Halaman 178



Saat mobil sudah berhenti sempurna, sambil menggendong si bungsu, gegas aku keluar kendaraan. Kemudian  menurunkan balita imut itu dari gendongan. 

Sembari memegang anak wedok dengan tangan kiri, tangan kananku menarik travel bag dari jok tengah mobil.

"Biar saya saja." Tetiba sebuah suara yang sudah sangat kukenal terdengar begitu dekat. Begitupun dengan aroma parfum maskulin yang begitu khas, menguar di sekitarku.

Kau -pria paruh baya berpenampilan rapi- berdiri tepat di belakangku.  Tangan kekarmu menarik travel bag yang masih kupegang. 

Aku yang tak menduga dengan adegan ini, hanya diam terbengong. Sementara pak supir meletakkan koper yang beliau keluarkan dari bagasi mobil berdekatan dengan travel bag yang kau turunkan.

Aku dejavu. Adegan dan narasi di halaman 178 serasa menjejali lokus-lokus otak -Bandara ini selalu memberiku kejutan, dengan menyajikan kisah-kisah kebetulan antara diriku dan kau-.

###RP###

Hari masih terlalu pagi. Sang Surya belum maksimal  mendelegasikan cahayanya ke bumi. Aku dan si bungsu sudah melaju di atas roda menggunakan armada online.

Tiga hari sebelum keberangkatan, kau mengajukan tawaran untuk mengantar ke bandara. Tawaranmu kutolak dengan halus atas nama kepatutan.

Namun siapa sangka, seolah legowo menerima tolakanku, ternyata jiwa nekadmu tak pernah lekang oleh waktu.

Tidak boleh mengantar, tetiba kau justru  lebih dulu tiba di lokasi.

"Saya kan udah bilang gak mau diantar." Setelah terbebas dari rasa terkejut, kulontarkan seuntai kalimat bernada protes.

"Saya gak ngantar, cuma nunggu Njenengan di sini. Sekalian nanti dari sini langsung dinas," ujarmu sembari menarik trolly, kemudian meletakkan koper kecil dan travel bag-ku di atasnya.

Seperti biasa, kau selalu berhasil menemukan kalimat penangkal yang jitu.

Tak ingin terjebak dalam debat kusir, aku memilih diam.

"Ayo." Nada bicaramu yang sangat dewasa mengajakku untuk mulai melangkah.

Kau mendorong trolly, sementara aku menuntun si bungsu. Langkah kita beriringan seiya sekata, selaras dan harmonis. Namun tidak dengan takdir kita.

###RP###

Aku masih punya cukup waktu  sebelum keberangkatan. Dan sudah melakukan check in online, hingga tak perlu tergesa untuk mencetak boarding pass.

"Jenengan tau apa yang saya pikirkan waktu sedang bengong tadi?" Seuntai tanya kuajukan setelah kami mendudukkan diri di area public hall.

"Dejavu?" jawaban berbentuk pertanyaan meluncur dari bibirmu.

"Kok Njenengan bisa tau?" 

"Karena sayapun memikirkan hal yang sama. Teringat kejadian beberapa tahun yang lalu," jawabmu lugas.

Ah...ntahlah. Aku tak mampu lagi mengurai kata. Kau dan aku terlalu sering berada dalam satu garis pikir.

Mengisi pagi sambil berbagi cerita bersamamu di bandara ini. Walau hanya empat puluh lima menit,  namun mampu menjadi moodboaster untuk menghadapi perjalanan panjangku.

Ketika detik jam tak dapat kuhentikan walau sesaat, diri ini harus mengalah, saatnya  menuju ruang check in.

"Saya pamit."

"Jaga diri baik-baik. Always adore you." Kalimat logis namun tetap mengandung senyawa bucin meluncur dari bibirmu.

Kau cium lembut ubun-ubun si bungsu.
Kutinggalkan kau yang masih setia berdiri mengamati kami mengayun langkah menuju ruang check in.

Sambil mengantri untuk mendapatkan boarding pass, walau terhalang dinding kaca, dari kejauhan aku masih bisa melihatmu berjalan ke luar menuju area parkir.

Kau -lelaki dewasa nan kharismatik-  terlalu gigih mengembangkan layar bahteramu demi berlabuh di dermaga hatiku.

Semarang, 26052021

Posting Komentar

0 Komentar