Walau mataku sudah terpejam, namun sejatinya diri ini belum
terlelap. Mendengar ucapan lirih Pak Dokter, secara otomatis kelopak mataku membuka.
Kulepaskan diri dari pelukan Beliau. Kutatap wajah belahan jiwa yang ternyata
juga masih terjaga. Beliau balas menatap diri ini.
“Kenapa menatap saya seperti itu?” Pertanyaan Pak Dokter
terdengar ringan seolah tanpa beban.
“Njenengan tadi bicara apa?” Bukannya menjawab pertanyaan
Beliau, aku justru melempar balik pertanyaan.
“O...itu,” ujar Pak Dokter singkat, “Kenapa ada orang yang
betah membujang sampai usianya hampir setengah abad,” lanjut Beliau masih
dengan posisi tidur miring menghadap ke arahku.
“Elang?” tanyaku menyelidik.
“Iya.”
“Terus kenapa?”
“Gak pa-pa, Cuma heran aja.” Wajah Beliau terlihat datar
ketika mengucapkan kalimat ini.
Aku tersenyum penuh makna menanggapi kalimat Beliau. Diri ini
mulai menyadari alasan kenapa Pak Dokter bersikap aneh dan dingin.
“Kenapa tersenyum seperti itu?” ujar Beliau heran atas
responku terhadap ujarannya.
“Gak pa-pa. Tidur yuk Dok. Dah malem.” Kucoba membuat Beliau
penasaran,” Tadikan Njenengan bilang kalau Njenengan sudah ngantuk,” lanjutku
sambil berbalik arah membelakangi Beliau.
“Kok saya dikasih punggung?” Pak Dokter protes dengan
sikapku.
“Saya ngantuk,” balasku spontan.
“Balas dendam, ya?” Beliau memelukku dari belakang, seakan
meniru apa yang tadi kulakukan terhadap Beliau, diciuminya tengkukku. Diri ini
merinding merasakan hembusan napasnya.
Kelihatannya suami terkasihku sudah mulai normal seperti
sedia kala. Padahal diri ini masih ingin menumpahkan kekesalan atas sikapnya
yang tadi mengabaikanku.
Manusia memang makhluk yang aneh. Dengan usia yang sudah
sangat matang, terkadang masih tergambar sikap dan tingkah polah kanak-kanak
dalam diri mereka.
Seperti diriku dan Pak Dokter saat ini. Tadi Beliau bersikap
dingin dan mengacuhkanku, sementara diri ini merasa terabaikan tak berharga.
Lihatlah...sekarang kedua makhluk paruh baya ini malah asyik saling menggoda
bagai pasangan pengantin muda usia.
“Geli, Dok.” Aku protes dengan sikap Beliau yang terus
menggodaku.
“Makanya saya jangan dikasih punggung.” Beliau tetap menggoda
dengan menciumi tengkukku.
Merasa tak tahan dengan rasa geli dari hembusan napasnya, aku
menggeliat dan bangkit. Pak Dokter tertawa melihat sikapku.
“Makanya Njenengan itu jangan seperti ABG. Wong ya istri lagi
hamil beginipun dicemburui,” ujarku dengan posisi bersandar di kepala tempat
tidur.
“Saya gak cemburu, saya cuma heran ada orang yang bisa
menjaga cintanya sedemikian rupa.” Pak Dokter mengikuti posisiku, setengah
berbaring sambil bersandar di kepala tempat tidur.
“Elang itu gak cinta sama saya, Dok,” jawabku datar. Rasa
kesal yang tadi menyelimuti diri seakan pergi menjauh seiring dengan sikap Pak Dokter yang
kembali bersahabat seperti Beliau adanya.
“Gak cinta, tapi cinta mati. Maksudnya cinta sampe dibawa
mati, makanya dia gak menikah.” Pak Dokter masih mempertahankan argumentasinya.
Kutatap Pak Dokter sambil memberinya seutas senyum manis.
Beliau balas menatapku, tapi tak membalas senyumku.
“Saya kalah. Saya bisa menjaga cinta saya untuk Njenengan,
tapi saya gak bisa menjaga raga saya,
karena sempat ada mbak Widya di antara kita.” Ucapan Pak Dokter begitu serius, “Sementara Elang, dia menjaga jiwa dan raganya
untuk Njenengan.” Beliau melanjutkan ujarannya.
Aku terhenyak mendengar penuturan Pak Dokter. Diri ini sama
sekali tidak menduga kalau pertemuan tak sengaja dengan Elang tadi mampu
membuat lelaki terkasihku merasa tersaingi.
“Dok....” Kupanggil Beliau dengan nada selembut mungkin.
“Njenengan tu gak perlu buang-buang waktu dan energi untuk
memikirkan Elang. Biarlah dia dengan prinsipnya, yang penting saya gak punya
perasaan apa-apa buat dia. Dan lagi Njenengan gak perlu merasa kalah, wong
nyatanya sekarang yang ada di samping saya itu ya Njenengan, bukan Elang. Dia
mau bertahan dengan kesendiriannya ya biarkan saja.” Kuhentikan ujaran sambil
melempar pandang ke arah Pak Dokter. Lelaki yang tadi sudah sempat ceria dan
menggodaku, kini kembali terlihat berwajah serius.
“Elang itu lebih cinta sama Tuhannya dari pada sama saya,
Dok. Makanya dia gak berusaha untuk mendapatkan saya. Dan walaupun saya nyaman
banget bersahabat dengan Elang, tapi sejak awal kami saling kenal berpuluh
tahun yang lalu, saya gak pernah punya
perasaan spesial terhadap dia.” Kusudahi ucapanku sambil menyandarkan kepala ke
bahu Beliau.
“Saya percaya sama ucapan Njenengan. Tapi saya gak bisa
mengingkari kalau ada sedikit rasa tak nyaman melihat Elang yang begitu komit menjaga hati
dan tubuhnya hanya untuk satu perempuan, walaupun dia gak bisa mendapatkan
perempuan itu.”
“Cemburu Njenengan itu tidak pada tempatnya,” ujarku lugas.
“Kenapa?” Beliau mengajukan tanya sambil menggenggam tanganku.
“Karena Njenengan cemburu pada orang yang bertepuk sebelah
tangan. Harusnya Njenengan peka tho, Dok. Wong tadi Elang minta nomor handphone
aja, saya alihkan ke Njenengan.”
Pak Dokter memiringkan kepalanya, menatap wajahku yang masih
bertumpu di bahu kanannya.
“Iya...iya...saya percaya Njenengan.” Pak Dokter berusaha
meyakinkanku.
“Kalau Njenengan mau cemburu, harusnya sama Bapaknya Maghrib
yang sudah memberi saya tiga anak, sementara Njenengan cuma sanggup ngasih satu.” Aku melanjutkan ujaran yang terputus
sambil mengangkat kepala dari bahu Beliau.
Pak Dokter tertawa mendengar ucapanku. Dan kalimat
pamungkasku itu seolah mengingatkan Beliau akan sesosok nyawa yang sedang
mendekam hangat di rahim. Beliau beringsut merubah posisinya. Dielusnya perutku
penuh kasih. Kemudian Beliau mengecup si bungsu dengan lembut.
“Kalau sama bapaknya Maghrib saya justru gak pernah merasa
cemburu. Saya menganggap almarhum itu teman saya, yang sudah menitipkan
anak-anak yang baik, sopan, dan menyenangkan untuk saya,” ujar Beliau sambil
kembali memposisikan diri bersandar di kepala tempat tidur.
Aku terpana mendengar ucapan Pak Dokter.
“Serius?” tanyaku heran.
“Iya...walaupun saya belum pernah ketemu sama Beliau secara
langsung, tapi ntah kenapa hati saya gak pernah menganggap almarhum sebagai
rival. Apa karena anak-anak Beliau
menyayangi dan menghormati saya, ya? Jadi tanpa disadari, perasaan saya
terhadap bapak mereka juga penuh respek.” Lelaki paruh baya nan kharismatik ini
selalu saja berhasil membuatku terpesona. Kemampuan verbalnya selalu sukses
memporak-porandakan nalar dan melumerkan amarah.
“Makanya, Njenengan juga jangan menganggap Mamanya Lintang
sebagai rival. Anggap aja kalau almarhumah itu teman Njenengan, jadi Njenengan
gak terbakar api cemburu setiap teringat Beliau.” Kata-kata Pak Dokter mengingatkanku
pada beberapa peristiwa yang sempat membuatku cemburu buta kepada almarhumah
Mama Lintang.
“Perempuan sama laki-laki beda, Dok.” Aku berusaha membela
diri.
“Bedanya di mana?” cecar Beliau.
“Ya, pokoknya beda,” ujarku tak mampu memberi argumen atas
pembelaan diri yang tadi sempat terucap.
Pak Dokter tertawa melihatku mati langkah. Beliau beringsut
menyempurnakan posisi tidurnya.
“Tidur yuk, dah malam.” Beliau memberi titah agar aku segera
mengistirahatkan diri.
Kupenuhi perintah sang imam. Seperti biasa, Beliau
merengkuhku dalam dekapnya, mengelus-elus lembut punggungku, meninabobokkan
istri dan anak bungsunya.
Aku dan Pak Dokter sama-sama memiliki sifat tak betah
memendam masalah terlalu lama. Ketika aku sedang dalam kondisi merajuk atau
cemburu, Pak Dokter pasti akan memaksa secara halus untuk mengeluarkan
uneg-uneg dan menuntaskan ganjalan yang menyumbat hati. Begitu juga ketika
Beliau yang sedang dalam posisi menyimpan kegalauan, aku tidak bisa tenang
membiarkan Beliau memendamnya sendiri.
Dan inilah kami, selalu gatal dan tak betah membiarkan
amarah, cemburu, dan rasa tak nyaman berlama-lama mengendap di jiwa. Aku
berharap kondisi ini bisa terus kami pertahankan hingga maut memisahkan.
Berusaha untuk selalu konsisten menjaga komunikasi dan romantisme dalam
mengarungi bahtera rumah tangga di usia yang sudah tak muda ini.
“Dok...,” ujarku pelan.
“Apa lagi?” Beliau merespon ucapanku dengan lembut.
“Ternyata cemburu itu
bisa mengikis kecerdasan seseorang, ya?” Aku berbicara tanpa arah.
Pak Dokter kembali membuka matanya yang sudah terpejam.
“Maksudnya?” tanya beliau dengan nada heran.
“Yang saya tau, Njenengan itu lelaki cerdas. Tapi gara-gara cemburu, Njenengan jadi seperti anak kecil,
ngambek, ketus, dan kehilangan logika.”
Pak Dokter tertawa lepas mendengar kalimatku. Dan Beliau
semakin mempererat dekapannya. Elusan tangannya di punggungku terasa begitu
nyaman dan memberi aliran energi positif untuk Anggi.
“Udah... tidur gih, jangan ngoceh terus,” ujarnya, kemudian
mengecup bibirku sekilas.
“Mimpi indah, tapi jangan mimpiin Elang.” Mendengar kata-kata
penutupnya, kucubit perut Beliau pelan. Dan seperti biasa, Beliau meng-aduh
tapi sambil tertawa.
@@@@@
Jum’at malam Edel pulang ke rumah Semarang sesuai
permintaanku. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 ketika dia tiba di rumah.
Sulungku itu langsung bebersih diri kemudian menikmati makan malam yang
tertunda.
Aku menemaninya di meja makan. Maghrib, Lintang, dan Mentari menikmati
malam libur mereka dengan asyik menonton
televisi di ruang keluarga. Sementara Pak Dokter belum pulang dinas.
“Kok nyuruh aku pulang ke Semarang, Ma? Gak pulang ke
Salatiga?” Sulungku itu meminta penjelasan atas titahku memintanya pulang ke
Semarang.
“Besok malam mau ada tamu, pengen ketemu kamu.” Sulungku
terkesiap heran memandang ke arah Emaknya.
“Tamu?” tanya Edel tak mampu menyembunyikan rasa heran dari
raut wajahnya.
“Kamu ingat Bang Anggiat?” tanyaku sambil menatapnya.
Edel menghentikan aktivitas makannya. Dia balas menatapku.
Tatapannya menyiratkan beragam makna.
“Yang diundang makan malam pas ulang tahun Mama?” Ternyata
ingatan putri sulungku cukup tajam.
“Iya,” jawabku singkat sambil memutar otak mencari susunan
kalimat yang tepat demi melanjutkan perbincangan ini.
Edel terdiam, dia tidak merespon jawabanku. Sementara aku
belum menemukan cara yang luwes untuk meneruskan obrolan ini.
Edel memang anak gadisku, bahkan anak sulung. Tapi Edel lebih
dekat dengan almarhum bapaknya. Dulu sewaktu suamiku masih ada, Edel sangat
manja dan terbuka dengan Beliau. Sementara aku lebih dekat dengan kedua anak
lelaki. Itulah sebabnya, Edel sempat tidak menyukai hubunganku dengan Pak
Dokter, karena dia sangat berharap aku berjodoh kembali dengan Sang Bapak di
akhirat kelak.
Seiring berjalannya waktu, setelah Pak Bojo meninggal, Edel
mulai dekat denganku, tapi tak semanja dan sehangat hubungannya dengan Sang Bapak.
Hubunganku dengan Edel memang penuh kasih sayang, namun sangat dewasa.
Dan aku, tidak berani
menyinggung wilayah pribadi Edel, seperti masalah teman dekat misalnya.
Jujur, di antara ketiga anak gadisku saat ini, Mentarilah
yang cukup dekat denganku. Semua rahasianya tertumpah padaku. Dia tanpa sungkan
dan bosan bercerita apa saja padaku.
Sementara Lintang, walau dia bersedia bermanja-manja
denganku, namun sikap terbukanya baru terjalin paripurna sejak hubungannya
dengan Dhuha terkuak. Mulai saat itu, sulung Pak Dokter tersebut rajin berbagi
curahan hatinya padaku.
Dan kini, aku mengharap hal yang sama bisa terjalin antara
aku dan Edel, darah dagingku sendiri.
“Bang Anggiat pengen kenal lebih dekat sama kamu, Del.”
Akhirnya aku memilih berbicara jujur apa adanya kepada Edel.
Dia kembali meneruskan makannya, tapi masih belum memberi
respon atas ucapan-ucapanku.
“Cuma kenalan aja.” Mendapati gadis mandiri ini tak jua
memberi respon, aku kembali meneruskan ujaran.
“Ya, Ma.” Jawaban Edel cukup singkat, dengan reaksi yang
sangat datar. Dan aku tak tahu bagaimana harus merespon jawaban Edel yang
begitu minimalis.
Terdengar suara klakson mobil. Pak Dokter pulang. Dari meja
makan aku bisa melihat Maghrib yang berada di ruang keluarga bergegas beranjak
untuk membukakan pintu pagar.
“Walau cuma sekedar berkenalan, tapi kalau kamu keberatan, ya
gak usah dipaksakan Edel.” Aku berbicara dengan sangat hati-hati, berharap
jangan sampai ada satu kosa katapun yang menyinggung perasaan dan harga
dirinya.
“Mama yakin?” Edel kembali memberi respon singkat. Dia sudah
menyelesaikan makannya, kemudian menutupnya dengan meneguk segelas air putih
yang tadi telah kusiapkan untuk dirinya.
Saat aku hendak menjawab tanya Edel, terdengar suara Pak
Dokter menanyakan keberadaanku pada anak-anaknya di ruang keluarga. Sejenak
kemudian, Beliau terlihat memasuki ruang makan, menuju ke arahku, kemudian
mengecup keningku lembut di depan Edel. Setelahnya Edel menyalami Beliau sambil
mencium punggung tangannya.
“Tadi nyampe jam berapa, Edel?” Pak Dokter berbasa-basi
kepada anak gadisku.
“Jam delapan, Pa.”
“Ya udah, terusin ngobrolnya sama Mama, ya. Papa mau mandi
dulu.” Pak Dokter berujar seolah memahami topik pembicaraan yang sedang kami
bahas.
“Ya, Pa.”
Setelah Pak Dokter berlalu untuk menuju kamar, kami kembali
melanjutkan perbincangan yang sempat terhenti.
“Ya, kalau kamu memang tidak berkenan, gak usah memaksakan
diri,” ujarku pasrah.
Edel terdiam beberapa saat. Selanjutnya dia memanggilku
pelan.
“Mama....” Ujaran Edel menggantung.
Aku tidak menjawab ujarannya dengan kata-kata, melainkan
dengan menunjukkan wajah antusias yang mengisyaratkan bahwa aku menunggu
kelanjutan kalimatnya.
“Aku sudah dewasa. Walau Mama bilang hanya sekedar
berkenalan, tapi aku sudah bisa menebak ke mana arahnya.” Putri sulungku itu
berbicara begitu lugas.
Satu persamaan diriku dan dirinya adalah ketegasan dan tidak
suka berpura-pura. Dan kini, tanpa basa basi dia meneruskan ujarannya.
“Aku gak punya ketertarikan untuk berkenalan dengan Bang Anggiat,
Ma.”
Diri ini terdiam mendengar pengakuannya yang begitu jujur.
Dan aku sangat tidak ingin menjadi
seorang Emak yang memaksakan kehendak dengan membujuknya untuk mengikuti
skenarioku dan Pak Dokter.
@@@@@@
Di Sabtu pagi, setelah menyelesaikan ritual sarapan dengan
formasi lengkap minus Dhuha tentunya, Pak Dokter berkemas untuk bersiap menuju
ladang tugasnya.
Pada saat sarapan, aku dan Pak Dokter sepakat untuk tidak menyinggung tentang
Anggiat. Tadi malam menjelang tidur, kami sudah membahas masalah penolakan
Edel. Pak Dokter sedang memikirkan cara
yang halus dan sopan untuk berbicara dengan Anggiat.
Sedikit banyak aku merasa bersalah, karena selalu
menunda-nunda untuk membicarakan hal ini
kepada Edel. Aku baru mengkomunikasikan
masalah ini justru di saat Anggiat mulai bergerak. Dan aku sama sekali tidak
menduga akan sikap terus terang Edel yang langsung menolak walau hanya sekedar
berkenalan.
Ada sedikit rasa tak enak hati pada Pak Dokter. Aku menyadari,
Beliau juga pastinya merasa rikuh kepada
Anggiat karena seolah-olah memberi harapan palsu.
Walau Pak Dokter memintaku untuk tidak terlalu memikirkan
masalah ini, tapi rasa bersalah semakin
menghantui diri. Aku tak sanggup membayangkan Pak Dokter kehilangan marwah di
depan residennya, dan penyebabnya justru anak gadisku sendiri. Kepalaku
berdenyut setiap teringat hal ini.
Sementara untuk membujuk Edel agar mau sekedar berkenalan
saja, diri ini tak punya nyali. Aku tak ingin menjadi Emak otoriter yang memaksakan
kehendak, apalagi yang berhubungan dengan masalah pasangan hidup.
Setelah Pak Dokter berangkat, aku berlalu menuju kamar.
Sementara anak-anak bergegas melaksanakan aktivitas yang menjadi tanggung jawab
mereka ketika Mbak Kas dan Mbak Ramlah libur di akhir pekan.
Lintang mengurus hewan peliharaannya, kemudian membersihkan
semua ruangan di lantai atas. Sementara Mentari dan Edel bertanggung jawab
dengan seluruh ruangan lantai bawah, dan segala piranti kotor. Maghrib tetap
setia dengan tanggung jawabnya akan kebersihan halaman depan, samping, dan
belakang.
Tadi ketika sarapan anak-anak sudah menyusun rencana, hari
ini mereka akan menghabiskan waktu dengan berkunjung ke rumah teman Edel
semasa SMA yang kini menetap di daerah
Gunung Pati untuk panen rambutan.
Sementara aku akan menikmati “me time” di rumah. Ada beberapa
materi artikel yang harus diselesaikan. Sudah dua bulan ini tidak ada artikelku
yang menembus media, baik cetak atau elektronik. Kuakui dengan kehamilan di
usia yang over cooked ini, ternyata sangat berpengaruh dengan kreativitas.
Sering sekali keinginan untuk menulis itu menggebu-gebu, tapi
ketika akan mengurainya dalam rangkaian kata, pikiran menjadi buntu. Atau
kalaupun ide-ide itu bisa tertuang dalam bentuk tulisan, hasilnya terlalu mentah dan tidak berbobot.
Tapi dalam seminggu belakangan, aku benar-benar memasang
target kalau bulan ini harus ada artikel yang tembus ke media. Namun ada
sedikit keraguan dengan target yang sudah terpasang itu ketika riak kecil dari
Edel datang menghampiri.
Laptop sudah menyala, aku mulai merangkai kata demi
menyelesaikan sebuah artikel ringan tentang pasar tradisional di Kota Ungaran yang
memiliki desain eksterior kontemporer.
“Mamaaa....” Terdengar
Edel memanggilku diikuti suara ketukan di daun pintu.
“Masuk Edel, pintu gak Mama kunci,” responku terhadap
panggilan si gadis.
Edel melintas masuk dan langsung duduk di tepi tempat tidur.
Ku-save tulisan yang baru tertuang sekitar 250 kata itu. Selanjutnya kumatikan
laptop.
Entah kenapa, ada terselip secuil keinginan untuk melunakkan
hati Edel. Bukan untuk memaksanya menerima Anggiat, tapi setidaknya sekedar
menerima kehadiran pemuda itu. Itu saja, tidak lebih. Dan hasrat itu muncul
karena aku sangat ingin menyelamatkan wajah dan nama baik Pak Dokter.
“Ada apa, Del?” Kuajukan tanya kepada si Sulung.
“Ma....”
“Ya....”
“Mama sudah ngomong sama Papa tentang obrolan kita tadi
malam?”
“Sudah.”
“Terus respon Papa?”
“Sedang memikirkan cara yang halus dan sopan untuk
membicarakannya dengan Bang Anggiat.”
“Berarti nanti malam bang Anggiat gak jadi datang?”
“Ya tetap datang, karena gak mungkin kan Papa langsung
ngomong secara frontal kalau anak gadisnya menolak dia. Setidaknya Papa akan
melakukannya step by step.”
“Ma, aku mau nemuin bang Anggiat. Tapi bukan berarti aku bersedia untuk saling mengenal lebih jauh
ya, Ma. Jujur...aku gak berminat sama Bang Anggiat, Ma.” Mendengar ucapan Edel,
beban berat berton-ton yang menghimpit dada serasa terbang bagai gumpalan kapas
tertiup angin.
Aku tidak perduli kalau Edel tidak berkenan dijodohkan dengan
Anggiat. Yang ada dalam pikiranku saat ini, diriku sangat bersyukur karena
dengan bersedianya Edel menghadapi Anggiat, akan menolong Papanya dari rasa
malu.
“Terus karena alasan apa?” Rasa penasaran masih menyelimuti
hati kenapa tiba-tiba si Sulung berubah pikiran setelah tadi malam merespon
obrolanku dengan sangat datar.
“Karena aku sayang sama Mama, sama Papa. Jadi biar aku aja
yang menghadapi Bang Anggiat.”
“Sesederhana itukah alasannya?” Aku tidak terlalu yakin
dengan ungkapan anak gadisku.
“Ya, Ma.” Edel memberi jawaban yang sangat singkat.
Karena aku tidak ingin membuatnya berubah pikiran, kubiarkan
saja jawaban minimalisnya tersebut. Selanjutnya kucoba mengalihkan topik
pembicaraan.
“Mau berangkat ke Gunung Pati jam berapa, Edel?”
“Sekitar jam sepuluh, Ma. Lintang sama Maghrib belum selesai
ngerjain tugasnya. Mentari lagi mandi.” Kali ini dia menjawab tanyaku dengan
kalimat lengkap.
“Mama....” Edel kembali melanjutkan ujaran dengan memanggilku
pelan.
“Ya.”
“Bukannya aku gak menghargai usaha Papa yang ingin
mendekatkan aku dan bang Anggiat.”
“Tapi...?” Aku berusaha memberi pancingan atas ucapan Edel.
Naluri keibuanku mengatakan kalau si sulung ingin mengatakan suatu hal penting
tapi masih diliputi keragu-raguan.
Edel terdiam, sepertinya rasa ragu masih menggelayuti
jiwanya. Kucoba sekali lagi memberi umpan pada kakak si Dhuha.
“Edel...kamu sudah punya pacar ?” tanyaku lembut dan
hati-hati sambil menatapnya lekat.
Edel membalas tatapanku. Anak gadis yang biasanya mandiri dan
tegas itu, kali ini terlihat kaku dan tak berdaya di hadapan Mamanya sendiri.
Padahal aku sudah berusaha untuk berbicara dengan sangat pelan dan hati-hati,
karena aku sadar berbicara dengan anak-anak yang sedang terserang demam asmara itu
jauh lebih sulit dibanding ketika aku harus berbicara di forum bedah buku, di
forum kumpulan ibu-ibu, bahkan di hadapan para siswa-siswa SMA.
“Sudah, Ma.” Jawaban Edel singkat, namun jelas dan tegas.
Perbedaan usia memang membedakan cara berkomunikasi manusia.
Ketika aku memancing Lintang dengan topik pembicaraan yang sama namun dengan
kalimat yang berbeda, Lintang hanya mampu menjawab tanyaku dengan anggukan
diiringi rona merah di pipi yang menggambarkan rasa malu yang begitu mendalam.
Dan kini dengan topik pembicaraan yang sama, walau diliputi
keraguan, Edel, dengan usia yang jauh
lebih dewasa dari Lintang, merespon tanyaku dengan lugas dan jelas.
“Kenapa gak pernah cerita sama Mama?” tanyaku tetap dengan
nada pelan.
“Aku masih belum yakin, Ma.”
“Maksudnya? Belum yakin dengan pacar kamu atau belum yakin
dengan hubungan kalian?” tanyaku sambil beranjak dari kursi meja kerja ke tepi
tempat tidur.
Kududukkan diri persis di samping Edel. Kurengkuh bahu anak
sulung Pak Wicaksono tersebut. Aku merangkulnya dengan hangat, mencoba memberi
aliran energi positif agar dia mampu mengeluarkan uneg-unegnya dengan lancar
dan tanpa sungkan.
“Belum yakin kalau Mama dan Papa mau merestui hubungan kami.”
“Karena?” Aku mulai deg-degan mendengar penuturan Edel.
Sebersit rasa heran menggelayuti diri atas ketidakyakinan
Edel. Jujur aku belum siap menerima kejutan besar lainnya dari kisah asmara dia.
Cukuplah kisah Dhuha dan Lintang yang hingga kini masih membuatku dan Pak
Dokter semakin menguatkan do’a agar anak-anak
kami itu diberi jalan terbaik tanpa harus meninggalkan luka di antara keduanya.
“Dia duda dengan tiga anak. Usianya hanya beda empat tahun
dengan usia Mama Papa. Anaknya yang tertua sudah berumur 20 tahun, Ma.”
Beban berat berton-ton yang tadi sudah terangkat dari dadaku,
kini terasa kembali menghempas, bahkan beratnya bertambah menjadi sepuluh kali
lipat. Tiga ekor burung seolah terbang berputar mengelilingi kepalaku, persis
seperti adegan di film kartun ketika sang tokoh sedang mumet.
Ada apa dengan para anak gadisku yang cantik-cantik ini ?
Kenapa selera mereka dalam memilih pasangan hidup begitu unik ?
@@@@@
0 Komentar