Mutiara Hikmah



"Gimana dampak PPKM di lingkunganmu?"

"Berdampak banget. Orang-orang dah bingung, gak tau mau ngapain. Semua terhambat."

"Insyaa Allah, Jum'at depan kita bisa bantu donasi beras ke lingkunganmu. Kira-kira ko keberatan gak distribusikannya?"

"Insyaa Allah kalo untuk distribusikan, aku siaplah."

Dialog melalui aplikasi hijau ini, terjalin antara diriku dengan seorang teman di benua biru. Dan di Jumat pertama bulan Agustus ini, perbincangan yang terjadi seminggu yang lalu terealisir.

###RP###

Layaknya donasi pada umumnya, semua berjalan seperti apa adanya. Distribusi, minta izin photo kepada penerima sebagai bukti fisik, dan laporan ke donatur. Alurnya selalu sama, kapan dan di manapun kita menyalurkan donasi.

Yang tak sama adalah mutiara hikmah di balik setiap momen. Saat aku mendapat amanah untuk menyalurkan donasi ke rumah sakit, ke panti balita, ke tetangga, ke mana saja, selalu ada pelajaran menarik yang sangat layak untuk dipetik. 

Seperti sedekah Jumat kali ini. Ada pelajaran tentang kerjasama, berbagi bahagia, parenting, dan hakekat rezeki, yang langsung tersaji di depan mata. 

###RP###

Jadi gaes, yang namanya beras satu kwintal itu pastinya berat ya. Kebetulan diriku ini hanya seorang emak jelata, bukan bionic woman yang punya kekuatan super. So...pastinya aku butuh temen dong untuk distribusi.

Dari awal, aku sudah sounding ke dua orang tetangga, kalau ada temenku yang pengen donasi ke lingkungan tinggal kami. Kedua ibu itu ternyata cukup antusias menawarkan diri untuk bantu-bantu membagikan. 

Sebenernya aku agak gak enak juga, karena beliau berdua ini gak masuk dalam list penerima donasi, soalnya keduanya hidup berkecukupan. Tapi sepertinya rasa tak enak hatiku itu sangat tidak beralasan lho, soalnya kedua ibu ini terlihat cukup enjoy.

Jadi, bukan hanya penerima donasi saja yang menampilkan senyum syukur yang terurai sumringah, bahkan para ibu yang membantu distribusi juga terlihat  bahagia karena bisa berkontribusi dalam program ini.

So...dari sini bisa kupetik satu pelajaran hidup, bahwa bahagia itu bisa menular. Saat penerima donasi menyambut uluran tangan kita dengan penuh syukur, kebahagiaan seolah turut menjalar ke setiap nadi pemberinya.

###RP###

Adalah seorang Mbah Kusnan, lelaki tua yang hidup sendirian. Beliau tinggal di rumah permanen yang cukup bagus. Posisinya persis di pinggir jalan propinsi. Taksiranku harga rumah beliau bisa mencapai satu milyar bahkan lebih. Berarti Mbah Kusnan kaya dong.

Eeiitsss...ternyata kenyataan tak seindah  perhitungan di atas kertas. Rumah bagus yang bernilai jual tinggi itu, rupanya sudah dibagi   untuk kedua anaknya. Jadi Mbah Kusnan hanya memiliki hak izin tinggal, beliau sudah tak punya hak jual lagi terhadap rumah tersebut.

Miris memang. Punya harta, tapi sudah tak punya hak atasnya. Beliau sekarang tinggal sendirian, dengan kondisi fisik yang terbatas karena pernah terkena serangan stroke.

Untuk kebutuhan makannya, beliau bergantung pada kebaikan tetangga.  Anak-anaknya? Hhmmm ... mereka menikmati hidupnya sendiri-sendiri. Mungkin sembari menunggu sang ayah menjemput ajal,  kemudian menikmati harta warisannya.

Parenting yang sangat makjleb. Kita tidak pernah tau seperti apa masa lalu lelaki sepuh tersebut. Namun satu hal yang pasti, apa yang kita tanam, mungkin itulah yang akan kita petik.

Sebagai orang tua, ada dua hikmah yang bisa kupetik dari kisah Mbah Kusnan. 

Pertama, bekali anak dengan pondasi agama yang kuat, hingga dia tak pernah lupa kodratnya sebagai anak.

Kedua, bijaklah mengelola harta yang ingin kita wariskan. Karena harta itu kejam. Harta membuat anak menjadi durhaka, dan persaudaraan tercerai berai.

###RP###

Rumah pertama yang kudatangi tadi pagi berada di tepi sungai. Akses menuju ke sana hanya berupa jalan setapak yang menurun terjal.

Penghuni rumah tersebut sepasang suami istri beserta empat orang anak usia remaja. 

Jam menunjukkan pukul 09 lebih 30 menit. Rumah yang kudatangi terlihat sepi. Pintu dan jendela tertutup rapat. Berulang kali kuketuk pintu sembari memanggil-manggil nama sang pemilik rumah. Nihil. Tak ada jawaban sama sekali.

Lima belas menit menunggu, akhirnya aku berlanjut ke rumah ke dua.

Selepas Zuhur, aku kembali menyambangi rumah di tepi sungai tersebut. Kondisi pintu masih tertutup rapat, tapi jendela sudah terbuka.

Mengulang apa yang kulakukan tadi pagi, mengetuk pintu sambil memanggil nama sang empunya rumah.

Sekejap, dua kejap, berkejap-kejap, tak jua ada sambutan dari panggilanku. Kembali aku terduduk di atas tumpukan ban yang tergeletak di emper rumah yang kondisinya memprihatinkan tersebut.

Setelah menunggu beberapa jenak, kuputuskan untuk pulang.

Dan...episode terakhir, menjelang Maghrib aku kembali ke sana. Serta kembali mengulang adegan di atas. Namun, kembali menuai kecewa karena tak ada jawaban.

Kupikir, mungkin ini bukan rezeki mereka, jadi aku harus  mengalihkannya ke orang lain.

Okelah, aku beringsut melalui jalan setapak yang menanjak. Saat hampir tiba di tepi jalan besar, pasangan suami istri penghuni rumah di tepi kali tersebut terlihat berbelok ke arah jalan setapak.

Allah...yang namanya rezeki memang tak pernah salah alamat. Hanya sepersekian detik saja beras itu sudah hendak kualihkan ke warga lain, tetiba mereka datang menjemputnya.

Pelajaran hidup ketiga, hakikat rezeki. Kalo sudah rezeki, seperti apapun lika liku nya, pasti tetap jadi milik kita. Tapi kalo belum rezeki, bahkan nasi yang sudah di sendok, menuju ke mulut, pun bisa tumpah.


Salatiga, 06082021.

Posting Komentar

0 Komentar