Serial Krisina (Part 1 : Sepenggal Kisah yang Harus Berakhir)


Sumber : Google



Aku sedang mengemas beberapa novel dan gantungan kunci pemberiannya. Benda-benda koleksi kesayangan ini rencananya akan kubagi-bagi ke orang-orang yang berminat untuk memilikinya. Tekadku sudah bulat. Walau rasanya tidak mungkin untuk melupakan dia, namun setidaknya aku berusaha secara total untuk tidak membangkitkan semua kenangan tentangnya. Dan mengenyahkan segala pemberiannya adalah satu cara yang kupilih.

Gawaiku bergetar. Dua untai pesan beruntun melalui aplikasi WA menghiasi layar. Tertulis namanya sebagai si pengirim. Tiga senja telah berlalu sejak pertemuan terakhir kami, dan selama itulah aku dan dia mengekang diri untuk mengakhiri semuanya. Benar-benar mengakhirinya, bukan  sekedar wacana “hangat-hangat tai ayam”, yang hanya berlangsung sekejab, namun setelahnya berulang lagi.

[Ini pesan terakhirku, kamu gak perlu membalasnya.]

[Pesan audio. Seuntai lagu dari Padi berjudul Kasih Tak Sampai.]

Kudengarkan pesan audio itu beberapa kali. Perasaanku kembali bermain. Beragam rasa berpadu jadi satu, namun rasa rindu-lah yang sangat dominan. Aku sangat merindukannya. Sangat...

Tiga hari tidak berkomunikasi dengan dia merupakan siksaan terberat yang pernah kurasakan . Diri ini mencoba menghalau rindu dengan cara bermesraan pada Sang Khalik.

Begitupun kali ini. Rindu itu begitu menggebu. Namun aku tak ingin kalah. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi di sudut kamar, menunaikan wudhu sesempurna mungkin. Setelahnya aku beranjak  untuk berdialog dengan Ilahi Rabbi. Mengadukan rindu yang tak mau menjauh, mengadukan beratnya mengabaikan bisikan-bisikan setan.

Kupasrahkan hati, jiwa, dan tubuh dalam keharibaanNya. Kuikhlaskan Dia membimbing diri ini menuju jalan yang lurus. Allah....ampuni aku. Beberapa saat aku berasyik masyuk dengan Sang Kuasa. Perlahan namun pasti, ketenangan mulai merasuki jiwa. Pikiranku kembali terbuka, hatiku kembali tentram.

Dalam kondisi terjaga dalam kewarasan, aku teringat pertemuan terakhir kami di Hari Minggu kemarin. Saat itu suamiku sedang ada kegiatan outbond dari perusahaannya di luar kota. Kesempatan ini kugunakan untuk  mengiriminya pesan, membuat janji untuk bertemu.

Bukan...bukan janji untuk memadu kasih atau menuntaskan rindu. Melainkan karena aku ingin menyelesaikan jalinan cinta terlarang antara diriku dengan Kris –duda paruh baya beranak dua-
  
@@@@@

“Ada apa, Na?”
“Kita akhiri semuanya sampai di sini.”
“Kenapa?” tanya-nya dengan nada terkejut.
“Kita sudah gak muda lagi. Semua yang kita lakukan ini sia-sia. Sebenarnya apa yang kita cari Kris?” tanyaku dengan nada suara bergetar.

Dia terdiam, menatapku lekat. Mungkin dia tidak mengira kalau pertemuan atas permintaanku ini justru merupakan ajakan untuk berpisah.  Ada berjuta kecewa bersemayam di bola mata cerdasnya. 

Sementara aku merasakan  berjuta sembilu mengiris-iris jiwa. Tanpa sungkan aku menangis di hadapannya. Aku mengurai air mata di depan lelaki yang mencintaiku dengan tulus, walaupun dia mengetahui statusku sebagai seorang istri dan ibu.

Melihatnya yang tak mampu berkata-kata, di sela-sela tangisan, aku kembali mengurai untaian kalimat.

“Tangisan ini jangan kamu jadikan alat untuk semakin menjeratku Kris. Aku menangis di depan kamu karena aku tau kamu itu lelaki baik-baik. Kamu pasti memahami posisiku yang terjepit.”

Aku melempar pandang ke arahnya. Tatapannya masih melekat erat ke netraku. Samar terlihat mata cerdas itu juga berkaca-kaca.

“Aku menangis untuk suamiku dan kamu. Ada rasa bersalah dan penyesalan yang begitu mendalam untuk suamiku. Dan ada rasa cinta yang tak terkatakan untuk kamu.” Aku meluapkankan segenap rasa yang menyesakkan dada. Luapan perasaan itu berbaur dengan bulir-bulir bening yang membasahi pipi. 

“Kenapa semuanya begitu tiba-tiba, Ina?” Nada suaranya lirih nyaris tak terdengar.
“Suami kamu mulai curiga?” lanjutnya.
“Gak...dia gak pernah tau tentang kamu. Aku merasa dikejar dosa Kris.”

@@@@@

Aku meneruskan  kembali kegiatan mengemas barang-barang pemberian Kris. Selama satu setengah tahun menjalin hubungan, dia sering memberiku hadiah. Dan hadiah itu selalu berupa buku atau gantungan kunci. Karena aku kerap menolak setiap dia ingin memberi hadiah berbentuk barang pribadi seperti perhiasan, tas, atau produk fashion lainnya.

Dia rajin menghadiahiku buku, karena tahu akan kegemaranku membaca. Sementara gantungan kunci, karena dia juga tahu kalau aku hobi mengkoleksi benda-benda tersebut. Koleksiku belum banyak, baru sekitar 50 item dari 40 negara. Dan lebih dari setengahnya adalah pemberian dia. Setiap ada rekan sejawatnya yang pergi ke luar negeri, dia selalu pesan untuk dibelikan gantungan kunci, dan nantinya benda itu akan dia berikan untukku.

Dan kini...semua benda-benda penuh kenangan ini akan menjumpai majikan-majikan baru mereka. Tadi suamiku sempat bertanya kenapa aku mengemas barang-barang tersebut. Kujawab saja, mau dibagi-bagikan karena kalau benda-benda ini hanya dijadikan koleksi dan terpajang tak berguna, aku takut dengan hisabnya. Hhhmmmm...berbohong ? Iya, tapi tidak seratus persen, karena jawabanku juga ada benarnya.

Suamiku sedang asyik di meja kerja, menghadapi laptop yang terlihat menyala. Kupandangi wajah lelaki yang setia mendampingi diri ini selama berpuluh tahun itu dari tempatku duduk. Dulu, aku pernah sangat mencintainya.

Aku rela meninggalkan duniaku hanya untuk mengayuh bahtera bersamanya. Kutinggalkan kota kelahiran dengan segala jejak-jejak kehidupan. Kutinggalkan ayah, ibu, keluarga, teman, pekerjaan, demi dia. Kutinggalkan semuanya karena aku mantap memilih dia sebagai imam.

Tapi kini rasa cinta yang dulu begitu menggebu ternyata bisa hilang, menguar tanpa bekas. Rasa cemburu yang kerap bergelayut manja di hati, kini menguap begitu saja. Aku tidak pernah lagi merindukannya. Bahkan yang paling parah, aku kehilangan sensasi erotis saat bersamanya.

Aku meraih gawai yang tergeletak di dekat tumpukan novel. Kupasang headset, memutar ulang pesan audio dari Kris.

Indah...terasa indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki
Namun bila itu semua...
Dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
Tak semudah seperti yang terbayang
Menyatukan perasaan kita

Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi kita
Berdua...berdua

Sudah...terlambat sudah
Kini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan ini

Kuhapus pesan audio tersebut. Kris lelaki yang baik,  dia punya profesi dan penampilan yang  sangat mendukung. Kalau dia masih punya keinginan untuk menikah, kudo’akan yang menjadi jodohnya nanti wanita baik-baik yang menyayanginya sepenuh hati.

Dan suamiku, walau semua rasa telah menguap, namun dia tetaplah imamku, pemegang kunci surgaku. 

@@@@@

Ada kesucian di air mata. Air mata bukan tanda kelemahan, tapi kekuatan. Air mata berbicara lebih fasih dari sepuluh ribu bahasa. Air mata adalah utusan kesedihan yang luar biasa, penyesalan mendalam, dan cinta yang tak terkatakan. [Washington Irving]












Posting Komentar

17 Komentar

  1. Cinta yang tak terkatakan :")) Nggak semua wanita bisa mengambil keputusan luar biasa seperti mbak Ina. :") Beberapa memilih membiarkan mengalir menjadi dosa begitu saja. Nggak sabar mau nunggu episode terbarunya 💙

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke mbak Ami, sabar menanti ya. Kira-kira mbak Ina Istiqomah apa gak ya.

      Hapus
  2. Duh mbaa baper bacanya, keras mengiris iris..

    BalasHapus
  3. Good ..write mungkin nanti next Eps.bisa lihat pergolakan batin ke dua sisi bisa lebih tergali lebih dalam jadi dramatis nya lebih kental bisa memahami lebih bijak

    BalasHapus
  4. Good ..write mungkin nanti next Eps.bisa lihat pergolakan batin ke dua sisi bisa lebih tergali lebih dalam jadi dramatis nya lebih kental bisa memahami lebih bijak

    BalasHapus
  5. Duuh..ada kasih tak sampai.. kisah yg selalu berujung kelabu, setidaknya sementara waktu..

    Kisah yg bagus mbak!

    BalasHapus
  6. air mata bagiku adalah sebuah keniscayaan. tanpa air.. bagimana hidup kita gersang dan akan mati

    BalasHapus
  7. Duuh mbak jd inget itu salah stau lagu kesukaanku. Aku ngefans banhet ama Padi hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama mbak, aku juga suka banget sama lagu-lagu mereka.

      Hapus
  8. yang ada di otakku masih pak dokter. Pagi nyonyah... :) Btw selamat rumah barunya ya Mbak. Semoga makin menginspirasi dan bikin tulisan2 yang cetar membahana.
    Itu lagu angkatan 90-an pasti tahu nggak ya... ^autobaperakut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihihi....mupon mbak. Ketauan generasi tua ya mbak.😊

      Hapus
  9. Aku baper, hiks.

    Keputusan yang hebat, Mba Ina!�� ����

    BalasHapus