The Doctor's Family (Jilid 12)






Walau mataku sudah terpejam, namun sejatinya diri ini belum terlelap. Mendengar ucapan lirih Pak Dokter, secara otomatis kelopak mataku membuka. Kulepaskan diri dari pelukan Beliau. Kutatap wajah belahan jiwa yang ternyata juga masih terjaga. Beliau balas menatap diri ini.

“Kenapa menatap saya seperti itu?” Pertanyaan Pak Dokter terdengar ringan seolah tanpa beban.

“Njenengan tadi bicara apa?” Bukannya menjawab pertanyaan Beliau, aku justru melempar balik pertanyaan.

“O...itu,” ujar Pak Dokter singkat, “Kenapa ada orang yang betah membujang sampai usianya hampir setengah abad,” lanjut Beliau masih dengan posisi tidur miring menghadap ke arahku.

“Elang?” tanyaku menyelidik. 
                                                      
“Iya.”

“Terus kenapa?”

“Gak pa-pa, Cuma heran aja.” Wajah Beliau terlihat datar ketika mengucapkan kalimat ini.

Aku tersenyum penuh makna menanggapi kalimat Beliau. Diri ini mulai menyadari alasan kenapa Pak Dokter bersikap aneh dan dingin.

“Kenapa tersenyum seperti itu?” ujar Beliau heran atas responku terhadap ujarannya.

“Gak pa-pa. Tidur yuk Dok. Dah malem.” Kucoba membuat Beliau penasaran,” Tadikan Njenengan bilang kalau Njenengan sudah ngantuk,” lanjutku sambil berbalik arah membelakangi Beliau.

“Kok saya dikasih punggung?” Pak Dokter protes dengan sikapku.

“Saya ngantuk,” balasku spontan.

“Balas dendam, ya?” Beliau memelukku dari belakang, seakan meniru apa yang tadi kulakukan terhadap Beliau, diciuminya tengkukku. Diri ini merinding merasakan hembusan napasnya.

Kelihatannya suami terkasihku sudah mulai normal seperti sedia kala. Padahal diri ini masih ingin menumpahkan kekesalan atas sikapnya yang tadi mengabaikanku. 

Manusia memang makhluk yang aneh. Dengan usia yang sudah sangat matang, terkadang masih tergambar sikap dan tingkah polah kanak-kanak dalam diri mereka. 

Seperti diriku dan Pak Dokter saat ini. Tadi Beliau bersikap dingin dan mengacuhkanku, sementara diri ini merasa terabaikan tak berharga. Lihatlah...sekarang kedua makhluk paruh baya ini malah asyik saling menggoda bagai pasangan pengantin muda usia.

“Geli, Dok.” Aku protes dengan sikap Beliau yang terus menggodaku.

“Makanya saya jangan dikasih punggung.” Beliau tetap menggoda dengan menciumi tengkukku.

Merasa tak tahan dengan rasa geli dari hembusan napasnya, aku menggeliat dan bangkit. Pak Dokter tertawa melihat sikapku.

“Makanya Njenengan itu jangan seperti ABG. Wong ya istri lagi hamil beginipun dicemburui,” ujarku dengan posisi bersandar di kepala tempat tidur.

“Saya gak cemburu, saya cuma heran ada orang yang bisa menjaga cintanya sedemikian rupa.” Pak Dokter mengikuti posisiku, setengah berbaring sambil bersandar di kepala tempat tidur.

“Elang itu gak cinta sama saya, Dok,” jawabku datar. Rasa kesal yang tadi menyelimuti diri seakan  pergi menjauh seiring dengan sikap Pak Dokter yang kembali bersahabat seperti Beliau adanya.

“Gak cinta, tapi cinta mati. Maksudnya cinta sampe dibawa mati, makanya dia gak menikah.” Pak Dokter masih mempertahankan argumentasinya.

Kutatap Pak Dokter sambil memberinya seutas senyum manis. Beliau balas menatapku, tapi tak membalas senyumku.

“Saya kalah. Saya bisa menjaga cinta saya untuk Njenengan, tapi  saya gak bisa menjaga raga saya, karena sempat ada mbak Widya di antara kita.” Ucapan Pak Dokter begitu serius,  “Sementara Elang, dia menjaga jiwa dan raganya untuk Njenengan.” Beliau melanjutkan ujarannya.

Aku terhenyak mendengar penuturan Pak Dokter. Diri ini sama sekali tidak menduga kalau pertemuan tak sengaja dengan Elang tadi mampu membuat lelaki terkasihku merasa tersaingi. 

“Dok....” Kupanggil Beliau dengan nada selembut mungkin.

“Njenengan tu gak perlu buang-buang waktu dan energi untuk memikirkan Elang. Biarlah dia dengan prinsipnya, yang penting saya gak punya perasaan apa-apa buat dia. Dan lagi Njenengan gak perlu merasa kalah, wong nyatanya sekarang yang ada di samping saya itu ya Njenengan, bukan Elang. Dia mau bertahan dengan kesendiriannya ya biarkan saja.” Kuhentikan ujaran sambil melempar pandang ke arah Pak Dokter. Lelaki yang tadi sudah sempat ceria dan menggodaku, kini kembali terlihat berwajah serius.

“Elang itu lebih cinta sama Tuhannya dari pada sama saya, Dok. Makanya dia gak berusaha untuk mendapatkan saya. Dan walaupun saya nyaman banget bersahabat dengan Elang, tapi sejak awal kami saling kenal berpuluh tahun yang lalu, saya  gak pernah punya perasaan spesial terhadap dia.” Kusudahi ucapanku sambil menyandarkan kepala ke bahu Beliau.

“Saya percaya sama ucapan Njenengan. Tapi saya gak bisa mengingkari kalau ada sedikit rasa tak nyaman  melihat Elang yang begitu komit menjaga hati dan tubuhnya hanya untuk satu perempuan, walaupun dia gak bisa mendapatkan perempuan itu.”

“Cemburu Njenengan itu tidak pada tempatnya,” ujarku lugas.

“Kenapa?” Beliau mengajukan tanya sambil menggenggam tanganku.

“Karena Njenengan cemburu pada orang yang bertepuk sebelah tangan. Harusnya Njenengan peka tho, Dok. Wong tadi Elang minta nomor handphone aja, saya alihkan ke Njenengan.”

Pak Dokter memiringkan kepalanya, menatap wajahku yang masih bertumpu di bahu kanannya.

“Iya...iya...saya percaya Njenengan.” Pak Dokter berusaha meyakinkanku.

“Kalau Njenengan mau cemburu, harusnya sama Bapaknya Maghrib yang sudah memberi saya tiga anak, sementara Njenengan cuma sanggup ngasih  satu.” Aku melanjutkan ujaran yang terputus sambil mengangkat kepala dari bahu Beliau.

Pak Dokter tertawa mendengar ucapanku. Dan kalimat pamungkasku itu seolah mengingatkan Beliau akan sesosok nyawa yang sedang mendekam hangat di rahim. Beliau beringsut merubah posisinya. Dielusnya perutku penuh kasih. Kemudian Beliau mengecup si bungsu dengan lembut.

“Kalau sama bapaknya Maghrib saya justru gak pernah merasa cemburu. Saya menganggap almarhum itu teman saya, yang sudah menitipkan anak-anak yang baik, sopan, dan menyenangkan untuk saya,” ujar Beliau sambil kembali memposisikan diri bersandar di kepala tempat tidur.

Aku terpana mendengar ucapan Pak Dokter.

“Serius?” tanyaku heran.

“Iya...walaupun saya belum pernah ketemu sama Beliau secara langsung, tapi ntah kenapa hati saya gak pernah menganggap almarhum sebagai rival. Apa karena  anak-anak Beliau menyayangi dan menghormati saya, ya? Jadi tanpa disadari, perasaan saya terhadap bapak mereka juga penuh respek.” Lelaki paruh baya nan kharismatik ini selalu saja berhasil membuatku terpesona. Kemampuan verbalnya selalu sukses memporak-porandakan nalar dan melumerkan amarah.

“Makanya, Njenengan juga jangan menganggap Mamanya Lintang sebagai rival. Anggap aja kalau almarhumah itu teman Njenengan, jadi Njenengan gak terbakar api cemburu setiap teringat Beliau.” Kata-kata Pak Dokter mengingatkanku pada beberapa peristiwa yang sempat membuatku cemburu buta kepada almarhumah Mama Lintang.

“Perempuan sama laki-laki beda, Dok.” Aku berusaha membela diri.

“Bedanya di mana?” cecar Beliau.

“Ya, pokoknya beda,” ujarku tak mampu memberi argumen atas pembelaan diri yang tadi sempat terucap.

Pak Dokter tertawa melihatku mati langkah. Beliau beringsut menyempurnakan posisi tidurnya.

“Tidur yuk, dah malam.” Beliau memberi titah agar aku segera mengistirahatkan diri.

Kupenuhi perintah sang imam. Seperti biasa, Beliau merengkuhku dalam dekapnya, mengelus-elus lembut punggungku, meninabobokkan istri dan anak bungsunya.

Aku dan Pak Dokter sama-sama memiliki sifat tak betah memendam masalah terlalu lama. Ketika aku sedang dalam kondisi merajuk atau cemburu, Pak Dokter pasti akan memaksa secara halus untuk mengeluarkan uneg-uneg dan menuntaskan ganjalan yang menyumbat hati. Begitu juga ketika Beliau yang sedang dalam posisi menyimpan kegalauan, aku tidak bisa tenang membiarkan Beliau memendamnya sendiri. 

Dan inilah kami, selalu gatal dan tak betah membiarkan amarah, cemburu, dan rasa tak nyaman berlama-lama mengendap di jiwa. Aku berharap kondisi ini bisa terus kami pertahankan hingga maut memisahkan. Berusaha untuk selalu konsisten menjaga komunikasi dan romantisme dalam mengarungi bahtera  rumah tangga  di usia yang sudah tak muda ini.

“Dok...,” ujarku pelan.

“Apa lagi?” Beliau merespon ucapanku dengan lembut.

“Ternyata  cemburu itu bisa mengikis kecerdasan seseorang, ya?” Aku berbicara tanpa arah.

Pak Dokter kembali membuka matanya yang sudah terpejam.

“Maksudnya?” tanya beliau dengan nada heran.

“Yang saya tau, Njenengan itu lelaki cerdas. Tapi gara-gara  cemburu, Njenengan jadi seperti anak kecil, ngambek, ketus, dan kehilangan logika.”

Pak Dokter tertawa lepas mendengar kalimatku. Dan Beliau semakin mempererat dekapannya. Elusan tangannya di punggungku terasa begitu nyaman dan memberi aliran energi positif untuk Anggi.

“Udah... tidur gih, jangan ngoceh terus,” ujarnya, kemudian mengecup bibirku sekilas.

“Mimpi indah, tapi jangan mimpiin Elang.” Mendengar kata-kata penutupnya, kucubit perut Beliau pelan. Dan seperti biasa, Beliau meng-aduh tapi sambil tertawa.


@@@@@


Jum’at malam Edel pulang ke rumah Semarang sesuai permintaanku. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 ketika dia tiba di rumah. Sulungku itu langsung bebersih diri kemudian menikmati makan malam yang tertunda.

Aku menemaninya di meja makan. Maghrib, Lintang, dan Mentari menikmati malam libur mereka dengan  asyik menonton televisi di ruang keluarga. Sementara Pak Dokter belum pulang dinas.

“Kok nyuruh aku pulang ke Semarang, Ma? Gak pulang ke Salatiga?” Sulungku itu meminta penjelasan atas titahku memintanya pulang ke Semarang.

“Besok malam mau ada tamu, pengen ketemu kamu.” Sulungku terkesiap heran memandang ke arah Emaknya.

“Tamu?” tanya Edel tak mampu menyembunyikan rasa heran dari raut wajahnya.

“Kamu ingat Bang Anggiat?” tanyaku sambil menatapnya.

Edel menghentikan aktivitas makannya. Dia balas menatapku. Tatapannya menyiratkan beragam makna.

“Yang diundang makan malam pas ulang tahun Mama?” Ternyata ingatan putri sulungku cukup tajam.

“Iya,” jawabku singkat sambil memutar otak mencari susunan kalimat yang tepat demi melanjutkan perbincangan ini.

Edel terdiam, dia tidak merespon jawabanku. Sementara aku belum menemukan cara yang luwes untuk meneruskan obrolan ini.

Edel memang anak gadisku, bahkan anak sulung. Tapi Edel lebih dekat dengan almarhum bapaknya. Dulu sewaktu suamiku masih ada, Edel sangat manja dan terbuka dengan Beliau. Sementara aku lebih dekat dengan kedua anak lelaki. Itulah sebabnya, Edel sempat tidak menyukai hubunganku dengan Pak Dokter, karena dia sangat berharap aku berjodoh kembali dengan Sang Bapak di akhirat kelak.

Seiring berjalannya waktu, setelah Pak Bojo meninggal, Edel mulai dekat denganku, tapi tak semanja dan sehangat hubungannya dengan Sang Bapak. Hubunganku dengan Edel memang penuh kasih sayang, namun sangat dewasa.

Dan aku,  tidak berani menyinggung wilayah pribadi Edel, seperti masalah teman dekat misalnya.

Jujur, di antara ketiga anak gadisku saat ini, Mentarilah yang cukup dekat denganku. Semua rahasianya tertumpah padaku. Dia tanpa sungkan dan bosan bercerita apa saja padaku.

Sementara Lintang, walau dia bersedia bermanja-manja denganku, namun sikap terbukanya baru terjalin paripurna sejak hubungannya dengan Dhuha terkuak. Mulai saat itu, sulung Pak Dokter tersebut rajin berbagi curahan hatinya padaku.

Dan kini, aku mengharap hal yang sama bisa terjalin antara aku dan Edel, darah dagingku sendiri.

“Bang Anggiat pengen kenal lebih dekat sama kamu, Del.” Akhirnya aku memilih berbicara jujur apa adanya kepada Edel.

Dia kembali meneruskan makannya, tapi masih belum memberi respon atas ucapan-ucapanku.

“Cuma kenalan aja.” Mendapati gadis mandiri ini tak jua memberi respon, aku kembali meneruskan ujaran.

“Ya, Ma.” Jawaban Edel cukup singkat, dengan reaksi yang sangat datar. Dan aku tak tahu bagaimana harus merespon jawaban Edel yang begitu minimalis.

Terdengar suara klakson mobil. Pak Dokter pulang. Dari meja makan aku bisa melihat Maghrib yang berada di ruang keluarga bergegas beranjak untuk membukakan pintu pagar.

“Walau cuma sekedar berkenalan, tapi kalau kamu keberatan, ya gak usah dipaksakan Edel.” Aku berbicara dengan sangat hati-hati, berharap jangan sampai ada satu kosa katapun yang menyinggung perasaan dan harga dirinya.

“Mama yakin?” Edel kembali memberi respon singkat. Dia sudah menyelesaikan makannya, kemudian menutupnya dengan meneguk segelas air putih yang tadi telah kusiapkan untuk dirinya.

Saat aku hendak menjawab tanya Edel, terdengar suara Pak Dokter menanyakan keberadaanku pada anak-anaknya di ruang keluarga. Sejenak kemudian, Beliau terlihat memasuki ruang makan, menuju ke arahku, kemudian mengecup keningku lembut di depan Edel. Setelahnya Edel menyalami Beliau sambil mencium punggung tangannya.

“Tadi nyampe jam berapa, Edel?” Pak Dokter berbasa-basi kepada anak gadisku.

“Jam delapan, Pa.”

“Ya udah, terusin ngobrolnya sama Mama, ya. Papa mau mandi dulu.” Pak Dokter berujar seolah memahami topik pembicaraan yang sedang kami bahas.

“Ya, Pa.”

Setelah Pak Dokter berlalu untuk menuju kamar, kami kembali melanjutkan perbincangan yang sempat terhenti.

“Ya, kalau kamu memang tidak berkenan, gak usah memaksakan diri,” ujarku pasrah.

Edel terdiam beberapa saat. Selanjutnya dia memanggilku pelan.

“Mama....” Ujaran Edel menggantung. 

Aku tidak menjawab ujarannya dengan kata-kata, melainkan dengan menunjukkan wajah antusias yang mengisyaratkan bahwa aku menunggu kelanjutan kalimatnya.

“Aku sudah dewasa. Walau Mama bilang hanya sekedar berkenalan, tapi aku sudah bisa menebak ke mana arahnya.” Putri sulungku itu berbicara begitu lugas. 

Satu persamaan diriku dan dirinya adalah ketegasan dan tidak suka berpura-pura. Dan kini, tanpa basa basi dia meneruskan ujarannya.

“Aku gak punya ketertarikan untuk berkenalan dengan Bang Anggiat, Ma.”

Diri ini terdiam mendengar pengakuannya yang begitu jujur. Dan aku  sangat tidak ingin menjadi seorang Emak yang memaksakan kehendak dengan membujuknya untuk mengikuti skenarioku dan Pak Dokter.


@@@@@@


Di Sabtu pagi, setelah menyelesaikan ritual sarapan dengan formasi lengkap minus Dhuha tentunya, Pak Dokter berkemas untuk bersiap menuju ladang tugasnya. 

Pada saat sarapan, aku dan Pak Dokter  sepakat untuk tidak menyinggung tentang Anggiat. Tadi malam menjelang tidur, kami sudah membahas masalah penolakan Edel.  Pak Dokter sedang memikirkan cara yang halus dan sopan untuk berbicara dengan Anggiat. 

Sedikit banyak aku merasa bersalah, karena selalu menunda-nunda untuk  membicarakan hal ini kepada Edel. Aku baru  mengkomunikasikan masalah ini justru di saat Anggiat mulai bergerak. Dan aku sama sekali tidak menduga akan sikap terus terang Edel yang langsung menolak walau hanya sekedar berkenalan.

Ada sedikit rasa tak enak hati pada Pak Dokter. Aku menyadari, Beliau juga pastinya  merasa rikuh kepada Anggiat karena seolah-olah memberi harapan palsu. 

Walau Pak Dokter memintaku untuk tidak terlalu memikirkan masalah ini, tapi  rasa bersalah semakin menghantui diri. Aku tak sanggup membayangkan Pak Dokter kehilangan marwah di depan residennya, dan penyebabnya justru anak gadisku sendiri. Kepalaku berdenyut setiap teringat hal ini.

Sementara untuk membujuk Edel agar mau sekedar berkenalan saja, diri ini tak punya nyali. Aku tak ingin menjadi Emak otoriter yang memaksakan kehendak, apalagi yang berhubungan dengan masalah pasangan hidup.

Setelah Pak Dokter berangkat, aku berlalu menuju kamar. Sementara anak-anak bergegas melaksanakan aktivitas yang menjadi tanggung jawab mereka ketika Mbak Kas dan Mbak Ramlah libur di akhir pekan.

Lintang mengurus hewan peliharaannya, kemudian membersihkan semua ruangan di lantai atas. Sementara Mentari dan Edel bertanggung jawab dengan seluruh ruangan lantai bawah, dan segala piranti kotor. Maghrib tetap setia dengan tanggung jawabnya akan kebersihan halaman depan, samping, dan belakang.

Tadi ketika sarapan anak-anak sudah menyusun rencana, hari ini mereka akan menghabiskan waktu dengan berkunjung ke rumah teman   Edel semasa SMA yang kini menetap   di daerah Gunung Pati untuk panen rambutan. 

Sementara aku akan menikmati “me time” di rumah. Ada beberapa materi artikel yang harus diselesaikan. Sudah dua bulan ini tidak ada artikelku yang menembus media, baik cetak atau elektronik. Kuakui dengan kehamilan di usia yang over cooked ini, ternyata sangat berpengaruh dengan kreativitas. 

Sering sekali keinginan untuk menulis itu menggebu-gebu, tapi ketika akan mengurainya dalam rangkaian kata, pikiran menjadi buntu. Atau kalaupun ide-ide itu bisa tertuang dalam bentuk tulisan,  hasilnya terlalu mentah dan tidak berbobot. 

Tapi dalam seminggu belakangan, aku benar-benar memasang target kalau bulan ini harus ada artikel yang tembus ke media. Namun ada sedikit keraguan dengan target yang sudah terpasang itu ketika riak kecil dari Edel datang menghampiri.

Laptop sudah menyala, aku mulai merangkai kata demi menyelesaikan sebuah artikel ringan tentang  pasar tradisional di Kota Ungaran yang memiliki desain eksterior kontemporer.

“Mamaaa....” Terdengar  Edel memanggilku diikuti suara ketukan di daun pintu.

“Masuk Edel, pintu gak Mama kunci,” responku terhadap panggilan si gadis.

Edel melintas masuk dan langsung duduk di tepi tempat tidur. Ku-save tulisan yang baru tertuang sekitar 250 kata itu. Selanjutnya kumatikan laptop. 

Entah kenapa, ada terselip secuil keinginan untuk melunakkan hati Edel. Bukan untuk memaksanya menerima Anggiat, tapi setidaknya sekedar menerima kehadiran pemuda itu. Itu saja, tidak lebih. Dan hasrat itu muncul karena aku sangat ingin menyelamatkan wajah dan nama baik Pak Dokter.

“Ada apa, Del?” Kuajukan tanya kepada si Sulung.

“Ma....”

“Ya....”

“Mama sudah ngomong sama Papa tentang obrolan kita tadi malam?”

“Sudah.”

“Terus respon Papa?”

“Sedang memikirkan cara yang halus dan sopan untuk membicarakannya dengan Bang Anggiat.”

“Berarti nanti malam bang Anggiat gak jadi datang?”

“Ya tetap datang, karena gak mungkin kan Papa langsung ngomong secara frontal kalau anak gadisnya menolak dia. Setidaknya Papa akan melakukannya step by step.”

“Ma, aku mau nemuin bang Anggiat. Tapi bukan berarti  aku bersedia untuk saling mengenal lebih jauh ya, Ma. Jujur...aku gak berminat sama Bang Anggiat, Ma.” Mendengar ucapan Edel, beban berat berton-ton yang menghimpit dada serasa terbang bagai gumpalan kapas tertiup angin.

Aku tidak perduli kalau Edel tidak berkenan dijodohkan dengan Anggiat. Yang ada dalam pikiranku saat ini, diriku sangat bersyukur karena dengan bersedianya Edel menghadapi Anggiat, akan menolong Papanya dari rasa malu.

“Terus karena alasan apa?” Rasa penasaran masih menyelimuti hati kenapa tiba-tiba si Sulung berubah pikiran setelah tadi malam merespon obrolanku dengan sangat datar.

“Karena aku sayang sama Mama, sama Papa. Jadi biar aku aja yang menghadapi Bang Anggiat.”

“Sesederhana itukah alasannya?” Aku tidak terlalu yakin dengan ungkapan anak gadisku.

“Ya, Ma.” Edel memberi jawaban yang sangat singkat.

Karena aku tidak ingin membuatnya berubah pikiran, kubiarkan saja jawaban minimalisnya tersebut. Selanjutnya kucoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Mau berangkat ke Gunung Pati jam berapa, Edel?”

“Sekitar jam sepuluh, Ma. Lintang sama Maghrib belum selesai ngerjain tugasnya. Mentari lagi mandi.” Kali ini dia menjawab tanyaku dengan kalimat lengkap.

“Mama....” Edel kembali melanjutkan ujaran dengan memanggilku pelan.

“Ya.”

“Bukannya aku gak menghargai usaha Papa yang ingin mendekatkan aku dan bang Anggiat.”

“Tapi...?” Aku berusaha memberi pancingan atas ucapan Edel. Naluri keibuanku mengatakan kalau si sulung ingin mengatakan suatu hal penting tapi masih diliputi keragu-raguan.

Edel terdiam, sepertinya rasa ragu masih menggelayuti jiwanya. Kucoba sekali lagi memberi umpan pada kakak si Dhuha.

“Edel...kamu sudah punya pacar ?” tanyaku lembut dan hati-hati sambil menatapnya lekat.

Edel membalas tatapanku. Anak gadis yang biasanya mandiri dan tegas itu, kali ini terlihat kaku dan tak berdaya di hadapan Mamanya sendiri. Padahal aku sudah berusaha untuk berbicara dengan sangat pelan dan hati-hati, karena aku sadar berbicara dengan anak-anak yang sedang terserang demam asmara itu jauh lebih sulit dibanding ketika aku harus berbicara di forum bedah buku, di forum kumpulan ibu-ibu, bahkan di hadapan para  siswa-siswa SMA.

“Sudah, Ma.” Jawaban Edel singkat, namun jelas dan tegas.

Perbedaan usia memang membedakan cara berkomunikasi manusia. Ketika aku memancing Lintang dengan topik pembicaraan yang sama namun dengan kalimat yang berbeda, Lintang hanya mampu menjawab tanyaku dengan anggukan diiringi rona merah di pipi yang menggambarkan rasa malu yang begitu mendalam.

Dan kini dengan topik pembicaraan yang sama, walau diliputi keraguan,  Edel, dengan usia yang jauh lebih dewasa dari Lintang, merespon tanyaku dengan lugas dan jelas.

“Kenapa gak pernah cerita sama Mama?” tanyaku tetap dengan nada pelan.

“Aku masih belum yakin, Ma.”

“Maksudnya? Belum yakin dengan pacar kamu atau belum yakin dengan hubungan kalian?” tanyaku sambil beranjak dari kursi meja kerja ke tepi tempat tidur.

Kududukkan diri persis di samping Edel. Kurengkuh bahu anak sulung Pak Wicaksono tersebut. Aku merangkulnya dengan hangat, mencoba memberi aliran energi positif agar dia mampu mengeluarkan uneg-unegnya dengan lancar dan tanpa sungkan.

“Belum yakin kalau Mama dan Papa mau merestui hubungan kami.”

“Karena?” Aku mulai deg-degan mendengar penuturan Edel. 

Sebersit rasa heran menggelayuti diri atas ketidakyakinan Edel. Jujur aku belum siap menerima kejutan besar lainnya dari kisah asmara dia. Cukuplah kisah Dhuha dan Lintang yang hingga kini masih membuatku dan Pak Dokter semakin menguatkan do’a agar  anak-anak kami itu diberi jalan terbaik tanpa harus meninggalkan luka di antara keduanya.

“Dia duda dengan tiga anak. Usianya hanya beda empat tahun dengan usia Mama Papa. Anaknya yang tertua sudah berumur 20 tahun, Ma.”

Beban berat berton-ton yang tadi sudah terangkat dari dadaku, kini terasa kembali menghempas, bahkan beratnya bertambah menjadi sepuluh kali lipat. Tiga ekor burung seolah terbang berputar mengelilingi kepalaku, persis seperti adegan di film kartun ketika sang tokoh sedang mumet.

Ada apa dengan para anak gadisku yang cantik-cantik ini ? Kenapa selera mereka dalam memilih pasangan hidup begitu unik ?

@@@@@










Posting Komentar

0 Komentar