Sepenggal Kisah yang Harus Berakhir (Part 2)


[Njenengan kenapa?] Seuntai pesan menghiasi gawaiku, tanpa salam, tanpa basa-basi, langsung ke pokok permasalahan. 

Aku sudah sangat familiar dengan nama si pengirim. Seseorang yang bayang-bayangnya selalu mengisi relung hati dan sudut jiwa, tempat yang seharusnya hanya boleh diisi oleh suamiku.

Sudah satu bulan kami putus komunikasi, atas permintaanku dan karena posisiku sebagai seorang istri dan ibu. Dalam kurun waktu itu, sesekali Beliau masih mengirimi pesan-pesan audio berisi lagu-lagu nostalgia manis. Atau sekali waktu lelaki kharismatik itu merespon story WA-ku. Dan dengan sekuat tenaga, seteguh karang, aku berusaha tidak membalas semua pesan-pesannya. Mencoba untuk istiqomah dengan keputusan yang telah terucap.

Sebenarnya ini merupakan “Gencatan Senjata” episode kedua antara diriku dan dirinya. Beberapa bulan yang lalu, kami pernah melakoni kondisi ini, berbicara dan berpisah baik-baik. Tapi ternyata setan tak ingin aku menikmati ketenangan diri yang mulai mengisi hati dan jiwa. Hanya dengan satu hembusan angin syurga, setan dan sepupunya –iblis- berhasil membuat kami kembali merajut komunikasi manis, bahkan kali ini berlanjut dengan pertemuan-pertemuan intens.

Duda simpatik beranak dua itu memang telah menghipnotis diriku sedemikian rupa, hingga aku terjerat begitu dalam menerobos  bayang-bayang dirinya. Seorang teman pernah bertanya padaku, 

“Apa karena profesinya yang terhormat dan bermartabat hingga dirimu jatuh terpesona?”

“Tidak,” jawabku pasti. 

Memang bukan itu faktor utamanya, melainkan karena pesona phisiknya yang gagah dan kepribadiannya yang sederhana. Lelaki simpatik itu begitu sederhana dalam kondisinya yang serba berlebih. Jiwa berbaginya begitu besar, demikian juga dengan sikap menghargai terhadap sesama, menjadi point penting hingga diri ini tertancap panah sang Dewi Amor. Pun kemampuan verbalnya yang begitu mumpuni membuatku betah berlama-lama bertukar diksi dan kalimat dengannya.

Dan hari ini, beliau kembali mengirimi pesan dalam bentuk pertanyaan. Tanya yang terucap karena rasa penasarannya akan status FB-ku yang mengurai masalah kesehatan diri ini. Kami tidak berteman di dunia maya, tapi lelaki itu selalu memantau aktivitasku.

Ada keraguan di dalam diri, jawab atau abaikan. 

Jawabanku bisa menjadi pembuka pintu komunikasi yang telah kami sepakati untuk ditutup. Namun untuk mengabaikannya, serasa palu godam menghantam-hantam pintu hati agar terdobrak dan menyampaikan seutas kegelisahan yang merajai diri.

[Saya baik-baik saja. Gak ada apa-apa.] Akhirnya pertahananku jebol, seuntai tanya dari beliau telah mendapat jawaban.

[Kenapa gak cek ke Pusat?] Merasa mendapat respon, lelaki itu mulai memperpanjang tanyanya.

[Gak, soalnya mengikuti aturan prosedur yang berlaku, cukup sampai di fase tingkat II saja.] Sadar atau tidak sadar, komunikasi mulai terjalin secara perlahan.

[Besok saya jemput, ya? Cek ke Pusat, gak usah pake asuransi, umum saja.]

Lelaki ini selalu saja berhasil membuatku meleleh. Tak tahukah dia, bahwa sesungguhnya dirinya lah penyebab segala ketidak beresan dalam tubuhku. Karena aku tak mampu menghalau rindu yang begitu besar untuknya. Karena aku tak sanggup membuang sedih ketika harus berpisah dengannya. Karena aku tak kuasa menyingkirkan sepi yang menyelusup ke rongga jiwa. Karena dia...dia...dan dia....

[Gak.] Balasku singkat dan tegas.

[Kenapa? Kalau Njenengan gak mau ke Pusat, setidaknya ke ibukota.]

[Ada suami saya yang bisa ngantar. Lagian, saya belum perlu ke Pusat.]

[Ina..., sumber dari segala macam penyakit itu cuma dua, sepi dan sedih. Jadi jangan pernah merasa kesepian, dan jangan menyimpan kesedihan. Kalau sepi dan sedih sudah merajai diri, tubuh akan digerogoti oleh yang namanya penyakit.]

Pesannya sarat makna, lelaki itu memang sangat mahir dalam mengolah kata berpadu padan dengan bidang ilmu keahliannya. Kuabaikan pesan nasihat nan indah itu, hingga menyusul chat berikutnya dari Beliau,

[Apa yang bikin Njenengan sedih?]

Aku masih bergeming tidak merespon chatnya. Karena aku yakin, Dia sebenarnya sudah mengetahui dengan sangat pasti penyebab  kesepian dan kesedihanku.

Aku memutar otak untuk menemukan jawaban cerdas akan pertanyaannya.

[Yang bikin saya sedih karena Njenengan pernah hadir dalam hidup saya. Seandainya Njenengan gak pernah masuk dalam kehidupan saya, mungkin saat ini saya sedang menikmati puncak kebahagiaan dengan keluarga.]

Untuk beberapa saat komunikasi kami terhenti. Beliau tidak membalas pesanku. Sebersit tanya merasuki hati, apa dia tersinggung dengan balasan chatku. 

Namun tak perlu menunggu lama, tanya itu segera terjawab ketika pesan masuk darinya menghiasi gawaiku.

[Kalau kehadiran saya menjadi akar kesedihan Njenengan, terus apa yang harus saya lakukan untuk membuang sedih itu?]

[Jangan pernah hubungi saya lagi. Membuang bayang-bayang Njenengan itu sangat sulit. Semua cara sudah saya tempuh, tapi bayangan Njenengan masih saja mengikuti kemanapun diri melangkah.]

[Kalau Njenengan memang benar-benar sayang sama saya, lepaskan saya dengan ikhlas.] Kulanjutkan pesan yang tadi masih menggantung.

[Maafin saya, karena mengganggu  ketentraman rumah tangga dan kesehatan Njenengan.]

[Njenengan gak perlu minta maaf, karena ini bukan kesalahan Njenengan seratus persen. Saya juga turut andil di dalamnya. Kita sama-sama salah. Dan jujur sayapun sebenarnya belum ikhlas melepas Njenengan. Itu yang membuat saya sedih dan merasa kesepian. Carilah wanita lain. Kenalin ke saya kalau Njenengan sudah menemukannya. Mungkin kalau Njenengan sudah gak single lagi, sedikit banyak bisa membantu saya ngelupain Njenengan.]

[Saya bisa mencoba melepas Njenengan dengan ikhlas. Tapi saya belum bisa berjanji untuk menemukan wanita lain. Urusan perasaan tidak semudah membalik telapak tangan.]

Kalau sudah seperti itu jawabannya, kupikir perbincangan ini tidak perlu diteruskan lagi. Karena sudah bisa ditebak, dengan meneruskan percakapan, bukannya titik temu yang didapat, melainkan rangkaian chat berkepanjangan tanpa akhir dan sambung menyambung.

Baiklah, memang yang bisa membantuku untuk bangkit hanya diriku sendiri. Seberat apapun itu, aku harus bisa mengenyahkan bayang lelaki yang selalu menjadi sumber inspirasi dalam setiap tulisanku itu. Lelaki kharismatik yang bersahaja.

Perjalanan hidupku selama ini sudah sangat berwarna. Kisah dengan beliau merupakan satu tambahan warna lagi. Suatu saat nanti, warna-warna itu akan tersusun menjadi pelangi...indah.

@@@@@@

(Kadang kita dipertemukan dengan seseorang untuk saling mencintai, tapi bukan untuk saling memiliki, karena memang semua cinta hanya milikNya. –Anonim-)

Posting Komentar

0 Komentar