Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa, Jum’at kembali
menyapa. Hanya tersisa dua hari lagi menjelang hari H. Ya, hari pernikahan
putri sulungku, Edelweis dengan seorang duda beranak tiga, Maharaja.
Edel benar-benar membebaskan diriku dari segala hiruk pikuk
urusan tetek bengek pernikahan. Dia dan Raja seratus persen menjalani komitmen
mengurus semua kebutuhan mereka, walau tentunya dengan bantuan teman-teman yang
ada di Semarang atau Yogya.
Bahkan ketika Pak Dokter dan diriku mengulurkan sejumlah dana
untuk kebutuhan resepsi, gadisku dan calon suaminya menolak dengan halus dan
santun. Mereka sudah bernazar ingin melangsungkan pernikahan dengan hasil jerih
payah sendiri, tanpa merepotkan orang tua.
Sekali waktu, ketika ada kebimbangan dalam menentukan satu
keputusan tentang suatu hal, pasangan calon pengantin tersebut akan
menghubungi Pak Dokter, serta meminta
pendapat dan pertimbangan Beliau. Tapi tidak dengan diriku, mereka tak pernah
melibatkanku.
Mengenai hal ini, calon menantuku –Raja- sudah
menjelaskannya. Bukan karena mereka tak menghargai, melainkan karena rasa
sayang yang tuluslah hingga mereka tidak ingin konsentrasiku dalam menanti
kehadiran Anggi menjadi terpecah.
Aku tersanjung dengan perhatian yang tercurah dari anak,
calon menantu, dan suami terkasih. Namun di satu sisi, terselip rasa sedih
karena sebagai ibu, diri ini tak mampu berkontribusi dalam pernikahan sang
putri. Konon lagi sulungku ini yatim. Walau ada Pak Dokter sebagai Bapak
Sambungan yang cukup perduli dan sayang padanya, namun tetap saja ada nuansa
melankolis dalam menyambut hari bahagia Edel.
Edel dan Raja hanya memohon persetujuanku bahwa untuk acara
pernikahannya nanti mereka tidak akan menggunakan prosesi adat sama sekali.
Cukup acara ijab kabul sesuai syariat, di mana mempelai wanita tidak akan
didudukkan berdampingan dengan mempelai pria, melainkan menunggu di satu
ruangan lain hingga ijab kabul purna. Dan setelah ijab, diikuti oleh tausiah
pernikahan yang akan diisi oleh salah seorang petinggi ormas Islam terbesar di Yogya. Kemudian acara
berlanjut dengan resepsi selama dua jam.
Edel sudah berada di rumah Semarang sejak Jum’at pagi. Dalam
perjalanannya, dia sempatkan singgah ke Salatiga untuk menjemput mbak Sih dan
suaminya. Kini ART ku tersebut ikut menginap
di kediaman keluarga Pak Dokter hingga hari Minggu. Beliau dan suaminya
kuminta untuk menempati kamar Mentari. Sementara bungsu Pak Dokter tersebut
untuk sementara mengungsi ke kamar Lintang.
Nanti malam Dhuha akan mendarat di Ahmad Yani. Beberapa
keluarga dekat yang berada di luar propinsi dan luar pulau baru akan mendarat
di Semarang pada hari Sabtu di jam yang berbeda-beda. Demikian juga dengan
keluarga yang berasal dari sekitar Jawa tengah.
Mengingat keterbatasan ruang di rumah kami, nantinya para
tamu itu akan sekalian menginap di lokasi resepsi. Pak Dokter sudah membooking
sepuluh kamar di hotel bintang tiga yang terletak di Jalan Pandanaran tersebut.
Hal ini selain untuk menghormati para tamu keluarga, juga untuk memudahkan
mereka.
Sementara sebagian keluarga yang lain memilih tempat menginap
di luar lokasi resepsi sesuai keinginan dan kebutuhan mereka.
@@@@@
Rasa letih yang mendera diri membuatku segera masuk kamar
begitu selesai menikmati makan malam dengan formasi berempat minus Pak Dokter
dan Maghrib. Selepas sholat Isya, kedua lelakiku itu langsung meluncur ke
bandara untuk menjemput Dhuha yang akan mendarat sekitar pukul 20.50.
Ketika aku melangkahkan kaki menuju kamar, anak-anak masih
asyik bercengkerama di ruang keluarga. Mereka diberi amanah oleh Pak Dokter
untuk menunggu mobil rentalan yang sudah kami order. Pak Dokter memesan tiga
mobil rental untuk sarana wira wiri bagi para tamu besok, karena jika hanya
mengandalkan Mobilio Edel dan Pajero Pak Dokter, sudah pasti tidak akan
mencukupi. Dan sesuai kesepakatan, kendaraan rentalan tersebut akan diantar ke
rumah kami malam ini.
Mbak Sih dan suaminya berbaur dengan Mbak Kas dan Mbak Ramlah.
Suami kedua ART Pak Dokter tersebut juga sudah berada di rumah kami, tapi mereka tidak menginap karena lokasi tinggal
yang masih di seputaran Semarang.
Tanpa perlu kukomando, tiga pasang ART tersebut seolah
memahami apa-apa saja yang harus dikerjakan.
Kondisi rumah kami tidak menampakkan tanda-tanda selayaknya keadaan
rumah yang akan mengadakan hajat besar, karena semua kegiatan terfokus di
hotel. Namun tetap ada saja beberapa hal
yang perlu dipersiapkan mengingat besok para tamu dari bandara akan singgah
dulu ke rumah sebelum kami antar ke tempat menginap mereka.
Begitu berada di kamar, aku segera berbaring untuk
mengistirahatkan diri. Di penghujung kehamilan ini, aku benar-benar menjaga
stamina dengan cukup beristirahat untuk cadangan tenaga saat persalinan nanti.
Syukur alhamdulillah, secara keseluruhan keadaanku cukup stabil dan normal,
tidak ada masalah berarti yang menganggu kehamilan istimewa ini.
Bagiku kehamilan ini benar-benar suatu mukjizat dari sang
Ilahi. Bagaimana tidak? Aku dan Pak Dokter menikah di usia tua. Di usia pernikahan enam bulan, aku positif
hamil. Dan selama masa kehamilan, Allah memberiku rezeki berupa kesehatan yang
stabil. Sungguh, nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan.
Dengan segala kemudahan yang Allah limpahkan untuk diriku,
setidaknya aku juga harus siap ketika sewaktu-waktu Yang Maha Kuasa memberi
sedikit cobaan. Seperti yang terjadi malam ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 ketika aku terbangun dari
tidur selepas makan malam karena merasakan kasur tempatku berbaring basah.
Menyadari hal ini, diriku segera bangkit dan turun dari tempat tidur. Di waktu
yang bersamaan, Pak Dokter memasuki kamar. Ternyata Beliau sudah pulang dari
menjemput Dhuha.
“Njenengan belum tidur atau baru bangun?” Pak Dokter heran
melihatku berdiri di samping tempat tidur namun dengan kondisi khas orang
bangun tidur. Beliau langsung menghampiriku, mencium keningku sekilas, kemudian
duduk di kursi meja kerja.
“Saya terbangun,
karena merasa kasurnya basah. Sepertinya ketuban saya pecah, Dok.”
Begitu mendengar kalimatku, Pak Dokter terlihat kaget. Beliau
refleks berdiri, kemudian mengusapkan jari telunjuknya ke kasur yang basah.
Setelah itu menciumnya, kemudian menggosokkan jari telunjuk tersebut ke ibu
jarinya.
“Ho’oh bener.” Sambil berucap demikian, terlihat ekspresi campur
aduk dalam raut wajah Pak Dokter.
Walau Beliau selalu memotivasi pasien untuk tenang dan
rileks, tapi ketika satu kejadian tak terduga terjadi langsung pada diri
Beliau, sifat alaminya muncul, kaget dan gugup. Kami memang sudah sama-sama
pernah mengalami masa-masa menanti kelahiran anak, namun moment kali ini
ternyata cukup membuatku dan Beliau surprised.
“KPD, maju dua minggu dari HPL,” lanjut Pak Dokter kemudian.
Beliau sudah bisa menguasai rasa terkejutnya, dan aku juga berusaha untuk
menyikapi hal ini setenang mungkin. Karena sangat kusadari, emosi yang tidak
stabil bisa berpengaruh terhadap semua komponen tubuh.
“Njenengan duduk sini.” Beliau berujar sambil membimbingku
duduk di kursi meja kerja. “Saya ambilkan baju ganti dan pembalut dulu,”
lanjutnya sambil berjalan menuju lemari.
Setelah menemukan apa yang dicari, Beliau membimbingku ke kamar mandi dan membantuku
berganti baju. Selesai diri ini
menggunakan pembalut, Beliau membersihkan kedua kakiku yang tadi teraliri
rembesan air ketuban dengan washlap basah, kemudian mengeringkannya dengan
handuk. Dan setelah purna, Beliau kembali membawaku ke
peraduan.
“Duduk dulu ya, saya pasangkan perlak. Nanti saya tensi,
terus Njenengan tidur miring ke kiri, untuk meminimalisir rembesan.”
Aku mematuhi titah dan perhatian lelaki istimewa itu sambil
duduk di tepi tempat tidur. Pak Dokter mengambil perlak dari tumpukan peralatan
bayi yang sudah kami persiapkan di lemari, kemudian memasangnya ke bagian
tempat tidur yang kering, melapisinya dengan selembar kain. Setelahnya Beliau
mengukur tekanan darahku. Alhamdulilalh hasilnya normal. Selepas itu, diri ini
berbaring di atas perlak yang telah terhampar dengan posisi miring ke kiri.
Dalam melakoni semuanya, bahasa tubuh Beliau terlihat santai
dan tenang. Hal ini sedikit banyak memberi energi positif padaku yang sedang
diliputi perasaan gugup.
Purna mengurus diriku, Pak Dokter membersihkan rembesan air
ketuban yang membasahi kursi meja kerja dan lantai. Beliau melakukannya dengan luwes
dan penuh keikhlasan. Melihat hal itu, aku berusaha untuk mencegahnya.
“Dok...,” panggilku pelan.
“Ya,” jawab Beliau seraya menghentikan aktivitasnya kemudian
menatap ke arahku.
“Biar Mbak Sih aja yang bersihin. Beliau sudah biasa ngurus
saya dari sejak Edel lahir.”
“Gak pa-pa, biar saya aja. Nanti Mbak Sih suruh bersihkan yang di kasur,” ujar Beliau
sambil melanjutkan bersih-bersihnya.
Setelah selesai, Beliau menghampiriku, mengelus kepalaku
penuh kasih.
“Saya manggil Edel dulu ya.”Aku tidak menjawab kalimatnya,
melainkan hanya mengangguk kecil.
“Njenengan kenapa?” Melihatku tak berucap sepatah kata sejak
tadi, lelakiku ini melempar seuntai tanya.
“Jangan tegang dan gelisah, ya. Rileks aja. Semuanya pasti
baik-baik.” Sang lelaki tersayang itu memberi motivasi sembari mengecup keningku. Selanjutnya, tatapan lembutnya nan
penuh kasih terhujam tepat di bola mataku.
“Ya, Dok.” Jawabanku cukup singkat, namun mengandung beragam
makna yang tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata,”Saya mau melahirkan normal
ya, Dok,” lanjutku lagi.
“Insyaa Allah. Saya tinggal dulu, ya.” Pak Dokter seolah tak
tega meninggalkanku sendiri.
Aku mengangguk, dan Beliau beranjak keluar kamar untuk
memanggil sulungku.
“Dok....”Sebelum Beliau mencapai pintu, aku kembali
memanggilnya.
“Ya.” Pak Dokter menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke
arahku.
“Gak usah Edel, Dhuha aja,” pintaku pada Beliau.
@@@@@
Pak Dokter meminta Dhuha untuk mengantar aku dan Beliau ke
rumah sakit. Aku bahkan belum sempat bercengkerama dan melepas kangen dengan si
tengah. Sebenarnya tadi semua anak-anak ingin ikut mengantar ke rumah sakit,
tapi Pak Dokter melarang, begitu juga aku.
Ada rasa lucu melihat respon semua anak ketika mereka begitu
antusias ingin ikut ke rumah sakit. Bisa dibayangkan bagaimana hebohnya rumah
sakit tujuan kami ketika tepat tengah malam didatangi seorang ibu usia paruh baya
yang sudah pecah ketuban, didampingi seorang suami yang juga berusia paruh
baya, serta diantar oleh segerombolan anak remaja dan dewasa dalam proses
menjelang kelahirannya.
Kami tiba di rumah sakit ketika waktu hampir mencapai pukul
24.00. Sebuah rumah sakit ibu dan anak yang terletak di kawasan Kalisari Baru,
tempat aku rutin memeriksakan kandungan. Pak Dokter memilih rumah sakit ini
karena walau bukan rumah sakit besar tapi pelayanannya bagus. Juga karena dokter
spesialis kandungan yang menanganiku merupakan teman baik Pak Dokter yang kebetulan
bertugas di RSIA ini.
Kedatangan kami di luar jam kerja, sehingga diriku langsung
dibawa ke UGD, tidak melalui poli. Aku langsung ditangani oleh dokter jaga.
Seorang bidan jaga memeriksa detak jantung bayi, gerakan bayi,
dan pembukaan jalan lahir. Ternyata walau ketuban sudah merembes, tapi masih pembukaan
satu. Selain itu mbak bidan juga mengukur tekanan darahku. Selanjutnya Beliau
berkomunikasi dengan dokter kandungan yang menanganiku melalui telphone.
Sementara Papa Lintang langung menuju bagian administrasi
untuk mengurus pendaftaran. Dhuha duduk di kursi di samping bed, dia setia
mendampingiku. Si tengah ini tak sedetikpun melepas genggaman tangannya dari
tanganku. Dengan lembut, berulang kali dia membisikkan kata-kata indah di
telinga, bahwa aku pasti kuat menjalani semua ini.
Selesai dengan urusan administrasi, Papa Lintang menghampiri
kami. Sejurus kemudian mbak Bidan memanggil Beliau. Terlihat Beliau
menyampaikan apa-apa yang menjadi titah sang Dokter kepada Papanya Lintang.
Namun aku tak bisa mendengar percakapan mereka karena posisi kami berjarak.
Di saat mbak bidan mempersiapkan segala sesuatunya, Pak
Dokter menghampiriku. Dhuha berdiri dan mempersilahkan Pak Dokter duduk di
kursi yang tadi dia tempati.
“Perintah dokter Taufan, Njenengan harus menjalani proses
induksi. Persalinan harus segera dilakukan, tekanan darah Njenengan tinggi.” Pak
Dokter menyampaikan pesan dokter kandunganku yang ditransfer melalui mbak bidan.
Walau Beliau menyampaikan kalimat-kalimat tersebut dengan
sangat tenang, namun aku tahu kalau sesungguhnya Beliau sedang galau.
“Njenengan mikir apa? Kok tensinya bisa melesat begitu
tinggi. Tadi waktu saya ukur di rumah normal,” lanjut Beliau.
“Saya gak mikir apa-apa, Dok,” jawabku pelan. Diri ini
berusaha menutupi seberkas gelisah yang menyelimuti hati.
Pak Dokter menatapku lekat. Sejurus kemudian beliau mengelus
kepalaku yang terlapisi jilbab.
“Njenengan gak usah takut. Semua baik-baik saja. Saya tau
kalau Njenengan itu wanita tangguh. Saya selalu ada untuk Njenengan. Saya akan
dampingi Njenengan terus, sampai proses persalinan selesai. Kuat ya, my lovely
honey.” Di depan anak lajangku, Lelaki terkasih tersebut mencoba memompa
semangat dan memberi suntikan kekuatan untukku.
Kuakui keberadaan dan kalimat motivasi dari Beliau memang
sangat memberi energi positif. Tapi tak bisa dipungkiri, jadwal persalinan yang
maju dua minggu ini membuat pikiranku bercabang.
“Besok Ahad, siapa yang akan mendampingi Edel, ya Dok?”
Akhirnya aku tak mampu menutupi kegelisahan yang sejak tadi bersemayam di
kalbu.
Mendengar tanyaku, Beliau seolah tak mampu berkata-kata. Mbak
Bidan dan seorang perawat datang menghampiri kami. Mereka bersiap membawaku ke ruang pra-persalinan.
Ruang pra-persalinan diperuntukkan bagi ibu yang menantikan
masa persalinan. Selama proses
pra-persalinan para ibu akan selalu diobservasi sampai pada proses persalinan,
dan siap untuk masuk ke Delivery Room, atau ruang bersalin.
Begitu tiba di ruang pra persalinan, Mbak Bidan memulai
proses induksi melalui infus. Setelah selesai, bidan cantik tersebut segera
meninggalkan ruangan. Namun ketika
induksi baru berlangsung beberapa saat, aku merasa kesulitan untuk bernafas.
Rasa sesak itu berawal dengan perlahan namun semakin lama semakin menguat.
“Dok...” Dengan nada lemah kucoba memanggil Sang Belahan
Jiwa.
“Ya.” Pak Dokter yang duduk di samping bed langsung merespon
panggilanku sambil menggenggam erat jari jemari istrinya.
Dhuha yang juga masih setia menemani, ikut mendekat mendengar
suaraku.
“Saya sesak.” Mendengar kalimatku, Beliau refleks berdiri
dari duduknya.
“Dhuha jaga Mama, Om ke Bidan jaga,” titah Beliau tegas
kepada anak tirinya itu.
Tak perlu menjawab dengan kata-kata, Dhuha menggantikan
posisi Pak Dokter. Tangan kanannya menggenggam erat jari jemariku, sementara
tangan kirinya mengelus-elus kepalaku
dengan lembut.
Beberapa saat berlalu, mbak bidan kembali memasuki ruangan, kali ini diikuti
oleh dokter jaga. Proses induksi
terpaksa dihentikan. Dokter jaga menyampaikan, berdasarkan konsultasi dengan
dokter kandungan, aku harus segera dipindah ke ruang HCU (High Care Unit).
High Care Unit diperuntukkan bagi pasien yang membutuhkan
pemantauan secara kontinyu. Pasien yang dirawat di ruang ini bukan dilihat dari
jenis penyakitnya, melainkan lebih kepada kegawatan kondisinya. Jadi pasien
yang di rawat di sini memiliki dua kemungkinan, membaik atau memburuk. Kalau
kondisi pasien memburuk maka segera dikirim ke ICU, sementara jika kondisi
pasien membaik, dipindah ke ruang perawatan, atau ke Delivery Room untuk pasien
seperti diriku.
Setelah diriku mapan di ruang HCU, Pak Dokter meminta Dhuha
untuk pulang, karena pasien diruang ini memang tidak boleh ditemani oleh
penunggu. Namun dengan sedikit negosiasi dan nepotisme, Pak Dokter
diperkenankan untuk menemaniku malam itu.
Jujur, perasaan tak nyaman mulai menghantui diri. Keyakinan
untuk bisa melahirkan secara normal mendadak surut. Aneka bayangan tak jelas
berkelebat di benak. Tubuhku terasa lemas. Dengan masker oksigen terpasang di
wajah, satu-satunya pemacu semangat untuk terus berjuang dalam kondisi berat
ini adalah keberadaan Pak Dokter di sisiku, dan juga bayangan tubuh mungil
Anggi yang masih bersemanyam di rahim. Namun di satu sisi, aku juga sudah
mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi, bahkan untuk
yang terburuk sekalipun.
Tanpa disadari, sudut mataku terasa memanas. Pak Dokter
menghapus bulir bening yang jatuh menuruni pelipisku dengan jari jemarinya.
“Jangan nangis, saya selalu ada untuk Njenengan.” Suara Pak
Dokter terdengar lembut, namun ada getaran dalam alunannya.
Aku membalas genggaman tangan Beliau sebagai respon atas
ucapannya. Selanjutnya, terdengar Beliau memanggil namaku dengan lembut dan
penuh kasih. Sesuatu yang belum pernah Beliau lakukan sejak awal perkenalan
hingga sepanjang usia pernikahan kami. Mendengar nada panggilan Beliau yang
begitu sarat makna, bulir bening kembali jatuh dari sudut mataku, dan Beliau
kembali menghapusnya.
“Berjuanglah untuk saya dan anak-anak. Njenengan kuat,
Njenengan tangguh.”
@@@@@
Perjuangan panjang nan penuh lika-liku, disertai dengan
beragam drama, akhirnya memberikan hasil yang maksimal.
Seorang bayi perempuan mungil, yang lahir dengan berat tiga
kilogram, berhasil meluncur dengan mulus dari rahimku walau harus melalui
proses SC. Ya, setelah 24 jam di ruang HCU, dokter kandunganku menyampaikan
kepada Papa Lintang bahwa diriku terlalu beresiko untuk persalinan normal.
Meskipun cita-cita melahirkan normal tidak terwujud, namun Allah
masih memberiku jatah hidup untuk mengasuh Anggi, bidadari kecil kami.
Setelah selesai SC, aku kembali bermalam di ruang HCU selama
24 jam. Dan ini merupakan hari pertama aku dipindah ke ruang perawatan.
“Dok, saya mo lihat Anggi.” Aku meminta Pak Dokter untuk
membawakan Anggi.
Karena kondisi Anggi sehat dan stabil, kami lebih memilih program
rooming in (rawat gabung), sehingga Anggi dan aku bisa berada di ruang yang
sama sepanjang waktu.
Pak Dokter mengambil Anggi dari box-nya, menggendongnya
perlahan, kemudian meletakkan malaikat mungil tersebut ke sisiku.
“Buah cinta kita,” ujar Beliau penuh suka cita.
Kupandangi bayi mungil yang kini tertidur di sebelahku.
Perlahan, mata bayi mungil itu terbuka, berkejap pelan tak tentu arah. Dengan
rambut lebat dan pekat serta kulit yang putih bersih, Anggi begitu mempesona.
Hidung bangir serta jidat lebar Pak Dokter berpadu dengan mata sipitku, terukir
di wajah mungil tersebut. Aku memandangi hasil kerja bakti diriku dan Pak
Dokter tersebut dengan penuh kekaguman.
Ketika diriku mengalihkan pandang kepada Pak Dokter, ternyata
Beliau sedang menatapku lekat. Tatapannya penuh binar dan sarat makna.
”Terima kasih sudah berjuang untuk saya dan anak-anak,” ujar
Beliau sambil mencium keningku, kemudian mengecup bibirku lembut.
Aku terharu mendengar kalimat dan melihat perlakuan Beliau
padaku.
“Saya juga makasih, Dok. Njenengan sudah menyemangati saya.
Sebenarnya kemarin saya sudah ikhlas apapun yang terjadi. Tapi mendengar
Njenengan memanggil nama saya sedemikian rupa, semangat saya langsung bangkit.
Saya belum ingin berpisah dengan Njenengan.”
Entah karena efek mendengar ucapanku, atau karena rasa
gembira yang meluap, Beliau kembali mencium keningku.
“Kita kasih nama siapa, Dok?” lanjutku.
“Kalau mengikuti Lintang dan Mentari, cocoknya kita kasih
nama Pelangi. Tapi kalau mengikuti Dhuha dan Maghrib, masak sih mo kita kasih
nama Tahajud atau Witir.”
Demi menjaga luka pasca SC-ku, aku berusaha menahan tawa
mendengar ucapan Pak Dokter.
“Njenengan jangan guyon gitu tho, Dok. Saya capek nih nahan
tawa.”
Lagi-lagi Pak Dokter mengecup keningku, kemudian berkali-kali
menghujani pipiku dengan ciuman. Beliau terlihat begitu bahagia dan terbebas
dari beban berat.
“Njenengan ternyata gak pinter bikin anak laki-laki ya, Dok.”
Aku mencoba merespon sikap beliau yang begitu sumringah dengan menggodanya.
Beliau tertawa mendengar ucapanku. Tak mau kalah, Pak Dokter
juga balas menggodaku.
“Besok kita bikin lagi, ya. Kita pake metode baru biar bisa
jadi anak laki-laki. Saya selalu siap setiap saat asalkan Njenengan juga siap.”
Mendengar ucapan Pak Dokter, tanganku refleks mencubit lengan
Beliau yang berada di dekatku. Biasanya aku lebih memilih untuk mencubit perut,
namun karena kali ini tanganku tak mampu menggapainya, maka lenganpun jadilah.
Terdengar suara ketukan di pintu, disusul dengan kemunculan
Edel dan Maharaja. Ternyata jam bezuk sudah berlangsung.
Hatiku membuncah bahagia bercampur sedih melihat kedatangan
Edel. Dengan sangat terpaksa aku tidak bisa mendampingi Edel di hari
bahagianya, begitu juga dengan Pak Dokter. Edel meminta Pak Dokter untuk fokus
menjagaku di rumah sakit. Dia tahu bahwa keberadaan Pak Dokter di sisiku sangat
penting sebagai pemompa semangat.
Anak gadisku itu sangat memahami situasi dan kondisi yang
terjadi di detik-detik hari H pernikahannya. Dia bersikap taktis dan dewasa.
Hari Sabtu pagi ketika aku masih di ruang HCU, Edel
menelphone Pak Dokter. Dia meminta bantuan Papa tirinya untuk berbicara kepada
Pakdhe Yudha dan istri – kakaknya almarhum Pak Wicaksono- untuk mendampingi
Edel di pelaminan selama resepsi berlangsung. Pakdhe Yudha ini juga bertindak
sebagai wali nikah Edel.
Para kerabat dan keluarga dari luar pulau dan propinsi yang
sedianya datang ke Semarang untuk menghadiri pernikahan Edel, akhirnya turut
menyempatkan diri menjenguk keberadaan diriku di rumah sakit. Namun karena terbentur
aturan untuk membezuk di ruang HCU dibatasi dua orang pengunjung, para sanak
keluarga tersebut hanya bisa menjengukku sekejab-sekejab secara bergantian.
Dan aku bahkan tak bisa mengucapkan terima kasih ketika di
Minggu sore dan Senin pagi secara bertahap mereka mulai kembali ke kota
masing-masing.
Pak Dokter memberi amanah kepada anak-anak untuk selalu siap
sedia melayani dan menyambut para tamu dengan fasilitas yang ada sebaik
mungkin. Jadi dalam situasi ini, Edel melakoni peran ganda, sebagai pengantin
dan juga tuan rumah.
Edel langsung menuju ke Pak Dokter, menyalami Beliau dengan
takzim. Maharaja mengikuti perbuatan sang istri menyalami Papa Mertuanya.
Selanjutnya Edel menghampiriku di pembaringan. Dia mengecup kedua pipi dan
keningku. Aku tak mampu menghalau bulir bening yang jatuh perlahan ke pelipis.
“Mama jangan sedih lagi,” ujarnya sambil menghapus air mata
di pelipisku, “Semua sudah berakhir happy ending. Anggi sudah lahir, Mama sehat
dan selamat, pernikahanku berjalan lancar. Aku sangat memahami kondisi Mama dan
Papa, jadi gak ada sedikitpun perasaan kecewa ketika Mama dan Papa gak bisa mendampingi,”
lanjutnya.
“Kamu dari hotel atau sudah pulang dulu ke rumah?” Aku
merespon ujaran panjang Edel dengan sebuah tanya.
Pasangan pengantin ini mendapat bonus menginap gratis selama
semalam di hotel tempat berlangsungnya resepsi.
“Dari hotel, Ma. Tadi langsung check out, terus singgah sini
mumpung masih ada waktu bezuk.”
Kemudian Edel meraih Anggi dari pembaringan ke dalam
gendongannya, sementara sang suami menghampiri dan menyalamiku sembari melempar
seuntai tanya.
“Gimana kondisinya, Ma? Sudah sehat kan, Ma?” Menantu baruku
itu mencoba berbasa-basi. Kini dia sudah tak canggung lagi dengan masalah
“panggilan”. Karena sudah resmi berstatus menantu, dengan luwes dia ikut
menyapaku dan Pak Dokter dengan sebutan Mama Papa.
“Dek Anggi cantik banget, Ma,”ujar Edel spontan mengagumi
buah cintaku dan Pak Dokter, “Hidungnya mancung banget. Tapi kok wajahnya mirip
Dhuha ya, Ma. Gak mirip aku atau Lintang gitu.” Sulungku memberi review
mendetail tentang keberadaan si mungil. Pak Dokter dan Raja tertawa mendengar
kalimat-kalimat Edel.
“Rencana mau dikasih nama siapa, Pa?” Maharaja mengajukan
tanya kepada Pak Dokter. Kedua lelaki tersebut kini duduk berdampingan di sofa
panjang.
“Pelangi.” Aku mendahului Pak Dokter menjawab pertanyaan
Raja.
“Tetap dipanggil Anggi ya, Ma,” pinta Edel tulus,” Adek-adek
siang ini juga mo ke sini. Dhuha ambil cuti mendadak dua hari. Besok sore dia
baru balik.” Edel melanjutkan kalimatnya.
“Kemarin sore yang ngantar Mbak Sih siapa?” Tiba-tiba diri
ini teringat kepada ART-ku.
“Dhuha sama Maghrib. Lintang sama Mentari nganter tante Wahyu
sama budhe Nana ke bandara,” ujar Edel sambil menyebut nama adik Pak Wicaksono
dan nama kakakku.
Dia masih asyik menggendong adik bungsunya. Pembawaannya
cukup luwes, dan ternyata Pak Dokter juga menangkap keluwesan sikap Edel
tersebut.
“Edel udah cocok tuh gendong bayi. Berarti tahun depan,
Pelangi udah bisa punya ponakan nih.” Pak Dokter menggoda sulungku dan
menantunya.
Maharaja tertawa kecil mendengar kalimat Pak Dokter.
Sementara gadis manisku itu spontan dan tanpa basa-basi menjawab guyonan Pak
Dokter.
“Belum sempat uji coba, Pa. Masih tersegel karena masih galau
mikirin Mama,” jawabnya tanpa sungkan.
Tawa kedua mantan duda tersebut pecah mendengar jawaban lugas
Edel. Berbarengan dengan itu terdengar suara ketukan di daun pintu, diikuti
ucapan salam bersahutan. Dhuha dan adik-adiknya muncul dari balik pintu.
Keluarga Pak Dokter dengan formasi lengkap plus menantu
baru, berkumpul di ruang perawatan VIP
RSIA di satu sudut kota Semarang, menyambut launchingnya Sang Pelangi
Kehidupan.
0 Komentar