaget.” Beliau melanjutkan ujarannya.
Ucapan Pak Dokter ada benarnya. Melihat dari track record
anak-anaknya yang berpendidikan bagus, hidup normal, gak neko-neko, sepertinya
pilihan Edel memang lelaki baik-baik. Buktinya dia bisa mendidik keturunannya
sedemikian rupa.
Namun tak bisa
kuingkari, kalau masih ada sedikit ganjalan di hati tentang selisih usia yang
begitu jauh. Aku takut Edel tidak bisa menyamakan pola pikirnya dengan si Raja.
“Masih ada kekhawatiran dalam diri saya tentang perbedaan
usia yang begitu jauh, Dok.”
“Sama. Saya juga memikirkan hal itu,” jawab Pak Dokter lugas,
“Tapi kalau kita gak menyetujui hubungan mereka, mungkin bisa berdampak buruk buat Edel. Soalnya Edel kelihatan cinta berat sama Raja. Takut
saya kalau kita larang, dia patah arang.” Beliau melanjutkan ujarannya.
“Itu juga yang saya khawatirkan, Dok. Kalau sampe dia patah
hati, ngambek terus gak mikirin nikah, nanti saya tambah mumet.”
“Sejauh ini pandangan saya tentang Raja cukup baik, punya profesi
bagus, berpendidikan, seiman. Nanti kita lihat gimana orangnya. Kalau memang
pada saat pertemuan nanti, apa yang kita bayangkan sesuai dengan kenyataan,
saya cuma menyarankan ke Njenengan, ikhlaskan Edel berjodoh sama Raja. Karena
saya gak bisa memberi keputusan pada mereka tanpa persetujuan Njenengan. Biar
gimanapun, Njenengan yang lebih berhak memberi restu untuk Edel, tugas saya
hanya sebagai penerus kata,” ujar Pak Dokter sambil mengelap bibirnya dengan
saputangan setelah menuntaskan semangkuk bubur ayam.
Kini Beliau meraih segelas jeruk hangat sebagai penutup
sarapan kaki lima kami. Aku masih menikmati beberapa sendok buryam yang tersisa ketika Pak Dokter kembali melanjutkan
bicaranya.
“Kalau ternyata si Raja sesuai dengan pengharapan kita, saya
minta Njenengan nanti bantu saya untuk bicara sama mereka, gak perlu
berlama-lama pacaran. Usia Edel dan Raja sudah sangat cocok berumah tangga, dan
Edel itu tinggal jauh dari orang tua tapi dekat dengan pacarnya. Kita
menghindari hal-hal yang gak baik. Toh katanya si Raja-kan juga sudah beberapa
kali meminta Edel jadi istrinya. Kalau memang serius, gak usah bertele-tele,
halalkan atau tinggalkan.”
“Tapi kalau mau menyegerakan mereka nikah, kita harus minta
Dhuha untuk pulang, Dok. Karena nanti dia yang jadi wali Edel. Apa dia bisa
cuti lagi ? Kemarin ulang tahun saya baru pulang. Nanti lebaran mau pulang lagi
memenuhi permintaan anak gadis Njenengan.” Aku merespon ucapan Pak Dokter.
Beliau tertawa mendengar kalimat terakhirku.
“Hhmmmm...ternyata yang namanya hidup itu memang dinamis ya.
Selalu penuh problema dan romantika. Dulu sewaktu kita belum nikah, rasanya
ngenes banget kenapa kita gak bisa bersatu. Sekarang setelah kita nikah, saya
dan Njenengan bisa bersatu, anak-anak kita juga bisa berbaur, kita dikasih rezeki Anggi...eh...kok ternyata di
balik kebahagiaan yang begitu sempurna, Allah masih memberi kita lika liku
hidup yang penuh warna melalui anak-anak.”
“Ya itulah hidup, Dok. Selalu ada kejutan supaya kita gak
berhenti berpikir. Problem yang sekarang sedang kita hadapi, ibarat bisul di ketiak
ya, Dok. Gak kelihatan, tapi cenut-cenutnya nikmat banget,” ujarku sok bijak,
kemudian meraih jeruk hangat yang sudah tak hangat lagi, menyesapnya beberapa
tegukan dan meletakkan kembali gelas di posisi semula.
Pak Dokter tertawa mendengar analogiku.
“Njenengan itu kalo ngasih perumpamaan aneh-aneh saja,” ujar
Beliau sambil menjawil ujung hidungku.
“Malu dilihat orang,
Dok. Kayak ABG aja,” balasku sambil menghindar jawilan tangan Beliau,
“Lha...terus kalau ternyata Dhuha gak bisa pulang gimana ?” lanjutku lagi.
“Nunggu lebaran.”
“Keburu Anggi lahir, nanti saya yang repot.” Aku protes
mendengar jawaban Beliau.
Tetiba aku mengingat sosok lelaki yang bermukim nun jauh di
ujung Barat Pulau Sumatera.
“Kan ada Pakdenya Edel, Dok,” lanjutku ketika tiba-tiba
teringat kakak lelaki almarhum Pak Wicaksono yang menetap dan mengemban tugas di Banda Aceh, dan telah
lama tidak berkomunikasi lagi denganku.
“Nanti saya yang hubungi Beliau,” ujar Pak Dokter bijak.
Selanjutnya, suami terkasihku itu menarik napas berat sambil kembali
tertawa lepas.
“Huft....Anak-anak...anak-anak...” Beliau bergumam seolah
pada dirinya sendiri, “Kok anak-anak kita jadi kayak sinetron, ya. Bikin Emak
Bapaknya mumet,” lanjut Beliau.
“Untuk berjaga-jaga kalau Pakdenya Edel gak bisa jadi wali,
seandainya pernikahan mau disegerakan nanti kita atur waktunya di akhir pekan,
biar Dhuha bisa berangkat Sabtu pagi dari sana, Minggu siang atau sore balik
lagi. Ijab saja dulu, diusahakan waktunya Malam Minggu. Urusan resepsi
belakangan saja.” Pak Dokter kembali mengeluarkan pendapatnya.
“Setelah saya pikir-pikir, kita ini kok aneh ya, Dok,” ujarku
lugas setelah menyadari sesuatu.
“Kenapa?”
“Kemarin kita kaget dan bingung dengan pilihan Edel.
Eh....sekarang kok kita seolah udah siap
banget untuk mantu, sampe ngomongin masalah atur waktu ijab segala. Padahal
ketemu orangnya aja belum.” Menyadari hal itu, tanpa dikomando kami tertawa
berbarengan.
“Sekedar buat jaga-jaga untuk segala kemungkinan,” jawab Pak
Dokter diplomatis.
Dan ntah kenapa tetiba perasaan melankolis dalam diriku begitu merajai kalbu. Aku merasa beruntung
sekali berjodoh dengan lelaki dewasa yang sangat ngemong dan bertanggung jawab
ini. Di satu waktu kami bisa menjadi pasangan kekasih yang romantis. Di lain
waktu menjadi pasangan diskusi yang saling mengisi dan sambung menyambung. Atau
menjadi pasangan teman yang kadang saling mengusili satu sama lain.
Hubunganku dengan Pak Dokter memang unik. Keunikan itu sudah
tercipta dari awal pertemuan kami. Dan di pagi
ini, dalam kebersamaan kami sebagai pasangan Emak dan Bapak, cintaku pada
Beliau seolah kembali bermekaran seperti ketika kami masih dalam masa kasmaran
dulu. Aku begitu mencintainya, dan rasa cinta itu seakan menghentak-hentak
meminta untuk segera dilepaskan dalam wujud bahasa verbal.
“Dok...,” panggilku pelan.
“Ya....”
“Love you pake banget,” ujarku manja namun dengan volume
suara yang pelan tentunya, supaya tetangga yang duduk di kiri kanan kami tak
bisa ikut mendengar.
Pak Dokter tertawa mendengar kalimat lebay-ku.
“Njenengan kok jadi aneh sih,” ujar Beliau masih dengan tawa
berderai, “Agak-agak lebay gimanaaa gitu,” lanjutnya.
Aku mencubit perut Beliau refleks, kebiasaan yang tak pernah lekang
dimakan waktu. Pak Dokter semakin mengurai tawa.
“Pulang yuuk...siap-siap menyambut Sang Maharaja,” ujar
Beliau sambil bangkit. Aku mengikuti tindakannya.
Setelah membayar semua pesanan, pasangan paruh baya ini
kembali berjalan santai menuju area parkir sambil bergandengan tangan,
merekatkan cinta kasih dan chemistry supaya tetap terjaga hingga ke akhir hayat.
@@@@@
Tiba di rumah anak-anak sudah selesai dengan tugas dan
tanggung jawab mereka masing-masing. Keempatnya sedang berkumpul di ruang
keluarga, menonton televisi sambil bercengkrama. Sementara kedua ART masih
berkutat di dapur memenuhi tugas memasak
beberapa menu pesananku tadi. Pak Dokter langsung menuju kamar, untuk mandi dan
mempersiapkan diri menyambut kehadiran calon menantunya.
“Sudah pada sarapan belum?” Pertanyaan itu kuajukan kepada
semua anak yang sedang bermalas-malasan di ruang keluarga, sambil meletakkan sekotak
pai susu produk sebuah bakery di jalan Pandanaran.
Dalam perjalanan pulang tadi, aku dan Pak Dokter singgah ke
satu bakery yang terletak di pusat kota itu. Membeli beberapa jenis kue untuk
hidangan tamu kami nanti. Setelahnya kami sempatkan juga singgah ke toko buah.
Edel langsung membuka kotak yang tadi kuletakkan di atas
meja, mengambil isinya satu kemudian menikmati panganan tersebut.
“Udah, Ma.” Maghrib dan Lintang menjawab berbarengan.
“Ayo pada mandi, nanti mo ada tamu.” Emak-emak ini kembali
memberi perintah kepada semua personil keluarga Pak Dokter.
Anak-anak mematuhi titah emaknya, menyebar menuju kamar
masing-masing. Lintang dan Edel bisa memanfaatkan kamar mandi yang ada di tiap
kamar mereka. Sementara Mentari dan Maghrib bergantian memanfaatkan kamar mandi
umum di dekat ruang keluarga.
Aku beranjak menuju dapur, menyerahkan bungkusan buah dan
panganan yang tadi kami beli kepada Mbak
Kas. Selanjutnya diri ini berlalu menuju
kamar.
Ketika aku masuk kamar, Pak Dokter masih berada di kamar
mandi. Sambil menunggu Beliau selesai mandi, aku menyiapkan pakaian lengkap
untuk ganti Pak Dokter. Pakaian dalam, celana jeans hitam, serta t-shirt polo
berkerah berwarna coklat muda bergaris putih. Kuletakkan semuanya di tepi
tempat tidur. Beberapa saat kemudian, lelakiku itu menuntaskan ritual bersih
dirinya. Dengan handuk melilit di pinggang untuk menutupi tubuh bagian
bawahnya, Beliau langsung menuju pakaian yang telah kusiapkan. Sementara aku
beranjak menuju ke kamar mandi.
Tak ada penyambutan istimewa dan berlebihan untuk kedatangan
Sang Maharaja, karena bagi kami ini hanya kunjungan biasa saja, sekedar
berkenalan, mengetahui sosoknya seperti apa. Jadi bukan acara pertemuan keluarga
yang penuh dengan formalitas dan harus disambut dengan aneka hidangan mewah dan
komplit serta dandanan menawan yang butuh sentuhan beauty salon.
Yang ada hanya bincang santai sambil menikmati hidangan makan
siang sederhana olahan Mbak Kas dan Mbak Ramlah, dilengkapi dengan buah dan
panganan buatan bakery.
Setelah selesai bebersih diri dan berdandan, kususul Pak
Dokter yang sudah lebih dulu berada di ruang keluarga. Pasangan Emak dan Bapak
ini duduk berdua menonton TV. Sebenarnya aku tidak terlalu menikmati acara TV
tersebut, karena pikiran bercabang membayangkan kira-kira seperti apa sang
calon menantu nanti. Dan sepertinya Pak Dokter juga sedang mengalami apa kurasakan.
Beberapa saat berlalu, Edel menyusul ke ruang keluarga. Dia
sudah rapi berbalut rok circle bermotif floral berpadu dengan atasan slim fit
berwarna marun yang tidak terlalu longgar juga tidak terlalu sempit. Jilbab
warna senada dengan baju atasannya melengkapi penampilan Edel siang itu. Dengan tubuh
tinggi semampai, penampilan Edel yang sederhana itu tampak manis dipandang
mata.
Anak sulungku tersebut menyampaikan kalau pujaan hatinya
sudah keluar tol Jatingaleh. Mendengar informasi dari Edel, perasaan tak nyaman
mulai menggelayuti jiwa. Walau Edel yang akan bertemu dengan kekasihnya, tapi
ntah kenapa justru aku yang merasakan demam panggung hebat. Debar di dadaku
bertalu-talu tak menentu, sementara telapak kaki dan tangan mendingin secara
tiba-tiba.
Rasa penasaran seolah tak hendak menjauh dari benak. Aneka
bayangan berseliweran tentang wajah dan penampilan Sang Maharaja. Mengingat rentang
usianya yang selisih sedikit dengan kami,
kubayangkan sosok itu mungkin tak jauh beda dengan tampilan Pak Dokter. Atau
bahkan mungkin lebih tua, dengan rambut yang mulai dihiasi beberapa uban,
mengingat profesinya sebagai dosen yang pastinya identik dengan kutu buku.
Sambil menanti Sang Maharaja tiba, Edel ikut duduk bersama
kami. Ketiga adiknya belum menampakkan diri. Gadisku itu terlihat begitu tenang,
berbanding terbalik dengan diriku yang gemetaran dan penasaran tak menentu.
Beberapa waktu berlalu, terdengar suara klakson mobil.
“Mungkin itu, Ma.” Wajah Edel yang tadi terlihat tenang kini
berubah begitu sumringah. Nada suaranya terdengar riang.
Ah...ternyata gadisku memang sedang tertancap panah asmara
dengan kadar racun yang tinggi.
Dengan gerakan lincah, dia bangkit menuju ruang tamu. Kami
mengikuti langkah wanita muda tersebut. Edel langsung keluar, melintasi teras
dan halaman untuk membukakan pintu pagar bagi si pujaan hati. Sementara aku dan
Pak Dokter masih bertahan di ruang tamu. Kami memantau dari jendela besar
berkaca mati. Sesuai yang diucapkan Edel bahwa pacarnya bukan lelaki kaya,
sebuah kendaraan sederhana mobil sejuta umat -yang kalau dilihat dari karakteristiknya merupakan keluaran tahun 2012-, meluncur memasuki
halaman rumah Pak Dokter.
Beberapa saat kemudian, setelah mobil terparkir sempurna,
seorang lelaki tinggi berkulit bersih terlihat turun dari atas tunggangannya.
Walau terhalang gorden tipis tapi sosok lelaki tersebut tergambar dengan sangat
jelas.
Aku dan Pak Dokter saling bertatap pandang melihat Sang
Maharaja calon menantu kami. Terlihat ekspresi heran di raut wajah Pak Dokter.
Mungkin apa yang ada dalam pikiran Beliau sama dengan apa yang ada dalam
benakku.
0 Komentar