The Doctor's Family (Jilid 7)






Kami tiba di rumah ketika azan Ashar berkumandang. Rasa letih menerpa tubuhku tiada ampun. Namun lelah tak berujung itu terobati dengan keberadaan anak tengahku. Tiba-tiba aku teringat Pak Dokter. Chatnya tadi siang belum kubalas, dan Beliau sama sekali belum menghubungiku lagi. Kucoba untuk berpikir positif kalau Beliau sedang sibuk.

Edel mengantar Dhuha ke kamar Maghrib. Kedua anak lelakiku itu akan berbagi kamar, karena hanya ada enam kamar di rumah ini. Tiga kamar ditempati para gadis, satu untuk Maghrib, satu untuk kedua ART, dan kamar tidur utama untuk Papa Mama.

Aku langsung menuju kamar. Hasrat untuk bebersih diri sudah tak tertahan. Kuambil handuk dan bergegas melangkah ke kamar mandi di sudut kamar. Badanku terasa lengket karena keringat. Cuaca kota Semarang benar-benar panas menyengat, apalagi di sekitar bandara baru yang berada persis di tepi laut. 

Selesai mandi, segera kubersimpuh keharibaan Ilahi Rabbi. Selanjutnya mengistirahatkan sejenak tubuh tua ini di pembaringan. Pikiranku melayang, menelusuri kejadian yang berlangsung sepanjang hari ini.

Pitunop belum sepenuhnya berlalu. Masih tersisa waktu beberapa jam sebelum hari berganti. Walau tanpa kado dan tart, namun betapa penuh romantikanya hari jadiku kali ini. Diawali dengan ucapan penuh kasih dari Pak Dokter di sepertiga malam. Diteruskan dengan gerombolan anak-anak yang begitu heboh di Subuh hari. Berlanjut dengan kegiatan berbagi yang penuh keceriaan bercampur haru. Dan puncak kegembiraanku terjadi ketika melihat Dhuha menanti jemputan di bandara sambil berdiri di dekat halte BRT.

Namun sempat terselip secercah perih ketika aku dan Edel bertemu dengan teman Pak Dokter. Perasaan cemburu kembali datang menyergap. Rasa rindu kepada Pak Dokter yang tadi sempat menyelimuti diri kini kembali menguap.

Terdengar suara pintu kamar terbuka,  sosok Pak Dokter terlihat melewatinya. Beliau langsung memanahkan tatapannya ke arahku sambil melempar senyum.

“Lho...kok malah tiduran ? Dhuha sama Edel mana? Kok Njenengan gak nemeni Dhuha?” Beliau memberondongku dengan beberapa pertanyaan sambil berjalan  menuju ke tempat tidur dan duduk di tepinya, kemudian refleks mencium keningku sekilas.

“Dhuha lagi istirahat. Saya juga capek,” Aku berusaha menjawab tanya Pak Dokter setenang mungkin, namun ternyata Beliau bisa menangkap nada suaraku yang terkesan datar.

Beliau memandangiku. Aku sangat paham makna tatapannya. Beliau khawatir. Dan tak perlu menunggu lama, seuntai pertanyaan langsung meluncur dari bibir seksinya.

“Njenengan kenapa?” tanyanya lembut.

“Gak pa pa, Dok. Saya bikin minum dulu ya buat Njenengan.” Aku bangkit dan bersiap untuk turun dari pembaringan, tapi Pak Dokter menahanku.

“Gak pa pa, bermakna pasti ada apa-apa,” ujar Beliau sambil memandangku penuh selidik.

“Njenengan kok sudah pulang, Dok? Masih setengah lima lho.” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, “Saya bikinkan minum dulu, ya,” lanjutku sambil  berdiri dan siap melangkah menuju pintu.

Dengan posisi tetap duduk di tepi tempat tidur, Beliau meraih tanganku. Pak Dokter kembali menahanku.

“Nyonya...” Bukannya menjawab tanyaku, Beliau memanggilku sarat makna.

“Nanti malam aja ceritanya, Dok. Njenengan masih capek, mandi dulu gih, biar saya buatin minum.” Kucium pipinya sekilas untuk membuktikan kalau aku baik-baik saja. Walau perasaan cemburu kembali memburu, namun saat ini bukan waktu yang tepat untuk melampiaskannya. 

Pak Dokter baru pulang. Beliau masih capek. Tak elok seorang istri menyambut suaminya yang baru pulang kerja dengan amarah.

“Saya gak capek. Dan Njenengan gak perlu menunggu malam untuk mengeluarkan beban yang  mengganjal perasaan Njenengan saat ini.” Kalimat-kalimat itu meluncur dengan tenang dan lembut dari bibir kekasihku.

“Tadi Njenengan ketemu Dokter Raja?” Pak Dokter menatapku lekat sambil bertanya perihal pertemuanku dengan temannya yang baru kuingat kalau namanya Raja.

Mungkin Dokter Raja sudah bercerita kepada Pak Dokter tentang perjumpaan kami tadi pagi. Pantas saja Pak Dokter langsung bisa menangkap ketidaknyamanan dalam ujaranku.

Aku membalas tatapannya, kujawab tanya Beliau dengan anggukan pelan.

“Ketika saya bilang dari bangsal anak, Beliau langsung menebak kalau hari ini saya ulang tahun.” Benteng pertahananku jebol. 

Sepotong kalimat yang terucap dari mulutku sudah mampu memberi jawaban kepada Pak Dokter tentang apa yang kurasakan saat ini. Pak Dokter terdiam.

Kualihkan wajah dari tatapan Beliau. Pandangku kini beralih ke ubin di lantai kamar. Pak Dokter berdiri, kemudian merengkuhku dalam dekapannya. 

“Kenapa harus memberi saya hadiah yang sama dengan almarhumah, Dok?” tanyaku lirih, “Njenengan ingin mengenang Beliau?” lanjutku lagi.

Pak Dokter tidak menjawab tanyaku. Beliau masih mendekapku, tangan kanannya mengelus-elus punggungku.

“Saya cemburu sama Mama Lintang. Saya merasa tujuan Njenengan meminta saya berdonasi cuma sekedar untuk membangkitkan kenangan Njenengan tentang almarhumah. Njenengan kangen almarhumah, kan? Njenengan masih cinta almarhumah, kan? Njenengan sebenarnya belum bisa melupakan almarhumah, kan?” Aku memberondong Pak Dokter dengan rentetan pertanyaan dan tangisan. 

Ya...aku menangis dalam dekapannya. Ternyata cemburu pada seseorang yang sudah tiada itu sangat menyakitkan. Pak Dokter  tidak menjawab atau merespon ucapanku sepatah katapun. Beliau malah semakin mengeratkan pelukannya sambil menciumi ubun-ubunku. 

Tangisku mulai mereda. Namun pelukan hangat Beliau kali ini tak mampu meredam rasa sakit yang begitu menyayat hati. Bahkan aku tak bisa menikmati aroma maskulin bercampur peluh yang menguar dari tubuh Beliau. Di sela-sela isak yang tersisa, kembali kutumpahkan gejolak yang menguasai diri.

“Tadi pagi saya begitu gembira. Donasi berjalan lancar, anak-anak senang, orang tua mereka sumringah. Saya bahagia banget dengan hadiah Njenengan. Saya merasa Njenengan memberikan ini semua karena menganggap saya istimewa. Tapi saya salah. Njenengan ternyata sedang kangen dengan seseorang.” Tangisku kembali berderai begitu teringat “seseorang” tersebut. 

Aku menyadari betapa cengengnya diri ini, namun aku tak kuasa menolak rasa sentimentil yang menyerang tiada ampun.

Pak Dokter merenggangkan pelukannya. Dengan tangan kanan, Beliau merogoh sesuatu dari saku belakang celananya. Saputangan. Beliau menghapus air mata yang membasahi kedua pipiku dengan benda tersebut.

Setelahnya Pak Dokter hendak mencium bibirku, namun dengan perlahan kupalingkan wajah untuk menolaknya secara halus.

Penolakanku mungkin menyadarkan Pak Dokter bahwa aku begitu terluka. Seumur pernikahan kami, aku belum pernah menolak setiap kebutuhan Beliau. Romantisme selalu menjadi sarana paling ampuh dalam menciptakan perdamaian. 

Bahkan ketika Anggi sedang mengaduk-aduk mood-ku hingga ke titik nol, dekapan hangat serta ciuman penuh kasih dari Pak Dokter menjadi obat yang paling mujarab. Namun tidak untuk saat ini.

Pak Dokter melepas pelukannya. Dia membimbingku untuk kembali  duduk di tepi  tempat tidur. Posisi kami saling berhadapan.

“Nyonya....” Beliau memanggilku dengan penuh kelembutan.

“Masih ada yang mengganjal di hati?” lanjut Beliau hati-hati sambil memandangku penuh kasih.

Aku membalas tatapannya dalam diam, tidak juga mengangguk atau menggeleng. Suasana hening tercipta selama beberapa jenak.

“Nyonya....” Panggilan khasnya kembali terucap.

Tanpa menunggu jawabanku, Beliau melanjutkan ujarannya.

“Boleh saya bicara ?” Nada suaranya masih penuh kehati-hatian. Aku mengangguk perlahan.

“Saya minta maaf sudah membuat Njenengan sedih dan terluka.” Kalimat Beliau terhenti, “Tapi saya tidak bermaksud seperti yang Njenengan tuduhkan.” Beliau melanjutkan ujarannya. Ucapannya perlahan dan sangat hati-hati. Mungkin Beliau was-was Emak-emak cengeng ini akan kembali menangis kalau sampai Beliau kepleset bicara.

“Memang dulu almarhumah selalu saya beri kado donasi setiap ulang tahun. Dan kalo sekarang saya juga memberi Njenengan kado yang sama, bukan berarti karena saya sedang terkenang atau kangen dengan almarhumah. Tapi karena saya menganggap Njenengan dan almarhumah itu sama-sama punya tempat yang istimewa di hati saya, walau dengan posisi yang berbeda.” Pak Dokter menghentikan kalimatnya, memandangku dengan seksama. Mungkin ingin melihat responku. 

Sementara aku tak ingin menyela ujaran Beliau, kuikhlaskan diri ini menjadi pendengar yang baik. Semoga cerita Beliau bisa membantuku membuang rasa cemburu yang sampai detik ini masih menusuk-nusuk hati.

“Almarhumah memang yang pertama, dan ibunya anak-anak. Tapi walau Njenengan datang paling akhir, namun Insyaa Allah Njenenganlah jodoh saya di akhirat nanti. Dan saya juga menitipkan Anggi di sini, kan?,” ujar Beliau sambil mengusap-usap perutku lembut. Menyapa buah cinta kami yang mungkin sedang menguping pembicaraan Mama Papanya.

“Almarhumah itu masa lalu saya, sementara Njenengan itu masa depan saya. Kaca spion lebih kecil dari pada kaca depan, itu maksudnya kalau yang di depan itu lebih penting dari pada yang di belakang,” lanjut Beliau sambil berfilosofi.

Aku tertegun mendengar kata-kata suamiku yang diucapkan dengan lembut dan penuh ketenangan. Kutatap Beliau, sebersit perasaan kasihan menggelayuti jiwa. Aku terlalu melankolis dan terlalu sering menyusahkan Beliau. Tapi egoku masih menguasai diri, belum ingin mengucap seuntai maaf atas kemanjaanku hari ini.

“Nyonya...kita sama-sama punya masa lalu. Saya juga gak tau, kira-kira Njenengan masih menyimpan kenangan tentang Bapaknya Maghrib apa gak. Dan saya gak mau  memikirkan itu. Bagi saya, yang paling penting yang terlihat sekarang. Njenengan melayani semua kebutuhan lahir bathin saya dengan sempurna. Njenengan manja dan mesra terhadap saya. Njenengan menerima Anggi dengan bahagia. Dan Njenengan menjadi Mama yang baik buat Lintang dan Mentari. Dengan semua hal yang saya sebutkan tadi, saya lupa kalau Njenengan pernah jadi istri Bapaknya Maghrib.” Beliau menyudahi kalimat panjangnya dengan senyuman tersungging di bibir.

“Njenengan tau gak?” Tetiba Beliau mengajukan seutas tanya padaku. Aku tak perlu menjawab tanya itu karena Beliau kembali melanjutkan kata-katanya.

“Proses saya mendapatkan Njenengan itu lebih rumit, penuh perjuangan dan kesabaran dibanding proses saya dengan Mamanya Lintang. Dengan almarhumah dulu kami kenalan pas ada acara kampus, karena kami beda fakultas. Setelah itu pacaran dua tahun, terus menikah. Sementara dengan Njenengan, kita menjalani masa STJ  -seperti istilah Njenengan- episode pertama aja hampir satu setengah tahun. Setelah itu saya masih harus menanti selama lima tahun. Dan itu masih harus dilanjutkan dengan STJ episode kedua hampir setahun.” Pak Dokter tersenyum sambil menghela napas berat. Aku membalas senyumnya. 

Diri ini kembali terkenang perjalanan panjang kisah kami. Pak Dokter memang tipikal lelaki yang memiliki kemampuan verbal luar biasa. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Beliau selalu mampu memberiku kenyamanan, motivasi,  dan beragam rasa indah yang membuai.

“Njenengan itu istimewa...tujuh tahun saya memperjuangkan Njenengan di usia yang tidak lagi muda, hingga akhirnya saya bisa menyentuh Njenengan dengan halal.” Tanpa aba-aba Pak Dokter mencium bibirku lembut, dan aku tak lagi sempat berkelit. Hati dan jiwaku sudah kembali ke posisinya semula, meleleh dan luluh lantak dengan perlakuan istimewa sang lelaki terkasih.

Seolah teringat sesuatu, Pak Dokter menyudahi “therapy anti cemburu”nya untuk sang istri.

“Sudah hampir setengah enam, saya mandi dulu. Saya juga belum sempat ketemu Dhuha nih. O..ya, mungkin nanti Dokter Anggiat nyampe sini ba’da Maghrib.” Pak Dokter mengingatkanku tentang residen yang Beliau undang untuk makan malam di rumah kami.

“Tapi saya sama sekali belum ada ngomong masalah ini sama Edel lho, Dok.”

“Gak pa-pa. Intinya malam ini biar keduanya  saling tau dulu, yang namanya Anggiat seperti apa, yang namanya Edel seperti apa. Besok pas lega, baru Edel ditanyain.”

Aku mengangguk menyetujui ide suamiku. Selanjutnya kuambil satu lipatan handuk dari lemari, dan mengulurkannya pada Pak Dokter.

“Saya nemuin anak-anak dulu, Dok,” ujarku seraya bersiap melangkah menuju pintu.

“Nyonya....” Beliau yang sudah berada di depan pintu kamar mandi kembali memanggilku.

 Aku menoleh.

“Jangan pernah cemburu lagi dengan masa lalu saya, ya?” Permohonannya begitu tulus.

Kuberi Beliau seuntai senyum sembari berucap,

“Maafin saya, Dok.”


@@@@@


Ketika memasuki ruang keluarga, tak seorang anakpun kutemui di sana. Aku mencari Mbak Kas di dapur.

“Anak-anak di mana semua mbak?” tanyaku pada Mbak Kas yang sedang mempersiapkan berbagai hidangan untuk makan malam nanti.

Makan malam sederhana ini akan dimeriahkan dengan hidangan khas Medan. Kata Pak Dokter untuk menghormati Nyonya sang sedang berulang tahun, dan juga tamu kami satu-satunya, Dokter Anggiat. Tamu kami ini ternyata berdarah Batak juga -marga Sihombing- tapi tinggal dan berdinas di Banda Aceh, kemudian sekarang sedang mengikuti PPDS di Semarang. 

Sambal teri kacang tanah, yang terinya menggunakan teri Medan kiriman adekku. Kemudian masakan khas Batak gulai daun ubi tumbuk, masakan khas Melayu anyang pakis, serta rendang cumi akan menjadi menu makan malam rumahan kami nanti. Mbak Kas tadi juga kuminta untuk membuat puding alpukat, yang sekarang sedang mengeram di lemari es, bersama buah-buahan yang kemarin dibeli Edel.

Tadi pagi sebelum berangkat ke rumah sakit aku sudah menempatkan aneka bumbu dapur yang diperlukan  di tempat terpisah sesuai dengan takaran untuk masing-masing masakan. Mbak Kas dan Mbak Ramlah tinggal meracik bumbu yang sudah kusediakan tersebut, kemudian mengolah masing-masing masakan berdasarkan step by step yang sudah kucatat.

Ketika aku menghampiri mereka ke dapur, gulai daun ubi tumbuk baru saja matang. Dan sekarang mereka sedang menyiapkan anyang pakis, hidangan khas Melayu berbahan dasar utama pucuk-pucuk pakis yang belum mengembang dan  tauge. Sementara bumbu yang digunakan ketumbar dan ebi yang sudah disangrai, dihaluskan kemudian dicampur dengan kelapa parut yang juga sudah disangrai, Bumbu tambahan lainnya irisan cabe merah, irisan bawang merah, dan irisan serai, garam. Semua elemen tersebut dicampur dengan pakis dan tauge, kemudian ditambahi kucuran jeruk nipis. Sementara untuk rendang cumi dan sambal teri kacang tanah sudah purna mereka kerjakan dari tadi siang. 

“Mbak Lintang sama adek-adeknya belum pulang sekolah, Bu. Ini lagi dijeput sama Mbak Edel dan Mas Dhuha.” Mbak Kas menjawab tanyaku dengan runtun.

“Tumben Edel  pergi gak pamit.” Aku menggumam seolah untuk diriku sendiri. Ternyata Mbak Kas mendengar gumamanku.

“Tadi mau pada pamit, tapi ibu lagi tidur, terus titip pesan sama saya untuk sampekan ke Ibu.”

Hhhmmmm...mungkin mereka mau pamit ketika tadi aku dan Pak Dokter sedang bermain sinetron. Biasanya Edel akan mengetuk pintu sambil memanggilku, kemungkinan tadi dia mendengar suaraku menangis atau mendengar perbincangan kami hingga urung pamitan.

Kutinggalkan Mbak Kas dan Mbak Ramlah di dapur. Maghrib hampir menjelang ketika kudengar suara anak-anak bersahutan mengucap salam dari pintu samping yang tembus dari garasi ke ruang keluarga.

Bergantian satu persatu bocah menampakkan diri di ruang keluarga, menyalamiku kemudian pada merebahkan diri di sofa. Pak Dokter juga sudah ikut menggabungkan diri dengan anak-anak. Beliau sudah rapi dengan peci, baju koko dan sarungnya. Edel langsung menuju dapur dengan membawa beberapa bungkusan.

“Kamu beli apa Edel ? Kok baru pada pulang, tho ?” tanyaku spontan sambil melihat para bocah menjatuhkan diri ke sofa.

“Lumpia, Ma.”

Kududukkan diri di samping Mentari. Bungsu Pak Dokter itu langsung mengelus-elus perutku. 

“Mas Dhuha tadi keliling-keliling dulu,” jawab Maghrib.

“Ayo cepetan pada mandi, bentar lagi Maghrib lho. Nanti habis Maghrib mau ada tamu.” Aku memerintah anak-anak untuk bergegas bebersih diri, “Maghrib, kamu mandi di kamar Mama aja, nanti keburu azan, gak terkejar ke mesjid.” Bungsuku itu langsung mematuhi perintahku dan beranjak menuju ke kamarnya.

Edel kembali ke ruang keluarga mengambil posisi duduk di sebelah Mentari. Dhuha yang terakhir muncul di ruang keluarga langsung menyalami Pak Dokter dan mencium punggung tangannya.

“Apa kabar om?” ujarnya dengan sopan. Dhuha masih tetap memanggil Pak Dokter dengan sapaan lamanya.

“Alhamdulillah sehat. Lancar tho tadi perjalanannya?” Pak Dokter menepuk-nepuk pundak anak lajangku.

“Lancar, Om. Gak delay sama sekali.”

“Mentari sama Lintang sudah salim Mas Dhuha?” Pak Dokter mengajukan tanya pada kedua anak gadisnya.

“Udah lah, Pa. Udah jalan-jalan sekalianpun,” jawab Mentari polos. Bungsu Pak Dokter itu kemudian bangkit dan beranjak menuju kamarnya, diikuti Lintang yang berlalu tanpa berucap sepatah kata.

Kulirik Dhuha,  ternyata dengan ekor matanya, anak lanangku itu mengikuti pergerakan Lintang yang menghilang perlahan di atas undakan anak tangga menuju ke kamarnya di lantai atas.

Aku memandang ke arah Pak Dokter, dan  Beliaupun sedang mengamati tingkah Dhuha yang mencuri pandang ke Lintang.

“Dhuha...lagi diajak ngobrol Om kok tatapannya ke mana-mana.” Aku membuyarkan tatapan Dhuha ke Lintang.

Pak Dokter tertawa mendengar kalimat sindiranku. Sementara Dhuha cuma tersenyum kecut.

“Dok, kita harus waspada. Saya gak mau besanan dengan Njenengan,” ujarku spontan. Kedua lelaki gagah tersebut merespon ucapanku dengan tawa lepas.













Posting Komentar

0 Komentar