“Mamaaa....” Terdengar suara Mentari memanggilku dari luar
kamar, diikuti suara ketukan di pintu.
“Ya,” jawabku singkat.
Aku baru selesai menyusui Anggi serta mengganti popok sekali
pakai-nya. Diri ini bermaksud memindahkan
bayi mungil itu ke dalam box, ketika Mentari sudah berada di sisiku dan
menyampaikan pesan Sang Bapak.
“Mama dipanggil Papa.” Bungsu Pak Dokter itu menciumi pipi
adiknya yang kini kembali terlelap dalam peraduan.
Sabtu malam, selesai santap bersama, Pak Dokter masih
bertahan di meja makan. Beliau sedang mengajak Lintang dan Dhuha berbincang,
karena besok siang Dhuha sudah harus kembali ke tanah seberang. Tadi akupun
ikut serta dalam perbincangan tersebut, sebelum tangisan Anggi memanggil.
“Bentar, Mama ke kamar mandi dulu,” ujarku sambil menuju ke
pojok kamar.
“Ma, Mbak Lintang sama Mas Dhuha beneran mau nikah, tho?”
Pertanyaan lugas meluncur dari bibir gadis ayu tersebut.
Aku yang masih berada di kamar mandi untuk menyalurkan hajat,
membiarkan saja pertanyaan itu tak terjawab.
“Maaa....” Mentari menuntut jawaban atas pertanyaan yang
kuabaikan.
“Kenapa Mentari?” tanyaku sambil berjalan ke luar kamar mandi
setelah selesai berhajat.
“Mbak Lintang sama Mas Dhuha beneran mau nikah?” Pertanyaan
yang sama kembali meluncur dari bibirnya.
Aku menarik napas berat, tak tahu harus memberi jawaban apa
atas pertanyaan anak manis ini.
“Mama belum tau gimana keputusan Papa. Mama pusing.” Aku
mendudukkan diri di tepi tempat tidur.
Mentari yang sedari tadi berdiri di depan box Anggi berjalan
menuju kursi meja kerja, kemudian mendudukkan diri di atasnya.
“Mama gak suka kalau Mbak Lintang jadi istri Mas Dhuha?” Aku
terenyuh mendengar pertanyaan polos yang terucap dengan nada memelas itu.
Kutatap wajah gadis piatu itu, dia juga memanahkan tatapannya
ke bola mataku. Pandang kami saling beradu, terlihat beragam ekspresi dalam
bola mata Mentari. Aku tak mampu memaknai perasaan yang tersimpan dalam
tatapannya itu.
“Mama lebih suka Mbak Lintang tetap jadi anak Mama dari pada
jadi menantu.” Kujawab dengan lugas pertanyaannya.
“Aku kasian sama Mama, aku bisa ngerasain Mama pasti bingung
banget. Tapi aku juga kasian sama Mbak Lintang kalau Papa sama Mama gak
merestui mereka, karena aku tau Mbak Lintang cinta banget sama Mas Dhuha.”
Tanpa kuduga gadis ini bisa mengungkapkan seuntai kalimat yang begitu bijak.
“Dari mana kamu tau kalau Mbak Lintang cinta banget sama Mas
Dhuha?” Kuajukan seuntai tanya bernada menyelidik.
“Dari masih SMP banyak cowok yang suka sama Mbak Lintang, Ma.
Setelah SMA juga gitu. Tapi setiap ada cowok yang mau mendekat pasti diketusin.
Aku bisa tau karena kadang mereka minta tolong aku untuk jadi comblang. Tapi
aku gak pernah mau, aku takut nanti malah aku yang dimarahin Mbak Lintang. Tapi
kalau sama Mas Dhuha beda, Mbak Lintang langsung mau diajak pacaran.”
Kudengarkan dengan seksama cerita Mentari.
Diriku berkesimpulan, berarti sulung Pak Dokter ini sedang
mengalami cinta pertama yang totalitas.
“Mama..., aku sayang banget sama Mama. Tapi aku juga sayang
sama Mbak Lintang,” lanjutnya. Nada suaranya terdengar begitu lirih.
Kalimat sederhana ini mengandung makna yang begitu dalam. Tak
dapat kupungkiri, ada sebersit kagum menyelinap di dada, menyadari betapa
kuatnya rasa persaudaraan antara kedua gadis Pak Dokter. Mentari tidak rela
kalau Lintang harus terluka karena cintanya terhalang restu.
“Berarti kamu pengen Mama merestui Mbak Lintang?” tanyaku
pelan. Dia menganggukkan kepalanya perlahan.
“Kalau ternyata Papa gak merestui?” lanjutku.
“Kasian Mbak Lintang, Ma.”
“Terus Mama harus gimana?”
“Mama bujuk Papa.”
“Kalau Papa keukeuh?”
“Papa pasti luluh kalau sama Mama.” Ujaran gadis ini
terdengar begitu tulus.
Aku kembali menghela napas dengan berat. Ya...aku benar-benar
merasakan beban yang begitu berat menghimpit dada. Tadinya aku dan Pak Dokter
masih sangat berharap kisah cinta Dhuha dan Lintang akan terkikis dimakan waktu
seiring Lintang memasuki dunia kampus. Kami sama sekali tidak menduga kalau
Dhuha bergerak begitu cepat dengan manuvernya untuk melamar dan secepatnya
ingin menikahi Lintang.
Kini posisiku dan Pak Dokter bagai memakan buah simalakama,
dimakan mati ayah, tak dimakan mati ibu.
Tanpa kusadari, Mentari telah berpindah duduk dari kursi meja
kerja ke tepi tempat tidur. Kini dia persis berada di sebelahku. Gadis manis
itu tetiba memelukku dengan sangat erat.
“Aku sayang Mama. Sayaaang banget, dari sejak pertama kita
bertemu dulu. Kalau jodohku sudah datang nanti, aku gak akan membuat Mama
bingung. Aku akan pilih pasangan yang sesuai harapan Mama dan Papa.” Aku
terharu dengan ucapan dan perlakuan Mentari.
Seolah secara tersirat dia ingin mengungkapkan kalau dia
tidak akan mengikuti jejak Edel dan Lintang yang membuat emaknya pusing tujuh
keliling dengan kisah cinta mereka.
Mungkin dalam diri gadis inipun ada kebingungan seperti yang
kurasakan. Di satu sisi dia tidak ingin kakaknya terluka, di sisi lain dia juga
tidak ingin ibu tirinya mengalami konflik bathin.
“Ditungguin dari tadi kok malah asyik peluk-pelukan di sini.”
Suara Pak Dokter membuyarkan adegan melow antara diriku dan Mentari. Tanpa kami
sadari, Pak Dokter ternyata menyusul ke kamar.
Mentari melepas pelukannya saat mendapati Sang Bapak sudah
berdiri dengan jarak yang tak seberapa dengan kami.
“Kamu disuruh manggil Mama, malah asyik ngobrol.” Pak Dokter
seolah menyalahkan gadisnya.
“Maaf, Pa.” Menyadari keteledorannya, secara sportif Mentari mengungkapkan
permintaan maaf. Gadis ini mungkin juga melihat kalau mood sang Bapak sedang
jelek, sehingga dia memilih jalur aman dengan segera berlalu meninggalkan
kamar.
Aura Pak Dokter terlihat sedang tidak baik. Aku berusaha
menahan diri untuk tidak memancing perasaan negatifnya semakin menjadi.
“Maaf, Dok. Tadi ngobrol sebentar,” ujarku sambil mengikuti
langkah-langkah Beliau yang menuju keluar kamar.
Diri ini mulai menduga-duga, apa gerangan yang telah membuat
kekasih hatiku terlihat begitu tidak nyaman sampai harus menyusulku ke kamar.
Dan seketika tanyaku segera terjawab ketika Beliau secara
spontan mengeluarkan uneg-unegnya.
“Itu anak dua kenapa sih kok terlalu ngotot pengen nikah.
Saya takut gak bisa ngontrol emosi. Sudah dijelaskan baik-baik, masih aja
ngotot. Dua-duanya sama aja.” Suara Beliau terlihat mengandung sedikit amarah,
padahal kami sudah hampir mencapai ruang makan.
Maghrib dan Mentari sudah bersemanyam di kamar masing-masing.
Sementara Lintang dan Dhuha masih duduk di kursi makan. Ketika aku dan Pak Dokter tiba di sana,
kedua sejoli itu sedang bercanda, dan seketika pasangan kekasih itu
menghentikan candaannya dengan sangat kikuk.
“Nyonya, ini putra putri Njenengan butuh jawaban.” Pak Dokter
membuka percakapan dengan intonasi datar ketika kami sudah mendudukkan diri.
Aku duduk tepat berhadapan dengan Lintang. Sementara Pak
Dokter yang duduk di sebelahku tepat berhadapan dengan Dhuha.
“Jawaban apa?” tanyaku antara bingung dan bego.
“Ma, aku sama Lintang sudah siap nikah. Aku siap nanggung
semua kebutuhan Lintang, dari mulai biaya hidup sampe biaya kuliah.” Dhuha
berbicara dengan penuh keyakinan dan rasa percaya diri. Tatap matanya
berpindah-pindah dari diriku ke Pak Dokter, seolah dia ingin menunjukkan
keseriusannya secara total kepada emak bapaknya.
Tiga ekor burung mulai beterbangan mengelilingi kepalaku,
pusing tingkat akut secara refleks menyerang diri.
Lintang terlihat hanya diam dan menunduk. Sementara Pak
Dokter belum mengeluarkan suara lagi.
“Lintang itu anak Om, jadi Mama gak berhak ngasih jawaban.”
Aku sangat menyadari bahwa kalimatku ini mengandung unsur bola ping pong. Pak
Dokter memintaku memberi jawaban, sementara aku melempar kembali ke Beliau.
“Dhuha, Om senang kamu serius sama Lintang. Tapi Om lebih
senang lagi kalau kamu ngasih kesempatan Lintang untuk menyelesaikan kuliahnya.
Om sadar usia kamu memang sudah memasuki usia siap nikah. Jadi, kalau ternyata
dalam perjalanan menunggu kuliah Lintang selesai, ada gadis lain yang lebih
siap kamu ajak nikah, berarti kalian belum berjodoh.” Pak Dokter mengucapkan
kalimat-kalimat tersebut dengan sangat tegas dan jelas.
Lelaki-ku ini tipikal pria romantis namun juga suka berbicara
spontan tanpa basa-basi. Terus terang aku tidak menduga kalau Beliau akan
berbicara seterus terang itu. Kelihatannya Dhuha juga kaget dengan jawaban
Beliau yang sangat tak terduga. Sementara putri sulung Pak Dokter masih dengan
sikapnya semula, diam.
Namun ternyata diamnya Lintang mengandung pesan yang sangat
mendalam ketika tiba-tiba gadis itu bangkit dari duduknya, kemudian berlalu
meninggalkan kami semua, berjalan ke arah tangga untuk menuju ke lantai atas.
Aku bingung dengan situasi ini. Imamku sudah mengeluarkan
fatwa. Dengan situasi hatinya yang sedang tidak stabil, aku tidak berani
membantah Beliau.
Sementara, anak tengahku mungkin sedang merasakan patah hati
secara frontal dan tiba-tiba. Begitu juga dengan anak tiriku, aku yakin setelah
berada di kamar, Lintang pasti tak mampu lagi menahan tangisnya. Lantas aku
harus bagaimana?
Di antara ketiga manusia dewasa yang sedang berkecamuk dengan
perasaan dan emosi mereka masing-masing, aku memilih untuk menyelamatkan
Lintang. Aku beranjak dari duduk.
“Saya nyusul Lintang dulu,” pamitku pada sang belahan jiwa.
Kutinggalkan Dhuha dan Pak Dokter yang masih terperangkap
dalam keheningan setelah melihat sikap “protes” Lintang yang begitu spontan.
Ketika tiba di depan kamar Lintang, kuketuk perlahan daun
pintu sambil memanggil namanya.
“Lintang...boleh Mama masuk?”
Ketukan dan panggilanku tak berbalas hingga pengulangan yang
keempat. Diri ini mulai menyerah. Aku bermaksud kembali ke ruang makan untuk
membujuk Pak Dokter agar sedikit melunak terhadap kedua sejoli yang sedang
kasmaran ini, ketika terdengar suara pintu dibuka.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, aku segera
memasuki kamar Lintang. Gadis itu sudah kembali ke peraduan, berbaring
tengkurap dengan posisi wajah dibenamkan ke bantal. Mungkin Lintang ingin
meredam suara tangisnya.
Kududukkan diri di tepi tempat tidur. Kuelus dengan lembut
kepala si sulung yang masih berlapis jilbab itu. Aku tidak tahu harus bagaimana
memulai episode kali ini.
“Lintang....” Kupanggil namanya dengan lembut.
Dia tidak menyahut dan tidak merubah posisinya sama sekali. Mungkin dengan menangis, rasa kaget dan syok
atas jawaban Sang Bapak bisa sedikit berkurang, maka kubiarkan kondisi ini
berlangsung beberapa waktu.
Aku masih terus mengelus kepala putri sulung Pak Dokter
ketika tetiba gadis ini merubah posisinya. Perlahan Lintang bangkit, duduk
sambil bersila di atas tempat tidur. Bulir bening menggenang di mata cerdas
miliknya, juga turun membasahi kedua pipi. Sementara jilbabnya terlihat tak
beraturan. Dalam kondisi seperti inipun, gadis Pak Dokter tetap terlihat ayu
mempesona.
“Ternyata Mama sama Papa gak ikhlas dengan hubungan kami.
Tapi kenapa selama ini kami gak dilarang pacaran, Ma? Kenapa setelah Mas Dhuha
serius mau menikahi aku, Papa dengan santainya bilang kalau Mas Dhuha bertemu
gadis lain yang lebih siap nikah, berarti kami gak jodoh.” Lintang mengeluarkan
uneg-unegnya di sela-sela tangisan dengan suara yang sangat lirih.
Aku tidak tega melihat anak baik ini patah hati sedemikian
rupa. Kupeluk dia dengan erat.
“Maafin Mama, Tang.” Cuma itu ujaran yang bisa meluncur dari
bibirku. Aku bagaikan berada di satu persimpangan, antara mematuhi suami dan
membela anak-anak.
“Aku selama ini begitu percaya sama Mama. Apapun aku ceritain
ke Mama, karena aku begitu yakin kalau Mama memang bener-bener merestui kami.
Tapi ternyata aku salah, Mama lebih menuruti keinginan Papa dari pada memahami perasaan
anak-anak Mama.” Suara lirihnya kembali terurai berbaur dengan sedu
sedan isak tangis. Hatiku begitu perih
bagai disayat berjuta sembilu mendengar curahan hati si sulung. Sementara ujung
mataku terasa memanas.
Ingin rasanya saat itu juga aku berlari ke ruang makan,
menyampaikan pada Pak Dokter, sudahlah izinkan saja mereka menikah, toh
semuanya tidak melanggar syariat agama. Tapi logika dan etika menahanku. Aku
tidak ingin beradu argumen dengan Sang Imam di depan anak-anak.
“Jujur ya, Ma, banyak cowok yang pengen jadi pacarku, tapi
gak ada yang bisa bikin aku tertarik. Sementara dengan Mas Dhuha, dari pertama
bertemu aku sudah merasa ada chemistry.
Aku milih Mas Dhuha bukan cuma karena phisik dan materi aja, Ma. Mas
Dhuha itu baek. Dengan Mas Dhuha aku merasa nyaman, terlindungi, disayangi.
Kalau dengan orang sebaik Mas Dhuha aja Papa masih ragu ngasih restu, terus aku
harus cari yang gimana lagi, Ma?” Walau tiada lagi isak dan sedu sedan di
antara bicaranya, namun air mata tetap terlihat menggenangi kedua netra sang
gadis.
“Papa bukannya ragu untuk ngasih restu, tapi hanya masalah
timing. Papa cuma pengen kamu fokus kuliah dulu.” Akhirnya aku mampu menemukan
kalimat yang pas untuk menenangkan si sulung.
“Tapi feeling-ku bicara, masalah waktu itu cuma alasan Papa.
Sebenernya Papa sama Mama berat mengikhlaskan kami berjodoh karena kita berada
dalam satu keluarga, iya kan Ma?” Kalimat Lintang terdengar begitu dewasa dan
serius. Dan aku tertohok dengan kata-katanya yang memang sangat benar itu.
“Padahal dulu aku gak pernah merasa malu atau marah saat Papa
serius mendekati Mama walaupun sudah ada Mama Widya. Aku berusaha memahami,
Papa melakukan itu karena Mama memang cinta sejatinya Papa. Dan aku juga tau
kalau Mas Dhuha-pun gak pernah keberatan dengan hubungan Papa dan Mama. Tapi
kenapa sekarang Mama sama Papa gak mau memahami aku sama Mas Dhuha? Papa sama
Mama malu dengan keluarga besar kalau kami nikah, iya kan Ma? Padahal kami gak
melanggar hukum agama, Ma.” Duh...hatiku nelangsa. Kalimat Lintang bagai
bumerang yang kembali pada sang pemilik. Aku malu, sedih, dan merasa bersalah
mendengar penuturan Lintang yang demikian lugas.
Walau saat ini keluarga kami terlihat harmonis, namun aku
tidak mengingkari bahwa diriku dan Pak Dokter memiliki catatan hitam dalam
sejarah perjalanan cinta kami. Dan aku sadar sesadar-sadarnya bahwa, apa yang
terjadi pada kami dulu bisa menjadi senjata anak-anak untuk menyerang kami
ketika mereka mengalami kendala dalam masalah percintaan, seperti kasus Lintang
saat ini.
Rasa perih kembali menusuk-nusuk dadaku. Sementara mataku
kembali membasah. Aku mengakui semua yang dikatakan Lintang sangat benar.
“Sebenernya Mama punya kemampuan untuk membujuk Papa. Aku
yakin, Papa pasti luluh kalau Mama yang bicara. Tapi kenapa Mama gak mau
membela kami?” Setelah tadi menyalahkan Papanya, kemudian mengungkit masa lalu
kami, kini Lintang bermanuver menyerangku.
Anak gadis yang santun dan baik hati itu kini berubah menjadi
seorang gadis yang berani menyuarakan isi hatinya secara vokal demi
memperjuangkan cinta sejatinya.
“Lintang, bukan Mama gak mau membela kalian. Antara Mama dan
Papa ada saling tarik ulur. Menurut penglihatan dan pemikiran kamu, mungkin
Mama cukup mampu meluluhkan Papa. Tapi ada satu saat, di mana seorang laki-laki
ingin menunjukkan powernya sebagai kepala keluarga. Dan saat ini Papa sedang
menjalankan peran itu. Ketika Papa sedang bersikap seperti itu, Mama tidak
punya kuasa untuk membantah, Tang.” Kujabarkan dengan perlahan apa yang
mengganjal dalam relung hati.
“Tapi Mama kan belum mencobanya.” Gadis ini mematahkan
penjelasanku.
“Walau usia pernikahan Mama dan Papa masih cukup muda, namun
Mama sangat paham tabiat Papa. Memang Papa itu orangnya penyabar, tapi dengan
kondisi emosi yang sedang gak stabil
begini, kalau Mama membantah, justru
Papa akan semakin melarang kalian menikah.” Mendengar penjelasanku kali ini,
gadis itu tidak mengeluarkan bantahan lagi.
“Ayo ikut Mama turun. Kita ketemu Papa,” lanjutku pelan
sambil meraih lengan Lintang.
Gadis ini memenuhi ajakan emaknya. Kami beriringan keluar
kamar, berbarengan menuruni anak tangga demi anak tangga, bermaksud menuju
ruang makan untuk menemui Pak Dokter dan Dhuha.
Namun ketika langkah kaki telah tertancap di ruang yang
dituju, dua sosok lelaki yang kami cari sudah tak berada di sana. Mungkin
keduanya sudah mendekam di kamar masing-masing.
Lintang terlihat pasrah, kemudian mendudukkan diri dengan
lesu di atas kursi makan.
“Udahlah, Ma. Kalau memang keputusan Papa udah seperti itu,
aku nurut. Aku gak mau jadi anak durhaka,” ujarnya pelan dengan suara bergetar
yang tak bisa ia sembunyikan.
“Aku balik ke kamar, Ma.” Kekecewaan besar jelas terpancar
dalam raut wajahnya. Tanpa menunggu jawabanku, gadis itu beranjak dari
duduknya, kembali melangkah menuju tangga sambil membawa harapan hampa untuk
disembunyikan dalam kamarnya.
Sementara aku masih terbingung dalam kesendirian di ruang
makan, terperangkap jaring-jaring cinta antara
anak kandung dan anak tiriku.
Aku dan Pak Dokter diberi karunia anak-anak yang baik. Walau
kehidupan kami tidak terlalu agamis, namun setidaknya anak-anak kami cukup
santun. Mereka tidak terlibat narkoba, kriminal, atau seks bebas. Secara
ekonomi kehidupan kami juga cukup mapan, dan dari segi keharmonisan dan
kebersamaan, keluarga Pak Dokter cukup solid.
Allah memang selalu memberi hambanya ujian dalam segala
bentuk. Kami tidak diberi ujian dalam bentuk kesulitan ekonomi atau anak-anak
yang tak patuh. Namun Allah punya celah
lain untuk menguji kami, melalui kesabaran dan perasaan.
Waktu sudah hampir mendekati tengah malam, kulangkahkan kaki
menuju kamar. Walau kantuk belum menyergap sama sekali, namun tak ada lagi yang
bisa kulakukan dalam kesendirian di ruang makan.
Ketika aku memasuki kamar, Pak Dokter terlihat berbaring
sambil asyik dengan gawainya. Ternyata Beliau belum terlelap. Kondisi Beliau
terlihat sudah lebih rileks. Sisa-sisa amarah dan aura negatif sudah tak tampak
di raut wajah kharismatik itu.
“Kenapa sudah masuk kamar, Dok? Apa sudah selesai rembugannya
dengan Dhuha?” tanyaku sambil menghampiri box Anggi. Kuperiksa popok sekali
pakai-nya, masih kering, dan buah cintaku dan Pak Dokter itu juga masih
terlelap dengan pulas.
Setelahnya aku beranjak ke tempat tidur, menyusul Sang kekasih
hati merebahkan diri, mengistirahatkan jiwa.
“Dhuha bisa menerima dan memahami alasan saya,” jawab Beliau
santai sambil meletakkan gawai di atas nakas.
“Bisa menerima atau terpaksa menerima, Dok?” tanyaku hati-hati
sambil membaringkan diri di sebelah Pak Dokter.
Hening. Beliau tak menjawab tanyaku. Kuubah posisi tidur,
miring menghadap Beliau.
“Dok...,” panggilku lembut.
“Ya.” Beliau menjawab sambil meniru perbuatanku, memiringkan
tubuhnya menghadap ke arah sang istri.
“Sebenernya kita meminta mereka menunda pernikahan karena
alasan kuliah Lintang atau itu cuma upaya kita supaya mereka bisa saling
menemukan jodoh yang lain, ya Dok?” Aku masih menjaga ujaranku sedemikian rupa,
berbicara selembut mungkin supaya Beliau tidak tersulut emosi.
Terdengar Beliau menghela napas dengan berat. Aku kasihan
dengan lelaki paruh baya ini. Di usianya yang tak lagi muda, beban pikirannya
terlalu banyak.
Suasana kembali hening selama beberapa saat. Aku masih
menunggu Beliau memberi respon. Namun mendapati respon yang diharap tak jua terucap,
kulanjutkan kembali untaian kata yang belum usai tersebut.
“Tadi Lintang bilang, dia gak malu waktu Papanya
mengejar-ngejar wanita lain padahal statusnya sudah punya istri, terus kenapa
sekarang kita malu ketika mereka ingin
menikah, padahal mereka gak melanggar syariat.” Pak Dokter masih belum
mengeluarkan sepatah katapun untuk merespon ucapanku. Alih-alih Beliau malah
merengkuhku dalam pelukannya.
“Kita berdosa Dok, kalau menghalangi niat mereka untuk
beribadah.” Aku kembali mengurai kata dengan sangat perlahan, berusaha
mewujudkan harapan Lintang dan Mentari untuk meluluhkan hati Sang Bapak.
Walau awalnya akulah yang sangat keukeuh tidak menginginkan
Lintang dan Dhuha berjodoh, namun setelah melihat betapa nelangsanya kondisi
Lintang aku benar-benar tak tega. Naluri keibuanku terusik, tak ingin
membiarkan anak gadisnya menderita karena cinta.
Menyadari kalau Pak Dokter sama sekali tidak membalas
ucapanku sedari awal, aku melepaskan diri dari dekapan Beliau. Kuarahkan
tatapan ke wajah kekasih hati. Ternyata, dalam diamnya lelaki paruh baya nan
kharismatik tersebut sedang menyimpan sesuatu di benaknya. Walau aku tak tahu
apa yang ada dalam pikiran Beliau, namun terlihat kristal bening mengambang di
kedua mata cerdasnya.
“Njenengan kenapa, Dok?” ujarku lirih penuh kelembutan.
Kukecup bibir Beliau perlahan.
Lelakiku ini, walau penyabar dan lemah lembut,
namun Beliau tegar. Bahkan ketika Sang Bunda tercinta berpulang secara
mendadak, dalam kesedihannya Beliau tidak mengumbar tangis. Tapi malam ini,
kedua netra sang dokter terlihat berkaca-kaca.
“Saya sendiri gak tau apa yang sedang saya rasakan sekarang.
Apa saya ini sedang marah, sedih, atau kecewa, saya gak tau.” Beliau
mengeluarkan uneg-uneg yang mungkin menjadi bebannya.
“Hati dan pikiran saya lelah, Nyonya,” lanjut Beliau lirih
sambil menghela napas dengan berat.
“Saya butuh Njenengan.” Lelaki paruh baya itu kembali mengurai kata.
Kali ini gantian aku yang merengkuh Beliau ke dalam pelukan.
Lelaki dewasa yang selalu melindungi dan memberiku kenyamanan ini, sekarang
sedang berubah menjadi bayi besar yang butuh kasih sayang ekstra.
Lelaki memang sangat tidak bisa diprediksi. Tadi Beliau
begitu tegas menjalankan peran sebagai kepala keluarga, dan saat ini Beliau
luluh dalam dekapan dan belaian wanitanya.
“Tidur, Dok. Nanti jam tiga bangun, kita istikharah,” ujarku lembut
sambil mengelus-elus punggung Beliau, meninabobokkan sang belahan jiwa
yang sedang terjebak dalam pusaran cinta anak-anaknya.
0 Komentar