Waktu sudah menggapai pukul 23.15. Aku sedang asyik menonton
rekaman video prosesi ijab kabul dan resepsi Edel sambil berbaring di tempat
tidur ketika Pak Dokter memasuki pintu kamar. Walau sudah berlalu dua bulan,
entah kenapa aku tak pernah bosan mengulang-ulang penayangan video tersebut.
Ada sedih, haru, dan bahagia, setiap kali menyaksikan seluruh rangkaian acara.
“Kok belum tidur?” Seuntai tanya Beliau ajukan sambil
berjalan menuju ke arahku, mencium keningku, kemudian mencium pipi mungil Anggi
yang kini semakin terlihat gembul. Selarut ini, Kekasih halalku baru pulang
dinas.
“Baru selesai nyusuin Anggi.” Aku menjawab sambil mematikan
tayangan ulang yang belum rampung tersebut.
Sejak usianya melewati empat puluh hari, ritme tidur Sang
Pelangi Kehidupan berubah. Bidadari kecil kami ini selalu
tertidur ketika Maghrib belum menyapa, kemudian akan terbangun di kisaran pukul
delapan atau pukul sembilan malam. Setelah menyusu dan berganti pampers, bayi
mungil ini akan kembali terlelap.
Menjelang tengah malam, antara pukul 11 atau 12 dia akan
kembali terbangun. Aktivitas menyusu dan berganti pampers kembali berulang. Dan
buah cinta kami itu akan kembali terlelap hingga fajar menjelang.
“Saya buatin minum, ya Dok?” tanyaku sambil turun dari tempat
tidur, kemudian berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti Pak Dokter.
Kuletakkan sepasang piyama lengkap dengan perangkat dalamnya di tepi tempat
tidur.
“Gak usah. Udah malem banget, langsung tidur aja.” Pak Dokter
menjawab tanyaku sambil meletakkan tas ke atas meja kerja. Selanjutnya Beliau
bergegas menuju kamar mandi untuk bebersih diri.
Tak sampai sepuluh menit berselang, Beliau sudah keluar lagi
dengan handuk terlilit di pinggang. Kesegaran aroma sabun menguar dari tubuh atletis
suami tercintaku.
Aku sedang berdiri di pinggiran tempat tidur, sedang bersiap
untuk mengganti pampers Anggi ketika Beliau memelukku dari belakang dalam
kondisi masih menggunakan handuk.
“Selesai ganti pampers, Anggi dipindah ke box, ya,” ujar
Beliau pelan tepat di telingaku.
Ucapan sederhana itu begitu sarat makna. Namun ntah kenapa,
kata-kata Beliau tersebut bagiku bagai suatu pernyataan yang sangat menakutkan.
Jantungku berdegup lebih cepat dan lututku tiba-tiba terasa lemas.
Sebenarnya adalah hal yang wajar ketika Pak Dokter memberi
kode alam untuk mengajakku menunaikan tugas negara. Hal ini dikarenakan sejak
kelahiran Anggi, hingga kini usianya sudah dua bulan, aku memang belum pernah
memenuhi kebutuhan biologis Pak Dokter. Bahkan satu bulan sebelum melahirkan
Anggi, diri ini sudah tak berdaya untuk menunaikan kewajiban tersebut.
Dan sejak masa nifas selesai, sebenarnya Pak Dokter sering
memberi kode bahwa Beliau ingin mengambil haknya. Tapi dengan berbagai cara,
aku selalu berhasil melepaskan diri dari keinginannya tersebut.
Entahlah, aku sendiri tak mengerti dengan ketakutan yang
begitu menyergap diri. Ada kekhawatiran yang berlebihan kalau aktivitas ini
akan menyakiti luka bekas SC. Namun yang paling krusial, aku takut hamil lagi
karena diriku tidak ber-KB.
Sejak menikah, Pak
Dokter memang mengajakku ber-KB alami saja. Kami menggunakan sistem kalender,
dan terkadang mengkombinasikannya dengan metode interuptus. Dari hasil
penggabungan kedua metode KB itulah tercipta Anggi, Sang Pelangi kehidupan.
Belajar dari pengalaman itu, ada trauma yang menyelusup ke
relung hati. Sebenarnya ketakutan-ketakutan itu sangat tidak beralasan kalau
saja aku bicara terus terang pada Pak Dokter. Namun ntah kenapa, dalam hal
mengkomunikasikan hal penting inipun aku sedikit sungkan.
Kondisi psikisku mengalami pergeseran yang begitu signifikan.
Sebelum Anggi lahir, aku selalu berani bicara terbuka pada Pak Dokter tentang
semua keinginan, harapan, dan ketakutanku. Bahkan ketika aku sedang ingin
bercinta dengan Beliau-pun, aku tak sungkan mengungkapkannya duluan bahwa aku
ingin umroh.
Tapi kini semua sangat berbeda. Dan ketika mendengar
permintaan Pak Dokter untuk memindah Anggi ke box-nya, aku berpikir keras mencari alasan demi menghindari Beliau.
Kalau dibilang aku mengalami baby blues, aku yakin tidak.
Dari keempat anak yang kulahirkan, justru paska melahirkan Anggi inilah aku
merasakan kebahagian yang seutuhnya. Walau diri ini melahirkan di usia yang
sudah tak lagi muda, namun setelah kelahiran Anggi aku menikmati kemanjaan yang
dilimpahkan oleh semua orang padaku.
Pak Dokter begitu luar biasa. Perhatian, kasih sayang, dan
cintanya padaku seolah semakin bertumbuh. Beliau mengurus semua kebutuhanku,
memandikanku, menyuapiku, ikut bergadang membantu mengurus Anggi.
Sementara anak-anak juga tak jauh beda dengan Bapaknya. Di
hari-hari libur, mereka dengan rela membantu momong Anggi, menggantikan
pampers, menggendongnya di kala dia rewel.
Sehingga aku memiliki waktu istirahat yang sangat cukup, dan emosiku juga terjaga dengan sangat baik. Pendek kata, aku
bahagia dan sangat nyaman secara lahir dan bathin.
Pak Dokter sudah berpiyama lengkap, sementara aku telah purna
mengganti pampers Anggi, namun otakku belum menemukan alasan yang tepat demi
menolak Sang Belahan Jiwa. Perlahan namun penuh keraguan, aku menjejakkan diri
di peraduan.
Sementara Pak Dokter mengangkat Anggi dari pembaringan kami,
kemudian memindahkannya ke box yang terletak berseberangan dengan tempat tidur,
di sisi sebelah kirinya. Setelahnya Beliau menyusulku ke peraduan.
“Saya belum siap, Dok,” ujarku jujur ketika Beliau sudah
berbaring di sebelahku.
@@@@@
Akhir pekan ini kami pulang ke Salatiga. Ini kepulangan
pertama sejak kelahiran Anggi. Kali ini kami pulang di hari Sabtu siang, dan
hanya menginap semalam di Salatiga. Minggu sore kembali meluncur ke Semarang.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak menjejakkan kaki di rumah
peninggalan almarhum Pak Wicaksono ini. Sejak kehamilanku menginjak bulan ke
delapan hingga kini Anggi sudah berusia hampir tiga bulan.
Hhmmm...home sweet home. Aku rindu suasana rumah kami. Rumah
besar dengan halaman luasnya. Halaman
yang menghijau oleh hamparan rumput gajah mini, serta aneka pohon buah-buahan
yang mengitarinya. Mbak Sih merawat rumah kami dengan sangat baik.
Saat ini, kedua pohon rambutan yang ada di depan rumah sedang
berbuah lebat, dan sudah memerah. Setelah meletakkan barang-barang bawaan ke
dalam, Maghrib, Lintang, dan Mentari langsung mengeksplore halaman rumah nan
asri tersebut. Ketiga anak asyik mengambil buah rambutan dengan menggunakan
galah. Sambil duduk di kursi teras, aku mengamati mereka yang terlihat sangat riang dan bebas.
Walau halaman rumah Pak Dokter juga luas, namun penataannya
khas rumah-rumah perkotaan, berbeda jauh dengan kondisi rumah Salatiga yang
kental dengan suasana daerah pinggir kota. Itulah kenapa anak-anak begitu
menikmati suasana di sini.
Sementara Pak Dokter berjalan memantau sudut-sudut halaman dan
aneka pohon buah yang ada di sana. Ketika berada di bawah mohon matoa, Beliau berhenti dan menatap ke
atas, mengamati pohon asal Papua
tersebut, yang juga sedang berbuah untuk pertama kalinya.
“Matoa-nya banyak yang dimakan kelelawar, ya,” ujar Pak
Dokter sambil melihat ke arahku.
Selanjutnya Beliau berjalan ke halaman samping. Di sana
terdapat beberapa pohon jeruk kasturi dan juga pohon buah naga.
Beberapa saat kemudian, Beliau kembali ke teras, kemudian
mendudukkan diri di sebelahku yang sedang memangku Anggi.
“Buah naganya kok gak pernah jadi ya. Bolak-balik berbunga
tapi gagal terus jadi buah.” Beliau mengomentari pohon buah naga di halaman
samping.
Pohon yang termasuk keluarga kaktus tersebut memang rajin
banget berbunga, namun belum pernah sekalipun menghasilkan buah. Padahal setiap
berbunga bisa mencapai puluhan, dan akan gugur ketika sudah membentuk buah
kecil.
“Kurang nutrisi mungkin, Dok,” jawabku tak terlalu yakin.
“Nanti bilang sama Mbak Sih, minta tolong suaminya untuk
ngasih pupuk pohon buah naga. Sekalian itu matoa-nya dibrongsong, biar gak
dimakan kelelawar. Soalnya saya lihat
banyak yang berjatuhan dengan kondisi tinggal separuh,” ujar Beliau sambil
menciumi pipi Anggi yang sedang berada dalam pangkuanku.
Bayi mungil tersebut seolah ikut menikmati suasana asri rumah
emaknya yang baru pertama kali dia kunjungi.
@@@@@
Selepas Isya kami bermaksud menikmati suasana malam kota
kecil yang berada di kaki Gunung merbabu ini. Karena cuaca Salatiga lumayan
dingin, aku tidak berani membawa Anggi turut serta. Bidadari mungil itu
terpaksa tinggal di rumah dengan mbak Sih.
Tidak seperti biasanya, ketika kami pulang ke Salatiga, mbak
Sih mendapat libur untuk pulang ke rumahnya. Kali ini aku meminta jatah libur
Beliau diundur hingga Senin.
Walau Anggi masih menyusu denganku, tapi dia juga menikmati
susu formula. Hal ini karena produksi ASI-ku kurang maksimal. Dan kondisi ini
sedikit memberi keuntungan ketika sewaktu-waktu aku harus meninggalkannya
karena ada keperluan di luar rumah.
Malam ini anak-anak minta dibawa ke Sate Sapi Suruh di
kawasan Jalan Sudirman. Walau tempatnya cukup sederhana, tapi kuliner ini
merupakan salah satu kuliner khas Salatiga. Sajian sate di sini berbeda dengan sate
di tempat lain, karena tekstur bumbunya yang sangat khas. Sementara satenya
sendiri juga cukup empuk.
Selesai menikmati makan malam berwujud daging tusukan yang
berpadu dengan lontong, ternyata Pak Dokter masih belum ingin pulang. Beliau
membawa kami ke sekitar Hotel Beringin -yang masih berlokasi di kawasan Jalan
Sudirman- untuk menikmati wedang ronde sambil duduk lesehan di trotoar.
Dalam situasi seperti ini, aku teringat Edel. Sebelum
menikah, Edel paling suka membawa adik-adiknya menikmati kuliner malam saat
kami pulang ke Salatiga. Ah...sulungku kini telah menjadi milik suaminya. Sejak
menikah, Edel baru sekali mengunjungi kami, tepatnya sebulan setelah dia
menjadi istri Raja. Saat itu mereka pulang ke Semarang dengan mengajak serta Biru
-bungsunya Sang Maharaja-.
Pak Dokter dan anak-anak cukup menikmati minuman penghangat
badan tersebut, tapi tidak denganku. Entah kenapa aku kurang suka dengan
jenis-jenis minum hangat seperti wedang ronde, bajigur, atau bandrek.
Sambil menunggu keempat anggota The Doctor’s menghangatkan
diri dengan minuman tradisionalnya, aku malah asyik memilah milih buah alpukat
dan pisang yang banyak dijual di sekitar hotel tersebut.
Alpukat dan pisang yang dijual di sini kualitasnya sangat
bagus, besar-besar dan segar. Sebagai emak-emak aku cukup kalap melihat pesona
dua jenis buah favoritku itu.
Setelah puas bersantai ria di pusat kota Salatiga, dan
membeli buah tangan pisang dan alpukat, akhirnya ketua rombongan –Pak Dokter-
mengajak anggotanya pulang. Cuaca malam yang semakin menggigit membuat
anak-anak langsung mengikuti titah Sang Bapak.
Sesampainya di rumah, anak-anak langsung bebersih diri
bersiap menuju peraduan. Ternyata aktivitas hari ini membuat mereka cukup
lelah, hingga tak mampu lagi untuk sekedar berkumpul mengobrol bersama emak
bapaknya.
Aku mengambil Anggi yang masih tertidur lelap di kamar Mbak
Sih, kemudian membawanya ke kamarku. Di rumah Salatiga, Anggi tidak punya box,
sehingga dia harus rela berbagi tempat tidur dengan emak bapaknya.
Pak Dokter baru keluar dari kamar mandi, setelah selesai
bebersih diri. Beliau langsung beranjak naik ke peraduan. Lelaki paruh baya itu
menciumi pipi gadis mungil kami.
Kutinggalkan kedua orang terkasih itu, aku menuju ke kamar
mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka. Setelah selesai, kususul mereka di
pembaringan. Aku membaringkan diri di antara Pak Dokter dan Anggi.
“Salatiga kok dingin banget, ya,” ujar Beliau sambil
mendekapku.
“Karena Njenengan terbiasa dengan cuaca Semarang yang panas,
jadi rasanya Salatiga itu dingin banget.”
“Nyonya....” Ujaran Beliau menggantung.
“Ya,”
“Sudah hampir empat bulan saya libur. Malam ini sudah bisakah
?”
@@@@@
“Pa, aku jadinya ambil Brio aja, gak jadi Agya.” Sambil menyendokkan
nasi uduk ke piring, Sulung Pak Dokter membuka percakapan ketika kami sedang
menikmati sarapan bersama.
Pagi ini Mbak Kas menghidangkan nasi uduk, sambal
teri kacang tanah, ayam goreng, irisan tomat dan timun, serta kerupuk sebagai
menu makan pagi kami.
Pak Dokter menjanjikan Lintang kendaraan roda empat jika dia
berhasil menembus Fakultas kedokteran di area Joglo Semar (Jogja, Solo,
Semarang). Namun kendaraan yang dijanjikan itu hanya kendaraan dengan kategori
LCGC ( Low Cost Green Car), mobil berbudget rendah namun ramah lingkungan.
Beliau tidak bermaksud memanjakan si Sulung, tapi hanya sekedar mengapresiasi
usahanya yang memang terlihat sangat gigih dan bersungguh-sungguh demi
mewujudkan impian masa depan.
“Gak usah mikirin mobil dulu. Yang penting belajar. Wong test
masuk aja belum.” Respon Pak Dokter terhadap pernyataan Lintang terdengar
sangat tidak bersahabat.
Sudah seminggu lebih Beliau terlihat uring-uringan.
Kesabarannya hilang. Setiap berbicara dengan anak-anak lebih sering menggunakan
oktaf tujuh. Pun demikian denganku, walau sikap dan kebiasaannya untuk mencium
kening sebelum berangkat dan setelah pulang dinas tetap Beliau lakukan.
Sepenuh hati aku
menyadari kalau diri inilah penyebab utama semuanya. Kejadian di rumah
Salatiga pekan lalu menjadi pemicunya.
Saat itu aku memang tidak memiliki alasan untuk menolak
Beliau. Namun tanpa kusadari, bulir bening membasahi pipi ketika Beliau sedang “membangunkan”
hasratku untuk melakoni ibadah suci. Demi melihat keadaanku, otomatis Pak
Dokter langsung menghentikan semuanya. Beliau bahkan tidak berusaha menanyakan
kenapa aku menangis.
Akhirnya malam itu sukses berlalu dengan sangat mengenaskan.
Beliau menghabiskan malam sambil berkutat di depan laptop. Sementara aku tidak
bisa memejamkan mata barang sedetikpun karena dihantui rasa bersalah. Dan Anggi
rewel hingga fajar menjelang.
Sesabar-sabarnya seorang anak manusia, ketika hasrat alami
yang paling mendasar gagal tersalurkan pasti akan sangat berpengaruh pada
kewarasan. Weekend di Salatiga berakhir dengan sangat nelangsa.
Dan dampak dari semua itu, seisi rumah harus merasakan sikap
uring-uringan Beliau selama seminggu lebih ini. Tak terkecuali Mbak Kas dan
Mbak Ramlah. Hanya Anggi lah yang terbebas dari radiasi amarah Sang Bapak.
“Aku cuma ngasih tau aja, kalau aku berubah pikiran.” Si
Sulung memberi argumentasi atas respon Bapaknya yang terdengar kurang ramah
itu.
Maghrib dan Mentari asyik menikmati nasi uduk buatan Mbak Kas.
Sementara aku hanya ikut duduk menemani semua anggota keluarga sambil memangku
Anggi.
“Fokus kamu sekarang itu belajar. Gak usah mikirin mobil, itu
urusan Papa. Terus juga kamu gak usah belanja-belanja segala macem yang gak
jelas. Jangan menghabis-habiskan uang Dhuha.” Pak Dokter malah berbicara panjang
lebar hingga mengaitkan masalah belanja anak sulungnya segalanya, “Nyonya,
nanti njenengan hubungin Dhuha, bilang gak usah lagi ngirimin Lintang uang
saku. Gaji dia ditabung saja untuk kebutuhan masa depan. Wong belum nikah kok
sudah rutin ngirim uang jajan setiap bulan,” lanjut Beliau masih dengan
kalimat-kalimat panjangnya. Nada bicaranya tegas dan tidak ramah.
Si Sulung mencoba untuk membela diri. Kelihatannya dia
tersinggung dengan ucapan Sang Bapak.
“Aku gak pernah pake uang Mas Dhuha. Uang yang Mas Dhuha
kirim tiap bulan masih utuh di rekeningku. Selama ini kalau butuh apa-apa,
untuk jajan dan jalan-jalan aku selalu pake jatah bulanan dari Papa kok. Lagian
kan bukan aku yang minta dikirimi uang, tapi Mas Dhuha sendiri yang setiap
bulan otomatis ngirimin aku. Kalau kutolak nanti Mas Dhuha tersinggung, jadi ya
kubiarkan aja mengendap di rekening.”
Sejak hubungan Dhuha dan Lintang terkuak, kedua anak ini
memang lebih terbuka kepada kami, orang tuanya. Lintang memberitahuku kalau
Dhuha setiap bulan rutin mengirimi uang jajan. Ketika hal itu kukonfirmasi ke
Dhuha, dia juga mengakuinya. Dan aku meneruskan informasi ini kepada Pak
Dokter.
Selama ini, hal itu tidak pernah menjadi masalah dan topik
bahasan. Tapi entah kenapa pagi ini, kok Beliau menyinggung masalah tersebut
hingga membuat putri sulungnya terlihat
sedikit sakit hati.
“Njenengan kenapa mengungkit-ungkit masalah itu tho, Dok.
Wong Lintang tu cuma menyampaikan keinginannya pengen Brio, gak jadi Agya, kok
jadi merembet ke mana-mana.” Aku coba membela si Sulung.
“Maghrib, Mentari, kalau mau bareng Papa segera siap-siap.” Pak
Dokter sudah menyelesaikan sarapannya. Alih-alih merespon ucapanku, Beliau
malah memberi titah dengan nada tegas kepada Maghrib dan Mentari yang hari ini
ingin bareng sang Bapak.
“Ya, Pa.” Sepasang anak kami itu menjawab dengan patuh titah
Sang Bapak berbarengan, kemudian bergerak meninggalkan meja makan menuju kamar
masing-masing untuk mengambil tas.
Biasanya kedua anak tersebut berangkat ke sekolah menggunakan
jasa ojek online. Sekali waktu, saat sedang ingin Mentari akan membawa sepeda
motor sendiri. Dan di saat Sang Bapak harus berangkat lebih pagi untuk suatu
kepentingan, mereka lebih suka ikut bareng dengan Pak Dokter, seperti pagi ini.
Sementara Lintang sekarang sedang menjadi pengangguran tak
kentara. Dia sudah menyelesaikan Ujian Nasionalnya. Sambil menunggu pengumuman
dan persiapan bertempur untuk masuk perguruan tinggi, dia mengisi waktu dengan
mengikuti bimbingan belajar di siang hari.
Sebenarnya Sulung Pak Dokter ini mempunyai keinginan yang
kuat untuk melanjutkan kuliah di almamater Sang Bapak. Namun aku mencegahnya,
aku tidak ingin gadis cantik ini menimba ilmu terlalu jauh. Aku memintanya
untuk tetap tinggal di Semarang, atau paling tidak di area Joglo Semar saja. Dulu
aku membiarkan Dhuha dan Edel melanjutkan kuliah jauh dariku. Tapi kini, diri
ini seolah begitu berat melepas keempat anak yang tersisa untuk melanglang
buana terlalu jauh.
Pak Dokter bangkit dari duduknya, beranjak menuju kamar. Aku
menitipkan Anggi pada Lintang yang masih bertahan di meja makan. Selanjutnya
kuikuti langkah-langkah Pak Dokter menuju kamar.
Beliau langsung menuju meja kerja, mengambil tas, selanjutnya
menuju ke arahku yang berdiri beberapa jarak dari dirinya. Lelaki kharismatik
yang sedang uring-uringan itu kemudian memeluk diri ini dan mengecup keningku
lembut.
“Nanti saya dibelikan pil KB, ya Dok,” ujarku sambil menyebut
merk satu pil KB yang dulu rutin kugunakan ketika masih menjadi istri Pak
Wicaksono. Aku cocok dengan merk tersebut, tidak membuat berat badan
menggelembung, justru efek positifnya menjadikan kulit lebih halus.
Mendengar permintaan yang tak terduga itu, Pak Dokter
menancapkan pandang ke mataku. Beliau tidak merespon ucapanku, melainkan
mengelus lembut ubun-ubunku, kemudian berlalu keluar kamar.
Aku kembali mengikuti langkah kaki lelaki terkasih itu.
Ketika kami tiba di ruang makan, Beliau mencium lembut pipi bidadari kecil kami
yang masih berada dalam gendongan Lintang. Setelahnya bapak enam anak itu
bergerak menuju garasi melalui pintu tembus di ruang keluarga.
Mentari yang juga sudah berada di ruang makan untuk menunggu
Pak Dokter, segera menyalamiku, menciumi adik bungsunya, kemudian bergegas
menyusul Sang Bapak ke garasi.
Sementara Maghrib ternyata masih melakoni hajat hidupnya
sebagai manusia di kamar mandi.
“Maghrib, sudah ditunggu Papa lho.” Aku memanggil si bungsu
yang sudah tak bungsu lagi itu dari depan pintu kamar mandi.
“Bentar, Ma. Ni dah selesai.” Maghrib membalas panggilanku.
“Duh...niat mo ngambil stroller kok malah lupa.” Aku bergumam
pada diri sendiri sambil kembali berjalan menuju kamar untuk mengambil stroller
Anggi.
Ketika diri ini hendak kembali ke ruang keluarga sambil
mendorong kereta bayi, Lintang menyusulku.
“Ma, ini Anggi. Aku mau nganter dek Maghrib dulu,” ujar
Lintang sambil meletakkan Anggi di dalam kereta bayinya.
“Lho, Dek Maghrib gak jadi ikut Papa?” tanya-ku sedikit
bingung sambil menjajari langkah Lintang menuju ruang keluarga.
“Ditinggal sama Papa gara-gara masih di kamar mandi. Tau tu Papa,
makin aneh aja.” Si sulung berujar sambil bersungut dan bergegas mengambil
kunci sepeda motor, selanjutnya menuju garasi untuk mengantar anak lanangku.
Maghrib menghampiriku, menjabat tangan kananku sembari mencium punggungnya. Kemudian dia beralih menciumi pipi Anggi, setelah bergegas menyusul Lintang ke garasi.
"Aku berangkat dulu, Ma," ujarnya dalam ketergesaan.
Maghrib menghampiriku, menjabat tangan kananku sembari mencium punggungnya. Kemudian dia beralih menciumi pipi Anggi, setelah bergegas menyusul Lintang ke garasi.
"Aku berangkat dulu, Ma," ujarnya dalam ketergesaan.
Hatiku masgyul. Lelaki paruh baya nan kharismatik dan sudah
memiliki enam anak itu ternyata bisa berubah bagaikan kanak-kanak yang sedang
ngambek berat ketika hasrat alaminya tak terpenuhi.
Aku kembali ke ruang makan. Kuletakkan stroller Anggi di
sebelah kursi tempatku duduk. kemudian
mengambil piring dan mulai menyendokkan nasi uduk serta melengkapinya
dengan seluruh elemen pendukungnya.
Aku masih asyik menikmati sarapan sambil merenung memikirkan
kekacauan yang kutimbulkan. Sesekali perhatianku teralih ke pesan-pesan masuk yang menghiasi gawai.
Beberapa saat berlalu, ketika terdengar Lintang mengucap salam. Sekolah Maghrib memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja waktu tempuh Lintang masih di atas rata-rata.
Beberapa saat berlalu, ketika terdengar Lintang mengucap salam. Sekolah Maghrib memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja waktu tempuh Lintang masih di atas rata-rata.
“Kok cepat banget? Kamu ngebut ya, Tang?” tanyaku spontan
pada sulung Pak Dokter.
“Gak ngebut-ngebut banget sih, Ma. Soalnya aku takut Dek
Maghrib telat, kasian,” ujarnya sambil mendudukkan diri di kursi sebelahku.
“Ma, Papa kenapa sih kok belakangan marah-marah melulu? Tadi
aku tersinggung banget, seolah-olah aku tuh senengnya ngabis-ngabisin uangnya
Mas Dhuha. Padahal kan aku gak pernah minta, Mas Dhuha sendiri yang ngirimin.”
Gadis ayu itu meluapkan uneg-uneg yang mungkin
menyesaki rongga dadanya sambil menowel-nowel pipi Anggi yang tertidur dalam
strollernya.
Mendengar keluh-kesahnya, ada rasa bersalah yang tiba-tiba
menghantam dada. Ya, karena aku menyadari, semua keadaan ini aku penyebabnya,
akhirnya setiap insan di rumah ini ikut mencicipi efek negatifnya.
“Mungkin Papa lagi banyak gawean.” Sambil mengunyah sarapan
dengan perlahan, aku merespon ucapan gadis itu, “Kalau Papa sedang emosi gitu, jangan diambil hati, ya Tang. Itu
cuma ungkapan rasa sayang dalam bentuk yang berbeda,” lanjutku sambil mencoba
berfilosofi.
“Tapi aku heran banget, Ma. Belakangan ini Papa tu beda.
Mungkin sebenarnya Papa gak suka kali
kalau aku punya hubungan dengan Mas Dhuha. Wong, aku bicara masalah mobil kok
saurannya jadi nyerempet ke uang segala.” Nada bicara Lintang terdengar sedih
dan kecewa.
Sampai di titik ini, perasaan bersalah benar-benar menikam
jantungku. Si sulung mulai berprasangka buruk kepada Sang Bapak. Ada rasa tak
tega melihat kesedihan bergelayut di wajah indahnya. Sebagai ibu tiri, rasa
sayangku kepada kedua anak Pak Dokter begitu penuh dan tulus. Mereka anak-anak
baik yang berbudi luhur. Aku menyayangi keduanya sepenuh hati, hingga ketika
sebersit duka menghinggapi mereka, hatiku juga ikut tercabik.
“Gak boleh berprasangka buruk sama Papa, Tang. Papa gak
seperti itu. Akhir-akhir ini Papa memang sedang banyak pikiran. Nanti Mama coba
bicara sama Papa, supaya gak terlalu
meluapkan emosi tanpa pandang waktu dan tempat.” Kucoba membujuk gadis remaja
tersebut sambil mengusap kepalanya yang kini berlapis jilbab.
Dan kukokohkan satu niat untuk membuka diri dan berbicara
dari hati ke hati dengan Pak Dokter, agar
orang-orang tak lagi menjadi pelampiasan emosi Beliau.
@@@@@
“Pesanan saya sudah dibelikan, Dok?” Sambil meletakkan Anggi
yang sudah tertidur pulas ke box-nya, aku menagih pil KB yang kupesan tadi pagi.
Pak Dokter sedang duduk di kursi meja kerja sambil menatap
laptop yang menyala. Kelihatannya Beliau sedang berkutat dengan beberapa tugas.
“Pil KB untuk apa?” Beliau mengalihkan pandang ke arahku.
Pertanyaan suami tercintaku ini sungguh absurd.
“Untuk cemilan menjelang tidur,” jawabku asal, “Supaya
Njenengan gak uring-uringan terus lho,” lanjutku lugas sambil naik ke tempat
tidur. Kurebahkan diri, kemudian menarik selimut menutupi kaki hingga ke dada.
Pak Dokter tertawa mendengar jawabanku. Selanjutnya Beliau
kembali fokus menekuri laptop, menekan tuts-tutsnya, dan tidak merespon
ucapanku lagi.
Mendapati kalimatku tak berbalas, diri ini berusaha untuk
memakluminya. Mungkin emosi Beliau belum stabil, dan mungkin tugas yang sedang
Beliau kerjakan benar-benar penting, hingga pertanyaan sederhanaku tak perlu
segera dijawab.
Kupejamkan mata, mencoba menjernihkan pikiran dari segala
prasangka dan praduga. Keberadaan Anggi memang membuatku sering tertidur lebih
cepat dari kebiasaanku yang dulu. Aku harus menyesuaikan diri dengan ritme
tidur si bungsu.
Walau waktu masih menunjuk ke pukul 21.00, aku berusaha untuk
mengistirahatkan diri, mengumpulkan energi untuk nanti kembali bangun menjelang
tengah malam.
Perlahan namun pasti, jiwaku mulai memasuki zona mimpi, walau
belum sepenuhnya. Dalam kondisi setengah terlelap, aku bisa merasakan kalau ada
yang memeluk tubuh tua ini.
“Njenengan sudah tidur?” Pak Dokter membisikkan seuntai
kalimat di telingaku. Beliau sudah menyusulku ke pembaringan.
Aku tidak menjawab tanya Beliau. Sebagai gantinya, kubuka
kelopak mata yang terasa berat karena kantuk yang mulai menjalari diri. Kutatap
wajah lelaki terkasih yang berbaring sambil mendekap tubuhku.
“Kenapa, Dok?” tanyaku dengan suara sedikit parau khas orang
mengantuk.
“Ada yang mengganjal pikiran Njenengan?” Mendengar pertanyaan
Beliau, seketika kantukku hilang, terbang bersama hembusan sang bayu.
“Sekarang Njenengan berbeda, gak seperti dulu.” Pak Dokter
melanjutkan bicaranya. Beliau sudah melepaskan dekapannya.
Aku bangkit dari tidur, kemudian duduk sambil bersandar di
kepala tempat tidur. Pak Dokter mengikuti perbuatanku.
“Maafin saya ya, Dok?” ujarku tulus.
“Kenapa?”
“Saya takut, saya malu, saya sungkan.”
“Takut dan malu karena apa?” Beliau bertanya sambil menoleh
menatapku lekat, “Dulu kita saling terbuka, bebas berbicara apa saja, gak ada
yang ditutup-tutupi,” lanjut Beliau.
“Tapi sekarang Njenengan seperti menghindar dari saya. Seolah-olah ada
ganjalan atau rahasia yang Njenengan pendam.” Lelaki terkasih itu kembali
melanjutkan ujarannya, “Saya berusaha
membahagiakan dan menjaga emosi Njenengan supaya tidak terkena syndrom baby
blues. Anak-anak juga saya minta untuk selalu mensupport Njenengan. Dan saya
lihat Njenengan cukup bahagia dan rileks.”
“Saya akui, memang saya bahagia banget, Dok. Saya gak pernah
capek, gak kurang tidur, semua memanjakan saya.” Aku merespon kalimat Pak
Dokter sejujur mungkin.
“Usia kita memang sudah tidak muda lagi. Kita menikah karena
ingin memiliki teman berbagi di hari tua. Namun tidak bisa dipungkiri, dalam
satu pernikahan, seks tetap punya peranan walau tidak dominan. Di akhir
kehamilan Njenengan, saya sangat maklum ketika Njenengan kesulitan melayani
saya, dan saya tidak menuntutkan? Tapi ketika masa nifas udah berakhir namun
Njenengan selalu mencari alasan untuk menghindar, saya mulai berpikir kalau ada
rahasia yang njenengan pendam. Puncaknya minggu lalu ketika Njenengan tidak
memberi alasan apa-apa, tapi tiba-tiba menangis ketika akan saya kunjungi.
Jujur, saya merasa tersinggung. Seolah-olah saya terlalu memaksa Njenengan
hingga njenengan merasa tersiksa dan menangis.”
Kudengarkan dengan seksama semua keluh kesah Pak Dokter.
Kubiarkan Beliau melonggarkan semua beban yang mengganjal hati dan pikirannya.
Aku hanya bisa terpekur mendengar ungkapan hati Beliau. Ada
rasa bersalah yang begitu besar menghentak-hentak di dada. Sejujurnya, aku juga
merindukan belaian dan kehangatan Beliau. Tapi ketakutan akan rasa sakit dan
kembali hamil mengalahkan keinginanku untuk menikmati cumbu rayu Beliau.
“Nyonya...di usia tua seperti ini, saya masih memiliki hasrat
yang kadang sedikit menggebu, itu karena saya terlalu mencintai Njenengan.
Keberadaan Njenenganlah yang membuat libido dan semangat saya tetap terjaga.
Mungkin kalau bukan Njenengan, saya gak akan seperti ini.” Mendengar kalimat
terakhir Pak Dokter, aku teringat kisah tentang interaksi pribadi Beliau dengan
sang mantan kedua.
“Saya takut hamil lagi, Dok. Saya juga takut kenapa-kenapa
dengan luka bekas SC.” Aku merespon ucapan Beliau dengan alasan lugas yang
kukemas sesingkat mungkin.
“Hanya karena alasan itu?” Nada suara Pak Dokter
menggambarkan kalau Beliau tidak terlalu yakin dengan alasanku, “Njenengan kan
bisa bicara langsung apa adanya, gak perlu ditutup-tutupi seperti ini,” lanjut
Beliau.
“Ntah kenapa, saya rasanya berat mau mengungkapkan semuanya,
Dok. Gak seperti dulu, saya bisa leluasa mengungkapkan isi hati, bahkan ketika
saya ingin umroh, saya gak malu-malu ngajak Njenengan.”
Pak Dokter tertawa mendengar pengakuan jujurku. Beliau
merengkuh diri ini dalam pelukannya.
“Ternyata di balik kebahagiaan dan kenyamanan yang njenengan
rasakan, Njenengan tetap tidak bisa terhindar dari baby blues, walaupun
kadarnya kecil banget.”
“Saya bahagia, Dok. Saya gak depresi.”
“Yang bilang njenengan depresi siapa? Perasaan takut hamil
dan takut sakit yang terlalu berlebihan itu juga termasuk ciri-ciri baby blues.”
“Sekarang kenapa Njenengan mau cerita?” lanjut Beliau.
“Saya merasa bersalah sama anak-anak. Karena saya, mereka
menjadi pelampiasan emosi njenengan. Tadi pagi Lintang curhat kalau dia
tersinggung dengan kata-kata Njenengan.” Aku menjawab tanya Beliau sambil
mengisahkan curahan hati Lintang yang ditumpahkan padaku.
“Alasan Njenengan menghindari saya itu terlalu sepele dan
mengada-ada. Saya ini lelaki tua, saya gak akan grusa-grusu mengingat ada bekas
luka di tubuh njenengan. Dan alasan takut hamil itu juga gak elit banget.
Melihat njenengan berjuang antara hidup dan mati ketika melahirkan Anggi, itu
sudah cukup membuat saya bertobat untuk tidak menghamili Njenengan lagi.” Kali
ini gantian aku yang tertawa mendengar ucapan Beliau.
“Tapi njenengan bilang masih pengen bikin anak laki-laki?”
Aku melempar balik kata-kata yang pernah Beliau ucapkan.
Lelaki terkasih itu tertawa sambil mengeratkan pelukannya,
kemudian mengecup ubun-ubunku dengan lembut dan penuh kasih.
“Pil KB-nya gak saya beli,” ujar Beliau santai, “ Tapi saya
sudah menyiapkan yang lain, soalnya kalau pake pil KB, saya masih harus menunggu beberapa hari lagi.” Kalimat lanjutan Beliau begitu sarat makna.
@@@@@
Mentari dan Maghrib sudah berangkat ke sekolah masing-masing
dengan menumpang ojek online. Aku dan Lintang menemani Pak Dokter yang sedang
menikmati sarapan paginya.
Lintang asyik menggendong Anggi. Bayi mungil itu dalam
kondisi terjaga. Matanya berkejap-kejap tak tentu arah. Diciuminya pipi si
bungsu dengan penuh rasa gemas.
“Tang, Brio-nya mau warna apa?” Sambil menikmati bubur kacang
hijau sebagai menu sarapan, Pak Dokter mengajukan tanya kepada si sulung dengan
nada bicara yang begitu menyejukkan.
Mendengar tanya Sang Bapak, gadis manis itu refleks menatap
ke arahku. Aku membalas tatapannya dengan gelengan kepala.
“Test masuk aja belum, Pa.” Tidak ingin mendapat kecaman dari
sang bapak seperti kemarin, Lintang merespon ucapan papanya dengan sangat
hati-hati.
“Nanti kalau pas waktu Papa longgar, kita ke dealer.” Pak
Dokter bicara sambil tetap fokus dengan sarapannya.
Aku tersenyum melihat prilaku lelakiku tersebut. Memang benar
yang diungkapkan Ustadz Khalid Basalamah dalam salah satu ceramahnya, bahwa ada
unsur api dalam kandungan sperma manusia. Sehingga ketika sperma tidak
tersalurkan dalam waktu yang cukup lama, bisa menimbulkan panas dan memicu
emosi. Sebaliknya ketika sperma tersalurkan secara rutin akan memberi dampak
teduh dan tenang kepada si empunya tubuh. (SSttttt....tapi ini hanya berlaku
bagi yang sudah memiliki pasangan sah ya.)
0 Komentar