#The Doctor's Family (Jilid 5)







“Honey...bangun. Sudah setengah empat.” Pak Dokter membangunkan diri ini sambil menepuk-nepuk lembut pipiku, kebiasaan yang selalu Beliau lakukan sejak  kami menikah.

Aku mendengar panggilan Beliau namun mata ini masih enggan terbuka. Beliau kembali mengulangi usahanya untuk membuatku terbangun.

“Nyonya...ayo bangun. Edel dibanguni gih.” Kali ini Beliau kembali menggunakan sapaan khasnya.

“Kok gak manggil honey lagi, Dok?” tanyaku dengan suara parau khas orang mengantuk dan dengan mata yang masih terpejam.

Aku mendengar Pak Dokter tertawa, mungkin karena kalimat yang baru aku ucapkan tadi. Kemudian  Beliau mengecup lembut keningku.

“Njenengan suka dipanggil honey? Kalau suka mulai sekarang saya manggil Njenengan honey, ya?” Aku membuka mata, terlihat Pak Dokter duduk di pinggiran tempat tidur, masih berpeci, berbaju koko, dan bersarung, kelihatannya Beliau baru selesai sholat malam sebelum membangunkanku.

“Gak suka, Dok, terlalu mainstream. Saya lebih suka dipanggil Nyonya, biar menjadi satu-satunya istri di dunia yang dipanggil suaminya dengan sebutan tersebut,” jawabku panjang lebar.

Beliau tersenyum mendengar jawabanku.

“Ya udah. Nyonya...Ayo bangun, tahajud,  terus Edel dibangunkan. Nanti dia kesiangan, soalnya ini rutenya lebih jauh.” Pak Dokter kembali membujukku untuk segera turun dari ranjang dengan kalimat panjang bagai rangkaian gerbong kereta api.

Sebenarnya tubuh ini masih ingin menikmati kehangatan dan kelembutan kasur, enggan sekali rasanya untuk bangkit. Namun kebutuhan sholat malam dan kewajiban menggugah Edel terpampang di depan mata, memaksaku untuk menghalau rasa enggan yang menyelubungi diri.


@@@@@


Lintang, Mentari, dan Maghrib baru saja berpamitan menuju sekolah masing-masing. Sementara Edel sudah meluncur menuju Yogya begitu usai sholat subuh. Mbak Kas dan Mbak Romlah sebelum jam enam tadi sudah berangkat ke pasar. Walau job description-nya berbeda, tapi untuk urusan ke pasar, keduanya selalu melakoni bersama.

Aku dan Pak Dokter belum beranjak dari meja makan. Kami menikmati sarapan berdua dengan santai tanpa harus terburu-buru, karena jam masih menunjukkan pukul 06.15.  Kami sudah berpakaian rapi, jadi nanti tinggal menyiapkan tas dan bersepatu, langsung berangkat. Perjalanan dari rumah ke rumah sakit hanya memakan waktu sekitar 20 sampai 30 menit. Biasanya Pak Dokter mulai keluar rumah di kisaran jam tujuh tepat atau lebih beberapa menit.

Pagi ini kondisiku cukup stabil, tidak terlalu direpoti dengan morning sickness. Hanya tadi ketika mandi, pada saat sikat gigi rasa mual begitu menguasai hingga membuatku muntah dua atau tiga kali.

Sejak dibangunkan Pak Dokter jam setengah empat dini hari tadi, ada keinginan yang kuat untuk menikmati nasi gudangan (urap). Keinginan itu langsung kusampaikan ke Mbak Kas. Sementara untuk anak-anak, Beliau kuminta untuk membuatkan roti panggang. 

Namun karena ini awal pekan, persediaan sayur dan teman-temannya di kulkas otomatis tinggal apa adanya. 

“Tapi gudangannya ala kadarnya lho, Bu. Soalnya bahan-bahannya gak lengkap, nanti baru mau belanja.” Demikan tadi Mbak Kas menjawab titahku sewaktu aku memintanya untuk memasak gudangan.

Dan kini, sambil menikmati sarapan nasi putih, gudangan (urap) ala kadarnya, ditambah lauk peyek teri. aku kembali mengajukan tanya atas alasan Pak Dokter mengajakku ke rumah sakit.

“Ngapain tho Dok ngajak saya ke rumah sakit?” 

“Untuk acara hari Rabu.” Pak Dokter menjawab tanyaku sambil menikmati nasi gudangan bikinan Mbak Kas. 

Beliau ini memang suami yang baik, pagi-pagi disuguhi gudangan ala kadarnya juga gak protes, tetap dinikmati dengan rasa syukur. Sebenarnya tadi aku sudah meminta Beliau untuk sarapan roti panggang seperti anak-anak, tapi Beliau menolak dengan alasan karena ingin ikut menikmati menu sarapannya Anggi.

“Acara apa tho, Dok?”

“Acara Njenengan, pitunop.” Beliau menjawab dengan santai sambil menyelesaikan suapan terakhir sarapannya.

Aku tertegun mendengar jawaban Beliau. Pak Dokter ingin merayakan ulang tahunku di rumah sakit. Walau belum jelas ide apa yang ada dalam pikiran Beliau, namun terselip seuntai bahagia di relung jiwa. Pak Dokter selalu mengekspresikan kasih sayangnya untukku dengan beragam cara, dan aku selalu terkesima dengan kejutan-kejutan kecil yang Beliau curahkan tersebut.

Ini memang ulang tahun pertamaku sejak menjadi istri Beliau. Sebelum kami menikah, jika salah satu di antara kami merayakan hari jadi, biasanya momen itu hanya kami lewati dengan sekedar memberi hadiah kecil, dan kalau  kebetulan ada “kesempatan”, Pak Dokter biasanya akan mengajakku makan di luar, tentunya dengan pengawalan Maghrib atau Mentari.

“Saya sudah tua lho, Dok. Ngapain juga dibikinkan acara perayaan segala,” ujarku sedikit berbasa-basi.

Pak Dokter tertawa mendengar kalimatku.

“Ini bukan perayaan, Nyonya. Tapi donasi, dan waktunya kita pas-kan di pitunop,” ujar Pak Dokter sambil menyebut tanggal lahirku dengan sebutan ala ala dirinya.

Kemudian Beliau melanjutkan ujarannya.

“Jadi nanti Njenengan ke humas dulu, minta izin kalau besok Rabu  mau ngadakan donasi buku dan mainan untuk pasien yang dirawat di bangsal anak. Setelah dapet izin dari Humas,  Njenengan ke nurse station-nya bangsal anak, tanya data tentang jumlah pasien usia sekolah dan pasien balita. Supaya kita tau berapa yang harus dikasih buku dan berapa yang harus dikasih mainan. Saya sudah order buku, nanti diantar salesnya ke rumah sakit, jadi Njenengan sekalian yang terima.”

“Kenapa gak Njenengan aja tho Dok yang ngurus izinnya? Kan lebih gampang dan gak ribet.” Aku yang tadi sempat sumringah dengan ide Beliau, mencoba protes  karena harus ikut ke rumah sakit segala hanya untuk urusan simpel seperti itu.

Beliau menikmati sesapan terakhir kopi hitamnya, kemudian menatapku sambil tersenyum.

“Salah satu faktor yang membuat saya terpikat sama Njenengan  karena Njenengan itu dinamis, tangguh, taktis, gak manja. Dulu waktu Maghrib sakit, dengan ketangguhan Njenengan, semua Njenengan urus dan hadapi sendiri. Dan saya pengen Njenengan tetap seperti itu sampe kapanpun. Jadi, walau saya bisa mengurus izinnya dengan gampang, tapi saya pengen Njenengan aja yang urus sendiri, ya?”

Aku cuma bisa terdiam mendengar penjelasan Beliau. Kuakui sejak menjadi istri Pak Dokter aku menjadi sedikit manja, baik dalam bersikap maupun dalam berujar. Padahal dulu aku selalu tegas dan taktis dalam segala hal. Apa mungkin Pak Dokter mulai menyadari sepenuh hati perubahan karakterku itu, sehingga dengan halus Beliau mencoba menyadarkanku.

“Lho...malah termenung.” Pak Dokter menjawil hidungku.

“Saya sekarang manja ya, Dok?” tanyaku mengabaikan jawilan Pak Dokter. Jujur ada sedikit rasa tak nyaman mendengar kalimat-kalimat Pak Dokter tadi.

“Njenengan gak manja, tapi memang saya yang terlalu memanjakan Njenengan. Karena saya terlalu sayang sama Njenengan.” Kudengarkan kata perkata yang meluncur dari mulut Beliau sambil menyesap susu coklat yang khusus diperuntukkan bagi ibu hamil. Dari dulu, Pak Dokter selalu sukses memikatku dengan kalimat-kalimat sederhana yang cukup menggetarkan hati.

“Saya manasi mobil dulu ya.  Sarapan Njenengan dihabiskan, terus kita berangkat,” lanjut Beliau sambil beranjak dari kursi, mengelus lembut ubun-ubunku yang dilapisi jilbab, kemudian melangkah menuju garasi.

Pak Dokter memang berbeda dengan almarhum Pak Wicaksono. Pak Dokter mengekspresikan kasih sayangnya dengan menjaga dan memanjakanku sepenuh hati. Sementara Bapaknya Maghrib lebih kepada melepas dan memberiku kebebasan dalam berekspresi dan dalam segala hal.

Kedua lelaki itu menyayangiku dengan cara mereka yang berbeda. Dengan Pak Dokter aku merasa bagaikan seorang ratu yang selalu dilayani dan diperhatikan. Dengan Bapaknya Maghrib aku bagaikan seorang super mom yang mandiri namun selalu dilimpahi kasih sayang. Pak Dokter romantis, sementara Bapaknya Maghrib realistis.

Tetiba aku teringat almarhum, terbersit keinginan untuk menziarahi makamnya, Bapaknya anak-anakku. Walau kini hati dan cintaku sedang bermekaran untuk Pak Dokter, tetapi respekku untuk almarhum tetap terjaga, karena Beliau lelaki yang baik, menyayangi keluarga sepenuh hati walau dengan caranya sendiri.

“Lho...kok masih melamun. Sudah jam tujuh lho.” Tetiba Pak Dokter sudah berdiri di sisi kursi tempatku duduk.

“Njenengan kenapa ? Kok sepertinya dari tadi banyak diamnya, gak seperti biasa?” Beliau melanjutkan ujarannya. 

Kualihkan pandang ke wajah lelaki yang selalu memperlakukan diri ini bagai seorang ratu. Terlihat ada tanya di bola mata cerdasnya. Kulempar seutas senyum manis untuk Beliau.

“Saya gak pa-pa, Dok.” Ujarku pelan.

“Njenengan keberatan saya minta ngurus izin donasi sendirian?” Beliau masih berusaha memastikan kata “tidak apa-apa” yang keluar dari mulutku.

“Gak, Dok. Nanti saya urus. Saya bawa nama pribadi ya, Dok. Gak usah bawa nama Njenengan.” ujarku datar sambil berdiri dari posisi duduk.

Namun sepertinya Beliau tidak sepenuhnya mempercayai ucapanku. Seolah ada keraguan terselip dalam dirinya.

“Njenengan beneran gak apa apa?” Beliau memegang lenganku, menahanku yang siap melangkah menuju kamar untuk mengambil tas kerja Beliau dan tasku. Pertanyaan Beliau mengandung nada kekhawatiran.

Aku menatapnya, memberi senyum termanis untuk Beliau, dan mencoba menenangkan hati lelaki terkasihku.

“Saya baek-baek aja, Dok,” ujarku lembut sambil mengecup pipi Beliau.

Tetiba Pak Dokter memelukku.

“Saya tau, perasaan Njenengan sedang gak nyaman, kan?” ujarnya tepat di telingaku. Ikatan bathin di antara kami terlalu kuat, aku tak pernah berhasil menyembunyikan rasa tak nyaman yang sering menyergap secara tiba-tiba.

Aku tidak menjawab tanya Pak Dokter, melainkan membalas pelukan Beliau dengan erat. Jujur, sebenarnya diri ini tetiba diliputi perasaan melow yang aku sendiri tak tahu apa penyebabnya. Tadi pagi kuawali hari dengan optimis, fresh, dan ceria. Tapi kini tiada angin tiada hujan, ada rasa sedih menyelusup secara perlahan ke relung jiwa.

“Tiba-tiba saya melow, Dok.” Aku selalu tak mampu menahan perasaanku dari pria terkasih ini. Pria yang selalu siap menampung segala resah, rindu, amarah, dan bahagiaku.

“Banyak-banyak istighfar ya. Perasaan-perasaan negatif seperti itu harus dilawan, jangan dituruti,” ujar Beliau lembut.

Beliau mempererat pelukannya sejenak, setelah itu melepas dekapannya, kemudian mengecup bibirku lembut.

“Sudah lega?” tanya Beliau sambil tersenyum memandangku.

Aku mengangguk pelan. Sudah menjadi kebiasaan Pak Dokter, setiap melihatku dalam kondisi emosi tak stabil, Beliau selalu meredakannya dengan pelukan hangat dan erat, serta sekilas kecupan lembut  di bibir.  Therapi sederhana ini cukup mampu membantu menstabilkan emosiku.

Ketika Beliau mendekap erat tubuhku, diri ini merasa mendapat perlindungan sempurna. Ketika Beliau mengecup lembut bibirku, aku merasa dicintai dengan sepenuh hati. Semua itu menumbuhkan rasa percaya diri serta memberi kekuatan untukku.

Niat untuk melangkah ke kamar urung terlaksana. Pak Dokter mengajakku kembali duduk di kursi makan.

“Saya sayang Njenengan, sayang banget. Saya pengen Njenengan selalu sehat dan bahagia. Saya sedih kalau melihat Njenengan gak ceria. Kalau ada perasaan-perasaan negatif yang menghampiri Njenengan, segera dilawan. Njenengan itu wanita tangguh dan smart. Saya yakin Njenengan pasti mampu melawannya.” Pak Dokter mencoba memotivasi diriku. Kata-katanya sederhana, namun begitu menyejukkan. Walau diucapkan dengan lembut,  ada ketegasan dalam setiap untaian kalimatnya.

“Akhir-akhir ini saya sering merepotkan Njenengan ya, Dok.” Aku menyadari kebiasaan burukku yang belakangan sering mengombang-ambingkan perasaan Pak Dokter.

“Eiittsss.... Njenengan jangan bicara begitu. Njenengan seperti ini, itu karena ada yang saya titipkan   di sini,” ujar beliau sambil mengelus perutku. 

“Saya takut kalau saya terus-terusan seperti ini, nanti Njenengan jenuh sama saya, Dok. Lantas Njenengan mengabaikan saya,” ujarku jujur.

“Perjuangan saya untuk memiliki Njenengan itu begitu panjang dan berliku, Nyonya. Mana mungkin saya mengabaikan Njenengan.” Pak Dokter menatapku lekat. Kemudian Beliau kembali melanjutkan kalimatnya.

“Bagi saya, dari dulu sampe sekarang Njenengan itu spesial. Di usia rentan seperti ini, Njenengan ikhlas mengandung anak saya. Makanya saya selalu khawatir kalau Njenengan mulai badmood. Karena emosi yang tidak stabil, terlalu meledak-ledak, nanti bisa berdampak terhadap kesehatan Njenengan.” Pak Dokter meraih tanganku, kemudian menggenggamnya. Beliau menciptakan suasana romantis di pagi hari di awal pekan ini. 

“Nyonya....” Beliau menggantung kalimatnya.

“Saya sangat-sangat tidak siap kalau sampai terjadi apa-apa dengan Njenengan.” Ada kesungguhan yang begitu mendalam di ujaran Beliau. 

Rasa haru menembus dinding hatiku mendengar ucapan Pak Dokter.

“Itulah sebabnya saya selalu mengingatkan Njenengan untuk sering-sering istighfar. Saya tega mengganggu kenyamanan tidur Njenengan, dengan menggugah Njenengan di akhir malam untuk tahajud dan mengaji, karena itu semua memang bagus untuk pengendalian emosi Njenengan. Supaya Njenengan bisa menjalani kehamilan ini dengan lancar, sehat, dan gembira.” Perasaan melow yang tadi menyelimuti diri dan perlahan berangsur pergi setelah Pak Dokter mengusirnya dengan pelukan hangat dan kecupan lembut, kini kembali datang sekilas begitu mendengar penuturan Beliau.

“Dok...,” 

“Ya...”

“Jangan pernah bosen sama saya ya, Dok.” Ucapanku terdengar begitu serius, karena memang aku sangat menyayangi lelaki ini. Aku takut kehilangan Beliau.

Pak Dokter tertawa mendengar ucapanku. Beliau  melepas genggaman tangannya, kemudian mengusap-usap  ubun-ubunku.

“Insyaa Allah kita akan menua bersama, karena sayapun gak sanggup kehilangan Njenengan.” Jawaban Beliau seolah merespon ungkapan hatiku yang tak terucap.

Pak Dokter kembali mengecup bibirku lembut. Dari pintu samping terdengar suara Mbak Kas dan Mbak Ramlah mengucap salam bersamaan. Aku menarik diri dari kecupan Pak Dokter sebelum kedua Mbak ART tiba di ruang makan. 

Pak Dokter tersenyum, senyuman yang sarat makna, menyadari hampir saja pasangan paruh baya ini tertangkap basah oleh asisten rumah tangganya sendiri, dan di rumahnya sendiri.

“Eh...udah jam 07.30 lho. Ayo Njenengan siap-siap.” Pak Dokter kaget ketika melihat arlojinya.

Bunga-bunga di hatiku bermekaran. Ratusan kupu-kupu berwarna warni terbang menghambur dari sudut jiwa. Langkah ini terasa begitu ringan untuk memulai hari dengan sang kekasih hati, mempersiapkan diri untuk menyambut pitunop.








Posting Komentar

0 Komentar