Mengisi Akhir Pekan dengan Dialog Interaktif




Mas Ardham sedang menyampaikan testimoni.

"Mas Ardham, mungkin bisa berbagi cerita, bagaimana rasanya setelah ditransfusi?"

"Rasanya campur aduk. Mual, pusing, sakit, ya gak enaklah. Tapi kalo gak ditransfusi, ya saya mati. Jadi mau gak mau ya harus transfusi."

"Pernah gak Mas Ardham  punya pengalaman istimewa setelah menjalani transfusi?"

"Pernah Bu. Saya menjadi penyintas Thalasemi kan sejak lahir. Jadi seumur hidup saya ini ditransfusi. Pernah setelah transfusi, saya itu kok jadi seneng menghitung. Rasanya pengen coret-coret ngerjain soal-soal hitungan. Padahal saya biasanya gak suka hitung menghitung. Nah...saya kan ikut komunitas thalasemia dunia. Dari membaca artikel-artikel penelitian yang dibagikan teman-teman, saya baru paham bahwa sel darah merah (PRC) yang ditransfusi kan ke kami itu kan masih bercampur dengan leukosit (sel darah putih). Menurut penelitian, leukosit itu ternyata mengandung sedikit DNA. Mungkin darah yang ditransfusikan ke saya itu berasal dari orang yang suka menghitung. Terus ada juga temen thalasemia dari India. Dia pernah bercerita di grup. Satu waktu setelah transfusi, dia itu selalu cemas dengan isi ATM-nya. Jadi dia bolak balik selalu ngecek ATM-nya. Padahal dia tau, ATM dia itu gak ada uangnya. Tapi dia selalu was was dengan isi ATM-nya.

Tapi sekarang kondisi seperti itu udah berkurang Bu. Soalnya sekarang kalo transfusi pake PRC leukodopleted, sel darah merah yang kandungan sel  darah putihnya sudah dikurangi."

Percakapan berisi testimoni di atas merupakan penggalan interaksi antara moderator, Ibu Wahyu Maryaningsih dari komunitas DoReMi, dengan Mas Ardham,  penyintas Thalasemia yang hadir dalam acara dialog interaktif 'Thalasemia, Apa dan Bagaimana Mendukungnya'.

###RP###

Kemarin sore, kebetulan mendapat tugas menjadi MC di satu acara dialog interaktif. Masya Allah, pemaparan dan beberapa testimoni yang disampaikan oleh narasumber membuat diri ini speechless dan merenung sedemikian rupa.

Dokter Like, salah seorang narasumber yang mewakili tenaga medis, memaparkan dengan gamblang tentang Thalasemia dan seluk beluknya.

Sementara Ustadz Baruno, founder Komunitas Donor O.B.AB.A menyerukan ajakan agar kita -umat Islam- lebih konsen dalam urusan donor darah. Beliau  berkisah tentang satu kejadian. 

Salah seorang relawan donor mempunyai ibu yang mengalami satu penyakit yang  mengharuskan beliau ditransfusi. Si ibu ini sudah sepuh. Layaknya orang tua pada umumnya, ibu ini   cerewet. Masya Allah...setelah menjalani transfusi ibu ini masih suka ngomong alias cerewet, namun alirannya sudah berbeda. Bukan lagi cerewet emak-emak.mode.on, tapi cerewetnya dalam lantunan sholawat, istighfar, dan kalimat-kalimat baiknya. Masyaa Allah.

Narasumber lainnya, Mbak Galih, seorang perawat di instalasi onkologi salah satu rumah sakit di Semarang juga menyampaikan testimoni menarik. 

Para orangtua anak-anak penyintas Thalasemia yang rutin transfusi dua Minggu sekali itu, biasanya sering mengeluh ketika waktunya transfusi, anak mereka mendapat jatah darah yang agak merah gelap. Mereka menyebutnya darah hitam. Kenapa ? Karena menurut para ibu, kalo anaknya ditransfusi dengan darah yang cenderung hitam, setelah transfusi biasanya karakter si anak cenderung menjadi tempramental, murung, dan baper.

Dari beberapa testimoni yang disampaikan oleh para penerima transfusi itulah sehingga O.B.AB.A sebagai komunitas donor yang cukup rekomended, memusatkan fokus donor mereka dari mesjid ke mesjid. 

Kenapa dari mesjid ke mesjid? Karena mesjid merupakan basecamp paling mumpuni untuk menjaring pendonor muslim.

Ketika darah yang ditransfusikan  ternyata sedikit banyak berpengaruh kepada karakter si pasien, masih kah kita abai dengan membiarkan para non is berlomba-lomba mengadakan event donor di rumah ibadah mereka, sementara umat muslim hanya bersiap sebagai penerima transfusi?

Kenapa tidak kita balik situasinya. Umat muslim berlomba-lomba membuat event donor dari mesjid ke mesjid, dan kita siap menebarkan darah kita kepada pemeluk semua agama.

Teman...acara dialog interaktif kemarin  meninggalkan jejak ilmu dan informasi penting dari para narasumber ke para hadirin. Dan khusus bagi dariku sendiri, acara kemarin seolah menjadi reminder. 

Selama ini, ketika mendekati waktu berdonor, aku biasa menyiapkan diri untuk hal-hal yang tekhnis. Minum nabezz supaya Hb stabil. Istirahat cukup, tidak begadang, supaya tensi normal. Tidak konsumsi jamu tiga hari menjelang donor. Semua itu untuk apa? Supaya bisa lolos donor. Jadi intinya aku fokus kepada diri sendiri untuk lolos donor.

Jujur, belum pernah sekalipun aku memikirkan, bagaimana reaksi orang yang menerima transfusi darahku. Apakah baik-baik saja? Ataukah karakter cerewet dan jutekku ikut menempel di tubuh mereka?

Kondisi ini seolah mengingatkanku untuk mengubah pola pikir. Tidak lagi memikirkan hal-hal tekhnis agar lolos donor. Tapi lebih ke arah perbaikan diri dan ibadah, agar penerima darah kita nantinya tidak terkontaminasi karakter buruk kita.

###RP###

Alhamdulillah, acara dialog interaktif hasil kerja bareng DoReMi (Donor Relawan Thalasemia), O.B.AB.A, dan Rumah Tahfidz Uwais ini berjalan lancar dan seru.

Kegiatan yang digelar di Sabtu sore penuh berkah, 20 Agustus 2022, berlangsung santai dan penuh keakraban.

Dialog interaktif ini selesai tepat sesaat sebelum  azan Maghrib berkumandang. Semoga acara sederhana ini bisa memberi hikmah serta menebar manfaat dan kebaikan bagi banyak orang.


Semarang, 20 Agustus 2022.

Posting Komentar

1 Komentar