Didedikasikan untuk : dr. Budi Setiawan, Sp.Pd-KHOM
Namaku Aminah,
berusia paruh baya. Aku biasa berpenampilan sederhana khas wanita desa.
Walau penampilan biasa saja, namun menurut orang-orang kepribadianku sangat
menyenangkan, ramah, humoris, dan luwes. Aku berasal dari daerah pesisir utara,
Pati.
Sebenarnya, dulu aku termasuk tipikal manusia
bertemperamen tinggi, mudah marah dan tersinggung. Perjalanan hidup yang begitu
pahit dan penuh liku, serta segala masalah yang tumpang tindih membuatku menjadi manusia berhati batu, namun
berjiwa melankolis. Emosiku mudah tersulut, pun sifat cengengku gampang
terumbar.
Hingga di satu titik, aku terdiagnosa menderita
infeksi limpa, juga paru-paru yang bermasalah, sehingga pada bulan April tahun
2017 harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi, Semarang.
Berasal dari kota kecil, dirujuk ke rumah sakit pusat
di ibukota propinsi, membuatku dihinggapi rasa was-was kalau diri ini akan
ditangani oleh dokter yang sombong, kaku, dan irit bicara. Ciri khas
dokter-dokter di daerah perkotaan pada umumnya.
Namun ternyata ketakutanku tidak beralasan. Di rumah
sakit pusat ini aku ditangani oleh seorang dokter spesialis yang waktu itu sedang mengambil program pendidikan
sub-spesialis, dokter Budi Setiawan namanya. Dokter dengan penampilan phisik
tinggi dan gagah ini, cukup ramah,
komunikatif, dan sangat membumi.
Menurut dokter, kerusakan limpaku sudah terlalu parah.
Satu-satunya jalan agar nyawaku tetap
dikandung badan, organ yang
memiliki peran amat penting terhadap sistem kekebalan tubuh itu harus diangkat.
Sebagai orang awam yang tinggal di desa dan minim
informasi, diri ini tidak terlalu paham dengan penyakit yang kuderita. Yang
jelas, aku menurut dan patuh dengan titah dokter. Setelah tiga kali pertemuan,
diputuskan kalau aku harus menjalani rawat inap untuk menunggu pelaksanaan
operasi pengangkatan limpa.
Tidak tanggung-tanggung, dua bulan
lamanya aku harus menjalani rawat inap. Hari-hari sepi, terkurung dalam
kamar perawatan kelas tiga dan harus berbagi ruang dengan beberapa pasien lain -juga para penunggunya- membuatku
jenuh.
Rasa jenuh itu memicu segala perasaan negatif lainnya.
Terkadang aku ingin marah meledak-ledak. Di lain waktu perasaan sedih begitu
merajai diri. Bahkan rasa putus asa pun sempat menggerogoti hati. Aku pernah
berharap kalau operasi yang kujalani gagal sehingga diri ini tak perlu lagi
hidup di muka bumi.
Dalam kondisi seperti itu, aku benar-benar bersyukur
berada di bawah pengawasan dokter Budi. Beliau sangat piawai memotivasi
pasiennya yang sedang berada di titik nadir.
Di setiap visit-nya, dokter kharismatik ini lebih
bersikap sebagai teman yang sedang menjenguk, dibanding sebagai dokter. Beliau
justru lebih sering mengajakku berbincang tentang berbagai hal, dari pada
membicarakan masalah penyakit. Hingga pasien-pasien lain yang satu ruangan
denganku sering berkomentar,
“Dokternya Bu Aminah baik banget, sama pasiennya
akrab, ramah juga.”
Dokter Budi juga sering bertanya tentang anak-anak,
tentang kampungku, dan tentang berbagai hal lainnya. Bahkan pernah sekali waktu
beliau bertanya tentang uang saku yang kubawa selama rawat inap.
“Sangu berapa?” Begitu kira-kira pertanyaan beliau
saat itu.
“Dua ratus ribu, Dok,” jawabku apa adanya, karena
memang pada saat itu hanya sejumlah
itulah uang yang kubawa.
Mungkin dokter Budi kasihan melihatku, opname begitu
lama dengan sangu yang sangat minim. Tiba-tiba beliau mengulurkan sejumlah
uang, sembari berujar,
“Ini buat beli permen.”
Aku kaget
dengan kebaikan hati dan sikap beliau yang spontan. Seorang dokter
memberi sangu untuk pasiennya?
Sebenarnya aku malu menerima pemberian itu. Tapi
karena terlihat ketulusan dan keikhlasan dalam sikapnya, serta terdesak oleh
kebutuhan, kuterima uang yang beliau ulurkan walau dengan rasa sungkan yang tak
bisa disembunyikan.
Selain itu satu hal lagi yang selalu kuingat dari
sikap dokter Budi adalah cara beliau memotivasi diriku dengan telaten.
Aku memang sering merasa sedih tak terkira. Biasanya
ketika beliau visit dan melihatku dalam kondisi seperti itu, dokter Budi mengingatkanku untuk selalu bersabar dan
ikhlas. Bahkan pesan itu selalu beliau ulang-ulang hampir dalam setiap
visit.
Sampai saat ini, ketika kondisiku nge-drop dan emosiku
tidak stabil, aku selalu ingat pesan beliau, sabar dan ikhlas.
Selain baik dan perhatian, beliau juga sopan sekali. Pernah satu waktu aku memberi
dokter Budi jeruk Bali, hasil kebun dari rumahku di Pati. Pada saat itu Pak
Dokter yang mengucapkan terima kasih sampai berulang kali, mungkin lebih dari
dua puluh lima kali. Padahal aku cuma memberi hasil kebun, tapi penghargaan
beliau terhadap pemberian itu begitu luar biasa.
*****
Masa-masa rawat inap berlalu. Operasi pengangkatan
limpa berlangsung dengan sukses. Tahapan yang harus kujalani berikutnya adalah
kemoterapi. Setelah fase ini selesai, pun aku masih diwajibkan kontrol sebulan
sekali.
Karena tempat tinggal yang jauh di luar kota, setiap jadwal kontrol ke Semarang, aku harus
berangkat dari Pati jam 02.00 dini hari. Tiba di RSUP sekitar pukul 06.00 pagi.
Padahal poliklinik baru buka jam 08.00,
sementara Pak Dokter terkadang baru datang tiga puluh menit setelahnya. Belum
lagi kalau mendapat nomor antrian jauh. Jadi bisa dibayangkan, betapa beratnya
perjuanganku demi meraih kesembuhan.
Namun rasa letih itu
terbayar ketika bertemu dengan dokter Budi. Beliau mampu menularkan semangat
dan energi positif kepada pasien-pasiennya.
Di saat banyak dokter
yang lebih suka berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa kalbu alias irit bicara,
dokter Budi justru begitu ramah dan
gemar bercerita. Beliau juga sangat menghargai pasien-pasiennya.
Tutur katanya lugas,
terkesan akrab dan menenangkan. Senyum ramah selalu tersungging dari wajah
simpatiknya. Tidak peduli orang berada atau
kurang mampu, tua atau muda, cantik atau jelek, beliau selalu memberi pelayanan
dan perlakuan yang sama terhadap semua pasiennya.
Tidak hanya sekedar
berkomunikasi dan berinteraksi, bahkan untuk pasien-pasien lama, beliau mengingat dan mengenal nama-nama mereka,
seperti beliau mengingat namaku. Bagi seorang pasien, ketika sang dokter
mengingat namanya, merupakan hal yang istimewa. Hal ini menandakan kalau dokter
tersebut memang memperhatikan pasiennya dengan seksama.
Tak jarang ketika
berada di ruang praktik, dokter Budi justru mengajak pasiennya berbincang
tentang hal-hal di luar penyakit yang diderita. Itulah sebabnya kenapa pasien
dokter Budi banyak sekali, hingga kita harus rela mengantri berjam-jam untuk
bisa konsultasi dengan beliau.
Terkadang pada
saat kontrol, aku sering mengobrol
dengan sesama pasien sambil menunggu
giliran. Ternyata banyak pasien
yang juga berpikiran sama denganku,
bahwa dokter kami ini baik sekali,
menghargai pasiennya sedemikian rupa.
Padahal kami hanyalah
pasien BPJS dari ruang perawatan kelas tiga, yang kebanyakan berasal dari
keluarga tidak mampu. Tapi dokter Budi
menghargai dan memposisikan kami sebagai manusia yang seutuhnya, bukan
sebagai pasien kelas bawah yang cukup ditatap sekilas, berbicara sepatah dua
patah kata, kemudian diberi resep, dan selesai. Tidak...beliau tidak seperti
itu.
Sudah dua tahun lebih
aku menjadi pasien dokter Budi. Dari awal bertemu hingga sekarang, belum pernah
aku mendapat kesan negatif dari sikap beliau sebagai seorang dokter.
Bayangkan saja, seorang dokter konsultan dengan
kehidupan modern yang serba berkecukupan, tetap mengapresiasi pemberian
pasiennya yang hanya berupa hasil kebun, jeruk Bali. Kalau untuk dokter-dokter
yang bertugas di desa mungkin hal ini sangat lumrah, tapi tidak di kota
besar.
Seorang dokter yang dengan sabar berkenan mendengar
curahan hati pasiennya, serta memotivasi sang pasien, hingga mampu meredam
perubahan emosi yang tidak stabil.
Ternyata di zaman yang serba individualis dan
materialistis ini, masih ada dokter yang tidak hanya fokus pada kondisi klinis
pasiennya saja, namun juga melakukan intervensi moral dan sosial kepada mereka
dengan memberikan perhatian dan penghargaan yang sedemikian rupa. Karena memang
sejatinya, kedekatan dan empati secara pribadi dari seorang dokter kepada
pasiennya, merupakan obat yang sangat
manjur dibanding produk-produk farmasi dengan segala rumus-rumus kimiawinya.
“Selamat Hari Dokter
Nasional, Dok. Semoga dokter Budi tetap sehat dan bahagia, hingga selalu bisa
menebar manfaat dan kebaikan untuk banyak orang. Keramahan dan perhatian dokter
Budi merupakan obat yang manjur untuk setiap pasien.”
Salatiga, 2019.
[Narasumber : Aminah
– Pasien Instalasi Kasuari – RSUP Dr. Kariadi – Semarang.]
Note : Tulisan ini merupakan salah satu kisah inspiratif yang terdapat dalam buku antologi A Tribute to Doctors.
“
0 Komentar