Ada Rindu di Gedong Songo.



Saat aku keluar dari mobil, hembusan lembut sang bayu memberi sentuhan dingin di ke dua pipi, khas cuaca pegunungan.

Perlahan kuayun kaki menapaki jalan berundak untuk menuju ke loket pembelian tiket. Setelahnya, tubuh setengah tua ini memulai petualangan menyusuri jejak-jejak masa lalu.

Pagi masih terlalu muda, namun diri ini telah tertambat di kompleks Candi Hindu yang berada di lereng Gunung Ungaran. Destinasi wisata andalan Kabupaten Semarang ini memang memiliki pesona yang seolah tiada habisnya. Perpaduan wisata budaya, edukasi, dan alam, yang bersinergi dengan apik ini cukup mampu menghipnotis setiap pelancong yang datang untuk kembali lagi di lain waktu.

Begitu pun dengan diriku. Dulu...aku kerap mengunjungi tempat ini, dan tidak pernah bosan untuk kembali dan kembali lagi.

Dari mulai gerbang masuk, jalan setapak yang kulalui terus menanjak. Sesuai dengan namanya -Gedong Songo- terdapat sembilan candi di kompleks ini. Dan keberadaannya tersebar berjauhan. Dibutuhkan stamina yang prima untuk bisa mencapai candi satu ke candi lainnya.

Saat aku melintasi jalan setapak untuk menuju ke candi pertama, para penjaja makanan ringan, tikar, dan joki kuda, saling berlomba menawarkan dagangan dan jasanya kepadaku.

"Naik kuda, Bu?"

"Jagung rebus ya, Bu. Masih anget."

"Air mineral, Bu. Nanti di atas panas."

Ya...walau cuaca terasa sejuk, namun matahari bersinar cukup cerah, sehingga tubuh cepat mengalami dehidrasi.

Celoteh para pencari nafkah itu memaksaku untuk memungut kenangan yang terserak.

"Mama, aku naik kuda, ya."

"Mama, aku mau beli jagung."

"Mama, aku haus, beli minum."

Suara dua bocah lelaki usia SD seolah bersahut-sahutan memenuhi gendang telinga. Sementara sekelebat bayangan masa lalu mengisi lokus-lokus di kepala. Wajah ketiga lelaki terkasih yang selalu menemani hari-hariku, menari-nari bagai fatamorgana di padang tandus. Ada rindu yang tak terperi, menohok tepat di jantungku. Laru luruh.

Kegagahan Gunung Ungaran yang memesona seolah tak mampu menghapus rindu yang membiru. Aku melanjutkan langkah menuju candi satu, mencoba mengurai rindu yang kian meraja. Persinggahan di candi satu tak lebih dari enam ratus detik, hanya sekedar tuk menyesap kenangan yang tersisa.

Selanjutnya, kaki letih ini kembali menyusuri jalanan setapak yang kian menanjak menuju candi dua. Rute ini semakin membuatku dejavu. Jalan nan sempit, yang diapit pagar hidup di sisi kiri serta jajaran warung di sisi kanan, kembali memintal memoriku ke masa lalu.

"Mama, aku capek."

"Mama, kita makan mie rebus dulu."

"Mama, kita duduk dulu, ya."

Kembali celoteh dua bocah lelaki mendera-dera alam bawah sadarku.

Serombongan anak usia SMA berjalan mendahului langkah-langkahku sambil bersenda gurau. Keceriaan khas remaja terpancar jelas dalam sikap dan tutur mereka. Kemeriahan yang tercipta dalam rombongan tersebut harusnya mampu menularkan energi positif pada diriku, namun tidak demikian adanya.

Sesekali aku berpapasan dengan satu atau dua petani sayur yang lahannya berada di belakang jajaran warung. Penampilan bersahaja dan senyum ramah yang senantiasa mereka suguhkan  kepada para pelancong seolah bagai satu paket yang ditawarkan oleh destinasi wisata ini.

Jalan setapak masih terus menanjak, tenagaku sudah mulai tertatih, namun gravitasi candi dua dan tiga seolah memberi asupan semangat buatku.

Tak kuhiraukan lagi peluh yang kian menderas, letih yang semakin menjajah tungkai, demi obsesi menjejakkan kaki di candi dua.

####

Aku beserta suami dan kedua bocah kembar kami, menyesap sekeping kebahagiaan di candi dua Gedong Songo untuk merayakan ulang tahun ke sepuluh buah cinta kami.

Perayaan sederhana di halaman candi yang diberi julukan candi Teletubbies oleh si kembar itu ternyata meninggalkan kesan yang cukup mendalam buat ke duanya, hingga seuntai kalimat permohonan terurai dari mulut si sulung, 

"Mama, nanti kalau kami ulang tahun yang ke tujuh belas, kita rayakan di sini lagi, ya."

Selebrasi minimalis ini sejatinya akan kami lanjutkan dengan acara makan siang di kawasan yang terkenal sebagai sentra rumah makan berkonsep pemancingan -Blater-.

Setelah puas bermain di bukit Teletubbies dan menikmati kemolekan panorama dari pelataran candi dua dan candi tiga, kami kembali menyusuri jalanan setapak untuk kembali ke gerbang utama.

Saat makan siang segera menjelang. Setelah berhasil meloloskan diri dari kepadatan area parkir, suami mulai memacu mobil dengan kecepatan rendah menuju Blater. Anak-anak duduk di jok tengah dengan santai. Aku yang duduk di samping suami, pun berusaha meluruskan sendi-sendi kaki yang terasa letih.

Suasana damai dan penuh ketenangan ini seketika berubah menjadi menegangkan ketika mobil yang kami tumpangi seakan tak mampu dijinakkan oleh suami. Lajunya tak terkendali, sementara kondisi jalan terus menurun. Mobil matic kami mengalami rem blong. Si kembar yang tadinya dalam kondisi mengistirahatkan diri, mulai berteriak ketakutan, histeris khas perilaku anak-anak. Sementara suami dan diriku tak henti mengucap takbir dan istighfar sebelum semuanya berakhir gelap.

####

Dan di sinilah aku sekarang. Dengan raga yang tak lagi sempurna setelah kecelakaan tujuh tahun yang lalu, akhirnya aku berhasil menapaki candi yang berada di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Candi yang jalan menuju ke arahnya berupa bukit kecil berumput indah, dengan batu besar di atasnya. Persis seperti bukit Teletubbies, film kesayangan anak-anakku di masa lalu.

"Selamat ulang tahun ke tujuh belas, anak-anak mama. Sampaikan salam Mama buat Papa."

Salatiga.

Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi "Ulang Tahun" yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel dan dilink ke http://www.gandjelrel.com/

Posting Komentar

0 Komentar