Momen Receh Tiga



Penyeberangan yang hanya memakan waktu tempuh 30 menit itu, akhirnya melabuhkan kau dan aku di satu pulau industri.Ya, pulau kecil yang memang dikhususkan untuk beberapa proyek industri. 

Kau membawaku menuju ke satu rumah permanen.Selanjutnya mengajakku melakukan house tour. Bagai guide profesional, kau bawa aku menyambangi berbagai ruang di lantai bawah.

Setelahnya, giliran lantai atas yang kita explorasi. Ada tiga kamar tidur, ruang santai, dan kamar mandi, di lantai dua tersebut.

Kau ajak aku menatap view melalui jendela ruang santai. Sejauh mata memandang, hanya proyek-proyek industri yang terpampang di depan mata. Penghuni pulau ini sebagian besar adalah para pekerja dan staff yang bertempat tinggal di mess atau rumah dinas.

Pulau kecil ini begitu gersang. Tak ada taman kota,  mall atau resto mewah sebagai pengisi gaya hidup. Berada dan mengisi hari di pulau ini bagaikan hidup sepi di tengah keramaian. Ya...suara riuh aktivitas industri, namun sepi karena tak ada hiburan hati. 

"Kira-kira, Njenengan betah gak tinggal di sini?" Satu pertanyaan kau luncurkan saat kita masih setia menatap pemandangan melalui jendela ruang santai di lantai dua. 

"Sepi banget ya." ujarku lirih.

Kalimatku tak menjadi jawaban atas tanyamu.

"Iya, memang sepi. Njenengan betah gak tinggal di sini?" Lagi kau ulangi tanya yang belum menemukan jawabnya itu.

"Sepi tapi berisik. Gersang pula." Kembali aku tak menyuarakan jawaban atas kalimatmu.

"Njenengan gak betah tinggal di sini?" Seolah paham dengan isi hatiku, kau berusaha menebak jawaban yang masih kusimpan.

"Walau sepi, gersang, berisik, tapi demi menemani Njenengan mengemban tugas, saya suka tempat ini," balasku diplomatis.

"Serius? Bukannya terpaksa?" ujarmu sambil menelisik ke dalam bola mataku.

Kubalas tatap matamu. Pandang kita beradu dalam satu tatapan mesra. Ada kasih tulus terpancar dari bola mata cerdasmu.

"Saya mencintai Njenengan sepenuh hati, Kangmas." Kalimat penuh gombal kuurai sebagai jawaban atas keraguanmu.

Kau tertawa lepas mendengar ujaran bucinku. Suara tawamu seolah berbaur dengan getaran eksavator di proyek pembangunan yang tak jauh dari rumah dinas tempat kita berpijak.

Getaran yang menimbulkan bunyi drrrttt itu semakin intens yang akhirnya menenggelamkan suara tawamu. 

Terus dan terus, hingga membuatku terjaga.

Terjaga? Gesekan Handphone yang bergetar karena ada panggilan masuk,  beradu  dengan nakas  menimbulkan suara khas. Bunyi berisik itu menjelma bagai deru eksavator dalam alam bawah sadarku.

Oh ... rumah dinas di tengah pulau industri itu ternyata hanya ada dalam mimpi. Pun dengan pulau yang aku sendiri tak pernah tau keberadaannya di belahan bumi mana.

Kuraih benda pipih persegi empat itu dari atas nakas di samping ranjang. Ada beberapa  panggilan tak terjawab darimu. Seuntai pesan masuk melalui aplikasi hijau dari pengirim yang sama juga menghiasi gawai.

[Ayo, bangun. Nanti subuhnya telat.] Aku tersenyum membaca pesanmu.

Membayangkan Kau mengucapkan kalimat tersebut dengan suara lembut namun bernada tegas. Ciri khasmu yang membuatku tak pernah sanggup untuk berpaling.

Ah ... Kau, baru saja mengajakku bertualang ke pulau kecil di negeri antah berantah. Dan dalam waktu bersamaan, kau juga hadir di kehidupan  nyataku walau hanya via telphone. Sekuat itu kah chemistry di antara kita?

[Njenengan ganggu mimpi saya aja.] Kubalas pesanmu seketika.

Dan, tak perlu menunggu lama, panggilan masuk darimu terlihat menghias gawai.

"Assalamualaikum." Ucapan khas setiap diri ini menerima telphone.

"Waalaikumussalam. Mimpi apa? Kok sepertinya kecewa banget mimpinya terganggu."

"Saya mo subuhan dulu." Alih-alih menjawab tanyamu, diri ini sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

"Pengalihan isu." Tawamu menyertai ujaran yang terucap.

"Ya udah, buruan sholat. Setelah itu saya tunggu cerita mimpinya, ya," lanjutmu.

Aku tertawa mendengar kalimatmu, sembari mengucap salam untuk mengakhiri interaksi kita di fajar akhir pekan ini.


Salatiga, Sabtu terakhir bulan merdeka, 2021.

Posting Komentar

0 Komentar