Sepenggal Kisah yang Harus Berakhir




Diri ini sedang mengemas beberapa novel 
dan gantungan kunci pemberiannya. Benda-benda 
koleksi kesayangan ini rencananya akan kubagi ke 
orang-orang yang berminat untuk memilikinya. 
Tekad sudah bulat. Walau rasanya tidak mungkin 
untuk melupakan dia, namun setidaknya aku 
berusaha secara total untuk tidak membangkitkan 
semua kenangan tentangnya. Dan mengenyahkan 
segala pemberiannya adalah satu cara yang kupilih.

Gawaiku bergetar. Dua untai pesan beruntun 
melalui aplikasi WA menghiasi layar. Tertulis 
namanya sebagai si pengirim. Tiga senja telah 
berlalu sejak pertemuan terakhir kami, dan selama 
itulah aku dan dia mengekang diri untuk mengakhiri 
semuanya. Benar-benar mengakhirinya, bukan 
sekedar wacana “hangat-hangat tai ayam”, yang 
hanya berlangsung sekejab, namun setelahnya 
berulang lagi.

[Ini pesan terakhir saya, Njenengan gak perlu membalasnya.]

[Pesan audio. Seuntai lagu dari Padi berjudul 
Kasih Tak Sampai.]

Kudengarkan pesan audio itu beberapa kali. 
Perasaanku kembali bermain. Beragam rasa berpadu 
jadi satu, namun rasa rindu-lah yang teramat 
dominan. Aku sangat merindukannya. Teramat 
sangat....

Tiga hari tidak berkomunikasi dengan dia 
merupakan siksaan terberat yang pernah kurasakan . 
Diri ini mencoba menghalau rindu dengan cara 
bermesraan pada Sang Khalik. 
Begitupun kali ini. Rindu itu begitu 
menggebu. Namun aku tak ingin kalah. 

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi di sudut 
kamar, menunaikan wudhu sesempurna mungkin. 
Setelahnya aku beranjak untuk berdialog dengan 
Ilahi Rabbi. Mengadukan rindu yang tak mau 
menjauh, mengadukan beratnya mengabaikan 
bisikan-bisikan setan.
Kupasrahkan hati, jiwa, dan tubuh dalam 
keharibaanNya. Kuikhlaskan Dia membimbing diri 
ini menuju jalan yang lurus. Allah....ampuni aku. 

Beberapa saat aku berasyik masyuk dengan Sang 
Kuasa. Perlahan namun pasti, ketenangan mulai
merasuki jiwa. Pikiranku kembali terbuka, hatiku 
kembali tentram.
Dalam kondisi terjaga dalam kewarasan, aku 
teringat pertemuan terakhir kami di Hari Minggu 
kemarin. 

Saat itu suamiku sedang ada kegiatan 
outbond dari perusahaannya di luar kota. 
Kesempatan ini kugunakan untuk mengiriminya 
pesan, membuat janji untuk bertemu.
Bukan...bukan janji untuk memadu kasih 
atau menuntaskan rindu. Melainkan karena aku ingin 
menyelesaikan jalinan cinta terlarang antara diriku 
dengan Beliau –duda paruh baya beranak dua-

***

Beliau, lelaki paruh baya yang berprofesi 
sebagai praktisi kesehatan itu kukenal sekian  
tahun yang lalu. Satu perkenalan biasa yang terjalin 
antara seorang praktisi dengan kliennya. Namun 
lambat laun hal yang tadinya biasa menjadi tidak 
biasa ketika tanpa kami sadari virus merah jambu 
diam-diam menyelusup menembus dinding-dinding 
tebal bertajuk kode etik profesi dan norma 
pernikahan.

Enam tahun berstatus single untuk kedua 
kalinya setelah sang istri berpulang, dijalani lelaki tegar ini apa adanya. Dan ketika dewi amor melepas 
cupid asmara, ternyata panah itu menuju tempat 
yang salah, tertancap di hati wanita bersuami. 

Aku yang notabene berstatus sebagai seorang 
istri dan ibu, tak mampu menolak pesona duda paruh 
baya yang begitu kharismatik tersebut. Lelaki ini 
memang cukup potensial untuk dicintai. Postur 
tubuhnya atletis, tinggi, gagah. Penampilannya 
bersih, wangi, dan selalu rapi. Di luar profesinya 
yang cukup bermartabat dan berkelas, Beliau
merupakan tipikal pribadi yang sederhana, tidak 
pernah pelit untuk berbagi, dan sangat menghargai 
sesama walau dari golongan manapun. Di samping 
itu, beliau memiliki kemampuan verbal yang sangat 
mumpuni, salah satu kelebihannya yang membuat 
diriku luluh lantak dan tak kuasa menolak uluran 
cintanya. 

Ketika seorang teman bertanya, apa karena 
profesinya yang sangat menjanjikan hingga aku bisa 
jatuh dalam kubangan cintanya. Dan saat itu 
kujawab dengan tegas, aku terjerat dengan 
penampilan fisik dan kesederhaan sikapnya, bukan 
karena profesinya. 

Bagai air mengalir, hubunganku dan Beliau
berjalan apa adanya. Dia sangat memahami posisiku yang terikat dalam suatu pernikahan. Dan akupun 
memahami kondisi dia yang harus menutup rapat 
hubungan kami demi terhindar dari sanksi kode etik 
profesi.

Hubungan kami tak seperti yang 
dibayangkan banyak orang. Ketika dua manusia 
dewasa yang sudah pernah merasakan nikmatnya 
interaksi pribadi antara pria dan wanita menjalin 
ikatan asmara, tentulah akan dibumbui dengan 
romansa kontak fisik. Tidak...tidak demikian 
adanya.

Bagi kami, komunikasi intens yang terjalin 
lewat aplikasi whatsapp sudah merupakan 
kebahagiaan tiada tara. Saling bertukar sapa, berbagi 
cerita, berkirim perhatian, mengungkap rasa 
kekaguman, adalah rutinitas wajib yang terjalin 
setiap hari.
Ada kalanya di saat beliau sedang memiliki 
waktu luang, kita akan mengikat janji untuk 
bertemu. Sekedar menikmati makan siang bersama, 
atau memanjakan diri dengan facial di salon. 
Terkadang mengantar dirinya ke bandara ketika akan melakoni dinas luar kota. Atau beliau mengantarku ke tempat-tempat tertentu untuk berburu objek photo.

Lantas... suamiku ada di mana? Kenapa aku 
bisa demikian leluasa menghabiskan waktu bersama 
lelaki idaman lain tanpa takut termonitor oleh 
pasangan halalku?

Suamiku, seorang lelaki berjiwa pekerja 
tulen. Kesehariannya diisi hanya untuk bekerja. Pak 
Bojo juga tipikal lelaki yang mencintai istri dengan 
cara memberi kebebasan penuh pada pasangan. 
Itulah sebabnya, walau statusku terikat, tapi 
aku bebas berekspresi layaknya wanita single. Bebas 
bergabung dengan beragam komunitas yang 
kusukai, bebas beraktivitas, bebas bersuara, hanya 
dengan bermodal izin lisan atau tulisan (melalui chat 
wa). Dengannya, aku menjadi wanita mandiri 
seutuhnya. Namun ternyata kebebasan itu justru 
membuatku terjerumus dalam jaring asmara 
terlarang.

Dan akhirnya, di sinilah kami sekarang. Di 
satu resto bernuansa alam yang berada di lereng 
Gunung Ungaran. Beliau memenuhi permohonanku 
untuk bertemu. Bertemu untuk berpisah.

“Ada yang mengganggu pikiran 
Njenengan?” Sepenggal tanya terucap dari mulut lelaki kharismatik yang selalu memporakporandakan 
hatiku.

“Kita akhiri semuanya sampai di sini.”

“Kenapa?” tanyanya dengan nada terkejut.

“Kita sudah gak muda lagi. Semua yang kita 
lakukan ini sia-sia. Sebenarnya apa yang kita cari ?” 
tanyaku dengan nada suara bergetar.

Dia terdiam, menatapku lekat. Mungkin dia 
tidak mengira kalau pertemuan atas permintaanku 
ini justru merupakan ajakan untuk berpisah. Ada 
berjuta kecewa bersemayam di bola mata cerdasnya. 
Sementara aku merasakan berjuta sembilu 
mengiris-iris jiwa.

Tanpa sungkan aku menangis di 
hadapannya. Aku mengurai air mata di depan lelaki 
yang mencintaiku dengan tulus, walaupun dia 
menyadari statusku sebagai seorang istri dan ibu.
Melihatnya yang tak mampu berkata-kata, di 
sela-sela tangisan aku kembali mengurai untaian 
kalimat.

“Tangisan ini jangan Njenengan jadikan alat 
untuk semakin menjerat saya. Saya menangis di 
depan Njenengan karena saya tau Njenengan itu lelaki baik-baik. Njenengan pasti memahami posisi 
saya yang terjepit.”
Aku melempar pandang ke arahnya. 

Tatapannya masih melekat erat ke netraku. Samar 
terlihat mata cerdas itu juga berkaca-kaca. 

“Saya menangis untuk suami dan Njenengan. 
Ada rasa bersalah dan penyesalan yang begitu 
mendalam untuk suami. Dan ada rasa cinta yang tak 
terkatakan untuk Njenengan.” Aku meluapkankan 
segenap rasa yang menyesakkan dada.
 
Luapan 
perasaan itu berbaur dengan bulir-bulir bening yang 
membasahi pipi. 

“Kenapa semuanya begitu tiba-tiba? Saya 
belum siap berpisah dari Njenengan.” Nada suaranya 
lirih nyaris tak terdengar.

“Suami Njenengan mulai curiga?” lanjutnya.

“Gak...dia gak pernah tau tentang Njenengan. 
Saya yang merasa dikejar dosa.”

***

Aku meneruskan kembali kegiatan 
mengemas barang-barang pemberian Beliau. Selama 
beberapa  tahun menjalin hubungan, dia sering 
memberiku hadiah. Dan hadiah itu selalu berupa buku atau gantungan kunci. Karena aku kerap 
menolak setiap dia ingin memberi hadiah berbentuk 
barang pribadi seperti perhiasan, tas, atau produk 
fashion lainnya.

Dia rajin menghadiahiku buku, karena tahu 
akan kegemaranku membaca. Sementara gantungan 
kunci, karena dia juga tahu kalau aku hobi 
mengkoleksi benda-benda tersebut. Koleksiku belum 
banyak, baru sekitar 50 item dari 40 negara. Dan 
lebih dari setengahnya adalah pemberian dia. Setiap 
ada rekan sejawatnya yang pergi ke luar negeri, dia 
selalu pesan untuk dibelikan gantungan kunci, dan 
nantinya benda itu akan dia berikan untukku.

Dan kini... semua benda-benda penuh 
kenangan ini akan menjumpai majikan-majikan baru 
mereka. Tadi suamiku sempat bertanya kenapa aku 
mengemas barang-barang tersebut. Kujawab saja, 
mau dibagi-bagikan karena kalau benda-benda ini 
hanya dijadikan koleksi dan terpajang tak berguna, 
aku takut dengan hisabnya. 

Hhhmmm...berbohong? 
Iya, tapi tidak seratus persen, karena jawabanku juga 
ada benarnya.

Suamiku sedang asyik di meja kerja, 
menghadapi laptop yang terlihat menyala. 
Kupandangi wajah lelaki yang setia menemani hari-hariku selama lebih dari dua puluh tahun itu dari 
tempatku duduk. Dulu... aku pernah sangat 
mencintainya.

Aku rela meninggalkan duniaku hanya untuk 
mengayuh bahtera bersamanya. Kutinggalkan kota 
kelahiran dengan segala jejak-jejak kehidupan. 
Kutinggalkan ayah, ibu, keluarga, teman, pekerjaan, 
demi dia. Kutinggalkan semuanya karena aku 
mantap memilih dia sebagai imam.

Tapi kini rasa cinta yang dulu begitu 
menggebu ternyata bisa hilang, menguar tanpa 
bekas. Rasa cemburu yang kerap bergelayut manja 
di hati, kini menguap begitu saja. Aku tidak pernah 
lagi merindukannya. Bahkan yang paling parah, aku 
kehilangan sensasi erotis saat bersamanya.

Hati memang hanya berupa segumpal daging 
merah. Namun dari hati semua bermula, karena hati 
manusia terlalu gampang untuk terbolak-balik. Di 
tahun-tahun awal kehidupan rumah tangga kami, aku 
merasa tak kan pernah berpaling hati dari suami. 
Cintaku padanya selalu bergelora. Pun diri ini sering 
meremehkan orang-orang yang terlilit benang 
asmara ketika tak lagi muda. Konon pula melihat 
seorang wanita yang sudah tak lagi sendiri tapi masih memelihara resah gelisah, gundah gulana, 
hanya karena sepotong kata dengan ejaan c-i-n-t-a. 

Namun kini, seolah bagai bumerang semua 
sikap antipatiku itu justru menyerang diri sendiri. 
Sikap sombong dan tak berempati di waktu lalu 
seolah memberiku pelajaran hidup, bahwa cinta itu 
dahsyat, efek positif dan negatifnya bisa menyerang 
siapa saja, tak perduli usia atau gender. Mawas diri 
itu yang utama. Ampuni aku karena terlalu 
jumawa... ya Allah.

Tak ada individu yang ingin tersesat, ketika 
ia tahu ada jalan kebenaran terbentang di depannya. 
Namun manusia memiliki keterbatasan untuk 
menolak takdir, apalagi jika berkaitan dengan 
masalah hati.

Aku meraih gawai yang tergeletak di dekat 
tumpukan novel. Kupasang headset, memutar ulang 
pesan audio dari Beliau.

🎼🎼Indah...terasa indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta

Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki
Namun bila itu semua...
Dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
Tak semudah seperti yang terbayang
Menyatukan perasaan kita
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi kita
Berdua...berdua
Sudah...terlambat sudah
Kini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan ini.🎼🎼

Kuhapus pesan audio tersebut. Beliau lelaki 
yang baik, juga memiliki profesi dan penampilan 
yang sangat mendukung. Kalau Beliau masih punya 
keinginan untuk menikah, kudo’akan yang menjadi 
jodohnya nanti wanita baik-baik yang menyayanginya sepenuh hati.

Dan suamiku, walau semua rasa telah 
menguap, namun dia tetaplah imamku, pemegang 
kunci surgaku. 

_SELESAI_

"Ada kesucian di air mata. Air mata bukan 
tanda kelemahan, tapi kekuatan. Air mata berbicara 
lebih fasih dari sepuluh ribu bahasa. Air mata adalah 
utusan kesedihan yang luar biasa, penyesalan 
mendalam, dan cinta yang tak terkatakan."
[Washington Irving]

Note : Cerpen ini juga dimuat dalam buku antologi "Meretas Batas Dunia Kertas".

Posting Komentar

0 Komentar