Merenda Episode Baru


Merenda Episode Baru
Oleh : Rohani Panjaitan
Didedikasikan untuk : Dr. dr. Damai Santosa, Sp.Pd-KHOM. FINASIM

Aku tercengang, sungguh-sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja Mas Susilo ceritakan. Suamiku membuat sebuah pengakuan yang mengejutkan akan kejadian dua tahun silam.

"Jadi Mas setuju kalau tanganku dipotong sampe siku?!" cecarku dengan nada tinggi. Memang semua telah berlalu, tapi aku tetap tak habis pikir. Bisa bisanya Mas Susilo menandatangani persetujuan tindakan amputasi untuk lengan kananku.

"Dek, saat itu Mas bener-bener gak tau. Mas panik. Yang penting nyawamu selamet." Mas Susilo memelukku. Aku bukannya makin tenang, tapi justru terisak lebih kencang.

"Jadi, Dek. Dokter San manggil Mas dan bertanya, 'Apa Mas gak sayang sama istrinya? Istri Njenengan masih muda, kenapa langsung bersedia tandatangan persetujuan amputasi?' Mas gak bisa ngerespon, karena udah mantep untuk ngikuti keputusan dokter penanggung jawab Adek." Mas Susilo melanjutkan cerita saat Dokter San berusaha mencoba meyakinkan dia dengan penjabaran menggunakan analogi sederhana.

"Ibarat saluran air yang tersumbat, air yang mengalirinya pasti tetap berusaha mencari jalan lain, karena sifat alami air itu, ya, mengalir. Demikian juga halnya dengan darah." Mas Susilo menirukan ucapan Dokter San. Aku terus menyimak sambil membayangkan sosok sang dokter yang memiliki jiwa seni cukup kental tersebut.

"Dokter San bilang agar kita coba dulu dengan terapi obat untuk mengikis sumbatan itu perlahan-lahan. Kuncinya memang kita harus sabar," lanjut Mas Susilo.

"Mas nangis waktu itu, Dek." Pengakuan Mas Susilo membuatku haru. Aku langsung memeluknya.

##RP##

Berawal dari kondisiku yang mengalami jerawatan tak kunjung sembuh selama hampir dua tahun. Bukan jerawat biasa, tapi jerawat nanah. Tadinya aku berpikir, ini cuma masalah kulit saja. Tapi kondisi ini kemudian diikuti dengan rasa nyeri yang tak tertahan di sekujur tubuh.

Detik berdetak, waktu berlalu, aku terus mencoba berdamai dengan rasa nyeri, namun akhirnya menyerah. Suami membawaku berobat ke dokter umum. Dokter mendiagnosa kalau aku mengidap asam urat.

Setelah berobat, keadaan tak jua membaik, bahkan semakin memburuk, hingga akhirnya suami kembali memeriksakan kondisiku. Kali ini langsung ke RSUD Kartini, Jepara.

Melihat keadaanku yang lumayan parah, dokter menyarankan untuk rawat inap. Selama lima hari menjalani perawatan, perlahan ada perubahan ke arah yang positif. Rasa nyeri dan panas yang biasa menghinggapi tubuh berkurang drastis. Kondisiku cukup stabil. Selama rawat inap ini,  aku di-diagnosa terjangkit malaria.

##RP#$

Tiga hari setelah pulang dari rawat inap, rasa nyeri yang tak tertahan kembali menyerang diri. Bahkan pada saat itu, jari jemariku mulai berubah warna menjadi ungu. Jangan ditanya nikmatnya seperti apa. Sensasi terbakar di seluruh jari berpadu dengan nyeri di sekujur tubuh, adalah suatu keniscayaan yang tak dapat kuurai dengan kata.
Karena tak mampu  menahan nikmat sakit ini, kami kembali lagi ke RSUD Kartini. 

Pada saat itu, aku masih menggunakan fasilitas umum, bukan asuransi pemerintah. Dokter yang kutemui di sesi kontrol ini bukan dokter yang menangani  di saat rawat inap. Kusampaikan pada beliau tentang kronologi dan gejala-gejala yang selama ini terjadi. Juga keluh kesah dan kemampuanku yang hampir tak sanggup lagi menahan beban sakit.

"Sebenernya saya ini sakit apa, tho Dok? Baru tiga hari pulang opname kok kondisi saya sudah seperti ini lagi. Jujur...saya rasanya gak kuat nahan nyeri dan panas, Dok. Ini jari-jemari saya juga malah makin ungu." Aku tak perduli kalau Pak Dokter menganggap keluhanku terlalu lebay, karena memang apa yang kuucapkan, itulah yang kurasakan.

"Mbak Fatma, kalau saya sarankan untuk test Ana Profile bersedia? Karena dari penuturan mbak Fatma, juga melihat tanda-tanda dan gejala yang mbak Fatma alami, semuanya mengarah ke autoimun," ujar dokter ramah itu dengan hati-hati.

"Saya mau, Dok. Yang penting saya bisa ngerti saya ini sakit apa, biar tau gimana ngobatinya." Dengan lugas dan yakin aku merespon saran Pak Dokter untuk dikonsulkan melakukan serangkaian test.

Akhirnya dokter yang aku tak sempat mengingat namanya itu, memberi rujukan untuk melakukan serangkaian test.

Dan hingga saat ini, ada satu penyesalan yang bersemayam di hati,  kenapa aku tidak sempat mengingat siapa nama dokter tersebut. Padahal atas saran beliau untuk melakukan test ANA Profile-lah akhirnya penyakitku terungkap. 

Saat ini ada sebersit keinginan yang cukup kuat untuk berucap terima kasih pada beliau, namun tak tahu kemana rasa terima kasih ini harus kulabuhkan.

##RP##

Hasil test ANA Profile-ku positif. Aku terdiagnosa mengidap SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu salah satu jenis lupus yang menyebabkan peradangan di hampir seluruh organ tubuh seperti, kulit, sendi, paru-paru, jantung, pembuluh darah, ginjal, sistem saraf, dan sel-sel darah.

Setelah hasil test keluar, aku dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi Semarang. Di rumah sakit pusat, diri ini ditangani oleh seorang dokter konsultan Reumatologi. Pemeriksaan demi pemeriksaan kembali kujalani. Lupus yang kuidap ternyata menyerang pembuluh darah. Ada penggumpalan darah yang terjadi di dalam pembuluh darah Vena dalam. Kondisi ini biasa disebut deep vein thrombosis (DVT), atau trombosis vena dalam. Dokter Reumatologi kemudian mengkonsulkan diriku ke konsultan hematologi, Dokter Santosa.

##RP##

Seiring dengan itu, kondisi jari jemariku semakin parah, warna ungu dengan cepat semakin menua menjurus hitam. Telapak tangan turut menghitam dan menggelembung. Setiap hari aku merasakan sensasi terbakar di seluruh jari.  Seolah tak ada lagi harapan kalau tanganku bisa kembali seperti sedia kala, dokter reumatologi mengkonsulkan diriku ke dokter bedah. Dari hasil  USG Doppler -USG khusus untuk melihat pembuluh darah- sumbatan yang menyebabkan kerusakan pada jari jemariku terlalu panjang. Hingga jalan terbaik yang harus ditempuh adalah amputasi.

##RP##

Saat itu, aku sama sekali tidak mengetahui adanya rencana untuk tindakan amputasi. Tidak tanggung-tanggung,  amputasi akan dilakukan sehingga batas siku. Yang kuketahui dengan pasti, dokter akan melakukan tindakan, namun  tak tahu tindakan apa. Konsultasi dan diskusi masalah ini hanya dilakukan dengan suami, ibu, juga bapak.

Wacana amputasi ini membuat sikap orang-orang terdekatku berubah. Mereka seolah memendam sedih yang begitu mendalam. Walau saat berada di dekatku rasa sedih itu berusaha ditutupi dengan keceriaan. Tapi perasaanku mengatakan ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Dan ternyata, pada saat itu suamiku sudah menandatangani persetujuan tindakan amputasi.

Namun, dari tiga dokter yang menanganiku,  Dokter  Santosa sebagai konsultan hematologi tidak menyetujui tindakan amputasi ini. 

##RP##

Aku masih ingat, saat itu suamiku bolak-balik diminta ke nurse station karena dipanggil Dokter Santosa. Terbersit satu kecurigaan kalau ada informasi sangat penting yang disampaikan dokter pada sigaran nyawaku itu. Tapi mulutku serasa kelu untuk sekedar bertanya, "Sebenernya ada apa?"

Rahasia sedikit terungkap ketika di visit hari berikutnya, dokter Reumatologi menyampaikan  bahwa mulai saat itu dokter penanggung jawabku adalah Dokter Santosa, bukan lagi dokter reumatologi tersebut.

Akhirnya, April 2018 aku resmi berada di bawah tanggung jawab Dr. dr. Damai Santosa, Sp.Pd-KHOM, FINASIM. Dokter yang piawai bernyanyi, menari, dan bermusik, ini memiliki perawakan sedang, dengan tampilan kulit agak gelap. Beliau juga seorang penggiat budaya Jawa. Di rumah sakit pusat ini, dokter dengan sapaan  Dokter San tersebut, punya andil cukup besar dalam upaya menjaga kelestarian budaya Jawa dengan grup sendratarinya Kariadi Kridha Budaya.

##RP##

Sejak saat itu, interaksi dan komunikasi dengan Dokter San mulai terjalin dengan intens.

"Mbak, untuk mengatasi penyumbatan di pembuluh darah Njenengan, nanti kita akan melakukan terapi. Terapi ini  diberikan selama enam bulan. Saya yakin kerusakan di jari-jemari Njenengan masih bisa diatasi." Sugesti dan support pertama yang disampaikan Dokter San inilah yang membakar semangatku untuk sembuh.

Kalau Dokter San begitu yakin  kondisi tanganku yang mulai menghitam masih bisa disembuhkan, tak ada alasan bagiku untuk terus terpuruk dalam sikap pesimis.

"Ya, Dok. Saya manut sama Dokter." Kupasrahkan diri untuk patuh pada saran dokter berkacamata ini.

"Jangan cuma manut, tapi Njenengan harus yakin, sabar, dan yang paling penting berdo'a. Memohon sama yang di Atas supaya ikhtiar kita berhasil." Sebenarnya apa yang diucapkan Dokter San hanya  kalimat biasa saja. Tapi bagiku rangkaian kata-kata tersebut bagai tetesan air nan sejuk yang membasahi kerongkongan di tengah teriknya  padang pasir.

Jujur saja, selama ini bukan hanya fisikku yang sakit, tapi psikisku juga mulai labil. Emosiku sering tidak stabil, sering terpojok di sudut rasa pesimis.

"Walau sumbatan di pembuluh darah cukup panjang, mudah-mudahan tetap bisa ditembus dengan terapi yang kita jalani nanti. Tetap semangat ya, Mbak," lanjut beliau sembari mengakhiri sesi visitnya hari itu.

##RP##

Hari- hari berlari seolah berpacu dengan waktu. Dalam setiap visitnya Dokter San tak lelah memotivasi dan membangkitkan semangatku untuk sembuh. Mungkin karena jiwa seni yang mengalir dalam tubuh beliau begitu kental, sehingga hal ini terpancar dari sikap dan perilaku beliau terhadap pasien. Tutur katanya sederhana, menenangkan, dan mengayomi namun mengandung support yang begitu berarti untuk menaikkan semangat pasien. 

Aku berasumsi demikian karena teringat akan satu kata bijak dari Henry Ward Beecher bahwa, 

"Every artist dips his brush in his own soul, and paints his own nature into his picture." Setiap seniman mencelupkan kuasnya ke dalam jiwanya sendiri, dan melukis perangainya ke dalam gambarnya.

Bapak dari dua orang putri dan seorang putra itu sebenarnya tipikal pribadi yang tegas. Tapi beliau juga memiliki sense of humor yang cukup baik. Setiap aku menyampaikan keluhan tentang rasa sakit yang tak tertahan, beliau justru meresponnya dengan santai bahkan dibarengi dengan canda. 

"Dok, kok punggung saya nyeri banget. Saya gak bisa tidur. Ini enaknya gimana, Dok, supaya nyerinya hilang," keluhku di satu kesempatan ketika beliau visit.

"Kasih balsem aja, nanti nyerinya hilang sendiri. Itu nyeri mungkin Njenengan terlalu banyak pikiran. Mikirin apa tho, Mbak? Ooo...inikan tanggal tua, mikirin suami di rumah udah gajian apa belum, gitu ya Mbak?" jawab beliau santai.

Tapi memang cara ini justru berhasil meredam kekhawatiran yang kadang merajai diri. Cara berkomunikasi beliau yang sangat bijak inilah yang membuatku tidak shock ketika satu waktu beliau menyampaikan berita buruk.

"Mbak, dari hasil terapi yang kita jalani selama ini, kondisi jari jemari Njenengan perkembangannya sangat baik. Tapi beberapa jari   kerusakannya sudah terlalu parah, sehingga sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Njenengan ikhlas dan siap kalau seandainya jari-jari tersebut diambil?" Beliau menyampaikan informasi itu dengan sangat hati-hati.

Dan aku..., ntah mendapat asupan semangat dan energi dari mana, hingga tak sedikitpun merasa terpukul dengan pertanyaan beliau tersebut.

"Saya ikhlas, Dok. Yang penting saya  sembuh dan tetap bisa beraktivitas," jawabku penuh rasa percaya diri.

##RP##

Enam bulan berlalu, sesi terapi pun purna sudah. Aku yang seharusnya kehilangan setengah dari tangan kananku, bisa berlega diri karena akhirnya hanya kehilangan dua setengah jari dan sedikit telapak tangan. Aku cukup ikhlas atas kehilangan ini, karena kondisi jari-jari tersebut memang sudah menghitam dan mengeras bagaikan kayu mati. 

Tak bisa kubayangkan, seandainya  setengah lengan kananku  terenggut. Sebagai seorang ibu dan istri, bagaimana aku  harus menjalankan tugas-tugas rumah tangga hanya dengan satu tangan. Dan sebagai seorang wanita, bagaimana aku harus mengembalikan rasa percaya diri ketika tubuh dan penampilan sudah tak lagi sempurna.

Aku sangat bersyukur, Allah mempertemukan diriku dengan Dokter San. Dan atas izinNya, Allah memberi kesembuhan  melalui tangan Dokter San. Beliau begitu gigih mempertahankan kondisiku agar tidak diamputasi. Kecermatan dan ketelatenan beliau dalam mengambil keputusan, dengan mempertimbangkan kondisi pasien secara detail, baik dari segi fisik maupun psikis, memberiku kesempatan kedua untuk tetap eksis sebagai wanita normal walau tak utuh.

Seandainya Dokter San tidak memanggil dan mengajak suamiku berbicara dari hati ke hati, persetujuan amputasi dua tahun yang lalu itu mungkin sudah terlaksana.

Selamat Hari Dokter Nasional, Dokter Damai Santosa. Terima kasih atas  kegigihan Njenengan mempertahankan kondisi saya, sehingga saya tidak jadi berpisah dengan setengah lengan kanan saya. Tetap sehat dan teruslah berkarya untuk kami para pejuang sehat, ya Dok.

[Narasumber : Fatmawati. Pasien dari instalasi Kasuari, RSUP Dr. Kariadi, Semarang.]

Note :

Cerpen ini merupakan satu dari 16 kisah inspiratif yang ada dalam antologi A Tribute to Doctors II.

Buat yang pengen memiliki buku ini, masih ada ready stok yang bisa langsung dipesan.

Posting Komentar

0 Komentar