Pak Dokter sedang mengantar dua pasang teman sejawatnya yang
datang membezukku hingga ke luar kamar. Sebenarnya waktu berkunjung sudah lama
berlalu. Teman-teman Pak Dokter itu mengunjungiku di luar jam bezuk.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat beberapa menit ketika
handphoneku berdering. Panggilan masuk dari Edel.
[Assalamualaikum, Ma.]
[Walaikumussalam, Edel. Ada apa?]
[Papa ada, Ma?] Berbarengan dengan tanya yang dilontarkan
Edel, Pak Dokter kembali memasuki kamar.
[Itu baru masuk ke kamar. Tadi nganter temen Papa yang bezuk
Mama sampe keluar ruangan. Kenapa tanya Papa?] Mendengar untaian kalimatku,
Papanya Anggi menatap dengan rasa ingin tahu.
[Gak pa-pa. Kalau ada Papa, aku WA aja, Ma. Udah ya Ma.
Assalamualaikum.] Sedikit heran dengan sikap anak gadisku tersebut, kumatikan
telphone setelah menjawab salamnya.
“Siapa?” Pak Dokter langsung mengajukan tanya.
“Edel. Dia tanya, Papa ada. Begitu saya jawab ada, langsung
dia bilang via WA aja. Gak tau tuh mo ngomong apa,” jelasku pada Beliau.
“Mungkin mo belajar sesuatu sama Mamanya,” ujar Pak Dokter sambil
tersenyum penuh arti.
“Njenengan sok tau,” responku sambil tertawa ringan.
“Bukannya sok tau, tapi kemungkinannya seperti itu. Lha wong
hari ini mereka semua dua kali berkunjung, Edel gak tanya apa-apa, kok ini udah
malem, tau-tau nelphone Njenengan.” Pak Dokter menyampaikan argumentasinya
sambil merebahkan diri di atas bed yang diperuntukkan bagi penunggu pasien.
Memang seharian ini, anak-anak dua kali mengunjungiku. Saat
jam bezuk siang, kemudian ketika jam bezuk sore. Bahkan pada saat jam bezuk
sore mereka baru bergerak pulang setelah waktu bezuk terlewati setengah jam.
Anak-anak kelihatannya enggan untuk beranjak. Kebersamaan
dengan Papa Mama dan seluruh anggota keluarga memang membawa kebahagiaan dan
kehangatan yang begitu mendalam.
Terlebih Dhuha, besok sore dia harus kembali terbang ke
Kalimantan. Tadi dia sempat berujar, rasanya enggan banget untuk packing buat
kepulangan besok. Sontak saja seluruh anggota keluarga Pak Dokter membullynya,
bahwa rasa beratnya itu pasti dipacu karena harus berpisah lagi dengan Lintang.
Anak tengahku itu cuma bisa tersenyum pasrah digoda saudara-saudara dan bapak
tirinya. Wajah Lintang terlihat merona mendengar guyonan saudara-saudaranya. Mungkin
dia malu tapi juga senang.
Sementara Mentari -bungsunya Pak Dokter- heboh ingin menginap
di rumah sakit. Dia meminta Papanya pulang agar dia bisa menggantikan posisi
Beliau menemaniku. Permintaannya tersebut ditolak Sang Bapak karena besok dia
harus sekolah.
Hari ini -Senin- Maghrib, Lintang, dan Mentari memang bolos
sekolah. Pak Dokter memberi izin kepada mereka mumpung Dhuha dan Edel masih di
Semarang, jadi mereka bisa memuaskan diri berkumpul seharian. Sementara besok
-Selasa- Dhuha sudah harus balik ke Kalimantan. Edel beserta Raja akan terbang
ke Lombok untuk berbulan madu. Dan ketiga anak lainnya juga sudah harus
beraktivitas lagi seperti biasa, sekolah.
[Ma, aku takut.] Seuntai pesan singkat dari Edel menghiasi
layar gawaiku. Aku tersenyum membaca chat tersebut.
Kulirik Pak Dokter sesaat. Belahan Jiwaku itu ternyata sudah
memejamkan mata. Sejak aku pecah ketuban di Jumat malam, Beliau sudah repot
mengurus diriku. Kasihan, lelaki paruh baya tersebut mungkin kelelahan. Di usia
yang tidak lagi muda, Beliau harus siaga menjaga istri, bayi, serta melayani
tamu-tamu yang membezukku.
Menatap wajahnya yang menyiratkan rasa letih dengan mata
cerdasnya yang memejam, membuat rasa sayangku kepada Beliau semakin bertumbuh.
Aku begitu mencintai dan menghormatinya.
Aku kembali fokus ke gawai untuk membalas chat masuk dari
Edel.
[Takut kenapa?] tanyaku pura-pura tak memahami maksud Edel.
[Emotikon malu pipi bersemu merah.] Diri ini kembali
tersenyum mendapati balasan chat Edel yang sarat makna.
[Kamu sayang dan cinta gak sama Raja?] Kukirim seuntai tanya
kepadanya.
[Banget, Ma.]
[Kamu percaya gak sama Raja?]
[Percaya, Ma.]
[Kalau kamu sayang, cinta, dan percaya sama Raja, harusnya
kamu nyaman berada di dekat dia.] Diri ini mencoba memberi sedikit sugesti
kepada Sang Gadis yang kini telah menjadi seorang istri tersebut.
[Aku nyaman banget berada di dekat Kak Raja. Tapi ntah
kenapa, tiba-tiba aku kok takut, Ma.]
[Edel, kalau Mama lihat chemistry kamu sama Raja tu cukup
kuat. Dengan modal chemistry yang kuat, berkomunikasilah dengan Raja.]
[Malu, Ma.]
[Kamu gak perlu bicara panjang lebar. Cukup bilang aja kalau
kamu takut. Sebagai lelaki yang sudah berpengalaman, dia pasti paham banget
maksud kamu, dan tau bagaimana harus bersikap.]
[Do’ain aku ya, Ma.] Aku tergelak membaca balasan chat Edel.
Seperti mau pergi perang saja minta do’a.
[Iya... Pasti Mama do’ain. Kamu cuma perlu rileks dan tenang,
karena semuanya akan mengalir secara alami, Edel.] Kucoba memberi nasihat
dengan bahasa sewajar mungkin.
Walau sebagai sesama wanita, namun aku berusaha menghindari
kosa kata vulgar. Edel toh sudah dewasa, hanya dengan kata-kata tersirat dia
sudah cukup memahami makna kalimatku.
[Ya, Ma.]
[Udah...sekarang siap-siap, nanti Raja kelamaan nunggu kamu.
Emotikon mengerling.]
[Idiih...Mama, malah godain. Emotikon malu. Kak Raja lagi
ngobrol sama Dhuha di teras. Aku sama adek-adek di ruang nonton TV.]
Ketika aku hendak membalas chat Edel, terdengar tangisan
Anggi memecah sepi. Tak tega menggugah Pak Dokter yang begitu lelap, aku
memijit bel untuk memanggil perawat.
Dalam hitungan detik, terdengar ketukan di pintu. Seorang
perawat muda memasuki kamarku.
“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya-nya santun sambil
menghampiriku.
“Si baby nangis, Mbak.”
“Saya periksa pampersnya dulu ya, Bu,” lanjutnya sambil
menuju box Anggi.
“Monggo, Mbak.”
“Adek pup, Bu,” ujarnya sambil tertawa kecil setelah
memeriksa pampers Anggi, “Bapak tidurnya lelap banget, Bu,” lanjutnya
berbasa-basi sambil membersihkan kotoran Anggi.
“Iya, Mbak. Kecapekan mungkin, soalnya dari Jum’at malam
sampe sekarang repot ngurus saya.”
“Telaten banget Bapak ya, Bu.” Sambil mengganti pampers
Anggi, gadis manis tersebut dengan ramah terus mengajakku berbincang.
Aku tertawa kecil merespon ujaran si Mbak. Setelah
menyelesaikan tugasnya, perawat muda tersebut pamit kemudian berlalu meninggalkan kamar.
Aku kembali beralih ke gawai, membalas chat terakhir Edel
yang tadi sempat tertunda.
[Anggi tadi nangis, ternyata pup.] ketikku.
[Dhuha masih ngobrol sama Raja?] Kukirim chat susulan untuk
Edel.
[Gak, Ma. Sudah masuk, ni semua ngumpul di ruang TV.]
[Ya udah, Mama nge-chat Dhuha dulu ya.]
[Edel...Mama sayang kamu. Jadi istri yang sholihah ya Sayang.
Gambar hati berwarna merah.] Dua chat beruntun kukirimkan untuk Edel.
[Aku juga sayang Mama. Gambar tiga hati berwarna merah.]
Balasan masuk dari Edel menghiasi gawaiku.
Waktu terlalu cepat bergulir. Tak terasa, gadis kecilku yang
imut, malam ini sedang mempersiapkan diri untuk menyempurnakan takdirnya
sebagai wanita.
Ada haru dan bahagia berpadu di sudut jiwa ketika menyadari
bahwa aku, almarhum suami, dan Pak Dokter, bisa menjaga amanah yang Allah
titipkan kepada kami untuk kemudian titipan itu kami estafetkan kepada
suaminya.
[Dhuha...] Sengaja kukirim chat sesingkat mungkin untuk si
tengah. Dan tak perlu menunggu lama, pesan itu segera berbalas.
[Ya, Ma.]
[Jaga kepercayaan Mama dan Om, ya.]
[Insyaa Allah, Ma.]
Tanpa perlu mengurai kata panjang lebar, anak lajangku itu
sudah sangat paham dengan maksud dari pesan yang kukirim.
Bukannya aku tidak mempercayai anak, namun siapa yang mampu
menghalau kalau godaan syaitan sudah menguasai diri. Apalagi saat pesona cinta
sedang berpendar dengan indahnya di dalam hati dua anak manusia. Dan kondisi
ini masih ditambah dengan ketiadaan orang tua yang mengawasi.
“Kok belum tidur ? Tidur gih. Njenengan tu harus cukup
istirahat biar cepat pulih.” Terlalu asyik berbalas chat, membuatku tak
menyadari keberadaan Pak Dokter yang sudah duduk di kursi di sisi tempat tidur.
“Lho...kok Njenengan bangun?” Bukannya memberi jawaban, aku
malah balik bertanya pada Beliau.
“Saya belum sikat gigi. Tadi niatnya berbaring sejenak,
eh...kok malah ketiduran,” jawab Lelaki terkasihku dengan raut wajah letihnya,
“ Saya sikat gigi dulu, ya. Njenengan jangan tidur terlalu larut. Berbalas
chat-nya dilanjut besok aja,” lanjut Beliau sambil beranjak dari duduknya untuk
menuju ke kamar mandi di pojok kamar.
“Saya nge-chat Dhuha. Sekedar mengingatkan. Maklum jiwa muda
yang lagi kasmaran perlu diberi rambu-rambu biar gak kebablasan.” Walau beliau
sudah berada di kamar mandi, namun aku yakin Pak Dokter tetap bisa mendengar
ucapanku karena pintunya dalam keadaan terbuka.
Beberapa saat berlalu, Pak Dokter keluar dari kamar mandi.
Wajah Beliau terlihat lebih segar karena sudah terbasuh air. Papanya Anggi kembali
menuju kursi di samping bed-ku.
“Njenengan jangan terlalu mikir yang berat-berat. Phisik dan
psikis Njenengan masih lelah. Insyaa Allah anak-anak kita bisa dipercaya.”
Suami terkasihku mencoba memberi sedikit masukan atas sikap protektif-ku.
“Namanya juga emak-emak, Dok. Segala sesuatu tentang anaknya
pasti dipikir dengan seksama,” balasku diplomatis, “ Lagipula, saya percaya
sama anak-anak, Dok. Tapi saya gak percaya sama syaitan,” lanjutku.
Mendengar ucapanku Pak Dokter tertawa, kemudian mengelus-elus
ubun-ubunku penuh kasih. Selanjutnya Beliau bangkit menuju box Anggi.
“Edel cerita apa tadi?” Beliau seolah mengingat kembali
kejadian sebelum dirinya terlelap.
“Off the record. Khusus untuk kalangan wanita.” Aku tak ingin
berbagi kisah yang menurutku Pak Dokter memang tidak perlu tahu.
“Ooo...,” balas Beliau singkat tersenyum penuh arti sambil mengelus-elus buah cinta kami yang sedang tertidur pulas.
“Ini Anggi dari tadi belum bangun, belum nangis?”
“Sudah nangis, sudah pup, tapi belum nyusu,” jawabku komplit.
“Berarti saya tertidur lelap banget, ya? Sampe gak dengar
Anggi nangis.” Beliau masih asyik membelai si bidadari kecil sambil memandanginya penuh kekaguman.
“Seharusnya yang butuh istirahat itu Njenengan, Dok.
Njenengan kelihatannya capek banget.”
“Iya, maklum badan sudah tua.” Pengakuan Beliau terdengar
lugas.
“Menyadari sudah tua, kok masih mau bikin anak laki-laki,
Dok.” Aku merespon kalimat Beliau sambil menggodanya.
Pak Dokter kembali tertawa, kemudian beranjak dari box Anggi
untuk menghampiri tempat tidurku.
“Tidur gih, sudah malam.” Pak Dokter mencium keningku
sekilas, kemudian mengecup bibirku penuh kasih, agak lama dan sedikit
bergelora.
Rasa letih yang mendera Beliau ternyata tidak serta merta
menghapus hasrat alami seorang anak manusia. Walau kondisiku sedang berada
dalam zona merah, berpadu dengan perihnya irisan luka SC, namun aku tak mampu
menolak ciuman Beliau yang begitu mendalam. Tiada salahnya menyenangkan hati Sang Belahan Jiwa,
kalau itu bisa menjadi vitamin bagi kebugaran Beliau.
Tangisan Anggi menyadarkan Sang Bapak untuk tidak terhanyut
lebih jauh. Pak Dokter menyudahi kerinduannya padaku. Bidadari kecil kami
kelihatannya haus.
@@@@@
Selasa pagi kami mulai berkemas karena dokter sudah
mengizinkanku untuk pulang. Anggi sudah mandi, sudah nyusu, dan sudah rapi.
Begitu juga dengan diriku dan Pak Dokter yang sudah bebersih diri dan
berpakaian rapi, siap menanti jemputan anak-anak.
Setelah selesai mengurus diriku dan menyuapi sarapan, Pak
Dokter meninggalkanku sejenak untuk menyelesaikan urusan administrasi. Beliau
terlihat sudah bugar setelah beristirahat dengan nyaman sepanjang malam.
Ya, malam ini aku sengaja meminta perawat jaga untuk membantu
mengurus Anggi. Setelah Pak Dokter kembali terlelap, setiap mendengar Anggi
menangis, aku selalu memijit bel memanggil perawat jaga untuk memeriksa kondisi
Anggi, juga membantuku untuk menyusui Anggi. Kubiarkan lelaki terkasih tersebut
menikmati istirahat malamnya dengan tenang. Tubuh tua Beliau butuh rehat
maksimal.
Edel, Raja, dan Dhuha akan menjemput kepulangan kami. Mereka
akan mengantar ketiga adiknya ke sekolah terlebih dahulu sebelum menyinggahi
kami di rumah sakit.
Beberapa saat berlalu, Pak Dokter kembali ke ruangan. Saat
pintu baru saja ditutup, terdengar suara
ketukan diikuti ujaran yang menandakan
bahwa yang datang itu seorang kurir. Aku tadi memesan sarapan untuk Pak Dokter
melalui aplikasi jasa kurir online. Pak Dokter membuka pintu, menerima orderan
yang kami pesan, kemudian membayarnya.
“Dok, saya mau turun.” Aku memanggil Pak Dokter untuk
membantuku turun dari pembaringan.
Beliau membantuku duduk, kemudian dengan perlahan membimbingku
untuk turun dari peraduan. Selanjutnya aku berjalan menuju sofa yang berada di
hadapan bed- pasien dan bed penunggu pasien.
Pak Dokter ikut duduk di sebelahku di atas sofa panjang ini.
Beliau bersiap menikmati sarapan paginya dengan menu nasi ayam khas Semarang
yang legendaris. Aku menemani sang kekasih hati mengisi energi.
“Njenengan mau nyicipin?” Beliau menawariku untuk ikut
menikmati sarapannya.
“Saya minta suiran ayamnya itu dikit,” ujarku sambil menunjuk
ke tumpukan suiran ayam.
“Sama nasinya, ya?”
“Iya, tapi dikit aja. Saya cuma mo nyicipi doang.” Pak Dokter
menyuapiku sesendok nasi berpadu dengan beberapa elemen pendukungnya.
Lelakiku ini memang istimewa, sedang sarapan diganggu
istrinya-pun tetap saja enjoy. Padahal aku sendiri tadi sudah menghabiskan
jatah sarapan dari rumah sakit.
Setelah menyuapiku, beliau menyuapi dirinya sendiri.
Selanjutnya tanpa kuminta, Beliau kembali memasukkan sesendok nasi ke dalam
mulutku. Secara refleks aku kembali menerima suapannya itu.
“Kok makan saya jadi banyak banget, ya Dok? Tadi udah
sarapan, sekarang ngerusuhin Njenengan lagi.”
“Gak pa-pa, itu berarti Njenengan sehat. Dalam kondisi
menyusui nafsu makan Njenengan bagus,” ujar Beliau yang kembali menyuapiku
setelah sebelumnya memasukkan satu suapan untuk dirinya sendiri.
Ketika pasangan tua ini sedang asyik menikmati sarapan
berduaan, terdengar ketukan di pintu. Edel, Dhuha, dan Raja, beriringan
memasuki ruangan.
“Duh...romantisnya. Kita yang yang pengantin baru aja kalah,
Kak.” Edel berujar kepada Raja secara
spontan, mengomentari perlakuan Pak Dokter yang sedang menyuapiku.
Semua yang mendengar ucapan Edel tertawa, termasuk diriku.
“Sudah pada sarapan, belum?” Pak Dokter berbasa-basi kepada
anak-anak tiri dan menantunya.
“Sudah, Pa.” Raja dan Dhuha menjawab tanya Beliau
berbarengan.
Bergantian ketiga anak menyalami kami satu persatu. Kemudian Edel
langsung menuju box Anggi, Raja mengikuti istrinya. Sementara Dhuha mendudukkan
diri di sebelah kiriku.
“Kamu sudah packing, Ha?” Aku bertanya pada si tengah yang
dari kemarin terlihat berat dan enggan untuk kembali ke tempat tugasnya.
“Belum, Ma. Nanti pulang dari rumah sakit.”
“Dhuha kehilangan semangat, Ma.” Edel nyeletuk sambil
menggendong Anggi, “Mau berpisah sama yayank-nya,” lanjut si Sulung sambil
mendudukkan diri di tepi tempat tidur penunggu pasien. Sementara Sang Maharaja
duduk di kursi di samping bed-ku. Menantuku itu cuma tersenyum menanggapi
perbincangan yang terjadi di antara kami.
Dhuha tersenyum mendengar ocehan sang kakak.
“Sabar, Ha. Perjalanan masih panjang. Jangan terburu-buru
menyusul mbak Edel.” Pak Dokter mengikuti jejak Edel menggoda anak tiri yang
sekaligus calon menantunya itu.
“Gak buru-buru kok, Om.” Anak lajangku berusaha membela diri.
“Waktu di Dieng, kamu bilang kalau Lintang lulus SMA mau
diajak nikah?” Aku secara spontan ikut menodong Dhuha. Kupikir mumpung ada
waktu dan kesempatan, kugunakan untuk mengorek apa sebenarnya keinginan
terpendam anakku ini.
Dhuha hanya bisa tersenyum hambar mendengar pertanyaanku.
“Jujur, aku memang maunya seperti itu, Ma. Tapi mana mungkin
dapet izin dari Om.”
Pak Dokter cuma senyam senyum gak jelas menanggapi ucapan
Dhuha. Beliau sudah menyelesaikan sarapannya. Kemudian beranjak menuju tempat
sampah untuk membuang kemasan nasi ayam tadi. Selanjutnya Beliau kembali duduk
di sisi kananku.
“Lintang masih terlalu muda, Ha. Biar kuliah dulu, biar
pemikirannya lebih matang dan dewasa.” Akhirnya Beliau merespon ucapan Dhuha
dengan diplomatis.
“Nah...,dah jelaskan Ha, gimana tanggapan Papa. Ternyata kamu
belum dapat lampu ijo.” Edel nyeletuk sekenanya mendengar ucapan Pak Dokter.
Kami tertawa mendengar celetukan Edel. Namun aku bisa
melihat, di balik tawanya terdapat sekelebat mendung di wajah Dhuha.
Naluri keibuanku tak tega melihat si buah hati semakin
terpuruk kehilangan semangat.
“Kalau memang jodoh, gak kemana, Ha.” Sambil menepuk-nepuk
pundak si tengah, kuberikan sedikit suntikan semangat padanya, “Tapi kalau
memang gak berjodoh, berarti Allah punya rencana lain yang lebih indah untuk
kalian,” lanjutku sambil merangkul bahunya yang kokoh.
“Pokoknya, berdo’a aja untuk yang terbaik Ha. Karena Om juga
sadar, Lintang itu udah cinta mati sama kamu. Kalau Om larang, nanti Om juga
yang susah kalau Lintang sampe patah hati.” Pak Dokter berujar sambil bangkit
dari duduknya, kemudian Beliau mulai mengemas barang-barang.
Raja yang sedari tadi hanya berperan sebagai pendengar, ikut
bangkit dari duduknya untuk membantu Pak Dokter berkemas. Kedua lelaki tersebut
menata barang-barang yang akan kami bawa pulang sambil berbincang ringan.
Aku merapatkan posisi duduk ke arah Dhuha. Kubisikkan seuntai
kalimat penambah semangat untuknya.
“Mama selalu do’akan yang terbaik untuk kamu. Kalau memang
Lintang itu jodoh kamu, Mama ikhlas. Tapi kamu harus semangat ya, Mama sedih
lihat kamu loyo seperti ini.” Kucium pipinya sekilas. Anak lajangku itu
membiarkan Sang Emak menumpahkan kasih sayangnya sepenuh hati.
“Makasih, Ma.” Dhuha merespon bisikanku dengan legowo.
Selanjutnya dia ikut bergabung dengan Pak Dokter dan Raja.
Di saat ketiga lelaki sedang sibuk mengemas barang, Edel
beranjak dari duduknya di tepi tempat tidur. Dia menghampiriku, duduk di
sisiku. Kemudian dengan lirih, seuntai kalimat singkat dia bisikkan ke
telingaku,
“Makasih, Ma.”
Mendengar bisikan lirihnya, aku menatap si sulung dengan
senyum penuh arti. Edel membalas senyumanku sambil tersipu malu.
Duniaku benar-benar penuh drama. Di pagi ini aku mendapat dua ucapan 'Makasih, Ma' dari dua anak yang berbeda dan dengan dua makna yang sangat berbeda.
Edelweis sebagai perlambang keabadian cinta, telah
menyempurnakan statusnya sebagai seorang istri.
Dhuha, sang pembuka pintu rezeki masih mencari jalan yang
tepat untuk menjemput rezeki jodoh dari Yang Kuasa.
Sementara di usia ku dan Pak Dokter yang menjelang Maghrib
ini, kami diterangi oleh cahaya Mentari, Lintang gemintang, hingga bias warna
warni Pelangi nan indah memukau.
0 Komentar