The Doctor's Family (Jilid 16)







Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa, Jum’at kembali menyapa. Hanya tersisa dua hari lagi menjelang hari H. Ya, hari pernikahan putri sulungku, Edelweis dengan seorang duda beranak tiga, Maharaja.

Edel benar-benar membebaskan diriku dari segala hiruk pikuk urusan tetek bengek pernikahan. Dia dan Raja seratus persen menjalani komitmen mengurus semua kebutuhan mereka, walau tentunya dengan bantuan teman-teman yang ada di Semarang atau Yogya.

Bahkan ketika Pak Dokter dan diriku mengulurkan sejumlah dana untuk kebutuhan resepsi, gadisku dan calon suaminya menolak dengan halus dan santun. Mereka sudah bernazar ingin melangsungkan pernikahan dengan hasil jerih payah sendiri, tanpa merepotkan orang tua. 

Sekali waktu, ketika ada kebimbangan dalam menentukan satu keputusan tentang suatu hal, pasangan calon pengantin tersebut akan menghubungi  Pak Dokter, serta meminta pendapat dan pertimbangan Beliau. Tapi tidak dengan diriku, mereka tak pernah melibatkanku.

Mengenai hal ini, calon menantuku –Raja- sudah menjelaskannya. Bukan karena mereka tak menghargai, melainkan karena rasa sayang yang tuluslah hingga mereka tidak ingin konsentrasiku dalam menanti kehadiran Anggi menjadi terpecah.

Aku tersanjung dengan perhatian yang tercurah dari anak, calon menantu, dan suami terkasih. Namun di satu sisi, terselip rasa sedih karena sebagai ibu, diri ini tak mampu berkontribusi dalam pernikahan sang putri. Konon lagi sulungku ini yatim. Walau ada Pak Dokter sebagai Bapak Sambungan yang cukup perduli dan sayang padanya, namun tetap saja ada nuansa melankolis dalam menyambut hari bahagia Edel.

Edel dan Raja hanya memohon persetujuanku bahwa untuk acara pernikahannya nanti mereka tidak akan menggunakan prosesi adat sama sekali. Cukup acara ijab kabul sesuai syariat, di mana mempelai wanita tidak akan didudukkan berdampingan dengan mempelai pria, melainkan menunggu di satu ruangan lain hingga ijab kabul purna. Dan setelah ijab, diikuti oleh tausiah pernikahan yang akan diisi oleh salah seorang petinggi  ormas Islam terbesar di Yogya. Kemudian acara berlanjut dengan resepsi selama dua jam.

Edel sudah berada di rumah Semarang sejak Jum’at pagi. Dalam perjalanannya, dia sempatkan singgah ke Salatiga untuk menjemput mbak Sih dan suaminya. Kini ART ku tersebut ikut menginap  di kediaman keluarga Pak Dokter hingga hari Minggu. Beliau dan suaminya kuminta untuk menempati kamar Mentari. Sementara bungsu Pak Dokter tersebut untuk sementara mengungsi ke kamar Lintang.

Nanti malam Dhuha akan mendarat di Ahmad Yani. Beberapa keluarga dekat yang berada di luar propinsi dan luar pulau baru akan mendarat di Semarang pada hari Sabtu di jam yang berbeda-beda. Demikian juga dengan keluarga yang berasal dari sekitar Jawa tengah.

Mengingat keterbatasan ruang di rumah kami, nantinya para tamu itu akan sekalian menginap di lokasi resepsi. Pak Dokter sudah membooking sepuluh kamar di hotel bintang tiga yang terletak di Jalan Pandanaran tersebut. Hal ini selain untuk menghormati para tamu keluarga, juga untuk memudahkan mereka. 

Sementara sebagian keluarga yang lain memilih tempat menginap di luar lokasi resepsi sesuai keinginan dan kebutuhan mereka.


@@@@@


Rasa letih yang mendera diri membuatku segera masuk kamar begitu selesai menikmati makan malam dengan formasi berempat minus Pak Dokter dan Maghrib. Selepas sholat Isya, kedua lelakiku itu langsung meluncur ke bandara untuk menjemput Dhuha yang akan mendarat sekitar pukul 20.50. 

Ketika aku melangkahkan kaki menuju kamar, anak-anak masih asyik bercengkerama di ruang keluarga. Mereka diberi amanah oleh Pak Dokter untuk menunggu mobil rentalan yang sudah kami order. Pak Dokter memesan tiga mobil rental untuk sarana wira wiri bagi para tamu besok, karena jika hanya mengandalkan Mobilio Edel dan Pajero Pak Dokter, sudah pasti tidak akan mencukupi. Dan sesuai kesepakatan, kendaraan rentalan tersebut akan diantar ke rumah kami malam ini.

Mbak Sih dan suaminya berbaur dengan Mbak Kas dan Mbak Ramlah. Suami kedua ART Pak Dokter tersebut juga sudah berada di rumah kami, tapi  mereka tidak menginap karena lokasi tinggal yang masih di seputaran Semarang.  

Tanpa perlu kukomando, tiga pasang ART tersebut seolah memahami apa-apa saja yang harus dikerjakan.  Kondisi rumah kami tidak menampakkan tanda-tanda selayaknya keadaan rumah yang akan mengadakan hajat besar, karena semua kegiatan terfokus di hotel.  Namun tetap ada saja beberapa hal yang perlu dipersiapkan mengingat besok para tamu dari bandara akan singgah dulu ke rumah sebelum kami antar ke tempat menginap mereka. 

Begitu berada di kamar, aku segera berbaring untuk mengistirahatkan diri. Di penghujung kehamilan ini, aku benar-benar menjaga stamina dengan cukup beristirahat untuk cadangan tenaga saat persalinan nanti. Syukur alhamdulillah, secara keseluruhan keadaanku cukup stabil dan normal, tidak ada masalah berarti yang menganggu kehamilan istimewa ini. 

Bagiku kehamilan ini benar-benar suatu mukjizat dari sang Ilahi. Bagaimana tidak? Aku dan Pak Dokter menikah di usia tua. Di  usia pernikahan enam bulan, aku positif hamil. Dan selama masa kehamilan, Allah memberiku rezeki berupa kesehatan yang stabil. Sungguh, nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan.

Dengan segala kemudahan yang Allah limpahkan untuk diriku, setidaknya aku juga harus siap ketika sewaktu-waktu Yang Maha Kuasa memberi sedikit cobaan. Seperti yang terjadi malam ini. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 ketika aku terbangun dari tidur selepas makan malam karena merasakan kasur tempatku berbaring basah. Menyadari hal ini, diriku segera bangkit dan turun dari tempat tidur. Di waktu yang bersamaan, Pak Dokter memasuki kamar. Ternyata Beliau sudah pulang dari menjemput Dhuha.

“Njenengan belum tidur atau baru bangun?” Pak Dokter heran melihatku berdiri di samping tempat tidur namun dengan kondisi khas orang bangun tidur. Beliau langsung menghampiriku, mencium keningku sekilas, kemudian duduk di kursi meja kerja.

“Saya terbangun,  karena merasa kasurnya basah. Sepertinya ketuban saya pecah, Dok.”

Begitu mendengar kalimatku, Pak Dokter terlihat kaget. Beliau refleks berdiri, kemudian mengusapkan jari telunjuknya ke kasur yang basah. Setelah itu menciumnya, kemudian menggosokkan jari telunjuk tersebut ke ibu jarinya.

“Ho’oh bener.” Sambil berucap demikian, terlihat ekspresi campur aduk dalam raut wajah Pak Dokter.

Walau Beliau selalu memotivasi pasien untuk tenang dan rileks, tapi ketika satu kejadian tak terduga terjadi langsung pada diri Beliau, sifat alaminya muncul, kaget dan gugup. Kami memang sudah sama-sama pernah mengalami masa-masa menanti kelahiran anak, namun moment kali ini ternyata cukup membuatku dan Beliau surprised.

“KPD, maju dua minggu dari HPL,” lanjut Pak Dokter kemudian. Beliau sudah bisa menguasai rasa terkejutnya, dan aku juga berusaha untuk menyikapi hal ini setenang mungkin. Karena sangat kusadari, emosi yang tidak stabil bisa berpengaruh terhadap semua komponen tubuh.

“Njenengan duduk sini.” Beliau berujar sambil membimbingku duduk di kursi meja kerja. “Saya ambilkan baju ganti dan pembalut dulu,” lanjutnya sambil berjalan menuju lemari.

Setelah menemukan apa yang dicari,  Beliau membimbingku ke kamar mandi dan membantuku berganti baju.  Selesai diri ini menggunakan pembalut, Beliau membersihkan kedua kakiku yang tadi teraliri rembesan air ketuban dengan washlap basah, kemudian mengeringkannya dengan handuk.   Dan setelah purna, Beliau kembali membawaku ke peraduan.

“Duduk dulu ya, saya pasangkan perlak. Nanti saya tensi, terus Njenengan tidur miring ke kiri, untuk meminimalisir rembesan.”

Aku mematuhi titah dan perhatian lelaki istimewa itu sambil duduk di tepi tempat tidur. Pak Dokter mengambil perlak dari tumpukan peralatan bayi yang sudah kami persiapkan di lemari, kemudian memasangnya ke bagian tempat tidur yang kering, melapisinya dengan selembar kain. Setelahnya Beliau mengukur tekanan darahku. Alhamdulilalh hasilnya normal. Selepas itu, diri ini berbaring di atas perlak yang telah terhampar dengan posisi miring ke kiri.

Dalam melakoni semuanya, bahasa tubuh Beliau terlihat santai dan tenang. Hal ini sedikit banyak memberi energi positif padaku yang sedang diliputi perasaan gugup. 

Purna mengurus diriku, Pak Dokter membersihkan rembesan air ketuban yang membasahi kursi meja kerja dan lantai. Beliau melakukannya dengan luwes dan penuh keikhlasan. Melihat hal itu, aku berusaha untuk mencegahnya.

“Dok...,” panggilku pelan.

“Ya,” jawab Beliau seraya menghentikan aktivitasnya kemudian menatap ke arahku.

“Biar Mbak Sih aja yang bersihin. Beliau sudah biasa ngurus saya dari sejak Edel lahir.”

“Gak pa-pa, biar saya aja. Nanti  Mbak Sih suruh bersihkan yang di kasur,” ujar Beliau sambil melanjutkan bersih-bersihnya.

Setelah selesai, Beliau menghampiriku, mengelus kepalaku penuh kasih. 

“Saya manggil Edel dulu ya.”Aku tidak menjawab kalimatnya, melainkan hanya mengangguk kecil.

“Njenengan kenapa?” Melihatku tak berucap sepatah kata sejak tadi, lelakiku ini melempar seuntai tanya.

“Jangan tegang dan gelisah, ya. Rileks aja. Semuanya pasti baik-baik.” Sang lelaki tersayang itu memberi motivasi sembari mengecup  keningku. Selanjutnya, tatapan lembutnya nan penuh kasih terhujam tepat di bola mataku.

“Ya, Dok.” Jawabanku cukup singkat, namun mengandung beragam makna yang tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata,”Saya mau melahirkan normal ya, Dok,” lanjutku lagi.

“Insyaa Allah. Saya tinggal dulu, ya.” Pak Dokter seolah tak tega meninggalkanku sendiri.

Aku mengangguk, dan Beliau beranjak keluar kamar untuk memanggil sulungku.

“Dok....”Sebelum Beliau mencapai pintu, aku kembali memanggilnya.

“Ya.” Pak Dokter menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke arahku.

“Gak usah Edel, Dhuha aja,” pintaku pada Beliau.


@@@@@


Pak Dokter meminta Dhuha untuk mengantar aku dan Beliau ke rumah sakit. Aku bahkan belum sempat bercengkerama dan melepas kangen dengan si tengah. Sebenarnya tadi semua anak-anak ingin ikut mengantar ke rumah sakit, tapi Pak Dokter melarang, begitu juga aku. 

Ada rasa lucu melihat respon semua anak ketika mereka begitu antusias ingin ikut ke rumah sakit. Bisa dibayangkan bagaimana hebohnya rumah sakit tujuan kami ketika tepat tengah malam didatangi seorang ibu usia paruh baya yang sudah pecah ketuban, didampingi seorang suami yang juga berusia paruh baya, serta diantar oleh segerombolan anak remaja dan dewasa dalam proses menjelang kelahirannya.

Kami tiba di rumah sakit ketika waktu hampir mencapai pukul 24.00. Sebuah rumah sakit ibu dan anak yang terletak di kawasan Kalisari Baru, tempat aku rutin memeriksakan kandungan. Pak Dokter memilih rumah sakit ini karena walau bukan rumah sakit besar tapi pelayanannya bagus. Juga karena dokter spesialis kandungan yang menanganiku merupakan teman baik Pak Dokter yang kebetulan bertugas di RSIA ini.

Kedatangan kami di luar jam kerja, sehingga diriku langsung dibawa ke UGD, tidak melalui poli. Aku langsung ditangani oleh dokter jaga. Seorang  bidan jaga  memeriksa detak jantung bayi, gerakan bayi, dan pembukaan jalan lahir. Ternyata walau ketuban sudah merembes, tapi masih pembukaan satu. Selain itu mbak bidan juga mengukur tekanan darahku. Selanjutnya Beliau berkomunikasi dengan dokter kandungan yang menanganiku melalui telphone. 

Sementara Papa Lintang langung menuju bagian administrasi untuk mengurus pendaftaran. Dhuha duduk di kursi di samping bed, dia setia mendampingiku. Si tengah ini tak sedetikpun melepas genggaman tangannya dari tanganku. Dengan lembut, berulang kali dia membisikkan kata-kata indah di telinga, bahwa aku pasti kuat menjalani semua ini. 

Selesai dengan urusan administrasi, Papa Lintang menghampiri kami. Sejurus kemudian mbak Bidan memanggil Beliau. Terlihat Beliau menyampaikan apa-apa yang menjadi titah sang Dokter kepada Papanya Lintang. Namun aku tak bisa mendengar percakapan mereka karena posisi kami berjarak.

Di saat mbak bidan mempersiapkan segala sesuatunya, Pak Dokter menghampiriku. Dhuha berdiri dan mempersilahkan Pak Dokter duduk di kursi yang tadi dia tempati.

“Perintah dokter Taufan, Njenengan harus menjalani proses induksi. Persalinan harus segera dilakukan, tekanan darah Njenengan tinggi.” Pak Dokter menyampaikan pesan dokter kandunganku yang ditransfer melalui  mbak bidan.

Walau Beliau menyampaikan kalimat-kalimat tersebut dengan sangat tenang, namun aku tahu kalau sesungguhnya Beliau sedang galau.

“Njenengan mikir apa? Kok tensinya bisa melesat begitu tinggi. Tadi waktu saya ukur di rumah normal,” lanjut Beliau.

“Saya gak mikir apa-apa, Dok,” jawabku pelan. Diri ini berusaha menutupi seberkas gelisah yang menyelimuti hati. 

Pak Dokter menatapku lekat. Sejurus kemudian beliau mengelus kepalaku yang terlapisi jilbab.

“Njenengan gak usah takut. Semua baik-baik saja. Saya tau kalau Njenengan itu wanita tangguh. Saya selalu ada untuk Njenengan. Saya akan dampingi Njenengan terus, sampai proses persalinan selesai. Kuat ya, my lovely honey.” Di depan anak lajangku, Lelaki terkasih tersebut mencoba memompa semangat dan memberi suntikan kekuatan untukku.

Kuakui keberadaan dan kalimat motivasi dari Beliau memang sangat memberi energi positif. Tapi tak bisa dipungkiri, jadwal persalinan yang maju dua minggu ini membuat pikiranku bercabang.

“Besok Ahad, siapa yang akan mendampingi Edel, ya Dok?” Akhirnya aku tak mampu menutupi kegelisahan yang sejak tadi bersemayam di kalbu.

Mendengar tanyaku, Beliau seolah tak mampu berkata-kata. Mbak Bidan dan seorang perawat datang menghampiri kami. Mereka  bersiap membawaku ke ruang pra-persalinan.

Ruang pra-persalinan diperuntukkan bagi ibu yang menantikan masa  persalinan. Selama proses pra-persalinan para ibu akan selalu diobservasi sampai pada proses persalinan, dan siap untuk masuk ke Delivery Room, atau ruang bersalin.

Begitu tiba di ruang pra persalinan, Mbak Bidan memulai proses induksi melalui infus. Setelah selesai, bidan cantik tersebut segera meninggalkan ruangan.  Namun ketika induksi baru berlangsung beberapa saat, aku merasa kesulitan untuk bernafas. Rasa sesak itu berawal dengan perlahan namun semakin lama semakin menguat.

“Dok...” Dengan nada lemah kucoba memanggil Sang Belahan Jiwa.

“Ya.” Pak Dokter yang duduk di samping bed langsung merespon panggilanku sambil menggenggam erat jari jemari istrinya.

Dhuha yang juga masih setia menemani, ikut mendekat mendengar suaraku.

“Saya sesak.” Mendengar kalimatku, Beliau refleks berdiri dari duduknya.

“Dhuha jaga Mama, Om ke Bidan jaga,” titah Beliau tegas kepada anak tirinya itu.

Tak perlu menjawab dengan kata-kata, Dhuha menggantikan posisi Pak Dokter. Tangan kanannya menggenggam erat jari jemariku, sementara tangan kirinya  mengelus-elus kepalaku dengan lembut. 

Beberapa saat berlalu, mbak bidan  kembali memasuki ruangan, kali ini diikuti oleh dokter jaga.  Proses induksi terpaksa dihentikan. Dokter jaga menyampaikan, berdasarkan konsultasi dengan dokter kandungan, aku harus segera dipindah ke ruang HCU (High Care Unit). 

High Care Unit diperuntukkan bagi pasien yang membutuhkan pemantauan secara kontinyu. Pasien yang dirawat di ruang ini bukan dilihat dari jenis penyakitnya, melainkan lebih kepada kegawatan kondisinya. Jadi pasien yang di rawat di sini memiliki dua kemungkinan, membaik atau memburuk. Kalau kondisi pasien memburuk maka segera dikirim ke ICU, sementara jika kondisi pasien membaik, dipindah ke ruang perawatan, atau ke Delivery Room untuk pasien seperti diriku.

Setelah diriku mapan di ruang HCU, Pak Dokter meminta Dhuha untuk pulang, karena pasien diruang ini memang tidak boleh ditemani oleh penunggu. Namun dengan sedikit negosiasi dan nepotisme, Pak Dokter diperkenankan untuk menemaniku malam itu.

Jujur, perasaan tak nyaman mulai menghantui diri. Keyakinan untuk bisa melahirkan secara normal mendadak surut. Aneka bayangan tak jelas berkelebat di benak. Tubuhku terasa lemas. Dengan masker oksigen terpasang di wajah, satu-satunya pemacu semangat untuk terus berjuang dalam kondisi berat ini adalah keberadaan Pak Dokter di sisiku, dan juga bayangan tubuh mungil Anggi yang masih bersemanyam di rahim. Namun di satu sisi, aku juga sudah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi, bahkan untuk yang terburuk sekalipun.

Tanpa disadari, sudut mataku terasa memanas. Pak Dokter menghapus bulir bening yang jatuh  menuruni pelipisku dengan jari jemarinya.

“Jangan nangis, saya selalu ada untuk Njenengan.” Suara Pak Dokter terdengar lembut, namun ada getaran dalam alunannya.

Aku membalas genggaman tangan Beliau sebagai respon atas ucapannya. Selanjutnya, terdengar Beliau memanggil namaku dengan lembut dan penuh kasih. Sesuatu yang belum pernah Beliau lakukan sejak awal perkenalan hingga sepanjang usia pernikahan kami. Mendengar nada panggilan Beliau yang begitu sarat makna, bulir bening kembali jatuh dari sudut mataku, dan Beliau kembali menghapusnya.

“Berjuanglah untuk saya dan anak-anak. Njenengan kuat, Njenengan tangguh.”


@@@@@


Perjuangan panjang nan penuh lika-liku, disertai dengan beragam drama, akhirnya memberikan hasil yang maksimal. 

Seorang bayi perempuan mungil, yang lahir dengan berat tiga kilogram, berhasil meluncur dengan mulus dari rahimku walau harus melalui proses SC. Ya, setelah 24 jam di ruang HCU, dokter kandunganku menyampaikan kepada Papa Lintang bahwa diriku terlalu beresiko untuk persalinan normal.

Meskipun cita-cita  melahirkan normal tidak terwujud, namun Allah masih memberiku jatah hidup untuk mengasuh Anggi, bidadari kecil kami.

Setelah selesai SC, aku kembali bermalam di ruang HCU selama 24 jam. Dan ini merupakan hari pertama aku dipindah ke ruang perawatan.

“Dok, saya mo lihat Anggi.” Aku meminta Pak Dokter untuk membawakan Anggi.

Karena kondisi Anggi sehat dan stabil, kami lebih memilih program rooming in (rawat gabung), sehingga Anggi dan aku bisa berada di ruang yang sama sepanjang waktu.
Pak Dokter mengambil Anggi dari box-nya, menggendongnya perlahan, kemudian meletakkan malaikat mungil tersebut ke sisiku.

“Buah cinta kita,” ujar Beliau penuh suka cita.

Kupandangi bayi mungil yang kini tertidur di sebelahku. Perlahan, mata bayi mungil itu terbuka, berkejap pelan tak tentu arah. Dengan rambut lebat dan pekat serta kulit yang putih bersih, Anggi begitu mempesona. Hidung bangir serta jidat lebar Pak Dokter berpadu dengan mata sipitku, terukir di wajah mungil tersebut. Aku memandangi hasil kerja bakti diriku dan Pak Dokter tersebut dengan penuh kekaguman.

Ketika diriku mengalihkan pandang kepada Pak Dokter, ternyata Beliau sedang menatapku lekat. Tatapannya penuh binar dan sarat makna.

”Terima kasih sudah berjuang untuk saya dan anak-anak,” ujar Beliau sambil mencium keningku, kemudian mengecup bibirku lembut.

Aku terharu mendengar kalimat dan melihat perlakuan Beliau padaku.

“Saya juga makasih, Dok. Njenengan sudah menyemangati saya. Sebenarnya kemarin saya sudah ikhlas apapun yang terjadi. Tapi mendengar Njenengan memanggil nama saya sedemikian rupa, semangat saya langsung bangkit. Saya belum ingin berpisah dengan Njenengan.”

Entah karena efek mendengar ucapanku, atau karena rasa gembira yang meluap, Beliau kembali mencium keningku.

“Kita kasih nama siapa, Dok?” lanjutku.

“Kalau mengikuti Lintang dan Mentari, cocoknya kita kasih nama Pelangi. Tapi kalau mengikuti Dhuha dan Maghrib, masak sih mo kita kasih nama Tahajud atau Witir.” 

Demi menjaga luka pasca SC-ku, aku berusaha menahan tawa mendengar ucapan Pak Dokter.

“Njenengan jangan guyon gitu tho, Dok. Saya capek nih nahan tawa.”

Lagi-lagi Pak Dokter  mengecup keningku, kemudian berkali-kali menghujani pipiku dengan ciuman. Beliau terlihat begitu bahagia dan terbebas dari beban berat.

“Njenengan ternyata gak pinter bikin anak laki-laki ya, Dok.” Aku mencoba merespon sikap beliau yang begitu sumringah dengan menggodanya.

Beliau tertawa mendengar ucapanku. Tak mau kalah, Pak Dokter juga balas menggodaku.

“Besok kita bikin lagi, ya. Kita pake metode baru biar bisa jadi anak laki-laki. Saya selalu siap setiap saat asalkan Njenengan juga siap.” 

Mendengar ucapan Pak Dokter, tanganku refleks mencubit lengan Beliau yang berada di dekatku. Biasanya aku lebih memilih untuk mencubit perut, namun karena kali ini tanganku tak mampu menggapainya, maka lenganpun jadilah.

Terdengar suara ketukan di pintu, disusul dengan kemunculan Edel dan Maharaja. Ternyata jam bezuk sudah berlangsung.

Hatiku membuncah bahagia bercampur sedih melihat kedatangan Edel. Dengan sangat terpaksa aku tidak bisa mendampingi Edel di hari bahagianya, begitu juga dengan Pak Dokter. Edel meminta Pak Dokter untuk fokus menjagaku di rumah sakit. Dia tahu bahwa keberadaan Pak Dokter di sisiku sangat penting sebagai pemompa semangat.

Anak gadisku itu sangat memahami situasi dan kondisi yang terjadi di detik-detik hari H pernikahannya. Dia bersikap taktis dan dewasa. 

Hari Sabtu pagi ketika aku masih di ruang HCU, Edel menelphone Pak Dokter. Dia meminta bantuan Papa tirinya untuk berbicara kepada Pakdhe Yudha dan istri – kakaknya almarhum Pak Wicaksono- untuk mendampingi Edel di pelaminan selama resepsi berlangsung. Pakdhe Yudha ini juga bertindak sebagai wali nikah Edel.

Para kerabat dan keluarga dari luar pulau dan propinsi yang sedianya datang ke Semarang untuk menghadiri pernikahan Edel, akhirnya turut menyempatkan diri menjenguk keberadaan diriku di rumah sakit. Namun karena terbentur aturan untuk membezuk di ruang HCU dibatasi dua orang pengunjung, para sanak keluarga tersebut hanya bisa menjengukku sekejab-sekejab secara bergantian.

Dan aku bahkan tak bisa mengucapkan terima kasih ketika di Minggu sore dan Senin pagi secara bertahap mereka mulai kembali ke kota masing-masing.

Pak Dokter memberi amanah kepada anak-anak untuk selalu siap sedia melayani dan menyambut para tamu dengan fasilitas yang ada sebaik mungkin. Jadi dalam situasi ini, Edel melakoni peran ganda, sebagai pengantin dan juga tuan rumah.

Edel langsung menuju ke Pak Dokter, menyalami Beliau dengan takzim. Maharaja mengikuti perbuatan sang istri menyalami Papa Mertuanya. Selanjutnya Edel menghampiriku di pembaringan. Dia mengecup kedua pipi dan keningku. Aku tak mampu menghalau bulir bening yang jatuh perlahan ke pelipis.

“Mama jangan sedih lagi,” ujarnya sambil menghapus air mata di pelipisku, “Semua sudah berakhir happy ending. Anggi sudah lahir, Mama sehat dan selamat, pernikahanku berjalan lancar. Aku sangat memahami kondisi Mama dan Papa, jadi gak ada sedikitpun perasaan kecewa ketika Mama dan Papa gak bisa mendampingi,” lanjutnya.

“Kamu dari hotel atau sudah pulang dulu ke rumah?” Aku merespon ujaran panjang Edel dengan sebuah tanya.

Pasangan pengantin ini mendapat bonus menginap gratis selama semalam di hotel tempat berlangsungnya resepsi.

“Dari hotel, Ma. Tadi langsung check out, terus singgah sini mumpung masih ada waktu bezuk.”

Kemudian Edel meraih Anggi dari pembaringan ke dalam gendongannya, sementara sang suami menghampiri dan menyalamiku sembari melempar seuntai tanya.

“Gimana kondisinya, Ma? Sudah sehat kan, Ma?” Menantu baruku itu mencoba berbasa-basi. Kini dia sudah tak canggung lagi dengan masalah “panggilan”. Karena sudah resmi berstatus menantu, dengan luwes dia ikut menyapaku dan Pak Dokter dengan sebutan Mama Papa.

“Dek Anggi cantik banget, Ma,”ujar Edel spontan mengagumi buah cintaku dan Pak Dokter, “Hidungnya mancung banget. Tapi kok wajahnya mirip Dhuha ya, Ma. Gak mirip aku atau Lintang gitu.” Sulungku memberi review mendetail tentang keberadaan si mungil. Pak Dokter dan Raja tertawa mendengar kalimat-kalimat Edel.

“Rencana mau dikasih nama siapa, Pa?” Maharaja mengajukan tanya kepada Pak Dokter. Kedua lelaki tersebut kini duduk berdampingan di sofa panjang.

“Pelangi.” Aku mendahului Pak Dokter menjawab pertanyaan Raja.

“Tetap dipanggil Anggi ya, Ma,” pinta Edel tulus,” Adek-adek siang ini juga mo ke sini. Dhuha ambil cuti mendadak dua hari. Besok sore dia baru balik.” Edel melanjutkan kalimatnya.

“Kemarin sore yang ngantar Mbak Sih siapa?” Tiba-tiba diri ini teringat kepada ART-ku.

“Dhuha sama Maghrib. Lintang sama Mentari nganter tante Wahyu sama budhe Nana ke bandara,” ujar Edel sambil menyebut nama adik Pak Wicaksono dan nama kakakku.

Dia masih asyik menggendong adik bungsunya. Pembawaannya cukup luwes, dan ternyata Pak Dokter juga menangkap keluwesan sikap Edel tersebut.

“Edel udah cocok tuh gendong bayi. Berarti tahun depan, Pelangi udah bisa punya ponakan nih.” Pak Dokter menggoda sulungku dan menantunya.

Maharaja tertawa kecil mendengar kalimat Pak Dokter. Sementara gadis manisku itu spontan dan tanpa basa-basi menjawab guyonan Pak Dokter.

“Belum sempat uji coba, Pa. Masih tersegel karena masih galau mikirin Mama,” jawabnya  tanpa sungkan.

Tawa kedua mantan duda tersebut pecah mendengar jawaban lugas Edel. Berbarengan dengan itu terdengar suara ketukan di daun pintu, diikuti ucapan salam bersahutan. Dhuha dan adik-adiknya muncul dari balik pintu.

Keluarga Pak Dokter dengan formasi lengkap plus menantu baru,  berkumpul di ruang perawatan VIP RSIA di satu sudut kota Semarang, menyambut launchingnya Sang Pelangi Kehidupan.












Posting Komentar

0 Komentar