The Doctor's Family (Jilid 15)





“Mungkin si Raja suka nyemil kencur, ya? Makanya masih seperti anak bau kencur.” Pak Dokter mengungkapkan keheranannya.

Aku tak mampu menahan tawa mendengar celotehan Bapak si Lintang. Refleks, kucubit perut Beliau. Suamiku ini kadang-kadang guyonannya nyeleneh.

“Apa jangan-jangan wajah kita yang terlalu boros?” Beliau kembali melanjutkan bicaranya demi melihat sang calon menantu.

“Keren ya, Dok.” Ujarku spontan. Pak Dokter mengalihkan pandang ke arahku. Beliau merespon ucapanku dengan tatapan aneh, sementara aku tertawa lepas karena merasa sukses menggoda Beliau.

Maharaja yang menurut Edel usianya hanya selisih empat tahun dengan Mama Papa, ternyata penampakannya terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya.

Apalagi ditunjang dengan penampilannya yang up to date. Badan atletis lelaki tersebut berbalut kemeja casual bermotif plaid, yang lengannya digulung sebatas siku. Celana Denim warna tua dipilih untuk padupadannya, serta diserasikan dengan sepatu kets warna senada dengan celana. Tak lupa kacamata hitam sebagai assesories pelengkap, menjadikan Sang Maharaja terlihat begitu trendy dan sporty.

Walau memiliki wajah yang standar, namun dengan tubuh tinggi atletis, serta penampilan bersih dan trendy menjadikannya sosok yang sangat eye cathing, begitu menyenangkan dipandang mata,

Ternyata selera Edel tak jauh beda dengan selera Emaknya. Bagiku, lelaki itu menjadi sangat menarik bukan karena wajah ganteng, melainkan karena postur tubuh yang bagus, berpenampilan bersih dan trendy, serta sikap atau attitude yang menawan. Ketika semua elemen itu bersatu padu, terciptalah satu sosok kharismatik yang mampu meluluhlantakkan hati perempuan.

Dan sebaliknya, seorang lelaki berwajah ganteng dengan penampilan jorok dan attitude buruk, justru akan membuat kebanyakan perempuan menjadi illfeel.

Maharaja terlihat membuka kacamatanya sambil mengiringi langkah Edel menuju ke rumah. Sementara aku dan Pak Dokter menghentikan aktivitas pengamatan. Kami berjalan ke arah pintu, menyambut pasangan beda usia tersebut.

“Assalamualaikum,” Sang Maharaja mengucap salam sembari mengulurkan tangan untuk menyalami calon mertuanya.

“Walaikumussalam. Jam berapa dari Yogya, Mas?” Pak Dokter menjawab salam Raja, sambil mengajukan pertanyaan basa-basi.


@@@@@


Pertemuan serta perkenalan dengan Maharaja di Minggu siang ini berjalan lancar dan akrab, walau di awal obrolan dia sering terlihat canggung dalam mengutarakan sebutan untuk diriku dan Pak Dokter. Mungkin dia bingung, mau memanggil Om dan Tante, usia kami hampir sebaya. Mau mengikuti Edel memanggil Mama Papa...eeiitts...belum saatnya. Sementara untuk memanggil Mas dan Mbak, kok gak sopan banget. Calon mertua gitu lho...

Akhirnya setelah beberapa kali keseleo lidah, dia konsisten dengan panggilan Pak dan Bu. Sapaan yang sangat netral.

Sang Maharaja terlihat begitu santai menghadapi kami. Sikapnya dewasa, wawasannya luas. Obrolan di antara kami mengalir natural tanpa dibuat-buat dan jauh dari sikap jaim. Bahkan Edel juga bisa terlihat begitu santai di depan Emak, Bapak, dan pacarnya. Keduanya terlihat serasi sebagai pasangan yang cukup matang.

Saat azan Zuhur berkumandang, Pak Dokter mengajak calon menantunya tersebut untuk menemani Beliau dan Maghrib berjamaah ke mesjid. Walau tidak tahu bagaimana kebiasaan Raja, tapi Pak Dokter memang selalu membiasakan diri mengajak tamu lelaki yang datang ke rumah kami untuk mendampinginya ke mesjid jika waktu sholat telah tiba.

Sementara aku dan para gadis menunaikan ibadah wajib di rumah saja.
Setelah selesai bertatap muka dengan Sang Penguasa Alam Raya, sambil menunggu kepulangan para lelaki, aku dan Edel membantu kedua ART menata hidangan makan siang. Lintang dan Mentari mulai kasak kusuk menggoda kakaknya.

“Mbak Edel mau nikah, ya?” tanya Mentari lugas sambil ikut nimbrung ke meja makan. Edel hanya tersenyum manis merespon pertanyaan adiknya.

“Memangnya kenapa kalau Mbak Edel mau nikah? Kamu pengen juga?” Lintang nyeletuk dari ruang keluarga menanggapi pertanyaan Mentari.

“Maksudku, kalau Mbak Edel mau nikah, berarti aku sama dek Maghrib gak jadi diajak umroh?”

“Lho...kok bisa?” Sulung Pak Dokter itu kaget mendengar jawaban Mentari,”Memangnya Mbak Edel mau ngajak kamu umroh?” Terdorong oleh rasa penasaran, Lintang ikut menyusul ke ruang makan.

“Iya, kalau Mbak Lintang sama Mas Dhuha nikah duluan, Mbak Edel mau minta pelangkahan tiket umroh bareng aku sama Dek Maghrib.”

Aku dan Edel tak mampu menahan tawa mendengar percakapan absurd kedua putri Pak Dokter tersebut. Sementara Lintang langsung memasang wajah manyun mendapati jawaban tak mengenakkan dari sang adik. Gadis ayu tersebut langsung berbalik arah, kembali ke ruang keluarga.

Tak lama berselang, terdengar beberapa suara yang berbeda mengucap salam dari pintu depan. Para lelaki telah kembali dari mesjid. Aku menyambut mereka ke ruang tamu.

“Dok, langsung aja,” ujarku memberi kode kepada Pak Dokter.

“Monggo mas Raja, kita makan siang dulu.” Pak dokter mempersilahkan tamunya menuju ruang makan setelah menerima kode dariku.

Makan siang sederhana ini berlangsung akrab dan penuh kekeluargaan. Raja cukup piawai berinteraksi dengan adik-adik Edel yang usianya sepantaran dengan anak-anaknya. Lelaki dewasa tersebut sangat pandai membawa diri. Kepada kami orang tua Edel, dia bersikap cukup santun namun sangat logis, tanpa kesan dibuat-buat.

Sementara kepada anak-anak kami, dia bisa menempatkan diri dengan sangat luwes, supel, namun tetap dengan karakter dewasanya.

Tanpa kusadari, naluri keibuanku berbisik kalau dia memang lelaki yang baik. Mau tidak mau aku harus mengakui, tiada lagi alasan untuk menolak dia sebagai calon menantu. Apalagi mengingat kalau anak gadisku juga kelihatannya sangat mabuk kepayang kepada lelaki matang tersebut. Semoga dia bisa menjadi imam yang bertanggung jawab buat Edel.

Namun tak bisa kupungkiri, masih ada sedikit ganjalan di hati. Raja begitu berhasil membaur di keluarga kami, tapi apakah Edel juga bisa berinteraksi seluwes itu kepada anak-anak Raja.

Ketika jarum jam sudah menunjuk ke angka setengah lima sore, Sang Maharaja pamit undur diri. Walau pertemuan sepanjang siang ini hanya dihiasi obrolan-obrolan santai seputar segala macam topik, namun cukup memberi kesan yang baik buatku, sepertinya juga buat Pak Dokter.

Praktis kami sedikitpun belum menyinggung masalah hubungan Edel dan Raja, karena dari awal aku dan Pak Dokter memang sudah berkomitmen untuk melihat dan memantau dulu sosok yang berjudul Maharaja tersebut.


@@@@@


“Pa, Ma, Minggu depan Kak Raja mau datang lagi.” Edel membuka percakapan ketika kami sekeluarga sedang menikmati santap malam.

Anak gadisku itu sudah tak terlihat canggung membahas keberadaan kekasih hatinya. Mungkin dia bisa melihat penerimaanku dan Pak Dokter yang begitu bersahabat kepada si Maharaja, walaupun kami belum menyampaikan pendapat tentang sosok lelaki tersebut kepada Edel secara verbal.

“Terus...? tanyaku menggantung.

“Kalau boleh, mau langsung melamar.” Kali ini nada bicara Edel tidak setegas biasanya.

Pak Dokter yang sedang asyik menikmati makan malamnya, mengangkat wajah, kemudian melempar pandang ke arahku, yang juga secara refleks memandang Beliau.

“Iiiisshh....mbak Edel beneran mau nikah tho? Pacar Mbak Edel kok tua sih, mbak?” Seolah tanpa dosa Mentari mengeluarkan uneg-unegnya.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa mendengarnya. Sepertinya Maghrib dan Lintang juga melakukan seperti apa yang kulakukan, menahan tawa. Sementara Edel terlihat menatap tajam ke arah Mentari.

“Eiittsss....Mentari.” Pak Dokter menegur bungsunya yang bicara kebablasan tanpa not tersebut. Mungkin Beliau khawatir kalau Edel tersinggung dengan ujaran sang adik.

Walau penampilan Raja terlihat jauh lebih muda dari usianya, namun bagi anak seusia Mentari, dia tetaplah sosok lelaki yang terlalu kebapakan.

“Papa hari Rabu ke luar kota lho, baru balik Minggu pagi. Gak bisa ditunda Minggu depannya lagi?” Pak Dokter mengajukan penawaran kepada Edel.

“Nanti aku sampaikan ke Kak Raja dulu, Pa.” Gadisku merespon ucapan Pak Dokter, “ Soalnya kata Kak Raja, kalau Papa Mama memang sudah bisa menerima, dia pengennya segera ijab gak perlu nunggu lama-lama.” Edel melanjutkan ujarannya.

Mendengar penuturan Edel, aku menghela napas lega. Kelihatannya Pak Dokter dan diriku tak perlu bersusah payah menyampaikan kepada pasangan sejoli itu untuk segera menghalalkan hubungan keduanya, karena ternyata pemikiran mereka sejalan dengan harapan kami.

Mungkin bagi orang lain, kami itu dianggap orang tua yang terlalu terburu-buru mengambil dan menerima keputusan. Apalagi Edel merupakan anak sulung perempuan, yang seharusnya pernikahannya dipersiapkan dengan matang dan detail, tidak tergesa-gesa.

Walau pengetahuan agama keluarga kami masih sangat minim, namun bagiku dan Pak Dokter, ketika gadis kami yang sudah cukup umur sangat siap untuk menikah, lebih baik disegerakan saja. Mengenai pesta bermewah-mewah itu urusan belakang, yang penting halalkan dulu, biar mereka terhindar dari segala fitnah.

“-Segera- itu durasi berapa lama Edel?” Pak Dokter menanyakan kepastian kata ‘segera’ yang terlontar dalam kalimat Edel.

“Pengennya Kak Raja, hari Minggu depan melamar. Terus tiga minggu atau sebulan kemudian ijab,” jawab Edel mantap.

Aku mengamati ketiga adik Edel. Walau mereka terlihat begitu khusyuk menikmati makan malamnya, namun aku tahu, telinga mereka cukup siaga menyimak setiap perbincangan yang terjadi di meja makan ini.

Aku dan Pak Dokter memang membiarkan hal ini terjadi, untuk pembelajaran buat mereka semua bahwa sesuatu yang baik itu tidak perlu disembunyikan dan ditutupi. Dan bahwa keluarga adalah tempat paling nyaman untuk berbagi cerita serta bertukar pendapat.

“Kalau Papa setuju aja. Setelah tadi ketemu langsung dengan Raja, Papa bisa melihat kalau dia laki-laki yang baik. Mama juga sudah siap punya menantu seperti Raja. Tapi...sebenernya Mama tu masih pengen ketemu sama anak-anaknya Raja.” Pak Dokter menyampaikan keinginan terpendamku yang tadi sempat kuungkapkankan kepada Beliau sebelum kami makan malam.

“Iya, Ma?” tanya Edel sambil menatap ke arahku.

“Iya. Soalnya kalau Mama lihat, Raja bisa langsung membaur dengan keluarga kita. Nah...Mama pengen lihat anak-anaknya Raja gimana. Terus apa kamu juga bisa luwes berbaur dengan mereka,” ujarku terus terang.

“Mereka sudah selesai libur, Ma. Paling Mama cuma bisa ketemu dengan si Bungsu.”Edel menyampaikan argumentasinya, “ Apa keberadaan anak-anak Kak Raja nantinya bisa mempengaruhi keputusan Mama?” Terdengar nada was-was dalam kalimat yang terucap dari mulut Edel tersebut.

Perasaanku sebagai seorang ibu mulai bermain. Hatiku tak tega mendengar nada khawatir dalam kalimat si Sulung.

“Enggak Edel. Mama cuma pengen kenal aja. Tapi kalau memang gak memungkinkan ya gak pa-pa.” Untuk kesekian kalinya aku harus menekan rasa penasaran yang menghujam di dada.

Kuyakinkan diri, kalau aku ikhlas dan tulus merestui Edel, serta membuang semua kekhawatiran, insyaa Allah bahtera rumah tangga mereka akan baik-baik saja. Karena restu Allah itu bergantung dari restu orang tua.

“Nyonya...nanti Njenengan ngubungin Dhuha. Saya ngubungin Pakdhe Edel. Walau waktunya belum pasti, tapi setidaknya kita sudah kasih ancer-ancer untuk mereka.” Mendengar Sang Bapak menyebut nama Dhuha, terlihat dari sudut mataku ekspresi terkejut di wajah Lintang.

“Lintang kenapa kok kaget gitu?” Alih-alih merespon ucapan Pak Dokter, aku malah menggoda putri sulung Beliau.

Gadis ayu tersebut tersenyum malu mendengar pertanyaanku. Sementara Edel dan kedua adiknya tertawa mendengar pertanyaan spontanku kepada Lintang.

“Kamu jangan ikut-ikutan minta nikah juga ya, Tang.” Pak Dokter ikut nimbrung menggoda Lintang. Si Sulung cuma bisa tersenyum pasrah digoda Emak Bapaknya.

“Gak pa-pa Tang kalo kamu mo nikah duluan. Kamu ijab jam delapan pagi, aku ijab jam sembilan di hari yang sama. Jadikan aku tetap dapat tiket umroh.” Giliran Edel ikut membully adik tirinya.

Mentari dan Maghrib langsung heboh merespon ucapan Edel, berharap angan-angan untuk umroh gratis segera terwujud.


@@@@@


Walau Pak Dokter harus keluar kota untuk beberapa hari, namun akhirnya kami tetap menerima kehadiran keluarga Raja satu minggu setelah kedatangan perdana lelaki tersebut.

Dengan menumpang penerbangan pertama, Pak Dokter tiba di rumah sekitar jam sepuluh pagi. Beliau langsung bebersih diri untuk menyambut keluarga besan.

Acara lamaran putri sulungku ini berlangsung sangat sederhana. Maharaja didampingi oleh kedua kakak laki-laki beserta istri, juga adik bungsu beserta suami. Sementara kedua orang tua mereka sudah meninggal. Tak ketinggalan juga putra bungsu Sang Maharaja dan seorang juru bicara keluarga ikut dalam rombongan tersebut.

Sementara dari keluarga kami hanya mengikut sertakan kakak perempuanku yang tinggal di jakarta beserta suaminya, sepupu dari almarhum Pak Wicaksono beserta istrinya. Adik dan kakak almarhum tidak bisa hadir karena jarak tempuh yang terlalu jauh. Namun mereka berjanji akan datang di acara ijab kabul. Berhubung Pak Dokter putra semata wayang, jadi dari keluarga Beliau kami meminta kesediaan salah seorang Om beserta istrinya. Untuk juru bicara keluarga, kami dibantu oleh seorang teman sejawat Pak Dokter yang memang memiliki kecakapan dalam bidang ini.

Walau acara ini begitu sederhana, namun karena yang datang adalah keluarga pihak lelaki maka kami harus memberi penghormatan semaksimal mungkin. Bukan berarti harus bermewah-mewah, tapi setidaknya pantas dan ngajeni.

Dengan waktu yang begitu singkat serta keberadaan Anggi di rahimku, aku tidak ingin direpotkan oleh berbagai kesibukan menyangkut konsumsi, dekor, dan segala tetek bengeknya. Kuserahkan semua urusan tersebut ke pihak organizer.

Bahkan untuk urusan menghubungi organizerpun kupasrahkan sepenuhnya kepada Edel. Dan syukur alhamdulillah, walau waktunya terlalu mendesak, tapi pihak penyelenggara tetap bersedia menerima kami sebagai klien karena orderan kami termasuk partai kecil.

Sebenarnya acara lamaran ini hanya formalitas untuk pengukuhan tanggal pernikahan saja. Karena sejatinya, antara kedua calon pengantin, keluarga kami dan keluarga Raja sudah ada kesepakatan tentang tanggal pernikahan yang akan dilakukan sebulan setelah lamaran.

Untuk urusan wali nikah juga sudah mendapat titik temu karena Pakdhe Edel bersedia menikahkan keponakannya. Dhuha tetap menyempatkan pulang untuk mengikuti moment berharga bagi kakak sulungnya tersebut.

Aku berharap dalam kurun waktu itu Anggi masih betah berada di rahim. Dan semoga saja, menjelang pernikahan Edel tidak ada lagi kejutan-kejutan lain yang bisa membuat Anggi menggeliat.

Namun ternyata harapan itu hanya tinggal harapan. Karena kenyataannya aku masih harus beradu argumen dengan Edel mengenai prosesi ijab qobul.

Setelah Edel kembali ke Yogya, aku rutin berkomunikasi dengan dia hanya untuk membahas masalah ijab dan resepsi. Seminggu saling bertukar pendapat, kami belum menemukan kata sepakat.

Aku dan Pak Dokter menginginkan ijab qobul akan diikuti resepsi beberapa bulan mendatang setelah kelahiran Anggi. Namun sulungku tersebut keukeuh menginginkan ijab qobul yang langsung dilanjutkan dengan resepsi sederhana di hari yang sama.

Dan rembukan tanpa mufakat itu akhirnya kami lanjutkan saat Edel pulang di akhir pekan.

“Aku pengen menikah seperti Papa Mama, sederhana tapi unik dan berkesan.” Demikian argumentasi Edel ketika mengajukan permohonannya kepadaku dalam perbincangan di meja makan setelah kami selesai bersantap malam.

“Papa dan Mama ini pasangan duda janda yang sudah tua Edel, jadi wajar kalau pernikahannya digelar sederhana saja. Dan justru akan menjadi aneh kalau mengadakan resepsi besar-besaran. Kalau kamu beda. Walau Raja duda, tapi kamukan masih gadis, anak pertama lagi. Pastinya Mama ingin ada kesan dari pernikahan kamu. Lagi pula temen kamu dan Raja banyak, kalo cuma ijab gimana ngundangnya?” Aku masih mencoba memberi pengertian pada Edel.

“Kami gak perlu mengundang semua teman-teman, Ma. Hanya beberapa teman dekat saja.”

“Edel...maksud Mama memisahkan ijab dan resepsi, supaya kita tidak perlu mengundang terlalu banyak orang pada saat ijab. Kita hanya perlu mengundang keluarga inti yang jumlahnya mungkin hanya sekitar puluhan, karena pada saat itu kondisi Mama sudah di akhir penantian menunggu Anggi lahir. Untuk ijab nanti di rumah saja, kita pake organizer seperti lamaran kemarin. Nah...untuk resepsi, nanti kita bisa pake paket hotel atau mau di gedung pake WO juga boleh. Kamu bisa undang teman-teman SMA, kuliah, kerja. Begitu juga dengan Raja. Semua keluarga besar juga nanti kita undang, tapi ya nunggu Anggi lahir.” Pak Dokter berusaha membantuku untuk meyakinkan si Sulung yang gigih mempertahankan keinginannya.

“Edel gak pingin bermewah-mewah, Pa. Lagi pula kalau ijab dan resepsi dipisah, nanti kasihan keluarga yang tinggal jauh di luar kota seperti Pakdhe dan Tante, dalam waktu beberapa bulan harus bolak-balik ke sini. Kalaupun biaya gak menjadi masalah buat mereka, tapi mungkin waktu bisa menjadi kendala.”

Aku merasa apa yang dituturkan Edel memang sangat logis. Jarak dan waktu akan menjadi hambatan untuk keluarga yang tinggal di luar kota dan luar pulau. Namun dengan waktu yang demikian singkatnya, apa ada pihak ketiga yang bersedia menerima kami sebagai klien.

“Waktunya tinggal tiga minggu lagi lho Edel. Seminggu kemarin sudah terbuang sia-sia karena kita belum ada kesepakatan resepsi terpisah atau hanya ijab saja. Nah...kalau sekarang pemikiran kamu seperti itu, apa kamu bisa mencari WO yang siap kerja keras dalam tempo yang sangat singkat ini?” Pak Dokter juga sepertinya menerima pikiran logis Edel tentang betapa repotnya orang-orang kalau harus menghadiri ijab dan resepsi dalam waktu yang terpisah.

“Aku dan Kak Raja sudah berunding juga kok, Pa. Nanti kita ambil paket hotel aja. Sekarang kan banyak hotel bintang 3 atau 4 yang menyediakan paket wedding, jadi budget gak terlalu bengkak, dan Mama gak perlu repot juga pusing mikirin semuanya. Kalau menurut perhitungan kasar yang sudah kami buat, tamu yang wajib diundang dari keluarga Mama, Papa, almarhum Papa, keluarga Kak Raja, dan teman-teman dekat kami, kurang lebih cuma sekitar 150-an, paling banyak 200. Kita ambil paket komplit. Dengan tamu sejumlah itu, biayanya gak akan terlalu besar, dan yang jelas Papa Mama gak capek dan gak repot. Kami tinggal menunggu persetujuan dari Papa Mama. Kak Raja sudah menghubungi temennya, kalau Papa Mama setuju dengan rencana kami, nanti Edel ngubungi Kak Raja untuk men-deal-kan ke pihak hotel.” Sulungku memaparkan dengan runtun rencana yang sudah dia susun dengan Sang Maharaja.

“Kalau masalah gaun?” tanyaku pada si Sulung.

“Gaun sudah oke, Ma. Kita cuma sewa aja, gak perlu bikin, toh pakenya cuma sekali. Banyak kok Ma gaun rental yang bagus dan bermutu. Untuk dokumentasi kita juga sudah punya channel, Ma. Menyadari waktu yang begitu singkat, aku dan Kak Raja bergerak cepat menghubungi teman-teman yang kebetulan bisa membantu kami. Alhamdulillah karena Kak Raja orangnya luwes, rajin bersilaturahmi, dan pergaulannya luas, kami banyak dapat kemudahan, Ma. Cuma, semua belum bisa kami deal-kan sebelum dapet izin dari Mama, Papa.”

Dalam kondisi seperti ini, barulah kita menyadari betapa pentingnya silaturahmi, karena selain mempererat persaudaraan, aktivitas yang satu ini juga bisa membukakan pintu rezeki seluas mungkin. Aku yang notabene hidup terpisah jauh dari keluarga besar, juga jauh dari keluarga almarhum Pak Wicaksono, sementara Pak Dokter juga tidak punya saudara kandung, otomatis kami tidak punya teman berembuk sama sekali. Namun kondisi ini sangat terbantu dengan keberadaan teman-teman Edel dan Raja.

Ada sebersit haru dan sedih mendengar penuturan Edel tersebut. Sebagai anak sulung perempuan harusnya dia diperlakukan istimewa dalam menghadapi pernikahannya. Tapi yang ada, justru dia dan calonnya yang bekerja keras, harus memikirkan sendiri semua persiapan pernikahan mereka. Keduanya memang benar-benar pasangan milenial. Tak perlu dipingit, malah sibuk mengurus segala keperluan di sela-sela kewajiban utama di kampus dan di kantor.

Kutatap gadis manis tersebut dengan perasaan yang tak menentu. Kulihat Pak Dokter juga sedang menatap gadisku dalam diam. Mungkin Beliau juga merasakan apa yang kurasakan.

"Maafin Mama Papa, Edel, gak bisa berbuat banyak untuk persiapan pernikahan kamu." Kuluncurkan seuntai kalimat penyesalan untuknya.

"Gak pa-pa, Ma. Selagi aku sama Kak Raja bisa menghandle-nya, Mama sama Papa tenang aja. Aku senang kok, Ma melakoni semua ini." Ucapan Edel terdengar tulus dan bersungguh-sungguh,

"Bagiku, restu dari Mama Papa atas hubunganku dan Kak Raja sudah merupakan anugerah terindah." gadisku tersebut melanjutkan ujarannya.

Tak mampu menghalau rasa sentimentil yang menyergap diri, kupeluk Edel dengan sepenuh hati.

Dari kondisi ini aku bisa melihat, Edel dan Raja ternyata memiliki visi misi yang sama dalam mengawali bahtera rumah tangga mereka. Gadisku yang mandiri, gesit, dan berpikir taktis, ternyata senada seirama dengan pujaan hatinya yang juga energik dan memiliki pola pikir simpel. Semoga mereka memang jodoh abadi.

Dan satu do’a yang kupanjatkan dengan sangat khusuk, semoga si bungsu jangan dulu launching sebelum prosesi pernikahan sang kakak tuntas terlaksana.


Posting Komentar

0 Komentar