Jiwa-Jiwa Kesepian


[Lagi ngapain?] Selarik pesan masuk dari sebuah nama yang sudah sangat kukenal, menghiasi layar ponsel.

[Lagi balesin chat Njenengan.] balasku spontan.

[Emoji tertawa terbahak empat kali.] respon balik darimu.

Rangkaian chat antara kau dan aku ini seolah membawaku ke satu pusaran mesin waktu. Awal mula kita merajut perkenalan, yang kemudian berlanjut dalam suatu hubungan intens. 

Bahkan gaya unikmu dalam mengawali satu percakapan via aplikasi hijau itu, terabadikan di lembar-lembar sebuah novel bercover hitam.

[Besok bisa temani saya makan siang? Sudah lama gak ketemu Njenengan.] Pesan susulan menghiasi handphoneku. 

Waktu sudah menjelang tengah malam. Pesan tertulis tersebut kembali diikuti  sebuah pesan audio visual berisi lagu yang rutin kau kirim untukku, Akad.

[Insyaa Allah, saya usahakan.] jawabku tanpa ragu.

[Besok pagi sampe siang, saya ada waktu kosong. Tapi jam dua, sampai menjelang maghrib sudah ada agenda.]

[Oke. Tapi saya gak bisa pagi banget, lho.]

[Gak apa. Yang penting bisa ketemu Njenengan. Saya kangen.] Balasan pesanmu membuatku mengukir senyum.

Kau, lelaki paruh baya nan kharismatik,  selalu lugas dalam mencurahkan isi hatimu.

###RP###

Teriknya cuaca Semarang tak menghalangi rencana kita menyesap hari di akhir pekan ini. Sekedar me-refresh pikiran dan menjaga kewarasan.

Menikmati kebersamaan denganmu adalah suatu keniscayaan. Tak melulu soal hati dan perasaan, lebih dari itu, mengisi waktu berdua ibarat kebutuhan yang wajib dipenuhi, karena kau dan aku adalah jiwa-jiwa kesepian yang saling membutuhkan.

"Nanti kalo sudah selesai di Kota Lama, telphone saya. Agenda saya sore sudah rampung. Njenengan nanti saya antar pulang." Kau memberi satu penawaran  di sela-sela makan siang kita yang kepagian.

Keadaan resto di pusat kota ini sedang tak terlalu ramai. Suasananya yang cozzy dan interior yang memukau, membuatmu selalu menjadikan resto ini pilihan utama saat kita memadu janji.

"Gak usah," ujarku spontan.

Sebelumnya aku sudah berkisah kepadamu bahwa selepas kita mengisi hari, aku ingin menuntaskan akhir pekan ini di Kota Lama bersama seorang teman.

"Kenapa selalu menolak setiap saya pengen jemput atau ngantar Njenengan?" Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu kau ajukan. Karena sejatinya kau sudah mengetahui alasannya.

"Njenengan sudah sangat tau alasannya," jawabku diplomatis sembari menikmati hidangan yang tersaji.

Sekejap, dua kejap, tak terdengar sepatah kata pun darimu. Dan ... tetiba naluriku berbisik, ada sepasang mata yang sedang mengamati diri ini. 

Kuangkat wajah dari pandangan menatap piring, dan berganti mengalihkannya ke arahmu. Kau, duda paruh baya berpenampilan simpatik, ternyata sedang mengarahkan sorot matamu untukku. Begitu lekat.

"Kenapa ngelihat saya seperti itu?" tanyaku dengan nada sedikit kikuk.

Jujur, walau aku tahu perasaanmu yang begitu mendalam kepadaku, namun diri ini merasa risih saat mata cerdasmu menatapku sedemikian rupa.

"Njenengan itu luar biasa. Jadi jangan salahkan saya kalo saya semakin memuja Njenengan." Suara bariton mu  meluncurkan satu ujaran bucin namun dengan intonasi yang lumayan serius.

Hal ini membuatku mengurungkan niat untuk memberi respon nyeleneh. Kupikir, sangatlah tidak sopan menjawab ucapan serius dengan respon gurauan.

"Njenengan terlalu memuji," ujarku datar.

"Saya justru merasa kalo saya ini bukan perempuan baik-baik. Saya wanita bersuami, tapi bersedia menjalin hubungan intens dengan lelaki lain. Walau hubungan ini cuma sebatas perasaan tanpa sentuhan phisik," lanjutku jujur apa adanya.

"Jangan merasa begitu. Njenengan seperti itu karena ada alasannya." Kau seolah ingin menghilangkan perasaan bersalah yang sedang kugenggam.

"Sejujurnya, saya gak ikhlas Njenengan hidup dalam kepura-puraan seperti ini. Rasanya ingin segera menghalalkan Njenengan. Ingin membebaskan Njenengan dari keutuhan yang semu," lanjutmu tanpa tedeng aling-aling. 

Aku tertegun mendengar ujaranmu. Ujung netraku serasa memanas. Perasaanku seketika membiru. Apa yang kau ucapkan sangat benar. Sesungguhnya aku memang berada dalam keutuhan yang semu. 

Aku seolah berada di satu jalan setapak yang sangat sempit, dengan satu sisi berdinding tebing terjal, sementara sisi lainnya berupa jurang yang sangat dalam. Jika aku melangkah dengan ceroboh, aku bisa terhantam dinding terjal nan tajam, atau terperosok ke dalam jurang.
Kau bagaikan jurang yang dalam, sementara pendampingku saat ini ibarat dinding terjal nan tajam. 

"Njenengan mengorbankan diri sedemikian rupa. Membiarkan orang lain menilai Njenengan sebagai istri yang tidak setia. Padahal sejatinya Njenengan yang terdzolimi." Kata-katamu semakin membuatku tenggelam ke dasar bumi.

"Saya gak ikhlas Njenengan dianggap seperti itu oleh orang-orang. Tapi saya gak bisa berbuat banyak, karena semua keputusan ada di tangan Njenengan." Lagi dan lagi, kata-katamu semakin membuatku terjerembab.

"Saya gak peduli dengan anggapan orang-orang," ujarku lirih.

Aku mampu menahan kristal bening yang berusaha mendobrak netra. Namun, aku tak mampu menyembunyikan getar dalam nada bicaraku.

Tetiba aku merasa tangan kirimu mengelus lembut bahu kiriku. Kau seolah menyadari kalo aku sedang menyembunyikan tangis.

###RP###

"Pulangnya jangan malam-malam, ya," pesanmu saat hendak menurunkanku di Kota Lama. 

"Ya. Makasih banget udah nganterin saya ke sini," ujarku sembari bersiap membuka pintu mobil.

"Always adore you. Jaga diri baik-baik." Kalimat sakti yang selalu kau ucapkan saat kita hendak berpisah, baik di telphone ataupun di perjumpaan langsung.

Kau dengan kesendirianmu. Sementara aku dengan keutuhan semuku, seolah menjadikan kita sebagai pasangan serasi dalam jiwa-jiwa yang kesepian. Jiwa-jiwa yang sedang berlayar melintasi laut lepas demi menggapai dermaga untuk membuang sauh.


Semarang, Sabtu terakhir di bulan kesembilan 2021.

Posting Komentar

0 Komentar