Ketika Prima Bernarasi


Narasumber : Prima Dewi Nurcahya
Didedikasikan untuk : dr. Budi Setiawan, Sp.Pd-KHOM


"Mbak, Njenengan saya konsulkan untuk test Anti-dsDNA-NcX, ya. Soalnya dari gejala yang Njenengan alami selama ini, semuanya mengarah ke SLE. Untuk keakuratan diagnosa ini, perlu ditunjang dengan test Anti-dsDNA-NcX tadi." Dr. Sudarsono, Sp.Pd-KR sebagai dokter penanggung jawab, menawarkan satu opsi demi mendapat kepastian dari sakit yang kuderita. 

###RP### 

Namaku Prima Dewi Nurcahya, seorang ibu dari dua orang putra. 

Pasca melahirkan putra kedua, di bulan Februari 1999, kesehatanku menurun secara drastis. Tubuhku lemas serta mata selalu berkunang-kunang. 

Kehamilan keduaku memang istimewa. Meski tidak diiringi perasaan ngidam, tetapi tubuhku ringkih dan sering sakit-sakitan. Bahkan, memasuki usia kehamilan empat bulan, aku menderita batuk yang betah bercokol di tubuh hingga saat melahirkan. 

Selain itu, aku menjadi mudah lelah. Dalam kondisi hamil, justru tubuhku kurus. Terbayang, 'kan, seperti apa penampilanku? Yuupss, aku lebih mirip pasien gizi buruk daripada ibu hamil. Tubuhku kurus sementara perut membuncit. Padahal, berdasarkan pemeriksaan medis, tak ada yang salah dengan tubuh ini. 

Episode hamil yang begitu istimewa menghadirkan seorang bayi prematur seberat dua kilogram. Sehari setelah menghirup udara bebas, berat badan buah hatiku justru turun menjadi 1,8 kilogram. Kondisi ini menyebabkan malaikat kecil tersebut harus menikmati kehangatan inkubator selama dua minggu. 

Pasca melahirkan dan kembali ke rumah, tubuhku tak jua membaik. Hemoglobin terjun bebas ke angka enam. Sementara, mata juga mengalami gangguan, tidak bisa melihat apa-apa. Inilah titik awal aku menjadi pengunjung tetap hotel putih. 

###RP### 

Selama empat tahun, aku hilir mudik ke rumah sakit tanpa ada diagnosa yang jelas. Sementara, berbagai keluhan setia menempel di tubuh; maag akut, nyeri sendi, rutin demam, bisulan, herpes, hemoglobin rendah, LED (Laju Endap Darah) dan leukosit tinggi. 

Dengan berbagai gejala yang kualami, akhirnya Dokter Sudarsono merujukku untuk melakukan test Anti-dsDNA-NcX, suatu pemeriksaan untuk mencari antibodi terhadap dsDNA dalam serum atau plasma untuk membantu diagnosis penyakit SLE. 

###RP### 

Waktu berlalu. Dokter Sudarsono menginformasikan, berdasarkan hasil test dsDNA, aku positif mengidap SLE—Systemic Lupus Erythematosus. Penyakit autoimun ini memiliki seribu wajah. Dan aku pun resmi menjadi ODAPUS, Orang Dengan Lupus. 

Ketika beliau menyampaikan hal tersebut, aku terdiam, tak mampu memberi respon atas kabar yang sangat tidak kuharapkan itu. Untuk selanjutnya, tanpa bisa kubendung, butiran bening menembus netra. Aku tak mampu menahan tangis. Tangisan yang tertahan pastinya, tanpa suara, karena saat itu aku masih berada di ruang praktik beliau. 

Melihat kondisi pasiennya yang sedang terhempas, dokter yang sudah sepuh itu mendekatiku, kemudian memelukku dengan tulus. Beliau terlihat berusaha untuk menenangkan pasiennya yang belum siap menerima kabar buruk ini. Sampai-sampai perawat asisten beliau ikut menangis menyaksikan adegan tersebut. 

###RP### 

Sejak resmi menyandang status ODAPUS, aku bolak-balik rawat inap di hotel putih. Namun, hal ini tak berpengaruh pada psikisku. Aku menjalani semuanya dengan santai dan biasa saja. Aku percaya Tuhan mengirim Dokter Sudarsono untuk membantuku menjemput kesembuhan. 

Dokter Sudarsono—seorang dokter senior dengan penampilan subur—memberikan penjelasan tentang lupus secara gamblang. Jawaban beliau atas pertanyaanku kadang terkesan menyeramkan. 

Satu waktu, aku pernah bertanya soal pantangan makanan. Dengan santainya beliau memberi jawaban yang membuat nyaliku sedikit ciut.
"Umur tinggal berapa hari, gak usah pantang makanan. Nikmati semuanya," ujar beliau lugas. Namun, di balik ujarannya yang selalu apa adanya, beliau merupakan sosok dokter yang sangat baik dan penuh empati. 

Setiap kontrol, aku selalu mendapat nomor urut pertama atau terakhir. Tujuannya supaya aku bisa lebih leluasa konsultasi. Terkadang tanpa terasa, hampir satu jam kami berdiskusi. 

Satu momen ketika sedang kontrol, aku mengalami mimisan. Beliau langsung turun tangan menelepon bagian rawat inap untuk secepatnya menyiapkan kamar buatku. 

###RP### 

Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari ada sesuatu yang berubah dalam diri ini. Aku yang pada dasarnya memiliki sifat pendiam, lambat laun menjadi semakin pendiam. Aku lebih memilih menjadi seorang pendengar dan menyimpan segala keluh kesah untuk diriku sendiri. 

Rutinitas keluar masuk rumah sakit masih terus berlanjut. Biasanya aku melalui hari-hariku dalam kesendirian, tanpa suami. Kuikhlaskan lelaki halalku tersebut menjalani kewajibannya mencari nafkah. Apalagi saat itu karir suami sedang bagus-bagusnya. 

Hingga pada satu waktu saat sedang menjalani rawat inap, aku merasakan kekosongan yang begitu dalam. Menjalani kesendirian di balik tembok beku rumah sakit, tetiba memunculkan rasa kesepian yang teramat sangat. 

Perpaduan tekanan psikis karena selalu memendam keluh kesah dan perubahan fisik yang sangat drastis membuatku terhempas ke titik nadir. 

Saat itu kulit wajahku mulai menghitam. Sementara, kulit lengan hingga perut mengalami herpes yang sangat parah. 

Pikiran dan perasaan negatif menguasai diri. Aku merasa suami sudah tidak menyayangiku lagi. Dia lebih mementingkan karir dan pekerjaannya. Diriku hanyalah seorang pesakitan yang sudah tak indah lagi dipandang mata. Aku terjebak dalam kesepian yang begitu pekat dan terjerumus dalam kesedihan yang begitu membiru. Aku laru luruh. 

Aku yang selama ini sudah berdamai dengan rasa nyeri yang selalu hinggap di sekujur tubuh, pada saat itu justru tak mampu lagi menahan semuanya. 

Pergelangan tangan, kaki, siku, perut, dada, kepala, semua seolah kompak menghadiahi rasa sakit yang bertubi-tubi di tubuh lemah ini.
Namun, dari semuanya rasa sakit karena  diabaikan oleh orang tersayang lah yang paling dominan kurasakan. 

Pelan dan tanpa kusadari, aku mulai mengantuk-antukkan kepala ke tembok rumah sakit. Semakin lama semakin keras. Darah mulai mengalir dari dahi, kening kiri dan kanan mengalami memar. Namun, tak ada keinginan untuk menyudahinya. 

Sesaat kemudian pintu kamar terbuka. Wajah tiga lelaki terkasihku muncul dari balik pintu. Bukan bahagia yang kurasa, tetapi emosiku malah menggelegak tak terkontrol. 

"Pergi ... pergiii ... pergiii!" Dengan suara lantang, dan sembari melemparkan segala barang yang bisa kuraih, aku mengusir ketiganya. 

Aku menjerit-jerit histeris sambil terus mengamuk tak menentu. Aku lelah dengan semuanya. 

###RP### 

Peristiwa tantrum ketika sedang rawat inap itu ternyata masih terus berlanjut. Berulang kali kejadian yang sama terjadi dan terjadi lagi. 

Beruntung aku berada dalam tanggung jawab seorang dokter senior yang begitu mumpuni. Dokter Sudarsono lah yang selalu memotivasiku dalam pengendalian emosi. Perlahan namun pasti, aku kembali menata hati, mencoba ikhlas untuk melakoni semua garis hidup yang telah tertulis. Pun berada di bawah pengawasan dokter penanggung jawab yang begitu baik, membuat semangatku untuk sembuh selalu terpacu. 

Hingga di satu episode waktu tahun 2013 datang kabar duka. Dokter Sudarsono kembali keharibaan Illahi. 

Dokter penyemangatku telah berpulang. Kondisi ini membuatku patah arang. Aku kehilangan sosok yang selalu memompa semangat untuk tak lelah berikhtiar. Dampaknya, cukup fatal. Aku yang baru saja mencoba untuk bangkit, kembali harus terjerembab. Aku berhenti terapi dan pengobatan. Berhenti total. 

###RP### 

Di pertengahan tahun 2014, ketika rumah bernaung ODAPUS Semarang—Panggon Kupu— mengadakan satu event, aku mengalami mimisan dan hampir pingsan. 

Selama hampir setahun belakangan, aku memang memutuskan hubungan secara sepihak dengan rumah sakit. Dampak akibat kepergian dokter penyemangatku ke alam keabadian. 

Nah, momen mimisan ini menjadi titik awal perkenalanku dengan Prof. Dr. dr. Catharina Suharti, SpPd-KHOM, Ph.D. Beliau yang terhormat ini merupakan sesepuh penggagas Panggon Kupu. 

Saat event berlangsung, beliau juga ada di sana. Melihat kondisiku yang sedemikian rupa, Profesor Suharti langsung memberi surat cinta untuk rawat inap, segera setelah event selesai. 

###RP### 

Kembali aku dipertemukan dengan seorang dokter senior yang sangat mengayomi. Dokter rasa ibu. Beliau tak segan mengawul-awul kepalaku yang hampir botak sebagai ekspresi sayangnya. 

Profesor Suharti, dokter paruh baya yang cukup berkompeten di bidangnya. Beliau sangat  teliti. Hampir setahun berhenti terapi dan kontrol membuat Bu Dokter merujukku untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rongent, CTscan, dan berbagai rangkaian lainnya. 

Dari situ terungkap kalau aku terkena pnemonia, walau tak pernah merasa sesak sama sekali. Dan dari situ juga terdeteksi kalau lupusku sudah bercabang ke seluruh tubuh, dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. 

###RP### 

Kebersamaanku dengan Profesor Suharti pun tak berlangsung lama. Selama ini, aku rutin memeriksakan diri ke Rumah Sakit Tlogorejo. Namun, ketika aku mulai menggunakan asuransi pemerintah, mau tak mau diri ini harus berpindah rumah sakit. 

Rumah Sakit Kariadi menjadi pilihan. Sementara, sejak purna tugas sebagai PNS, Profesor Suharti sudah tidak lagi berdinas di Kariadi. Akhirnya beliau merekomendasikan diriku kepada murid beliau, dr. Budi Setiawan, Sp.Pd-KHOM. 

###RP### 

Menjelang bulan Ramadan di tahun 2017, kali pertama aku menjadi pasien Dokter Budi. 

Seperti halnya dua dokter yang lain, Dokter Budi juga sangat ramah. Beliau menjabarkan dari awal lagi tentang lupus. Dengan paparan yang detail dan menyeluruh, aku seolah mendapat pencerahan episode kedua. 

Cara Dokter Budi berkomunikasi juga patut kuacungi jempol. Ketika beliau menjelaskan suatu gejala yang kurasakan, suami sebagai pendamping juga turut dilibatkan. Bahkan, beliau juga tak sungkan menyapa anak-anakku. Pun sering beliau mengingatkan suami dan anak-anak untuk selalu membuatku gembira. 

Dokter Budi merupakan sosok yang demokratis. Beliau selalu mengajak pasien berdiskusi untuk memutuskan tindakan atau pengobatan apa yang akan dilakukan. Hasil kesepakatan diskusi itulah yang nantinya harus kujalani. 

Seperti ketika diriku harus menjalani operasi katarak yang pertama. Di awal aku menjadi pasien Dokter Budi, diri ini kembali jatuh ke titik nadir untuk ke sekian kalinya. Aku hampir putus asa karena masalah katarak. 

Alhamdulillah usahaku yang bergerak di bidang konveksi, sedang mengalami peningkatan produksi. Sementara di satu sisi, katarak membuat penglihatanku error maksimal. Aku benar-benar susah melihat. Hal ini sudah pasti sangat mengganggu kinerja. 

Saat itu hari Senin pagi,  jadwalku untuk kontrol rutin juga sekalian check up. Puji syukur, LED-ku yang biasanya tinggi, saat itu berada di angka normal, meskipun leukosit masih tinggi. 

Senin sorenya, aku kembali menemui Dokter Budi untuk konsultasi lanjutan. Setelahnya beliau memberiku rujukan ke dokter mata. 

Dokter mata, baru menghubungiku di hari Selasa untuk menyampaikan informasi bahwa operasi katarak dilaksanakan hari Kamis. 

Menuju pelaksanaan operasi katarak, aku masih harus menjalani EKG dan ECG. Bisa dibayangkan betapa hectic-nya diriku saat itu. Hari Selasa mendapat kepastian jadwal operasi, Rabu  EKG, dan Kamis pagi, aku harus kembali konsul ke Dokter Budi. 

Aku ingat betul dengan ujaran beliau saat itu, 

"Kita berpacu dengan waktu ya, Mbak. Soalnya saya khawatir nanti LED tinggi, dan HB drop lagi." 

Aku setuju. Dan hari itu juga operasi katarak pertama dilaksanakan. 

###RP### 

Operasi katarak yang pertama ternyata meninggalkan trauma berkepanjangan dalam diriku. Hal ini mengakibatkan operasi kedua tertunda. Tindakan yang seharusnya dilakukan seminggu setelah operasi pertama, mundur hingga sebulan kemudian. 

Sulit bagiku untuk menyingkirkan rasa takut yang menyelusup hingga ke relung hati. Ketakutan itu begitu membelenggu. Dan, pada fase ini kuakui andil Dokter Budi untuk menyingkirkan rasa takut itu begitu besar. 

Beliau tak henti menyemangatiku. Semangat yang diberikan Dokter Budi perlahan-lahan menggerus rasa takut yang demikian kuat. 

Sehari sebelum operasi kedua, aku kontrol rutin ke Dokter Budi. Masih terngiang dengan jelas di telinga, bagaimana dengan sabarnya beliau membujukku. 

"Bagaimana hasil operasi kataraknya, Ibu?" Dokter dengan perawakan tinggi gagah ini terkadang menyebutku ibu, di lain waktu beliau  menyapaku mbak. 

"Berhasil, Dokter. Tapi saya takut sekali untuk operasi mata kiri besok," jawabku lugas. 

"Gak pa-pa, Bu. Coba Ibu pikir, sebelum tindakan operasi mata kanan, dan sesudahnya. Ada bedanya, kan? Apa cukup hanya dengan satu mata, sementara ada kesempatan terbuka luas untuk bisa melihat lebih jelas." Dengan tutur kata beliau yang santun dan gaya bicaranya yang  tenang, membuatku berpikir ulang atas ketakutan yang merajai diri. 

Kalimat Dokter Budi itu seakan menggugahku bahwa aku harus mampu mengalahkan rasa takut, karena keberadaanku masih sangat dibutuhkan banyak orang. 

Tuhan juga seolah mensinergikan ucapan Dokter Budi dengan kondisi yang kualami setelah keluar dari ruang praktik beliau. 

Dari poli penyakit dalam, aku melanjutkan pemeriksaan ke poli mata. Saat sedang menunggu giliran konsul, tanpa sengaja terbaca olehku satu postingan tentang ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan, yang sebenarnya bisa saja dikarenakan oleh rayuan setan. 

Ucapan Dokter Budi dan postingan yang kubaca tersebut, memicuku untuk memotivasi diri sendiri. 

Aku pun mengikhlaskan diri, bersiap lahir batin untuk pelaksanaan operasi kedua. 

Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Walau kemampuan melihat hanya 65%, tetapi bagiku hal itu merupakan anugerah tak terkira. 

###RP### 

Bukannya aku menyanjung Dokter Budi terlalu tinggi. Tapi bagiku, dokter berpenampilan rapi ini, memang benar-benar sosok yang mengayomi pasiennya dengan maksimal. 

Satu pengalaman berkesan dengan beliau, saat aku membesuk teman-teman ODAPUS yang sedang rawat inap. 

Kami para ODAPUS memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan yang cukup tinggi. Pada hari-hari istimewa, seperti lebaran, biasanya perwakilan pengurus Panggon Kupu mengunjungi teman-teman yang kebetulan sedang rawat inap. Tujuan dari aktivitas ini, untuk memberi support dan menghibur mereka yang kondisinya sedang nge-drop. Ditambah lagi, mereka harus merayakan hari kemenangan di hotel putih, jauh dari sanak dan keluarga. 

Aku teringat satu waktu bertepatan dengan Idul Fitri hari kedua di tahun 2018. Selesai membesuk dua orang teman di ruang Rajawali, aku berjalan ke kantin bawah yang berada di dekat pintu keluar masuk rawat inap. 

Di situ aku bertemu dengan Dokter Budi. Beliau sedang makan siang. Pembawaannya santai dan apa adanya. Beliau mengajak berbincang tentang pasien-pasien lupus yang secara psikis terbebani dengan penyakitnya. 

Tak hanya mengajak berbincang, beliau juga menawariku beberapa makanan yang ada di kantin. Duh, pastinya aku malu dong, ditawari jajanan sama dokter penanggung jawab. Namun, kalau menolak juga rasanya sangat tidak etis karena beliau menawarkannya bersungguh-sungguh. Akhirnya kupilihlah pisang rebus sebagai jalan tengah, menutupi rasa malu dan juga menghargai kebaikan Dokter Budi. 

Nah, karena kepentinganku saat itu membesuk temen-temen ODAPUS yang sedang rawat inap, sementara Dokter Budi sedang dalam tugas visit pasien, maka selesai makan siang beliau sekalian mengajakku berkeliling mengunjungi pasien-pasien lain. Tujuannya satu, menjadikanku sebagai role model untuk memberi semangat dan motivasi kepada para pasien beliau. 

Aku speechless. Beliau benar-benar sosok dokter yang totalitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.Tak sungkan menjadikan pasien sebagai pendamping visit beliau. Bapak dari seorang putra dan seorang putri ini tidak hanya mengobati pasien dari segi klinis, tapi juga sangat peduli dengan kondisi psikis dan kejiwaan pasien-pasien beliau. Beliau tidak menunjukkan superioritas bahwa sebagai dokter, beliaulah yang serba tahu. Namun, beliau seolah tetap membutuhkan pasiennya sebagai terapi jiwa bagi pasien lainnya. 

Akhirnya kami kembali keliling. Diawali dengan pasien di Gedung Rajawali lantai 6, kemudian berlanjut ke Gedung Merak. 

Setelah itu, masih ada satu pasien lagi yang posisi ruangnya berlawanan arah. Tanpa kusadari, saat aku pamit dengan pasien Dokter Budi ini, beliau sudah terlebih dahulu ke luar ruangan. Dan ketika aku menyusul keluar, ternyata Dokter Budi sudah menyiapkan kursi roda untukku, demi melanjutkan visit ke pasien terakhir. Dan beliau sendiri yang mendorong kursi roda itu. Sementara, aku duduk manis di atasnya. Huft ... tak terbayangkan betapa rikuh dan canggungnya diriku saat itu. Lebih rikuh dari saat ditraktir pisang rebus. 

###RP### 

Belasan tahun berdampingan dalam satu nyawa dengan lupus, mengajariku begitu banyak hikmah kehidupan. 

Tak dapat dipungkiri, selain keluarga, peran para dokter pendamping; Dokter Sudarsono, Dokter Suharti, Dokter Budi, penjadi penyemangat utama dalam ikhtiarku menggapai kesembuhan. 

Tuhan menyembuhkanku melalui tangan Dokter Budi. Sejak berada di bawah tanggung jawab dokter ramah yang berpenampilan kharismatik ini, lupus yang sudah menjalar ke mana-mana bisa teratasi. LED bagus, pnemonia sembuh, operasi katarak bisa terlaksana. Bisa dikatakan, sejak tahun 2018 hingga saat ini, kondisi kesehatanku cukup stabil. 

Kini, kisah yang dulu kuanggap pahit, justru mampu membuatku mengukir senyum. Tak ada lagi seorang Prima yang tantrum di balik tembok rumah sakit. Tak ada lagi sosok pengusaha wanita yang tetiba pingsan di bandara saat menunggu boarding. Tak ada lagi sosok introver yang memilih melukai dirinya sendiri.  

Namaku Prima Dewi Nurcahya, menghaturkan syukur tak terhingga karena dalam perjalanan sakitku selalu dipertemukan dengan dokter-dokter baik hati. 

Salatiga, 27 Juli 2021



Note : Tulisan ini merupakan salah satu dari 13 kisah inspiratif yang ada di antologi Ketika Pasien Bicara. Laba penjualan dari buku ini, 100% kita donasikan untuk Panggon Kupu, Komunitas Lupus Semarang.

Posting Komentar

0 Komentar