Di Balik Eksotisme Dinding-dinding Beku.


Kau begitu ikhlas menyediakan hari liburmu untukku. Melaju di atas roda meninggalkan ibukota propinsi hanya demi menjemputku di satu sudut kota kecil lereng Merbabu. Setelahnya, kita masih harus meneruskan perjalanan ke wilayah lain.

Seharusnya kau bisa memanfaatkan momen langka itu untuk mengistirahatkan jiwa dan raga yang letih karena beban kerja nan berat. Namun dengan tulusnya kau dampingi diriku menyusuri kota kecil yang identik dengan Sang Jenderal Besar -Soedirman-.

Ketika kuurai sebuah tanya, "Njenengan gak capek jemput dan nganterin saya seperti ini?"

Dengan nada bercanda, kau jawab santai pertanyaanku itu.

"Apa saja kumampu, asal itu buatmu," ujarmu menirukan sepotong lirik lagu milik KLA Project.

Tanpa dikomando, kau dan aku tertawa berbarengan karena jawaban lebaymu itu.

###RP###

Perjalanan panjang kita hampir mencapai garis akhir. Kau kurangi laju kendaraan ketika kita mulai memasuki kawasan militer Yon Kav. 

Melalui gerbang ini, kita akan terhubung ke gapura LAPAS.

Benteng Fort Willem I Ambarawa -yang oleh masyarakat sekitar lebih dikenal sebagai Benteng Pendem Ambarawa- menjadi tujuan akhir kita.

Situs sejarah -yang dibangun pada tahun 1834 dan selesai di tahun 1845- sejak tahun 2003 mulai digunakan sebagai LAPAS kelas II A.

"Wow...bagus banget pemandangannya," ujarmu saat kita melintasi hamparan sawah menghijau dengan latar belakang Gunung Telomoyo nan anggun di kejauhan.

Panorama indah itu masih ditambah dengan adegan natural seorang peternak bebek yang sedang mengangon ratusan bebeknya di sawah.

Saat gerbang LAPAS mulai terlihat, nuansa eksotisme berselimut mistis sudah begitu terasa. Dengan sejarah panjangnya yang pernah dijadikan penjara anak-anak, tahanan politik, hingga tahanan dewasa, membuat situs ini memeram begitu banyak misteri.

Di balik dinding-dinding bekunya, bangunan peninggalan kolonial yang memiliki banyak jendela ini seolah memanggil kita untuk menyampaikan berjuta cerita yang tersimpan di dalamnya.

###RP###

Setelah mendapat lokasi parkir yang ideal, turun dari mobil, kau dan aku langsung menuju pos penjagaan untuk memperoleh ijin masuk lokasi.

Kau dan aku berjalan berdampingan sembari menikmati sudut-sudut bangunan tua bersejarah ini. Udara yang sejuk dan bersih membuat suasana kebersamaan kita semakin berkualitas. 

Tujuan utama kita ke sini untuk mengambil ulang beberapa photo eksklusif sebagai pendukung tulisanku yang di-ACC di salah satu majalah udara.

Saat mengirim artikel tentang situs ini, aku sudah melampirkan beberapa photo pendukung. Namun menurut pihak redaksi, photo-photo tersebut belum memenuhi standar. Mereka menginginkan photo dengan kualitas yang lebih baik. Maklumlah, aku hanya seorang emak rumah tangga yang minus keahlian photography.

Kalau selama ini beberapa bidikanku berhasil menembus standar pihak majalah, itu hanya faktor kebetulan. Kebetulan karena jepretanku bisa akurat dengan kualitas memadai.

Aku mulai memindai sudut-sudut fenomenal dari cagar budaya ini. Sementara kau -bagai bodyguard nan setia- dengan sabar mengawalku menjejakkan kaki ke sana ke mari.

Sesekali kau memberi saran tentang spot yang perlu kubidik. Tak jarang kau juga mengarahkan tekhnik pengambilan angle yang bagus.

Kau tak hanya menjadi bodyguardku. Namun dengan kemampuan photography-mu yang mumpuni, kau juga berperan sebagai mentor yang handal. 

Kau tak ingin mengambil alih tugasku, tapi cukup mengarahkan saja.

"Ini tugas Njenengan, jadi harus Njenengan sendiri yang mengerjakannya." Demikian argumentasi bijakmu saat kuminta untuk mengambil satu shoot.

Aku cukup maklum dengan jawabanmu, karena kau memang selalu totalitas dalam mengemban tanggung jawab. Dan itu kau terapkan di mana saja, termasuk kepadaku.

Mungkin bagi banyak orang, Benteng Willem hanya merupakan bangunan bersejarah yang kondisinya sudah usang.

Tapi tidak buatku. Tak dapat dipungkiri, dalam keangkuhan dan nuansa mistisnya yang kental, tersimpan keindahan nan eksotis di dalamnya. Nilai keeksotisannya semakin bertambah tatkala pandang menatap tembok-tembok kokoh, yang sebagian plesterannya sudah mengelupas sehingga memunculkan wujud asli tatanan bata merah.

Rumput-rumput liar dengan semena-mena menempelkan diri di beberapa bagian tembok telanjang. Lumut-lumut menghijau menghiasi setiap sudut bangunan bersejarah tersebut.

Kondisi yang tak utuh, kusam dan kurang terawat ini justru menambah nilai estetis  Fort Willem.

###RP###

"Udah selesai. Yuk pulang," ujarku setelah  merasa cukup dengan sekian banyak bidikan.

"Saya lihat dulu." Seolah tak yakin dengan hasil bidikanku, kau meraih kamera DLSR sederhana yang sedang kupegang.

Kau pantau hasil bidikanku di kamera milik anak bujangku tersebut.

"Oke...lumayan, banyak kemajuan." Setelahnya kau luncurkan satu pujian sederhana atas jepretanku.

"Ini hasil jepretan saya,." Kau berujar sembari mengulurkan handphone milikmu kepadaku.

Kubuka galeri dan mendapati banyak photo candid diriku dalam berbagai pose. 

Aku mengernyitkan wajah memandang hasil kerjamu. Sementara kau tertawa kecil melihat ekspresiku sembari berucap mesra,

"You're my inspiration."

Walau usia tak lagi muda, namun aku tetaplah seorang wanita, yang kerap tersipu saat dipuji. 

"Ingat umur, gak usah ngegombal," ujarku dengan nada pura-pura jutek untuk menutupi rasa grogi akibat pujianmu.

Dan kau mengurai tawa lepas melihat kejutekanku. 

###RP###

Kita mengakhiri eksplorasi ini saat matahari belum sepenggalahan. Ketika berjalan menuju area parkir, kita berpapasan dengan
serombongan orang. Sepasang di antaranya terlihat berdandan ala Eropa zaman dahulu. 

Dari percakapan yang kita dengar, ternyata rombongan itu ingin melakukan pemotretan prewedding. 

Bangunan tua ini memang kerap dijadikan lokasi pengambilan photo pre-wedding, juga video klip. Bahkan pernah dijadikan lokasi shooting film kolosal Soekarno.

"Besok kita prewed di sini juga, ya," candamu setelah rombongan tersebut berlalu.

Aku terbahak mendengarnya. Kalimat absurd yang terurai dari seorang lelaki paruh baya nan kharismatik.


Fort Willem, seperempat windu berlalu.

Posting Komentar

0 Komentar