"Mama, kalo memang ini jalan yang terbaik, aku mendukung Mama.” Badai,
anak sulungku seolah berusaha memberi asupan semangat untuk Sang Ibu.
Dengan air mata yang walau tak terurai namun mengkristal di bola mata,
aku menumpahkan segala uneg-uneg tentang apa yang akan terjadi beberapa
hari ke depan. Saat itu kami sedang menikmati makan sore di satu resto
cepat saji di ibukota propinsi.
Walau nama yang disandangnya
sangat keras, namun sejatinya dia merupakan sosok lelaki yang baik,
sopan, dan halus budi pekertinya.
Berbanding terbalik dengan
sang adik, Bayu. Namanya begitu lembut, namun karakternya sangat kaku
dan keras, terutama kepadaku –wanita yang melahirkannya-.
Ntahlah, mungkin karena anak-anak memiliki pandangan yang berbeda
terhadap kedua orang tuanya.
Badai sangat dekat denganku, dari sejak dia
masih kanak-kanak hingga kini memasuki usia dewasa. Bahkan ketika masih
TK, saat kami sholat bersama, dia sering meminta untuk dipakaikan
mukena agar mirip denganku. Kujelaskan dengan bahasa yang gampang
dipahami, bahwa mukena hanya untuk perempuan, sementara dia laki-laki
jadi ketika sholat harus berpakaian seperti Papanya.
Diapun
sering berujar, saat dewasa nanti dia tidak ingin berpacaran atau
menikah dengan perempuan lain, dia hanya ingin Mama-nya yang menjadi
istrinya kelak. Di usianya sekarang, kadang kala aku menggoda dia
tentang halusinasi masa kecilnya mengenai pendamping hidup itu. Biasanya
dia akan merespon sambil tertawa lepas mengingat kekonyolannya
tersebut.
Sementara Bayu, dia lebih dekat kepada Papanya. Saat
masih kanak-kanak, apapun keinginannya selalu dia ungkapkan ke Papanya.
Bahkan ketika dia sakit, saat terbangun di malam hari, dan mendatangi
kedua orang tuanya di kamar sebelah, maka sosok yang dia bangunkan
adalah sang Papa, sembari berujar,
“Pa, badanku panas carikan obat.”
Kini, ketika aku dan suami sedang menghadapi benturan masalah rumah
tangga yang begitu dahsyat, anak-anak seolah berada dalam dua kubu yang
berbeda.
Pernikahan yang telah melewati ulang tahun perak ini
ternyata tak mampu kami pertahankan. Puting beliung sedang menghantam
biduk rumah tangga, membuat bahtera yang sedang berlayar di hamparan
laut lepas ini oleng, dan tak menunggu lama akan segera karam.
Nafsu duniawilah yang menjadi biang kerok semuanya, serta sifat egois
yang membuat kami mengabaikan perasaan anak-anak. Aku tahu, sebenarnya
Badai dan Bayu sangat terluka dengan perpisahan Mama Papanya. Tapi
mereka menutupi rasa sakit itu dengan berkamuflase.
Kepadaku, Mama mereka, Badai sangat penuh perhatian, sementara Bayu tak segan-segan menunjukkan sikap bermusuhan.
Begitu juga kepada sang Papa, terlihat Bayu begitu menunjukkan sikap
empati terhadap lelaki dewasa tersebut, sementara Badai lebih cenderung
dingin.
Hati kami telah terlanjur menghitam. Kesedihan anak-anak
seolah bukan menjadi urusan kami, melainkan memuluskan jalan berpisah
itu yang paling penting.
Dan anak-anak tidak pernah tahu, apa penyebab
kedua orang tuanya meluluh lantakkan mahligai yang telah terbangun
selama lebih dari 25 tahun ini. Yang mereka tahu bahwa dalam hitungan
hari, Mama Papanya akan memiliki kehidupan masing-masing.
@@@@@
0 Komentar