Sepenggal Catatan Kasih






Didedikasikan untuk : Prof. Dr. dr. Catharina Suharti, Sp.Pd-KHOM, Ph.D


Berawal di tahun 2007 ketika aku mengalami keguguran. Perpaduan luka phisik dan luka batin yang teramat mendalam membuat kondisi tubuh sering nge-drop. Aku menjadi tamu langganan rumah sakit. Beberapa  bulan sekali menjalani bedrest dengan diagnosa yang selalu sama, hemoglobin dan trombosit rendah, juga nyeri lambung.

Keadaan ini berlangsung sekitar dua tahun, hingga akhirnya dokter yang menanganiku -dr. Dony Kristianto- menyarankan untuk melakukan test imunitas atau test ANA (Antinuclear Antibodies Test). Test ini digunakan untuk mendeteksi penyakit autoimun, salah satunya  Lupus.

Dari hasil test ANA, ternyata dugaan dokter Dony benar adanya, aku terdeteksi menderita Lupus.
Pada saat itu dokter pemerhati Lupus belum banyak. Salah satu dari yang tidak banyak itu adalah Prof. Dr. dr. Catharina Suharti, Sp.Pd-KHOM,Ph.D. Beliau merupakan guru besar di Universitas Diponegoro yang juga mengabdikan diri sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang dan Rumah Sakit Tlogorejo.

Dokter Dony merekomendasikan diriku untuk menemui Profesor Suharti. Aku yang selama ini rutin menjadi langganan Rumah Sakit Elizabeth, akhirnya pindah lokasi ke Rumah Sakit Tlogorejo demi bisa berkonsultasi dengan ibu Profesor.

****

LUPUS...,mendengar namanya saja sangat asing di telinga, tapi justru aku terjangkiti penyakit ini. Di awal mendapat vonis sebagai ODAPUS (Orang Dengan Lupus), aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, dan apa yang harus dilakukan. Satu-satunya hal yang kupahami bahwa diri ini akan sepenuhnya bergantung pada obat-obatan. Selamanya.

Terus terang kondisi ini membuatku tidak siap untuk menghadapi hidup. Aku menjadi pesimis, cengeng,  egois, juga kehilangan semangat hidup. Terlebih lagi bila  sedang merasakan kesakitan yang teramat sangat di seluruh tubuh, di tempat yang berbeda-beda.

Perhatian suami yang begitu tulus, kasih sayang orang tua yang begitu hangat, serta kemanjaan putra semata wayangku, semua terabaikan. Diri ini merasa, orang-orang disekitarku hanya bisa bicara memberi segala macam nasehat dan petuah-petuah, tanpa mereka mau merasakan betapa tersiksanya aku menahan rasa sakit disekujur tubuh.

Terkadang rasa sakit yang hebat menghampiri  perut, di waktu yang berbeda rasa sakit itu pindah ke kepala. Bahkan sering aku merasa tidak nyaman dengan tubuhku sendiri, karena bagaimanapun posisiku, seluruh tubuh ini terasa sakit. Selain itu, karena pengaruh obat wajahku mengalami fase moonface (wajah bundar seperti bulan), rambut rontok, dan sangat rentan terhadap cahaya matahari.

Dengan kondisi seperti ini, aku mengalami perubahan total, baik dari segi phisik maupun psikis. Secara phisik, sudah jelas ruang gerakku terbatas. Aku yang notabene seorang ibu rumah tangga, yang seharusnya bertugas melayani suami, merawat serta mengasuh anak, dan mengurus rumah tangga, akhirnya hanya bisa menghabiskan sebagian besar waktu dengan berbaring di tempat tidur. Dan yang pasti,  menjadi pelanggan tetap rumah sakit, rutin menjalani bedrest. 

Secara psikis, aku cenderung berubah menjadi pribadi yang egois dan cengeng. Aku ingin setiap orang memahamiku. Aku ingin setiap orang memperhatikanku. Aku ingin setiap orang memenuhi semua keinginan dan kebutuhanku. Aku menjadi sensitif, gampang marah, dan mudah tersinggung.

Sejujurnya aku sendiri tidak menginginkan bersikap seperti itu. Sering kali setelah meluapkan emosi kepada suami, bapak dan ibu, atau anak, aku menyesalinya sepenuh hati. Tetapi kejadian itu berulang lagi dan lagi di lain waktu.

Beruntung aku memiliki suami yang hebat dan tangguh, bapak dan ibu yang penyabar, serta anak yang lucu dan sehat. Mereka sangat memahami kondisiku, tidak pernah tersinggung atau kecewa menghadapi prilaku egoisku.

 @@@@@

Setelah menyandang status sebagai ODAPUS, tahun 2009 aku resmi menjadi pasien Prof. Suharti. Seorang wanita usia paruh baya dengan penampilan sederhana namun terkesan elegan. Rambut keriting pendek merupakan ciri khas ibu profesor yang berwajah manis ini. Secara keseluruhan penampilan Beliau menggambarkan sosok wanita cerdas. 

Di awal berinteraksi dengan beliau, hubungan kami biasa saja, layaknya pasien dan dokter. Namun karena waktu itu kondisiku begitu parah, keluar masuk rumah sakit dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan  terkadang dalam sebulan aku harus rawat inap sebanyak dua kali, membuat Sang Profesor hapal dengan keberadaanku. 

Konon lagi, karena diri ini termasuk tipikal emak-emak yang hobby bercerita, hingga tiap kali beliau visit atau saat jadwal kontrol kami sering terlibat perbincangan santai. Situasi inilah yang akhirnya memicu  terjalinnya kedekatan antara aku dan Prof. Suharti.

Ketika kedekatan mulai terjalin, aku bagai mendapat suntikan energi positif. Walau beliau seorang Profesor, dokter senior, tapi perhatiannya padaku yang hanya seorang pasien biasa, begitu istimewa.

Kepada beliau aku bebas bercerita apa saja. Ketika rasa lelah menghempas ke titik nadir, beliau selalu menguatkanku. Ketika diri ini mulai menyesali hidup dan takdir, beliau mengingatkanku akan kuasa Tuhan. Beliau tidak pernah bosan mendengar keluh kesahku. Beliau juga tidak pernah menganggap aku cengeng. Bagiku beliau bukan cuma berperan sebagai dokter, tapi juga sahabat, bahkan ibu, yang membimbing dan mengayomi anaknya.

Walaupun kondisi psikisku masih sering naik turun, kadang stabil, kadang galau, tapi rasa syukur kepada Tuhan tak pernah henti tercurah, karena setidaknya saat itu aku sudah memiliki teman berbagi yang memahami diri ini sebagai ODAPUS sepenuhnya.

Di tahun 2010, Tuhan kembali memberi teman baru. Aku berkenalan dengan “teman ODAPUS pertamaku”. Namanya Mbak Tika. Beliau adalah Ketua Yayasan Lupus Indonesia Cabang Yogyakarta. Melalui Mbak Tika, diriku mulai mengembangkan sayap mengenal teman-teman ODAPUS lainnya. Dan berkat Mbak Tika juga, aku mulai sering mengikuti kegiatan atau segala macam seminar yang berhubungan dengan Lupus.

Wawasanku mulai terbuka. Cara pandang terhadap Lupus juga mulai berubah. Kalau tadinya aku menganggap penyakit ini bagai bencana, kini tak lagi demikian. Diri ini mulai menikmati takdir yang Tuhan titipkan kepadaku. 

Biasanya sehabis mengikuti satu seminar atau kegiatan yang berhubungan dengan komunitas Lupus, saat jadwal kontrol aku akan bercerita kepada bu Profesor tentang aktivitas yang baru berlalu tersebut. Beliau cukup apresiatif mendengar kisah dan pengalamanku.

Tidak hanya mengapresiasi dan memberi dukungan moral, bahkan bu dokter juga tak sungkan memberi dukungan materi.

Satu kejadian yang selalu kuingat ketika akan menghadiri WLD (World Lupus Day) di Tanakita Bandung. Saat itu selesai konseling dengan beliau, kami berbincang santai seperti biasa. Mengetahui kalau aku dan suami berencana menghadiri peringatan hari Lupus, seketika Beliau mengajukan seuntai tanya.

“Rencananya ke Bandung naik apa?”

“Bawa mobil sendiri, Buk,” jawabku apa adanya.

Benar-benar di luar dugaan, bu dokter langsung mengulurkan sejumlah uang yang bagiku jumlahnya cukup besar.

“Buat  beli bensin.” Begitu ucapan Beliau saat itu.

Jujur, perasaanku campur aduk antara kaget dan terharu. Aku sungguh tidak menyangka dengan spontanitas beliau.

Di lain waktu, ketika kontrol di tempat praktek Beliau, bu dokter juga sering menggratiskan diriku.

“Uangnya buat beli makanan aja.” Demikian ucapan beliau yang selalu terngiang saat menolak dengan halus biaya kontrolku.

Selain itu, walau aktivitas beliau cukup padat, namun bu dokter tetap bersedia merespon segala tanya yang kuajukan melalui telphone dan di luar jadwal kontrol.

Tak terasa tiga tahun sudah berlalu sejak pertama kali mendapat vonis sebagai ODAPUS.  Aku masih tetap bersemangat mengikuti seminar  yang berhubungan dengan Lupus. Selama ini, lokasi acara-acara sejenis itu, selalu terfokus di seputaran Yogya. Hal tersebut disebabkan, karena Semarang belum memiliki komunitas yang menaungi penderita penyakit autoimun ini.

Seiring berjalannya waktu, ternyata para wanita tangguh yang resmi mendapat gelar ODAPUS di Semarang semakin bertambah. Hingga di suatu waktu pada tahun 2012, saat kami sedang berbincang mengenai kegiatan seminar yang baru saja kuikuti, tetiba bu dokter mengutarakan satu ide, kenapa Semarang tidak membentuk komunitas sendiri, sehingga para ODAPUS yang bermukim di sekitarnya tidak perlu jauh-jauh ke Yogya kalau ingin menghadiri kegiatan-kegiatan seperti itu.

Ah...Bu Dokterku memang istimewa sekali. Beliau tidak  sekedar mencetuskan ide, namun juga berperan aktif mengumpulkan data para ODAPUS yang kebetulan menjadi pasien Beliau. 

Butuh waktu beberapa bulan untuk mengumpulkan data, menggodok ide, dan kemudian menuangkannya dalam beberapa konsep. Hingga akhirnya, pada tanggal 6 Februari 2013, bertempat di RS. Kariadi, diresmikanlah Panggon Kupu, suatu komunitas yang menaungi pasien autoimun di Semarang dan sekitarnya.  

Bahkan setelah Panggon Kupu resmi berdiri, bu dokter tidak serta merta lepas tangan. Beliau masih terus membersamai setiap langkah kami di Komunitas ini. Ketika Panggon Kupu mengadakan acara, beliau dengan senang hati membantu mencarikan sponsor untuk pendanaan. Dan berkat bantuan beliau jugalah sehingga komunitas Panggon Kupu selalu eksis di berbagai acara. 

@@@@@

Lupus adalah penyakit yang menguras tabungan, karena seorang ODAPUS sepenuhnya bergantung pada obat. Sementara obat-obatan yang harus dikonsumsi harganya tidak bisa dibilang murah. Dan aku cukup bersyukur karena perusahaan tempat suami bekerja menanggung 100% biaya rawat inap dan klaim rawat jalan bagi karyawan dan keluarganya melalui satu asuransi swasta.  Itulah sebabnya kenapa kami mampu bolak-balik menginap di rumah sakit swasta bergengsi.

Namun di tahun 2017, ketika pemerintah memberlakukan wajib BPJS, aku harus rela berpisah dengan bu dokter idola. Dengan fasilitas asuransi pemerintah, suami memutuskan untuk memindahkan aktivitas berobatku ke Rumah Sakit Kariadi. Sementara pada saat itu, bu dokter sudah purna tugas sebagai ASN, sehingga beliau tidak lagi praktek di rumah sakit pusat tersebut. Selanjutnya Prof. Suharti merekomendasikanku kepada rekan sejawat beliau, dr. Budi Setiawan, Sp.Pd-KHOM.

Walau demikian, hubungan di antara kami tetap terjalin dengan baik. Aku dan beliau masih rutin berkomunikasi melalui aplikasi whatsapp. 

Sepuluh tahun menyandang gelar sebagai ODAPUS tidak membuatku patah arang dan kehilangan semangat hidup. Kalau dulu aku menganggap Lupus itu musibah, sekarang justru sebaliknya, penyakit ini merupakan anugerah buatku.

Karena Lupus aku mendapat banyak teman dari beragam profesi dan latar belakang. Karena Lupus aku mendapat banyak pengalaman hidup yang mungkin tidak akan pernah kudapat seandainya hidup ini sehat-sehat saja. Karena Lupus, justru rasa percaya diriku semakin bertumbuh. 

Dan tidak bisa dipungkiri, semua itu bisa kudapat karena dukungan tulus seorang dokter. Dokter yang tak mampu menyembunyikan perasaan sedih ketika pasiennya mengalami kondisi nge-drop. Dokter yang kuanggap sebagai “Guardian Angel”.

"Terima kasih dokter Suharti. Obat paling mujarab yang pernah ibuk resepkan untuk kesembuhanku adalah ketulusan dan kebaikan hati ibu. Dan Selamat Hari Dokter Nasional, Buk. Semoga Ibu selalu sehat dan bahagia, sehingga tetap bisa menebar manfaat dan kebaikan untuk banyak orang.”

[Narasumber : Hariyani Pranoto - Pasien Instalasi Garuda- RSUP Dr. Kariyadi – Semarang.]


Note : Tulisan ini merupakan salah satu kisah inspiratif yang terdapat dalam buku antologi "A Tribute to The Doctors" yang akan launching di bulan Oktober 2019.





.

Posting Komentar

31 Komentar

  1. Ohh, baru ngeh penyakit Lupus itu kayak apa. Kebetulan banget di kantor lg agak rame bahas ini. Bisa disembuhkan total ngga sih, mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau yang selama ini aku tahu, tetap tergantung sama obat mbak. Cuma ketika kondisi membaik, biasa ODAPUS dapet remisi berhenti atau mengurangi dosis obat.

      Hapus
  2. mbaaaa ya Allah aku ikut campur aduk perasaanya sambil baca ini. Luar biasaa, kamu hebat mba. tetap sehat dan semangaaat yaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Isuuul....maaf, yang ODAPUS bukan aku, tapi temen yang namanya aku tulis sebagai narasumber di akhir tulisan. 🙏🙏🙏

      Hapus
  3. Masya Allah, aku baru tahu ternyata dirimu ODAPUS. Semoga makin diberikan kesehatan dan semangat berbagi tentang Lupus, agar semua orang kenal dan mengetahui apa yang mesti dilakukan bagi penderitanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Wati, ini kisah temen. Itu namanya aku tulis sebagai narasumber di akhir tulisan. Sengaja aku tulis pake PoV 1, biar tulisannya lebih bernyawa. Jadi bukan aku yang ODAPUS mbak, 🙏🙏🙏

      Hapus
  4. Kebanyakan odapus itu perempuan ya Mak? Aku juga punya teman odapus mak, malah ketahuannya dari tahun 1999 dulu. Perempuan juga. Waktu itu ketahuan setahun setelah melahirkan. Ih dia juga wanita hebat deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, betul Mak, mayoritas ODAPUS perempuan. Dan aku selalu kagum juga respek terhadap mereka, Mak. Temennya Njenengan juga wanita tangguh, Mak. Dah 20 tahun berarti, ya Mak?

      Hapus
  5. Masyaallah aku baru tau mbak Rohani kena lupus. Stay strong ya mbak semogq Allah segera sembuhkan penyakitmu. Peluk jauh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini kisah narasumber yang namanya tercantum di akhir tulisan, Mbak Muna. Kebetulan saya urai menggunakan PoV 1. 🙏🙏🙏

      Hapus
  6. Mbaak, ceritanya bikin aku mimblik-mimblik. Keren banget bu dokternya, Mbak! MasyaAllah, semoga semakin banyak dokter-dokter yang baik dan tulus seperti beliau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak Sovi. Walaupun sebenernya banyak dokter-dokter di daerah terpencil yang dedikasi begitu menakjubkan, tapi ketika ada seorang dokter senior di kota besar seperti Bu Suharti itu, speechless ya mbak.

      Hapus
    2. Kalau boleh di kata tdk ada dokter seperti Prof Harti.Seorang dokter senior nan kaliber yg mendedikasikan ilmu nya utk masyarakat.melayani pasien dgn sepenuh hati,penjelasan yg gamblang tpi tdk menimbulkan rasa takut dan panik kepada pasiennya.sangat lembut seakan kita sbg pasien sowan dan bercerita kpd org tua kita sdri.
      Saya juga pasien setia blio,Profesor ku........

      Hapus
  7. semoga temannya Mbak lekas sehat total ya aamiin, aku bacanya sampai merinding, dan terima kasih sudah sharing kisah inspiratif teman tersebut jadi bikin harus terus bersyukut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allah. Sami-sami mbak, makasih juga untuk apresiasinya ya.🙏

      Hapus
  8. Aku sudah mendengar ttg Lupus ini, namun belum banyak tahu.. Tulisan ini memberi gambaran padaku. Ohya mba, apakah tidak lebih baik keterangan ttg Narsum itu di atas saja, biar tidak menimbulkan salah sangka spt bbrp komen sebelumnya..hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Iya mbak, karena aku tulis pake PoV1, jadi seolah-olah itu kisahku. Btw...makasih banget masukannya, Mbak. Nanti kuedit.🙏

      Hapus
  9. Odapus kebanyakan penderitanya wanita ya mba, semoga makin banyak yang melek soal penyakit ini dan lebih waspada..

    BalasHapus
  10. Ya Alloh bu dokter baik banget ya mba, perhatian sekali. Semoga dikuatkan temen2 odapus yaa aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Zaman sekarang ini, menemukan sosok spesial seperti Bu dokter ini (apalagi di kota besar) langka ya mbak. Aamiin.....

      Hapus
  11. Subhanallah.... aku merinding baca ini, Mbak.... perjuangan ODAPUS luar biasa ya. semoga Teman Mba Ani dan Odapus lainnya selalu diberi kekuatan. Bu dokternya juga masyaALlah baik banget... salut sama orang2 seperti beliau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allah....makasih do'anya. Iya mbak, Bu profesor memang istimewa banget.

      Hapus
  12. Teman kuliahku ada yang ODAPUS juga mba, mana dia putranya banyak. Tubuhnya kurus, tapi semangatnya luar biasa. Cuma ya itu, klo pas Lupusnya kumat, obat steroidnya jadi naik dosisnya. Trus wajahnya membulat gitu. Dia udah berdamai dengan kondisinya, jadi akhirnya kondisinya udah stabil dan jarang sakit lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Uniek, rata-rata wanita ODAPUS itu semangat hidup dan jiwa berjuang ya tinggi. Temenku itu juga setelah berdamai dengan kondisinya, jadi lebih ikhlas menjalani hidup.

      Hapus
  13. Ceritanya kubaca dari awal sampai akhir. Luar biasa bagus dan inspiratif, mbak. Sukses ya untuk buku dan motivasinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banget untuk support dan apresiasinya mbak Yuli.🙏🙏

      Hapus
  14. Ya Allah betapa harus bersyukur nya aku masoh diberikan fisik yang sempurna. Salut untuk bu dokter yang sabar dan juga kamu yang sedang diuji Allah. Semoga diberikan ketegaran. Aku harus belajar banyak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Nyi...kalo melihat yang seperti ini, baru kita menyadari bahwa selama ini ternyata kadang-kadang kita kurang bersyukur.

      Hapus
  15. MasyaAllah, jadi ikut tercerahkan tentang apa itu ODAPUS.
    Juga kisah inspiratif dokter dan pasiennya.

    Semangat sehat ya mbak Rohani.

    BalasHapus