Malam semakin merangkak dan dini haripun menjelang, namun aku
belum bisa memejamkan mata walau sekejab. Sementara untuk menyusul Pak Dokter
yang sedang menemui Dhuha, aku tak punya nyali. Selain karena amanah Pak Dokter
agar aku tidak usah keluar kamar, juga karena belum siap menghadapi ekspresi
Dhuha.
Menghadapi Dhuha dan Lintang saat ini, seolah-olah aku sedang
kembali ke masa lalu. Masa di mana aku dan Pak Dokter menjalani hubungan. Saat
itu, aku sering merasa sungkan pada Edel ketika Pak Dokter berkunjung ke rumah
kami di akhir pekan.
Bedanya, saat itu aku merasa sungkan karena status hubunganku
dengan Pak Dokter yang tak jelas. Sementara Dhuha dan Lintang, status mereka
sama-sama single, namun kejadian ini begitu mendadak dan mengagetkan semua
orang. Itulah yang membuatku belum siap bertemu Dhuha, konon lagi Lintang. Pastinya
setelah pulang, baru mereka menyadari kalau yang mereka lakukan ini aneh dan
nekad. Dan aku yakin, mungkin sekarang keduanya sedang berpikir, bagaimana
caranya menghadapi semua orang di rumah, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang pastinya akan tertuju pada mereka.
Terdengar suara pintu kamar terbuka. Pak Dokter masuk dan
langsung menuju ke pembaringan.
“Njenengan kenapa belum tidur?” tanya Beliau pelan sambil
merebahkan diri di sampingku.
“Saya gak ngantuk, Dok. Penasaran pengen denger cerita
Njenengan. Nungguin Njenengan masuk kamar, rasanya lama banget. Ngobrol apa aja
tadi sama Dhuha, Dok?” Kuungkapkan kegelisahan karena menanti Pak Dokter yang
tak kunjung kembali ke kamar.
Beliau tertawa mendengar perkataanku yang jelas sekali
menggambarkan kekhawatiran.
“Sudah hampir setengah dua lho. Njenengan jangan bergadang,
gak bagus buat Anggi. Tidur gih, besok habis Subuh saya ceritain.” Pak Dokter
malah memintaku untuk segera mengistirahatkan diri.
“Aduh Dok...gak mungkin saya bisa tidur kalau rasa penasaran
saya belum terjawab. Edel, Mentari, sama Maghrib dah tidur apa belum, Dok?”
“Njenengan kok jadi kepo
?” ujar Beliau sambil tertawa. Tumben Pak Dokter menggunakan istilah
kaum milenial, “ Sudah, waktu saya ngajak Dhuha ngobrol, mereka langsung pada
masuk kamar,” lanjut Beliau.
“Tumben Njenengan ngerti kepo. Biasanya Njenengan gak up date
istilah-istilah kekinian.”
“Kalau istilah kepo pahamlah, anak-anakkan sering pake
istilah itu. Ayo tidur dulu, besok kesiangan.” Ternyata Pak Dokter masih
keukeuh memintaku segera tidur.
“Saya ke kamar Dhuha ya, Dok ?”
“Mau ngapain?”
“Ya, mau interogasi Dhuha, soalnya Njenengan gak mau cerita
ke saya. Padahal saya gak bisa tidur karena penasaran pengen denger cerita
Njenengan.” Aku mulai memasang ancaman untuk Pak Dokter.
Beliau kembali tertawa melihatku yang begitu penasaran.
Bukannya menjawab rasa penasaranku, Beliau malah merengkuh diri ini dalam
dekapannya. Sambil memelukku, Pak Dokter memulai ceritanya.
“Saya cerita poin pentingnya aja ya. Sekedar memenuhi rasa
penasaran Njenengan.” Aku mendengarkan dengan seksama setiap perkataan Beliau.
“Lintang langsung masuk kamar, gak mau nemuin saya. Dhuha
minta maaf karena gak pamit ngajak Lintang keluar.” Pak Dokter melanjutkan
ceritanya dengan nada pelan dan perlahan.
Apa yang kutakutkan tentang Lintang, sepertinya akan terjadi.
Sulung Pak Dokter itu introvert. Dia punya rasa sungkan yang berlebihan kalau
orang mengetahui kisah-kisah peribadinya. Dan aku yakin saat ini dia pasti
tidak bisa memejamkan mata, karena memikirkan besok harus bersikap bagaimana
ketika menghadapi Emak, Bapak, dan saudara-saudaranya.
“Putra Njenengan gentleman. Dhuha bilang terus terang ke
saya, kalau dia suka sama Lintang. Dhuha minta maaf karena baru datang sudah
bersikap gak sopan. Mengajak Lintang nonton, tanpa pamit dan pulang malam.” Aku
melepaskan diri dari pelukan Pak Dokter, kemudian mengubah posisi tidur dengan
setengah duduk sambil bersandar di kepala tempat tidur.
“Lho...kok Njenengan malah bangun.” Pak Dokter protes melihat
perubahan posisiku, “Njenengan tidur aja sini sambil saya keloni, biar langsung
terlelap dengar dongeng saya.” Beliau melanjutkan ujarannya.
“Gak puas dengar cerita seru sambil dikekepin gitu. Ayo Dok,
lanjutannya gimana?” Aku kembali menuntut beliau untuk bercerita.
Pak Dokter mengikuti jejakku, mengubah posisi tidurnya sambil
bersandar ke kepala tempat tidur.
“Kata Dhuha, sebenarnya mereka gak berniat nonton. Tadi
sewaktu Mentari sama Edel ke minimarket, Dhuha lagi di kamar. Pas dia ke ruang
keluarga, Lintang sendirian nonton TV. Mereka ngobrol, Dhuha gak menjelaskan secara gamblang
obrolannya apa. Terus terlintas di benak Dhuha pengen ngajak Lintang
keluar, walau dia gak terlalu berharap Lintang nerima ajakannya.” Pak Dokter
menghentikan bicaranya. Beliau menatapku lekat.
“Kenapa melihat saya seperti itu, Dok?” tanyaku penasaran.
“Saya angkat topi sama putra Njenengan. Nyalinya oke banget.
Melihat ada peluang, langsung dimanfaatkan. Dia gak mau menyia-nyiakan
kesempatan mengingat waktu dia di sini cuma beberapa hari.” Walau Pak Dokter
memuji Dhuha, namun bukan perasaan senang yang kurasa, justru kekhawatiran yang
semakin membelenggu diri.
Bukannya aku tidak ingin Dhuha berjodoh dengan Lintang, tapi
akan lebih membahagiakan kalau aku bisa mengantar Lintang ke pelaminan dengan
status sebagai anak, bukan sebagai menantu.
“Tapi masak sih hanya ngobrol sesaat terus Lintang langsung
mau diajak keluar, Dok?” Aku masih penasaran dengan cerita Pak Dokter.
“Mungkin Lintang juga menyimpan rasa senang sama Dhuha, tapi
dia menutupinya karena malu atau menghindari godaan saudara-saudaranya. Tadi
dia langsung mengiyakan ajakan Dhuha. Kata Dhuha, niat awalnya mereka cuma mau
keliling-keliling aja, di perjalanan kok kepikiran untuk nonton. Dia tanya
Lintang, kalau diajak nonton mau gak, ternyata Lintang mau.” Pak Dokter kembali
mengambil jeda. Sementara aku tak mampu merespon setiap kalimat yang meluncur
dari bibir Pak Dokter.
Terbersit seutas tanya di benakku, seserius itukah perasaan
Dhuha kepada Lintang. Berarti dia memang sudah menyimpan rasa itu sejak di
Pasar papringan, makanya dia seolah tidak ingin melewatkan peluang ketika saat
ini Lintang meresponnya. Dan dia benar-benar memanfaatkan waktu yang sempit
ini.
“Nyonya...kenapa melamun?” Pak Dokter membuyarkan pikiranku
yang berputar-putar. Aku menatap Beliau, tak tau harus berkata apa. Kuhela
napas dengan berat.
“Saya bingung, Dok. Walau secara hukum agama mereka bisa menikah,
tapi saya gak rela,” ujarku jujur.
“Kenapa?”
“Bukannya saya gak mau punya menantu Lintang. Tapi saya lebih
suka kalau mendampingi Lintang di pelaminan sebagai orang tuanya, bukan sebagai
mertua. Sementara kalau saya terang-terangan menentang, pasti Dhuha patah hati,
dan mungkin Lintang juga. Saya gak tega nyakiti keduanya. ” lanjutku.
Pak Dokter tertawa mendengar ucapanku.
“Jujur, saya juga tadi sempat bingung. Bingungnya saya itu
bukan karena apa-apa, tapi karena Dhuha itu terlalu jujur dan terus terang. Di
akhir ceritanya dia minta maaf lagi. Dhuha juga bilang, dia dengan Lintang cuma
nonton, gak ngapa-ngapain. Sebenarnya tadi saya mau tertawa waktu dia ngomong
seperti itu, tapi gak tega, nanti dia tersinggung.” Pak Dokter mengakhiri
bicaranya sambil tertawa pelan.
“Dhuha juga pesan, Lintang jangan dimarahi, karena yang salah
dia, Lintang gak salah.” Pak Dokter kembali melanjutkan ceritanya.
“Kok Dhuha jadi ketularan Njenengan dulu ya, Dok? Nekad,”
ujarku lugas.
Pak Dokter tertawa lepas mendengar perkataanku. Mungkin
Beliau teringat ke-lebay-annya dulu.
“Njenengan dulu dengan nekadnya mengejar saya sampe ke Medan
sana. Nah...ini Dhuha dengan santainya mengajak anak gadis orang keluar malam
tanpa pamit. Aduhh...anak lanangku.” Aku berujar sambil memejamkan mata, gak
habis pikir dengan kenekadan Dhuha.
“Mungkin bener kata Mentari, Njenengan ni yang ngajari Dhuha
menggombal dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.” Aku seolah menuduh
Pak Dokter sebagai gurunya Dhuha.
Pak Dokter masih mengurai tawa. Beliau mengusap-usap kepalaku
dengan lembut.
“Sudah gak usah dipikir. Sekarang tidur gih.” Beliau berujar
sambil menatap jam dinding, “Wah...sudah jam setengah tiga. Ayo tidur, kasian
Anggi diajak begadang.”
Pak dokter merubah posisinya, kembali berbaring sempurna, pun
demikian juga denganku.
“Saya gak bisa tidur, Dok,” ujarku pelan.
“Tadi katanya gak bisa tidur karena penasaran. Sekarang saya
udah cerita, Njenengan masih belum bisa tidur. Lha terus mo gimana?” tanya
Beliau lembut.
“Njenengan tidur dulu, Dok. Saya masih mo mikir, gimana
enaknya memulai obrolan sama Lintang.” Mataku memang masih terjaga penuh, tak
sedikitpun rasa kantuk menyerang.
Pak Dokter kembali memelukku. Beliau mengelus-elus punggungku
lembut.
“Jangan terlalu serius mikirnya, nanti Njenengan stress,
kasihan Anggi. Walau usia Dhuha sudah pantas untuk memulai hubungan serius, dan
dia sudah bekerja mapan, tapi Lintang kan masih SMA. Perjalanan dia masih
panjang. Mungkin dalam perjalanannya itu, hatinya berubah. Saya suka dengan
Dhuha. Dia gentle dan jujur. Tapi sebenernya hati sayapun sama seperti
Njenengan, berharap mereka tidak berjodoh. Tapi saya mencoba memahami hati
mereka yang mungkin saat ini sedang berbunga-bunga. Logika mereka saat ini
sedang kalah dengan perasaan mereka. Dan kita juga pernah merasakan saat-saat
seperti itu Nyonya. Jadi harusnya kita bisa memaklumi mereka.” Kalimat-kalimat
Pak Dokter terdengar begitu bijak bestari.
“Berarti Njenengan juga gak setuju kan, Dok?” Ada secercah
rasa senang menyelusup ke relung hati mendengar pengakuan Pak Dokter.
“Iya. Tapi untuk saat ini, selama Dhuha di sini, biarkan saja
semuanya mengalir. Toh Dhuha hari Minggu sudah balik ke Kalimantan. Kalau saya
lebih mengandalkan kekuatan do’a saja, karena sama seperti Njenengan, saya juga
gak tega mau bicara terus terang kalau kita lebih suka mereka gak berjodoh.”
Diri ini laksana mendapat seteguk air di tengah padang
gersang ketika mengetahui kalau Sang Lelaki terkasih ternyata seide sependapat
denganku. Pikiranku masih
melayang-layang memikirkan romansa cinta Dhuha dan Lintang. Sementara Pak
Dokter masih terus mengusap-usap punggungku dengan lembut, Beliau mencoba meninabobokkan istri dan anak
bungsunya.
@@@@@
Di Jumat pagi ini Edel dan Mentari menyajikan nasi goreng
untuk menu sarapan kami. Mbak Kas dan Mbak Ramlah sedang menikmati jatah libur
akhir pekan mereka. Aku membantu kedua gadis mengiris timun dan menyiapkan
salada segar, karena Anggi masih belum bisa mentolerir aroma masakan. Pak
Dokter, Dhuha, dan Maghrib sudah duduk manis di meja makan siap untuk bersantap
pagi. Sementara Lintang belum terlihat turun dari kamarnya.
Hari ini anak-anak izin sekolah. Siang nanti selepas sholat
Jumat kami sekeluarga akan meluncur menuju Dieng. Bermalam di sana, menikmati
libur akhir pekan dengan formasi lengkap. Sabtu sore kembali ke Semarang.
Sementara Minggu siang, Dhuha terbang ke Kalimantan, dan Edel akan bergerak
menuju Yogya pada Minggu sore. Aku akan kembali berjauhan dengan si Sulung dan
si tengah.
“Lintang mana, Edel?” Pak Dokter bertanya pada sulungku
begitu kedua gadis menggabungkan diri di
meja makan.
Seluruh elemen pendukung menu utama, irisan timun, salada,
ayam goreng, dan kerupuk sudah tersaji lengkap di meja makan.
Aku mengambil piring, kemudian menyendokkan nasi ke wadah
tersebut, dan melengkapinya dengan seluruh komponen pendukung. Berikutnya sepiring
nasi goreng komplit itu kuulurkan kepada Pak Dokter. Beliau menerimanya dan
mulai menikmati sarapan sederhana tersebut.
“Masih di kamar, Pa,” Edel menjawab pertanyaan Papanya sambil
menyendokkan nasi goreng ke dalam piring.
“Kenapa kok gak turun?” tanya Beliau lebih lanjut.
“Gak tau.” Mentari menjawab singkat pertanyaan Bapaknya.
Pak Dokter beralih pandang ke arahku. Aku yang sedang
memotong-motong buah naga untuk sarapan Anggi, menjawab tatapannya dengan
mengernyitkan dahi. Keempat anak sedang asyik menikmati hidangan mereka, tanpa
suara, tanpa sepatah kata. Mungkin mereka sedang bergelut dengan pikirannya
masing-masing.
“Mentari sama Edel gak usah godain Lintang, ya.” Pak Dokter
berpesan pada kedua gadis.
Aku melempar pandang ke arah Dhuha. Anak tengahku sedang
asyik menyantap nasi goreng buatan kakak dan adiknya. Kami belum sempat
berbincang banyak tentang kejadian tadi malam. Tapi Dhuha terlihat santai tanpa beban, mungkin karena dia sudah
bercerita secara jujur dan terus terang kepada Pak Dokter, hingga semua
kekhawatirannya sirna sudah.
Memang mengeluarkan beban pikiran dan uneg-uneg bisa membantu
perasaan menjadi lebih tenang dan santai. Itulah yang terjadi pada Dhuha saat
ini. Namun tidak demikian dengan Lintang. Dia masih menyimpan rapat-rapat semua
yang dia rasakan, sehingga beban pikirannya masih menghimpit. Aku iba dengan
kondisi sulung Pak Dokter tersebut. Dia bahkan tak punya nyali untuk turun
bergabung dengan keluarganya.
“Saya jemput Lintang dulu, Dok.” Aku beranjak dari duduk,
bersiap melangkah menuju tangga, ketika Pak Dokter menahan sambil meraih
pergelangan tanganku.
“Nanti saja,” ujar Pak Dokter pelan sambil memberi kode
melempar pandang ke arah anak-anak yang lain.
Segera kutangkap makna kodenya tersebut. Sepertinya Beliau tidak
ingin aku mengajak Lintang turun saat
ini. Diri ini kembali duduk di kursi semula, menikmati potong demi potong buah
naga merah untuk si buah hati yang sedang bersemanyam di rahimku.
“Dhuha nanti ngantar Om ke rumah sakit ya.”
“Ya, Om. Siap,” jawab Dhuha sigap.
“Kenapa gak bawa kendaraan, Dok?” tanyaku sedikit heran.
“Gak pa-pa. Lagi pengen nyantai. Nanti siang Om dijemput
sebelum Jumatan, kita sholat di rumah sakit aja.” Pak Dokter kembali
melanjutkan titahnya kepada Dhuha.
“Oke, Om.”
Setelah purna menikmati makan pagi dengan formasi lengkap
minus Lintang, Pak Dokter bersiap diri untuk menuju tempat tugasnya diantar
Dhuha. Edel dan Mentari berberes rumah, membersihkan segala piranti kotor sisa
sarapan. Sementara Maghrib menjalankan tanggung jawabnya membersihkan halaman.
Di saat anak-anak sibuk dengan aktivitas mereka, aku beranjak
menaiki anak tangga menuju kamar Lintang. Tubuh tua yang sedang bertambah
bobotnya ini terpaksa dengan sangat perlahan menjejakkan kaki dari satu anak
tangga ke anak tangga berikutnya.
Begitu tiba di depan
kamar Lintang, kuketuk daun pintu dengan perlahan.
“Lintang.” Kupanggil namanya dengan sangat hati-hati.
“Ya, Ma.”
“Mama boleh masuk?”
Tak kudengar jawaban dari gadis ayu tersebut, namun pintu
segera terbuka dengan Lintang berdiri tepat di depanku.
“Masuk, Ma,” ujarnya pelan.
“Kenapa gak turun? Sarapan yuk,” ajakku lembut sambil
melangkah masuk ke kamarnya kemudian duduk di atas kursi meja belajar.
Sementara Lintang kembali ke peraduan, duduk di atasnya
dengan posisi kedua kaki bersila.
“Gak lapar, Ma,” jawabnya singkat. Dan dia menjawab ajakanku
tanpa menatap ke arahku.
Duh...hatiku mencelos, membayangkan betapa tersiksanya gadis
ini. Sampai-sampai beradu pandang denganku pun dia tak sanggup.
“Lintang kenapa?” tanyaku sambil berpindah duduk ke atas
tempat tidurnya.
“Gak pa-pa, Ma,” jawabnya pelan.
“Karena kejadian tadi malam?” Aku mencoba langsung menembak
ke pokok persoalan.
Dia terdiam, seolah tak mampu atau tak ingin menjawab
tanyaku. Kubiarkan kondisi hening ini berlalu bagai air mengalir.
Sejenak, dua jenak, tiga jenak, keheningan mewarnai
kebersamaan kami. Kuelus lembut rambut panjang si sulung yang sejak kecil tidak
lagi merasakan belaian kasih dari seorang Ibu.
“Maafin Lintang, Ma.” Tiba-tiba gadis Pak Dokter berujar
lirih.
“Minta maaf untuk apa? Lintang gak buat salahkan?” Aku
mencoba menenangkannya.
Bisa kupahami, untuk tipikal anak tertutup seperti Lintang,
mengeluarkan seuntai kalimat seperti tadi beratnya sama bagai memindahkan
Gunung Merbabu ke Semarang.
Dia menjawab tanyaku dengan mengangguk perlahan. Aku masih
berusaha memutar otak mencari kalimat yang luwes untuk melanjutkan perbincangan
ini.
“Gak perlu minta maaf, kan Lintang gak berbuat salah,” Aku
tetap berujar dengan nada pelan.
“Karena pergi gak pamit, dan pulang malam.” Gadis Pak Dokter
ini kembali mengurai kata.
Aku bersyukur dia mulai bisa mengekspresikan perasaannya
walau hanya sepotong-sepotong.
“Kalau itu bukan Lintang yang salah, tapi Mas Dhuha, karena
yang ngajak pergikan Mas Dhuha.”
Lintang tidak merespon ucapanku, tapi aku bisa melihat ada
semburat malu di wajahnya ketika mendengar nama Dhuha disebut. Kuperhatikan
dengan seksama, gadis ini berusaha begitu kuat untuk menutupi perasaan yang
bersemanyam di hatinya. Dia yang sehari-hari terkesan jutek dan sedikit cuek
dalam balutan wajah ayu dan penampilan mempesonanya, kini terlihat bagai
tumbuhan putri malu yang tersentuh tangan, menguncup dengan tiba-tiba.
“Tadi malam Mas Dhuha kan yang ngajak pergi?” tanyaku
perlahan.
“Iya, Ma,” jawabnya singkat.
“Mas Dhuha sudah minta maaf sama Papa kok, karena ngajak
Lintang gak pamit. Papa gak marah, Mama juga gak marah.” Aku berujar sambil
memegang dagu Lintang kemudian mengarahkan wajah gadis itu agar bersedia beradu
pandang denganku.
Kuberi dia seuntai senyum ketika tatap kami saling bertemu. Dia
membalas senyumku, kaku dan malu.
“Tapi waktu kita ngumpul di rumah Salatiga, Mama pernah
bilang kalau Mama gak merestui?”
Aku kaget mendengar ucapan Lintang. Namun kucoba menyembunyikan rasa terkejut itu. Dan sedikit banyak, aku bersyukur
karena Lintang mengeluarkan kalimat-kalimat tersebut. Mungkin dia sendiri tidak
sadar kalau sudah keceplosan bicara, yang bisa kujadikan senjata untuk
mengajaknya berbincang lebih dalam lagi.
“Merestui apa?” tanyaku seolah tidak menangkap ke mana arah
pembicaraan anak tiriku ini.
“Gak kok, Ma.” Lintang seakan menyadari kalau dia sudah
kebablasan bicara.
“Memangnya Lintang sama Mas Dhuha begini ?” ujarku hati-hati,
sambil membentuk simbol love dengan menggunakan kedua jari telunjuk dan kedua
jempol.
Lintang menatap simbol jariku. Tiba-tiba gadis ini memelukku.
“Mama, maafin Lintang.” Permintaan maafnya begitu tulus dan
memelas. Aku terenyuh. Kubalas pelukannya sepenuh hati, kuelus punggungnya dengan
lembut. Aku jatuh iba pada gadis piatu ini.
Aku mencoba menyelami perasaan gadis tertutup yang sedang
jatuh cinta ini. Ternyata di tengah kehebohan dan kehangatan keluarga kami, ada
seorang gadis yang menyimpan semua perasaannya dalam diam. Dalam kesendiriannya
di tengah keramaian keluarganya. Aku merasa bersalah karena tidak menyadari hal
ini.
Lintang belum ingin melepas pelukannya, dan aku terus berusaha
memberi dia kenyamanan dengan membelai punggungnya.
“Lintang mau cerita sama Mama?” Kucoba membujuk dia dengan
lembut.
Dia melepas pelukannya, ternyata ada kristal bening yang
mengambang di netranya.
“Jatuh cinta itu indah. Kenapa Lintang nangis?”
“Aku takut, Ma. Takut sama Papa. Takut sama Mama. Malu sama
Mbak Edel, Mentari, Maghrib.”
“Kenapa harus takut. Papa itu penyabar, penyayang. Mama juga
gak akan marahi Lintang. Kalau Mbak Edel dan adik-adik, mereka cuma guyon aja
godain kamu, gak usah diambil hati.”
“Jadi bener Lintang dengan Dhuha...” Ujaranku menggantung,
aku seolah tak punya nyali untuk meneruskan kalimat tersebut.
Lintang mengangguk. Dia kembali menolak bertatap mata
denganku. Darahku berdesir, badanku lemas, hatiku berdegup kencang tak menentu.
Menghadapi dua jiwa muda dilanda kasmaran, justru aku yang terserang demam
panggung.
“Sejak tadi malam?” tanyaku perlahan.
“Sejak Mas Dhuha balik ke Kalimantan setelah pernikahan Mama
sama Papa.”
Makjaaaang...ternyata aku kecolongan. Dalam keheningan
dirinya, Lintang ternyata menyimpan benih cinta yang ditabur Dhuha di hatinya
dengan telaten dan tanpa huru hara. Dan Dhuha, tumben dia tidak berbagi info
denganku. Apa mungkin dia tertancap dengan ucapan yang pernah kulontarkan bahwa
aku tidak ingin terlibat dalam sinetron Anakku Menantuku, hingga dia menutup
semua ini rapat-rapat?
Dan aku juga baru menyadari betapa pintarnya Lintang menutupi
semua ini. Aku teringat ketika Edel menggodanya dengan mengatakan bahwa
Dhuha naksir dia, waktu itu Lintang merespon dengan lugasnya bahwa nasibnya
apes karena mau dijadikan menantu sama Emak tirinya. Ternyata...saat itu
sejatinya hubungan jarak jauh mereka sudah terjalin.
Aku mencoba menata hati dan mengendalikan emosi yang seketika
berubah bagai naik roller coaster.
“Lintang sayang sama Mas Dhuha?” tanyaku lembut.
Dia mengangguk perlahan tapi pasti.
“Mas Dhuha baik Ma. Dewasa dan sayang banget sama aku.” Dia
menjawab tanyaku dengan pelan.
Mendengar alasan Lintang, hatiku kembali berdebar tak karuan.
Gadis Pak Dokter ini mulai mengungkapkan perasaannya yang mendalam.
“Kenapa gak pernah cerita sama Mama atau Papa?”
“Aku takut, Ma,” jawabnya polos.
Kembali kurengkuh tubuh gadis ayu ini dalam pelukan.
Kuberikan dia dekapan hangat dan penuh kasih. Sudut mataku memanas,
membayangkan betapa gadis ini mencoba sekuat tenaga menyembunyikan cinta
pertamanya, tanpa ada teman untuk berbagi.
“Mama Maghrib kan juga Mama Lintang. Apapun yang mengganjal
perasaan Lintang, ceritalah sama Mama. Mama siap jadi teman curhat kamu.” Aku
melepas pelukan kemudian mengecup kening Lintang.
“Mamaaaa...mau belanja apa aja.” Suara Mentari terdengar dari
luar kamar memanggilku.
Lintang beranjak menuju pintu, kemudian membukanya. Mentari
masuk ke kamar sambil melempar senyum menggoda ke arah Lintang. Sementara yang
diajak senyum membalas dengan wajah jutek.
“Mau beli apa aja, Ma?” Mentari mengulangi pertanyaannya.
“Kamu kok tau Mama di sini?”
“Soalnya aku cari ke kamar Mama gak ada, di mana-mana gak
ada. Tinggal kamar ini aja yang belum aku masukin, jadi pasti di sini,”
jawabnya lugas.
“Pokoknya beli cemilan, buah, sama apa aja terserah. Mama
manut. Nanti Mbak Edel kan tau apa-apa aja yang harus dibeli. Kamu mau belanja
sama siapa?”
“Berempat.”
“Mas Dhuha suruh di rumah aja.” Pintaku pada Mentari agar
Dhuha tidak usah ikut ke swalayan.
“Cie...cie....” Si bungsu itu mencoba menggoda kakaknya. Dan
sudah bisa ditebak reaksi Lintang seperti apa. Wajahnya kembali bersemu merah
menahan malu, bercampur dengan tatapan jutek kepada si adek.
“Eiittss...Mentari, tadi Papa pesan apa?” Aku mengingatkan
Mentari akan pesan Bapaknya untuk tidak menggoda Lintang.
“Kamu ambilkan dompet
sama telphone Mama di kamar ya. Mama tunggu di ruang makan,” lanjutku.
“Iya, Ma.” Mentari segera mematuhi perintahku.
Setelah Mentari keluar kamar, aku menitip pesan pada Lintang
untuk menyusul turun ke ruang makan.
“Nanti kalau Mbak Edel dah berangkat belanja, Lintang nyusul
Mama ke bawah ya? Sarapan sambil lanjut ngobrol. Sekarang Mama turun dulu .”
“Iya, Ma.” Gadis itu menjawab titahku dengan patuh.
“Kandang Ben sama Tom juga dibersihkan. Nanti mau ditinggal
pergi.” Aku mengingatkan Lintang untuk mengurus peliharaannya.
“Ya. Ma.”
Kutinggalkan kamar Lintang, perlahan menuruni anak tangga,
kemudian menuju ruang makan. Mentari datang membawakan dompet dan handphone.
Edel, Maghrib, dan Dhuha yang berada di ruang keluarga, turut menghampiri ke
meja makan. Setelah aku menyerahkan sejumlah uang untuk membeli beberapa
cemilan, buah-buahan, dan minuman, untuk sangu perjalanan nanti siang, ketiga
anak berlalu menuju garasi. Sementara Dhuha tetap tinggal dan duduk di
sebelahku.
“Panggil Lintang, Ha. Suruh turun dulu. Dia belum sarapan.”
Aku meminta Dhuha memanggil pacarnya yang juga adik tirinya.
“Kamu jangan masuk kamarnya, ya. Panggil dari luar aja.” Aku
mencoba mengingatkan Dhuha. Anak lajangku tersebut tertawa mendengar
peringatan dini dari Emaknya.
Sambil menunggu Lintang, kukirim seuntai pesan kepada Pak
Dokter.
[Dok, ternyata Lintang dan Dhuha selama ini LDR. Sejak
pernikahan kita.]
Tak perlu menunggu lama, langsung masuk balasan dari Pak
Dokter.
[Iya.] Jawabannya singkat, tapi efeknya membuat badanku
seperti kesetrum listrik 220 volt.
[Kenapa Njenengan gak bilang sama saya?] Aku protes pada Pak
Dokter.
[Saya juga baru tau tadi malam, Dhuha cerita. Saya sengaja
menyembunyikannya dari Njenengan, supaya Njenengan gak panik.]
Aku hendak membalas chat Pak Dokter ketika Dhuha dan Lintang
terlihat menuju ke meja makan. Lintang berjalan di belakang Dhuha. Wajahnya
terlihat kaku dan malu-malu. Sementara Dhuha
terlihat begitu santai dan tenang. Tak tampak perasaan grogi dalam
tingkah lakunya.
“Lintang makan dulu gih, dah siang ni lho.” Aku meminta
sulung Pak Dokter tersebut untuk segera sarapan.
“Ya, Ma.” Jawabnya santun sambil duduk di sebelah kiriku.
Lintang mengambil piring, kemudian menyendokkan nasi goreng yang sudah dingin.
Dia tidak melengkapi sarapannya dengan elemen-elemen lain,
hanya nasi goreng saja. Dengan perlahan disuapnya sesendok demi sesendok
hidangan di hadapannya. Aku berpura-pura fokus dengan telphone selular,
sementara sudut mataku melihat Dhuha yang duduk di seberang meja, melempar
senyum manis ke Lintang. Gadis itu membalas senyumnya.
Aku deg-degan melihat pemandangan yang tersaji di depan mata.
Walau hanya saling melempar senyum, tapi bahasa tubuh mereka memperlihatkan
betapa keduanya menyimpan rasa yang begitu dalam.
“Mama...” Tiba-tiba Dhuha meredakan debar jantungku yang
bertalu-talu.
“Ya.” Aku menoleh ke arah Dhuha.
“Dhuha minta maaf, tadi malam ngajak Lintang keluar tanpa
pamit.”
Aku menghela napas berat, tak tau harus berucap apa. Aku
sangat tidak ingin menyakiti hati kedua muda-mudi ini.
“Gak pa-pa, Ha. Tapi jujur sebenarnya Mama kecewa, karena
seakan-akan kamu gak menghargai Pak Dokter. Anak gadisnya kamu ajak keluar
malam tanpa pamit. Untungnya Pak Dokter cukup pengertian. Kalau gak kan Mama
yang malu, seolah-olah gak mengajari kamu tata krama.” Aku tidak bermaksud
memarahi kedua anak ini, namun hanya sekedar mengingatkan mereka untuk selalu
menjaga adab apapun situasinya.
“Ya, Ma. Dhuha salah.” Secara jantan anakku mengakui kesalahannya.
“Aku yang gak bolehin Mas Dhuha minta izin, Ma. Soalnya Aku
takut dan malu, tapi Aku juga tetap ingin keluar sama Mas Dhuha.”
Alamaaaakkk....mereka sudah
mulai saling melindungi. Emak kembali terserang aritmia. Dan aku
benar-benar surprised mendengar pengakuan Lintang bahwa dia takut tapi tetap
ingin bersama Dhuha. “Ya...Allah..tolonglah hambamu ini.” Bathinku menjerit
memohon pertolongan sang Ilahi Robbi.
“Dhuha, Lintang.” Kusebut nama keduanya sekalian.
“Ya, Ma.” Mereka menjawab panggilanku berbarengan.
“Mama gak kan bicara panjang lebar. Mama cuma minta kalian
jaga diri baik-baik, karena hubungan kalian unik.”
“Ya, Ma.” Dhuha menjawab tegas ujaranku.
“Makasih, Mama,” ujar Lintang sambil memelukku erat. Aku
merasakan kalau beban yang menghimpitnya sedikit berkurang. Gadis ayu ini
sekarang terlihat lebih rileks.
Dan kini tiada lagi yang bisa kulakukan, selain mengandalkan
kekuatan do’a. Seperti kata Pak Dokter tadi malam, semoga ada jodoh lain untuk
keduanya.
0 Komentar