Pada Sebuah Kata Demi




Nelangsa...perasaan itu yang kini tengah bersemayam di  pojok  hati Ina. Tanpa sebab, tanpa alasan, tanpa pemberitahuan, Kris memblokir kontak telphone-nya.

Dan Ina mengetahui hal ini justru secara tidak  sengaja. Memang...telah puluhan senja terlewati tanpa komunikasi intens. Tetiba sore itu ada desakan dalam diri Ina untuk sekedar melihat kontak Kris. Penasaran...sedang apa lelaki dewasa tersebut di ujung sana. 

Ternyata rasa penasarannya berbuah kecewa tatkala ia tak lagi melihat photo profil di kontak Kris. Bukan hanya itu, Ina bahkan tak lagi mampu memonitor aktivitas Kris. Sedang online-kah, atau kapan terakhir kali Kris membuka aplikasi hijau tersebut.

Bagai raga yang tulang belulangnya tercerabut, ia luluh lantak. Tubuhnya bergetar, hatinya perih, jiwanya pilu.
"Aku diblokir. Salah apa diriku?" gumamnya lirih.

Ntah-lah...dua sejoli berusia dewasa ini memang menjalani satu hubungan yang unik. Ada kasih mengalir dalam aliran nadi mereka. Juga dalam setiap detak jantung keduanya. Namun kasih itu ternyata hanya cukup untuk dirasakan dan dilakoni, tanpa pernah tahu kapan bisa disatukan dalam suatu ikatan suci.

Ada kalanya mereka menikmati kebersamaan dan mengisi waktu luang dengan kencan romantis. Namun tak jarang jua hubungan itu terjeda beberapa waktu karena berbagai alasan. Pun demikian, kebersamaan terus bergulir hingga berpuluh purnama. 

Dan situasi terakhir inilah yang terjadi -ketika asmara tak biasa mereka sedang terjeda- tetiba Ina mendapati dirinya telah terblokir dari nomor sang penakluk hati. Sejak kapan?

Hari-hari berlalu tanpa semangat. Rasa penasaran masih terus merajai diri.
"Salahku, apa?" Pertanyaan itu terulang dan terulang lagi.

Tiada waktu terlewati tanpa memantau nomor sang belahan jiwa yang seolah t'lah mencampakkannya dengan semena-mena. Namun...tak ada yang berubah. Photo profil yang kosong serta aktivitas tak terpantau. Setelahnya, rasa sedih kembali menyelusup, merembes ke celah hati. Perasaan diabaikan dan terbuang merajai diri. 

"Kenapa harus seperti ini caranya?" Di lain waktu pertanyaan yang tak ada jawabnya ini mengganggu labirin otak.

Di usia yang cukup matang, ternyata masih tersimpan juga jiwa kanak-kanak. Sempat terbersit dalam benak Ina untuk menghapus nomor kontak Kris. Kalau memang lelaki simpatik itu ingin mengakhiri segalanya -walau dengan cara yang sangat tidak dewasa- Ina pun tak ingin lagi membuang waktu untuk sekedar bertanya, mengapa.

"Mungkin ini jalan yang  Allah pilihkan buat kami. Jalan untuk menyudahi hubungan tanpa kejelasan." Seuntai kalimat pembenaran memenuhi sekat-sekat kepala. 

Namun ada keraguan yang bersemayam di sudut hati yang lain.

"Gimana kalo nanti dia kembali menghubungiku?" Rasa cinta yang begitu besar, membuatnya bagai remaja labil. Kecewa, sedih, marah, tapi juga rindu, sayang, dan selalu ingin bersama.

Layaknya wanita pada umumnya, 'perasaan' lebih dominan menguasai diri dibanding 'ego'. Ina tetap membiarkan nomor itu tersimpan rapi dalam phone book, juga di sudut istimewa hatinya.

#####

[Maaf kalo aku menutup akses, karena aku gak ingin bikin kamu gelisah dan was-was.] Seuntai pesan masuk  dari aplikasi hijau menerobos ponselnya.

Fajar bahkan belum menyingsing, azan subuh pun belum terdengar. Namun rangkaian kata yang menghiasi layar HP-nya tersebut mampu membuat jantung Ina melompat dan seolah terlepas dari tangkainya.

Rindu yang membuncah, rasa penasaran yang menggunung, hingga tanya yang tak berkesudahan, membuat ia refleks mengirim balasan singkat.

[Kenapa?]

[Aku gak ingin bikin kamu sedih dan khawatir berlebihan. Tapi sekarang, semua sudah berlalu. Episode mengerikan itu sudah kulewati. Besok aku bisa kembali beraktivitas.]

Balasan dari Kris membuat Ina kembali luruh. Kristal bening mendobrak netra. Kali ini bukan disebabkan oleh kecewa, namun haru yang membiru.

Kedua makhluk Tuhan ini memang memiliki chemistry yang begitu kuat. Dengan kalimat yang sangat tidak jelas, Ina sungguh bisa memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Hal yang selama ini selalu menghantui hati dan pikiran Ina, akhirnya memang benar-benar menghampiri sang kekasih, sebagai resiko dari profesi yang disandangnya.

[Aku butuh kamu, Na.]

Empat kata penutup dari Kris seolah membawa Ina terbang melayang menuju nirwana.

Salatiga, Medio Juli 2020

Posting Komentar

0 Komentar