Puzzle itu Belum Sempurna



Saat kaki baru saja menjejak bumi, turun dari kendaraan di loby utama paviliun, sebuah panggilan masuk menerobos gawaiku.

Nama dan photomu terpampang jelas di layar handphone. Aku segera menepi untuk menjawab panggilanmu.

"Assalamualaikum." Kalimat pertama yang selalu kuucap  saat menjawab panggilan telphone.

"Waalaikumussalam. Njenengan jadi ke sini?" Suara di seberang panggilan merespon kalimatku.

"Jadi. Ini baru aja nyampe. Belum sempat masuk, ada panggilan dari Njenengan."

"Njenengan minum dulu di tempat biasa, nanti saya susul ke situ." Kau memberiku perintah secara halus sambil menyebutkan nama mini cafe di dekat gedung paviliun.

"Saya langsung aja ke bangsal anak, ya. Biar cepat, kalo dah selesai  langsung pulang."

"Njenengan kan tau kalo sekarang  gak ada jam bezuk, nanti Njenengan gak bisa masuk, lho. Tunggu saya bentar, ya. Nanti saya antar ke sana." Lelaki paruh baya tersebut ternyata tetap tak ingin melepasku sendirian.

###RP###

Sembilan fajar yang lalu, kita masih punya kesempatan untuk mengurai hari bersama. Walau sekejap, tapi setiap detik yang terlewati bersamamu selalu indah dan istimewa.

Di akhir pekan nan ceria ini, justru kabar tak mengenakkan kuterima darimu. Aku patah arang. Semangat hidup seolah tercerabut dari akarnya. Kalau boleh meminjam istilah Anang Hermansyah, separuh jiwaku pergi.

Kau...lelaki paruh baya ku, bertahanlah! Tunggu aku untuk menyelesaikan semuanya. Bantu aku mengutip tiap momen yang berserak. Dampingi aku menyusun potongan puzzle kisah kita yang masih tersisa.

Bukankah kau ingin membaca ulang semua momen receh kita dalam wujud rangkaian aksara? Maka, izinkan aku menunaikan janji yang pernah terucap untukmu. Janji untuk merajut semua kisah dalam 'Diary Kita'.


Salatiga, Akhir bulan ketujuh 2021.

Posting Komentar

0 Komentar