Repetisi Terima Kasih


"Nanti saja ya, Mbak. Saya masih nunggu temen." Aku menolak halus buku menu yang diajukan pramusaji sesaat setelah  memilih posisi meja.

Dan tak berselang lama sesosok lelaki paruh baya berpenampilan simpatik terlihat berdiri di ambang pintu sambil mengedarkan pandang ke sekeliling. Aku yakin lelaki itu tengah memindai keberadaanku. 

Kulambaikan tangan sebagai kode panggilan. Sejurus kemudian, pria dewasa tersebut telah berada di depanku.

"Maaf, saya agak terlambat. " Sambil menarik kursi di hadapanku, kemudian mendudukkan diri, kau mengajukan permohonan maaf yang sebenarnya tidak perlu.

"Santai ajalah. Ini kan bukan rapat kerja. Lagian saya juga baru aja nyampe kok," balasku  sembari membenarkan posisi duduk gadis kecil di sebelahku.

Selanjutnya obrolan ringan di antara kita pun meluncur tanpa skenario.

"Njenengan sehat tho?" Sambil menggoda si kecil, di sela-sela obrolan kau mengurai satu pertanyaan sederhana yang menyiratkan beribu perhatian.

Gadis kecilku bereaksi malu-malu saat kau mencolek lembut pipinya. Dengan senyum manis yang mengembang, ia merapatkan tubuhnya padaku, melendot erat.

Sikapnya tersebut ternyata semakin membuatmu gemas. Kembali kau colek lembut pipi gembul si bungsu.

"Gemesin seperti bundanya," ujarmu lugas.

Aku yang mendengar ucapan absurd itu, langsung menatapmu dengan mata membulat. 

"Njenengan terlalu sipit untuk melotot," ujarmu dibarengi tawa menggoda sembari mengangkat tangan sebagai kode untuk memanggil pramusaji.

Kau dan aku merajut janji untuk menunaikan makan siang bersama di satu cafe di pojok kota kecil lereng Merbabu. Bagiku keterlambatanmu yang hanya sepersekian menit bukanlah satu masalah besar, mengingat kau harus melaju di atas roda meretas jarak antar kota, demi menegaskan bahwa hari ini usiaku semakin menua.

Sebenarnya rencana awal telah tersusun dengan paripurna, bahwa akulah yang menyambangi ibukota propinsi. Namun, karena kau memintaku untuk membawa serta si kecil, akhirnya kita sepakat untuk memutar haluan, memilih lereng Merbabu menjadi spot pengurai kata.

Ah...hidupku kenapa se-fiksi ini. Tak pernah terbayangkan kalo skenario hidup membawaku ke titik ini. Titik di mana kau dan aku semakin nyaman dan terikat satu sama lain.

Hari ini setahun yang lalu, kuurai satu kalimat terima kasih atas segala upaya yang kau lakukan untuk membuatku bangkit dari keterpurukan.

Masih tergambar jelas di pelupuk mata, kau mencoba mengumpulkan serpihan hatiku yang berkeping karena luka yang teramat perih. Setelahnya, kau tata kembali serpihan-serpihan itu menjadi satu karya seni yang justru lebih indah dari wujud aslinya. Kau beri polesan kasih sayang yang tulus dalam sentuhan akhirnya, hingga karya seni tersebut memancarkan kilaunya yang memukau.

Tahun ini, aku ingin mengulang ucapan terima kasih yang sama untukmu. Dan mungkin aku akan selalu mengulang kata-kata yang sama setiap tahun, atas kesabaranmu mengubah serpihan hidupku menjadi lebih bermanfaat.

Thanks for the best moment we've had today. Keep being a good man.


Bumi Kayom, pitunov 2023

Posting Komentar

0 Komentar