![]() |
Sumber : Google |
Aku sedang mengemas beberapa novel dan gantungan kunci
pemberiannya. Benda-benda koleksi kesayangan ini rencananya akan kubagi-bagi ke
orang-orang yang berminat untuk memilikinya. Tekadku sudah bulat. Walau rasanya
tidak mungkin untuk melupakan dia, namun setidaknya aku berusaha secara total
untuk tidak membangkitkan semua kenangan tentangnya. Dan mengenyahkan segala
pemberiannya adalah satu cara yang kupilih.
Gawaiku bergetar. Dua untai pesan beruntun melalui aplikasi
WA menghiasi layar. Tertulis namanya sebagai si pengirim. Tiga senja telah
berlalu sejak pertemuan terakhir kami, dan selama itulah aku dan dia mengekang
diri untuk mengakhiri semuanya. Benar-benar mengakhirinya, bukan sekedar wacana “hangat-hangat tai ayam”, yang
hanya berlangsung sekejab, namun setelahnya berulang lagi.
[Ini pesan terakhirku, kamu gak perlu membalasnya.]
[Pesan audio. Seuntai lagu dari Padi berjudul Kasih Tak
Sampai.]
Kudengarkan
pesan audio itu beberapa kali. Perasaanku kembali bermain. Beragam rasa berpadu
jadi satu, namun rasa rindu-lah yang sangat dominan. Aku sangat merindukannya.
Sangat...
Tiga hari tidak berkomunikasi dengan dia merupakan siksaan
terberat yang pernah kurasakan . Diri ini mencoba menghalau rindu dengan cara
bermesraan pada Sang Khalik.
Begitupun kali ini. Rindu itu begitu menggebu. Namun aku tak
ingin kalah. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi di sudut kamar, menunaikan
wudhu sesempurna mungkin. Setelahnya aku beranjak untuk berdialog dengan Ilahi Rabbi. Mengadukan
rindu yang tak mau menjauh, mengadukan beratnya mengabaikan bisikan-bisikan
setan.
Kupasrahkan hati, jiwa, dan tubuh dalam keharibaanNya. Kuikhlaskan
Dia membimbing diri ini menuju jalan yang lurus. Allah....ampuni aku. Beberapa
saat aku berasyik masyuk dengan Sang Kuasa. Perlahan namun pasti, ketenangan
mulai merasuki jiwa. Pikiranku kembali terbuka, hatiku kembali tentram.
Dalam kondisi terjaga dalam kewarasan, aku teringat pertemuan
terakhir kami di Hari Minggu kemarin. Saat itu suamiku sedang ada kegiatan
outbond dari perusahaannya di luar kota. Kesempatan ini kugunakan untuk mengiriminya pesan, membuat janji untuk
bertemu.
Bukan...bukan janji untuk memadu kasih atau menuntaskan
rindu. Melainkan karena aku ingin menyelesaikan jalinan cinta terlarang antara
diriku dengan Kris –duda paruh baya beranak dua-
@@@@@
“Ada apa, Na?”
“Kita akhiri semuanya sampai di sini.”
“Kenapa?” tanya-nya dengan nada terkejut.
“Kita sudah gak muda lagi. Semua yang kita lakukan ini
sia-sia. Sebenarnya apa yang kita cari Kris?” tanyaku dengan nada suara
bergetar.
Dia terdiam, menatapku lekat. Mungkin dia tidak mengira kalau
pertemuan atas permintaanku ini justru merupakan ajakan untuk berpisah. Ada berjuta kecewa bersemayam di bola mata
cerdasnya.
Sementara aku merasakan berjuta sembilu mengiris-iris jiwa. Tanpa
sungkan aku menangis di hadapannya. Aku mengurai air mata di depan lelaki yang
mencintaiku dengan tulus, walaupun dia mengetahui statusku sebagai seorang
istri dan ibu.
Melihatnya yang tak mampu berkata-kata, di sela-sela tangisan,
aku kembali mengurai untaian kalimat.
“Tangisan ini jangan kamu jadikan alat untuk semakin
menjeratku Kris. Aku menangis di depan kamu karena aku tau kamu itu lelaki
baik-baik. Kamu pasti memahami posisiku yang terjepit.”
Aku melempar pandang ke arahnya. Tatapannya masih melekat
erat ke netraku. Samar terlihat mata cerdas itu juga berkaca-kaca.
“Aku menangis untuk suamiku dan kamu. Ada rasa bersalah dan
penyesalan yang begitu mendalam untuk suamiku. Dan ada rasa cinta yang tak
terkatakan untuk kamu.” Aku meluapkankan segenap rasa yang menyesakkan dada.
Luapan perasaan itu berbaur dengan bulir-bulir bening yang membasahi pipi.
“Kenapa semuanya begitu tiba-tiba, Ina?” Nada suaranya lirih
nyaris tak terdengar.
“Suami kamu mulai curiga?” lanjutnya.
“Gak...dia gak pernah tau tentang kamu. Aku merasa dikejar
dosa Kris.”
@@@@@
Aku meneruskan kembali
kegiatan mengemas barang-barang pemberian Kris. Selama satu setengah tahun
menjalin hubungan, dia sering memberiku hadiah. Dan hadiah itu selalu berupa
buku atau gantungan kunci. Karena aku kerap menolak setiap dia ingin memberi
hadiah berbentuk barang pribadi seperti perhiasan, tas, atau produk fashion
lainnya.
Dia rajin menghadiahiku buku, karena tahu akan kegemaranku
membaca. Sementara gantungan kunci, karena dia juga tahu kalau aku hobi
mengkoleksi benda-benda tersebut. Koleksiku belum banyak, baru sekitar 50 item
dari 40 negara. Dan lebih dari setengahnya adalah pemberian dia. Setiap ada
rekan sejawatnya yang pergi ke luar negeri, dia selalu pesan untuk dibelikan
gantungan kunci, dan nantinya benda itu akan dia berikan untukku.
Dan kini...semua benda-benda penuh kenangan ini akan
menjumpai majikan-majikan baru mereka. Tadi suamiku sempat bertanya kenapa aku
mengemas barang-barang tersebut. Kujawab saja, mau dibagi-bagikan karena kalau
benda-benda ini hanya dijadikan koleksi dan terpajang tak berguna, aku takut
dengan hisabnya. Hhhmmmm...berbohong ? Iya, tapi tidak seratus persen, karena
jawabanku juga ada benarnya.
Suamiku sedang asyik di meja kerja, menghadapi laptop yang
terlihat menyala. Kupandangi wajah lelaki yang setia mendampingi diri ini
selama berpuluh tahun itu dari tempatku duduk. Dulu, aku pernah sangat
mencintainya.
Aku rela meninggalkan duniaku hanya untuk mengayuh bahtera
bersamanya. Kutinggalkan kota kelahiran dengan segala jejak-jejak kehidupan.
Kutinggalkan ayah, ibu, keluarga, teman, pekerjaan, demi dia. Kutinggalkan
semuanya karena aku mantap memilih dia sebagai imam.
Tapi kini rasa cinta yang dulu begitu menggebu ternyata bisa
hilang, menguar tanpa bekas. Rasa cemburu yang kerap bergelayut manja di hati,
kini menguap begitu saja. Aku tidak pernah lagi merindukannya. Bahkan yang
paling parah, aku kehilangan sensasi erotis saat bersamanya.
Aku meraih gawai yang tergeletak di dekat tumpukan novel.
Kupasang headset, memutar ulang pesan audio dari Kris.
Indah...terasa indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki
Namun bila itu semua...
Dapat terwujud dalam satu ikatan
cinta
Tak semudah seperti yang terbayang
Menyatukan perasaan kita
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam
ini
Agar menjadi saksi kita
Berdua...berdua
Sudah...terlambat sudah
Kini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan ini
Kuhapus pesan audio tersebut. Kris lelaki yang baik, dia punya profesi dan penampilan yang sangat mendukung. Kalau dia masih punya
keinginan untuk menikah, kudo’akan yang menjadi jodohnya nanti wanita baik-baik
yang menyayanginya sepenuh hati.
Dan suamiku, walau semua rasa telah menguap, namun dia
tetaplah imamku, pemegang kunci surgaku.
@@@@@
Ada kesucian di air mata. Air mata bukan tanda kelemahan,
tapi kekuatan. Air mata berbicara lebih fasih dari sepuluh ribu bahasa. Air
mata adalah utusan kesedihan yang luar biasa, penyesalan mendalam, dan cinta
yang tak terkatakan. [Washington Irving]
17 Komentar
Cinta yang tak terkatakan :")) Nggak semua wanita bisa mengambil keputusan luar biasa seperti mbak Ina. :") Beberapa memilih membiarkan mengalir menjadi dosa begitu saja. Nggak sabar mau nunggu episode terbarunya 💙
BalasHapusOke mbak Ami, sabar menanti ya. Kira-kira mbak Ina Istiqomah apa gak ya.
HapusDuh mbaa baper bacanya, keras mengiris iris..
BalasHapusHihihihi.....
HapusGood ..write mungkin nanti next Eps.bisa lihat pergolakan batin ke dua sisi bisa lebih tergali lebih dalam jadi dramatis nya lebih kental bisa memahami lebih bijak
BalasHapusOke Wong. Thanks masukannya ya Wong.
HapusGood ..write mungkin nanti next Eps.bisa lihat pergolakan batin ke dua sisi bisa lebih tergali lebih dalam jadi dramatis nya lebih kental bisa memahami lebih bijak
BalasHapusDuuh..ada kasih tak sampai.. kisah yg selalu berujung kelabu, setidaknya sementara waktu..
BalasHapusKisah yg bagus mbak!
Semoga ya mbak....
Hapusair mata bagiku adalah sebuah keniscayaan. tanpa air.. bagimana hidup kita gersang dan akan mati
BalasHapusSetuju mbak Noorma. 👍
HapusDuuh mbak jd inget itu salah stau lagu kesukaanku. Aku ngefans banhet ama Padi hehe
BalasHapusSama mbak, aku juga suka banget sama lagu-lagu mereka.
Hapusyang ada di otakku masih pak dokter. Pagi nyonyah... :) Btw selamat rumah barunya ya Mbak. Semoga makin menginspirasi dan bikin tulisan2 yang cetar membahana.
BalasHapusItu lagu angkatan 90-an pasti tahu nggak ya... ^autobaperakut
Hihihihi....mupon mbak. Ketauan generasi tua ya mbak.😊
HapusAku baper, hiks.
BalasHapusKeputusan yang hebat, Mba Ina!�� ����
Semoga mbak ina istiqomah ya mbak.
Hapus